Petang itu maghrib berkumandang ditemani suara gemuruh bersahut-sahutan di langit gelap, menandakan rintik hujan akan segera berjatuhan. Setelah sesi kuliah yang cukup melelahkan, aku tiba di rumah dan segera memarkirkan motorku di balkon depan rumah. Saat aku masuk, di atas meja ruang tamu terdapat piala berukuran sedang berwarna emas dan hijau. Aku pun mencoba mengangkat piala yang ternyata sangat ringan itu, terdapat tulisan di bagian depan bawah, “Peringkat 2 Ujian Nasional se-Sekolah Dasar 04”. Aku terdiam sebentar untuk memproses kata-kata itu. Senyum kecil tersungging saat aku menyadari bahwa adikku, yang lulus dari sekolah dasar pada hari itu, ternyata mendapat peringkat kedua ujian nasional se-satu sekolahnya. Aku tahu benar bahwa adikku adalah anak yang cemerlang, namun melihatnya mendapat penghargaan seperti itu membuatku ikut senang. Aku tak pernah mendapat peringkat yang bagus untuk hal apa pun, begitu pula menjadi juara di perlombaan mana pun. Aku hanyalah laki-laki biasa yang lulus sekolah dengan nilai pas-pasan dan masuk kuliah bukan melalui jalur prestasi. Pasti perasaan diperhatikan orang-orang dan dipandang sebagai anak yang pintar terasa menyenangkan bagi adikku.
Seingatku, beberapa tahun terakhir ia selalu peringkat tiga besar di kelasnya dan mendapat hadiah atau pun penghargaan dari wali kelasnya atas kepintarannya itu. Aku hanya sedikit heran, mengapa kedua orang tua kami tak pernah memberi adikku hadiah apa pun atas prestasi yang diraihnya. Ucapan selamat pun sepertinya tak pernah aku dengar. Malahan, terkadang orang tuaku selalu membandingkan adikku dengan orang yang peringkatnya berada di atasnya. Saat ia peringkat satu pun sepertinya orang tuaku tak pernah memberinya semangat dan malah meremehkan bahwa pelajaran yang diajarkan pasti mudah sehingga ia berhasil mendapat peringkat satu. Namun, aku tak pernah begitu memikirkan hal itu karena memang seperti itulah orang tua kami. Aku juga tak pernah ingat diberi semangat atau dipuji oleh orang tuaku. Mungkin mereka tak terbiasa untuk hal itu. Malam itu pun, tak ada hal spesial yang dilakukan oleh kedua orang tuaku atas prestasi yang diraih adikku. Ia hanya bermain game Plants vs Zombies di laptop sampai malam dan tidur setelah waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.
Siang itu aku mampir ke rumah setelah pergi ke kantor dosenku untuk meminta bantuan mengenai skripsi yang akan segera aku kerjakan beberapa bulan ke depan. Saat itu ibuku sedang memasak di dapur, tercium dari aroma khas tumisan bawang merah dan rempah-rempah yang semerbak di ruang tamu. Saat aku menaruh tas di kamarku, terdapat beberapa lembar kertas berserakan di atas laptop. Saat aku meraih dan membacanya, ternyata kertas-kertas itu adalah formulir untuk membuat paspor. Aku mengerutkan dahiku dan segera berjalan menuju dapur untuk menanyakan tentang hal tersebut kepada ibu. Saat aku bertanya, beliau menjawab bahwa adikku lolos untuk ikut program Sister School di sekolah menengah pertamanya yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Kata ibuku tak akan ada biaya yang dikeluarkan kecuali biaya pembuatan paspor. Aku bertanya ke negara mana adikku akan melaksanakan program itu dan beliau menjawab negara Malaysia. Aku mengangguk dan kembali ke kamarku. Entah mengapa, senyum tak segera merekah di wajahku saat tahu mengenai hal tersebut. Suatu perasaaan aneh malah muncul di dadaku dan perlahan membuat tenggorokanku terasa aneh. Apakah aku merasa iri kepada adikku? Apa aku tak senang dengan kemampuan adikku? Lalu, aku teringat kembali saat diriku berada di sekolah menengah pertama. Saat itu aku ditolak oleh sekolah yang ingin aku daftar dan akhirnya aku diterima di sekolah yang berjarak cukup jauh dari rumah, saat itu pun sepertinya aku berada di peringkat hampir akhir untuk berhasil memasuki sekolah itu. Aku teringat saat diriku hanya terdiam ketika adikku diterima di salah satu SMP bergengsi di kotaku karena statusnya yang merupakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional itu. Untuk masuk ke sekolah itu diperlukan tes tambahan selain nilai ujian nasional dan adikku lolos dengan mudahnya. Aku terlalu sibuk dengan urusan kuliahku sehingga aku tak tahu apa pun soal adikku sendiri dan tentang bagaimana perasaannya bisa masuk ke sekolah yang ia inginkan.
