Fulan telah berkendara selama empat jam saat ia teringat tentang kondisi pintu kamar kosnya; apakah ia benar-benar telah mengunci pintu randu berwarna biru laut dengan gembok besi kecil peninggalan penghuni sebelumnya itu? Ia sama sekali lupa. Memang tidak ada barang berharga di dalam kamar kos kecil dan berdebu itu, namun Fulan tidak menyukai ide jika ada liyan yang bisa masuk dan memeriksa isi kamar miliknya, terutama jajaran tetangga kos yang selalu bersenang hati untuk menguras sedikit demi sedikit persediaan kopi instan miliknya. Sedikit buyar, klakson dari truk milik merek salah satu peralatan rumah tangga terkemuka memaksa pikiran Fulan kembali ke jalan raya. Mata Fulan letih, sudah sebulan lebih ia tidak bisa tidur tenang. Tiap malam sejak pulang dari tempat yang ia tuju sekarang, ia selalu melihat mimpi yang sama, entah mimpi soal apa, rincian mimpi itu selalu hilang, seakan melayang terbawa angin malam tiap ia bangun terjingkat. Fulan hanya bisa duduk terdiam di atas tidurnya, meminum air galon isi ulang sambil memikirkan sensasi dan perasaan aneh di tekaknya.
Suntuk, Fulan memutuskan untuk beristirahat dan menjinakkan rasa gatal di tenggorokannya, ia berhenti di sebuah warung kelapa muda di bawah pohon mahoni yang mungkin ditanam pada suatu proyek pemerintah setempat beberapa tahun lalu. Warung itu terlihat unik, pilarnya terbuat dari bengkirai dan berlantai kayu kelapa, terlalu mewah untuk ukuran warung di pinggir jalan yang sepi. Penjaga warung itu adalah seorang wanita yang sedikit lebih tua darinya, ia berbadan agak berisi dan mengenakan daster warna hitam bermotif naga melingkar. “Pilihan pakaian yang cukup unik.” Gumam Fulan dalam benaknya. Daster yang dikenakannya sedikit kecil untuk wanita itu, melilit erat seakan ingin memakan kulit-kulit wanita yang memakainya. Setelah memakan beberapa helai gorengan, Fulan menghabiskan minumannya dengan cepat, mengingat ia sudah tidak jauh dari tujuannya dan Fulan ingin segera sampai ke tempat itu.
✶✶✶
Gerimis turun saat Fulan akhirnya sampai di posko jalur pendakian. Tak banyak yang berubah dari bangunan tersebut, semuanya masih sama, sebuah bangunan bambu semi terbuka dengan atap daun kelapa kering. Bambunya tersusun rapi, keenambelas tiang utama, kuda-kuda, dan lis-lis jendela pondok dibalut dengan rotan yang juga berfungsi untuk menambah kecantikan bangunan. Pondok bambu itu masih tampak kokoh meskipun terpaan usia bisa dilihat di beberapa bagian, seperti lantai depan loket, yang tentu saja menjadi bagian yang paling banyak diinjak oleh pendatang. Lantai di depan loket terlihat lebih cekung dibanding lantai yang lain, bambunya juga telah berubah warna menjadi kehitaman setelah entah berapa kali ditendang semasa hidupnya.
Fulan berjalan menuju loket, lantai berdecit menemani langkahnya. Setelah membeli tiket dan mengisi berbagai macam formulir, Fulan segera bersiap untuk berjalan di jalur pendakian, namun gerimis telah berubah menjadi hujan deras saat Fulan melakukan cek akhir perlengkapan. Ia merasa keberatan untuk berjalan di bawah hujan seperti ini. Bingung, Fulan memilih duduk di salah satu pojok pondok bambu, ia memilih untuk duduk di pojok yang berhubungan langsung dengan tembok masjid di samping pondok sebagai usaha menghindari tampias hujan. Fulan melihat sekitar, ia menyadari bahwa selain bapak penjaga loket, hanya ia seorang yang ada di posko ini, tak ada tanda para pemuda setempat yang biasa duduk-duduk di posko, teko yang biasa terisi kopi dan gelas-gelas kosong tertata rapi di pojok lain pondok. Pandangan Fulan bertolak menuju tempat parkir, hanya ada satu motor berwarna merah menyala terparkir di bawah hujan, sepertinya hanya ia seorang yang berpikir untuk menyusuri jalur pendakian pada hari selasa yang dingin ini. Fulan melongok ke atas mengamati atap bangunan, ia menyadari bahwa daun atapnya telah diganti. Terakhir kali ia datang ke tempat ini, beberapa bagian lantai pondok basah terbocori hujan. Di tengah pengamatannya, Fulan teringat, mengapa ia datang kemari, tidak ada alasan khusus, hanya sebuah intuisi, sebuah getaran kecil di serat hatinya yang paling jauh, mungkin pula karena rasa tidak tenang yang berasal dari mimpinya yang terus berulang. Saat Fulan mulai kuliah, ia memang selalu menyempatkan mendaki jalur ini sebagai rutin tahunan, semacam doa yang diucapnya tiap tahun untuk keberuntungan. Namun, setelah kunjungan terakhirnya tahun ini, ia merasa harus kembali ke sini, seperti ada yang harus ia temukan di ruas-ruas jalur pendakian ini.