Aku dan adikku tidak begitu dekat. Sepertinya rasa kecewaku semasa kecil karena gagal mendapat adik laki-laki terbawa secara tak sadar selama ini. Tentu aku senang saat adik perempuanku lahir, namun tak dapat kupungkiri bahwa aku akan lebih bahagia apabila bayi yang lahir berjenis kelamin laki-laki. Saat itu umurku hanya delapan tahun, aku tak begitu tahu apa-apa dan hanya ingin seorang adik laki-laki yang dapat aku ajak main bersama. Dari waktu itu sampai sekarang aku selalu mengusili adikku, aku pun merasa sedikit aneh saat berada bersamanya. Mungkin karena ia perempuan dan aku laki-laki. Aku jarang bermain dengan adik perempuanku karena aku merasa dirinya adalah beban saat aku kecil ketika aku bermain dengan teman-teman sebayaku. Sepertinya aku selalu mengucilkannya dan membiarkannya bermain sendiri. Begitulah hubunganku dengan adikku. Aku tak tahu apa pun tentangnya kecuali ibu yang memberitahuku. Aku merasa sedikit tak enak karena telah menjadi kakak laki-laki yang tak dekat dengan adik perempuannya sendiri, namun sepertinya ia tak apa-apa dengan hal itu karena ia sudah punya teman baik, seorang tetangga depan rumah kami.
Malam itu aku pulang sedikit terlambat dan melihat adikku sedang bermain laptop seperti biasa. Akan tetapi, ada yang sedikit berbeda dengan dirinya. Sepertinya ia baru saja selesai menangis. Karena canggung untuk bertanya langsung padanya, aku pun mendekati ibuku dan bertanya apa yang terjadi padanya. Ibuku berkata bahwa program Sister School-nya dibatalkan karena ada wacana untuk menghapus rintisan sekolah bertaraf internasional. Aku hanya berkata, “Oh,” dan kembali melihat punggung adikku yang terlihat tak bersemangat sembari duduk di depan laptop. Aku merasa kasihan dengannya karena aku beberapa kali memergokinya belajar Bahasa Inggris dengan cara berbicara kepada dirinya diam-diam untuk persiapan program pertukaran pelajarnya ke Malaysia. Karena aku tak sanggup dan malu untuk menyemangatinya secara langsung, aku hanya membiarkannya bermain laptop hingga larut malam supaya ia bisa merasa lebih baik keesokan harinya.
Lagi-lagi adikku mendapat peringkat 5 besar saat kelas 7, 8, dan 9. Namun seperti biasa, tak ada hal spesial yang terjadi di rumah. Semua berjalan normal seperti biasa, seolah tak ada hal menarik yang terjadi saat itu. Saat aku berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kalinya terjadi suatu perayaan di rumah kami, memoriku tertuju pada ulang tahun adikku yang kesepuluh. Bukan perayaan meriah yang diadakan, melainkan hanya pemberian kue ulang tahun berwarna hijau dengan badut menyeramkan di atasnya dan tulisan “Selamat Ulang Tahun”. Hanya teman baiknya, tetangga kami, yang datang dan mengucapkan selamat ulang tahun. Sepertinya aku tak pernah melihat mata adikku berbinar-binar seperti saat itu. Senyum manis menghiasi wajahnya sepanjang malam. Aku tak pernah tahu sebelumnya, sebuah kue aneh dan ucapan selamat ulang tahun dapat membuat seseorang menjadi sangat bahagia.