Lima belas menit telah berlalu dan hujan tidak juga berisyarat untuk mereda. Di tengah kebingungan dan kecemasannya, dingin udara membuat Fulan mengantuk, matanya semakin berat, kepalanya pun jatuh ke pangkuan lututnya.
Fulan tiba-tiba berada dalam sebuah kamar, ia menemukan dirinya di atas sebuah ranjang bambu, Fulan baru saja bangun tidur. Kamar itu gelap, namun ada cahaya putih menyemburat dari belakang pintu yang berada tepat di hadapannya. Fulan merasa sangat lelah, ia mencoba untuk tidur kembali, tetapi tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Kaget, Fulan melawan rasa lelah dan berjalan menuju pintu. Tak ada seorang pun di balik pintu, hanya ada hamparan pohon-pohon raksasa menjulang tinggi. Bingung, Fulan pun membalikkan badan hanya untuk menemukan kamar tidur tempatnya baru saja terbangun telah menghilang digantikan kabut tebal. Fulan sadar, ini adalah mimpi yang selalu dilihatnya.
✶✶✶
Fulan tengah berada di sebuah hutan lebat. Saat mengarahkan pandangannya ke atas, ia tidak bisa melihat puncak pohon-pohon besar yang ada di hadapannya, hanya ada kabut yang menggantung di udara. Fulan menggigil dari dinginnya udara hutan, ia tersadar bahwa ia tidak memakai selembar pakaian pun. Fulan hanya berdiri terdiam, lalu rasa gatal muncul di jempol kakinya, dengan jengkel Fulan menggaruk jempol kaki kirinya, jemarinya merasakan basah dan lumpur, ia meraba seluruh kakinya, benar, kakinya tertutup lumpur tebal, seakan ia telah berjalan jauh menyusuri hutan ini dalam waktu yang lama. Tiba-tiba cahaya putih terang menyembul dari pepohonan, diikuti dengan raungan keras, seperti suara kapal yang hendak berlayar, namun suaranya terdengar lebih bundar dan bergema. Fulan hanya bisa terkejut dan menutup mata karena kejadian itu.
Saat Fulan membuka mata, kabut di udara telah menipis, kini ia dapat melihat dengan lebih jelas hutan di mana ia sekarang berada. Ternyata ia tidak sedang berada di sebuah hutan, ia sedang berada di semacam pesisir, ia berdiri di atas kubangan lumpur. Di belakang Fulan, terdapat hamparan pasir luas yang diikuti lautan awan kelabu yang tak bergerak. Pohon-pohon yang Fulan temui sangat besar, mungkin diameternya sekitar dua kali ukuran keliling kamar tiga kali tiganya. Batangnya berwarna hitam dan dilapisi semacam sisik yang terbuat dari batu. Beberapa akar besar yang tampak di atas tanah ditutupi lumut keunguan. Saat Fulan mencoba mencari dedaunan dan puncak pohon, ia melihat bagian atas dari pohon tersebut tidak ada. Seperti sebuah cermin, ujung teratas pohon-pohon itu adalah akar-akar yang sama seperti akar yang berada di atas tanah, akar-akar itu menggantung dari permukaan pasir yang berfungsi sebagai langit-langit tempat ini. Di beberapa bagian atap, butiran pasir rontok seperti hujan dan membentuk bukit-bukit pasir yang tinggi.
Di tengah kekagumannya, cahaya putih dan aungan tadi kembali, kali ini berasal dari bawah lautan awan. Fulan tercekat. Lautan awan mulai berombak, suara batu yang bergesekan muncul dari bawah. Puluhan gunung menyembul keluar dari balik awan. Permukaan gunung-gunung itu basah, seperti bernafas. Serupa dengan pohon di belakangnya, permukaan gunung-gunung itu memiliki sisik dari batu. Bergetar, gunung-gunung tadi perlahan bergerak, berubah bentuk. Lepas dari Lerengnya, Puncak gunung-gunung itu terus bergerak menjauh ke belakang seperti seorang kakek yang mencoba berbaring dengan punggungnya yang telah tidak bekerja dengan baik. Lereng-lerengnya yang ditinggalkan berangsur memperlihatkan bentuk setelah keluar dari rongga puncak gunung. Awalnya lereng berbentuk seperti telapak kaki, lalu punggung kaki, lalu betis dan lutut. Sebelum Fulan sadar, sepasang kaki telah terbentuk dari lereng yang ditinggalkan puncak gunung yang juga berangsur berubah bentuk menjadi kepala yang besar, di mulut gunung-gunung itu, menggantung pilar bersisik. Kepala-kepala raksasa tadi membuat suara mendengung, dengan raungan besar, tiap gunung muntah, melemparkan pilar yang tampak seperti sebuah ekor yang berakhir di belakang pangkal selangkangan. Ekor-ekor besar itu jatuh ke hamparan pasir di depan Fulan. Jatuhnya ekor-ekor tadi memicu badai besar yang basah, badai itu menghempaskan Fulan menuju pepohonan di belakangnya. Di pojok pondok Fulan terjingkat bangun, suara adzan maghrib mengiringi sadarnya.
✶✶✶
Saat Fulan bangun, ia mengingat segalanya. Tiba-tiba rasa gatal konstan di tekaknya menjadi tak terkendali. Fulan mendapat sebuah gairah yang tak terjelaskan untuk melakukan hal yang baru saja ia saksikan di mimpinya, ia harus memakan kaki dan ekornya. Tak sabar, Fulan lompat dari pojok pondok, ia meninggalkan sepatu, tas, dan semua perlengkapannya. Ia berlari menyusuri jalur pendakian di tengah gelap dan hujan. Kesemuanya terasa masuk akal untuk Fulan. Seperti terbang, Fulan mendaki gunung dengan mudah, ia tak menabrak satu pohon pun di tengah larinya meski ia tak memiliki satupun sumber cahaya, gunung seperti membuka jalan untuk Fulan menyusuri dadanya. Sebelum Fulan sadar, ia telah berada di puncak gunung. Fulan duduk di atas sebuah batu besar, ia melihat awan hujan ada di bawah puncak gunung. Dalam posisi bersila, Fulan meraih kaki kirinya, dengan kedua tangan ia menuntun kaki kirinya ke arah mulut hingga bagian samping dalam jempolnya yang kotor menempel bibirnya. Fulan meraih kaki kanan dengan tangan sebelah kanannya sambil menahan posisi kaki kiri dengan satu tangannya yang lain. Sekarang kedua jempol kaki telah menyentuh bibir Fulan. Fulan membuka mulutnya, dengan kedua tangannya, ia memaksa dua jempol kaki dan delapan jemari kaki lainnya masuk kedalam mulutnya. Rasa tanah memenuhi mulut Fulan, dengan penuh tenaga Fulan terus memaksa jari-jarinya masuk ke dalam mulutnya. Rahang Fulan terasa sangat nyeri, tapi hasratnya mengalahkan rasa sakit apapun yang tengah ia alami. Dengan suara seperti ranting yang patah terinjak, rahang Fulan menyerah pada paksaan dan kekuatan tangan Fulan. Air mata mengucur tak terkontrol saat Fulan akhirnya berhasil memasukkan kedua pasang kaki ke mulutnya. Di tengah batuk, ia merasa hanya perlu untuk memaksanya sedikit lagi untuk melahap dua mata kaki dan sepasang pergelangan kakinya.
Rahang Fulan bergantung mengayun di terpa angin puncak gunung, ia terlihat seperti hantu-hantu yang ia lihat di film-film horor kesukaannya. Rasa tanah bercampur rasa tajam darah memenuhi rongga mulut Fulan. Giginya telah membuat sebuah sayatan panjang di permukaan kakinya, dan kuku kaki Fulan pun menyayat rongga-rongga mulutnya. Dengan sebuah hentakan, Fulan mendorong kakinya untuk masuk lebih dalam di mulutnya, Ia berhasil memakan setengah mata dan pergelangan kakinya, dengan satu hentakan lain ia berhasil memasukkan keduanya. Uvula Fulan remuk, tercabik-cabik kuku dan lehernya mengembang, tiga kali lebih besar dari ukuran aslinya. Sejauh ini Fulan selalu dapat menahan rasa ingin muntah, namun kali ini ia gagal. Ia dapat merasakan gorengan, dan kelapa muda yang tadi ia makan, setelah itu ia sama sekali tidak bisa merasakan apapun dan hanya merasakan lidahnya yang telah remuk. Fulan terus memaksa kakinya masuk melalui kerongkongannya, ia merasa kesusahan bernafas, namun perasaan puas dan senang dibenaknya membuatnya terus memaksa masuk dua kakinya ke dalam mulutnya.
Setelah beberapa waktu, Fulan berhasil memasukkan kedua betis kakinya, pada saat ini Fulan menyadari bahwa ia tidak memiliki sebuah ekor. Tidak seperti gunung-gunung itu, manusia tak memiliki ekor, hanya tulangnya. Fulan panik, lalu ia mendapat sebuah pencerahan, manusia memang tidak memiliki ekor di belakang tubuhnya, tapi sebagai seorang laki-laki ia memiliki penis yang bisa menjadi ganti ekor untuk dimasukkan ke mulutnya. Fulan sontak melepaskan kekuatan tangan dari kedua kakinya untuk merobek paksa celana pendek dan celana dalam yang ia kenakan. Namun pada posisi ini, mustahil untuk kerongkongan Fulan untuk menahan betis dan semua bagian kaki di bawahnya tanpa bantuan tangan. Fulan terjengkal, batuknya yang terkeras tertutup oleh kaki-kakinya. Rasa senang yang ia rasakan sekejap hilang, rasa sakit memenuhi pikiran Fulan. Di tengah batuk yang menyebabkannya mengejang, kedua kaki Fulan mengoyak kerongkongannya. Darah keluar dari hidung dan mata Fulan. Ia tergulung jatuh dari batu tempatnya duduk. Panik, ia pun menarik kakinya keluar dari mulut. Usahanya sama sekali tidak berhasil, semakin ia menarik kakinya keluar dari mulutnya, ia semakin terbatuk parah, kakinya telah tersangkut pada kerongkongan di dalam dadanya yang kini mengembang. Fulan terus berusaha mengeluarkan kaki-kakinya, namun ia merasakan kalau tenaganya telah habis. Mata Fulan gelap, darah yang mengalir dari tubuhnya telah menjadi kubangan. Ia sudah tidak bisa lagi bernafas, Fulan telah kehilangan kemampuan untuk merasakan apa pun. Awan hujan perlahan berganti menjadi kabut saat Fulan menghembuskan nafas terakhirnya. Kabut terus menebal menutupi puncak gunung yang sepi, suara serangga perlahan memenuhi udara. Tubuh Fulan dengan kedua pasang kaki di dalam mulutnya hilang dari pandangan, yang tersisa hanyalah kabut tebal di atas puncak gunung yang entah kapan akan menipis.
Dirimu tersusun dari berbagai macam ensiklopedia, manual, furnitur asimetris, pamflet, kebohongan, peralatan makan perak yang lapuk dimakan karat, bermacam merek tisu dan kondom, server data, embrio, mayat bapakmu, guci porselen, kendi gerabah, ruang kosong, sampah yang tak teridentifikasi, kasur, sutra dan linen, mesin kopi, minuman keras, kain lap, lemak, pecahan seng, tanaman hias, cat, ember bocor, genangan minyak di selat malaka, ganggang, koral, silikon, bubur kering, kontol yang putus dari selangkangannya, memek yang membusuk oleh produk farmasi, viagra kadaluwarsa, darah basi, nanah yang terkoagulasi bersama saren angkringan yang telah melewati romantisasi ribuan tahun, tumis kangkung di anus Joko Anwar, batu permata, kopet, ornamen perungu, rambut kemaluan Susilo Bambang Yudhoyono, air madzi Sapardi Djoko Damono, plasenta yang berserakan di atas aspal berlubang, hewan, bangkai, buah, batu, omong kosong para gymbro memble dan berbagai bualan mereka tentang kencan serta pernikahan, kulit sunat Jefri Nichol, koleksi gunpla dan berbagai hal tak berguna lainnya, serta segala jenis penyakit kronis dan dosa-dosa yang takkan pernah terampuni.