Aku selalu mengagumi langit malam dan objek-objek yang terlihat saat malam menerpa. Aku tertarik dengan astronomi dan sering mencari tahu hal-hal mengenai objek-objek langit malam. Terkadang aku berpikir bagaimana indahnya langit apabila bintang-bintang malam dapat terlihat juga pada siang hari. Aku tahu itu hal yang bodoh, namun aku masih berpikir akankah langit dapat menjadi lebih indah apabila sang surya ditemani oleh teman-temannya di langit benderang. Sepertinya adikku juga tertarik dengan hal-hal yang menyangkut tentang astronomi. Terakhir kali, aku melihatnya sedang mengunjungi situs NASA dari laptopku dan melihat-lihat gambar bintang dan galaksi di situs itu. Adikku pun tak keberatan saat aku mengganti background laptop dengan gambar galaksi Andromeda. Ia terkadang mengganti background laptop apabila sedang bermain laptop sendiri, namun aku tak pernah melihatnya mengganti-ganti background laptop lagi saat gambar galaksi terpasang sebagai background. Mungkin kesukaan akan astronomi menurun di darah kami. Atau mungkin ia lagi-lagi hanya menyukai sesuatu hanya karena aku menyukainya juga. Adikku tak begitu memiliki panutan di hidupnya. Ia tak dekat dengan kedua orang tua kami dan jarang berbicara dengan mereka. Mau tak mau ia menyukai hal yang aku sukai. Aku terkadang sedikit risih dengan hal itu, namun aku tak menghiraukannya secara serius karena lagi-lagi aku terlalu sibuk dengan sekolah dan kuliahku.
Saat adikku kelas satu SMA, ayah kami di-PHK oleh tempat ia bekerja dan resmi berstatus pengangguran saat itu juga. Terpaksa semua kebutuhan keluarga kami harus dikurangi karena berkurangnya sumber penghasilan. Satu-satunya penghasilan yang keluarga kami dapatkan adalah dari hasil penjualan bubur dan sayur yang ibuku lakukan. Ibuku telah berjualan semenjak adikku dilahirkan karena ia prihatin pada ayahku yang saat itu sulit untuk mencari pekerjaan dan hanya bekerja sebagai asisten tetanggaku yang seorang insinyur teknik konstruksi. Saat berita PHK ayahku muncul, aku baru saja lulus beberapa bulan yang lalu dan belum mendapat pekerjaan. Salah satu hal yang aku sadari adalah semenjak ayah kami tak bekerja lagi, adikku hampir tak pernah berbicara kepada kami dan ia jarang pergi bermain dengan teman-teman SMPnya. Sepertinya ia jarang bermain karena ia tak lagi mendapat uang saku dari ayahku dan hanya mendapat sedikit uang saku pemberian nenek kami. Aku tak pernah lagi mendengar prestasi-prestasi yang dicapai oleh adikku di tingkat SMA. Karena saat itu aku sibuk mencari pekerjaan, lagi-lagi aku tak terlalu memperdulikan adikku dan hidup seperti biasa, berharap bisa segera mendapat pekerjaan supaya dapat membantu ibuku menjadi tulang punggung keluarga.
Suatu hari, aku menemukan selembar kertas tergeletak di bawah meja belajar adikku. Saat aku membaliknya, terdapat tulisan angka tiga puluh di kolom nilai. Kertas itu adalah kertas ulangan harian mata pelajaran matematika wajib. Aku terdiam sebentar untuk memproses apa yang baru saja aku baca. Aku sedikit tak percaya, adikku yang selama ini aku anggap jenius mendapat nilai serendah ini, pada mata pelajaran yang sangat ia kuasai saat ia di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Apa yang terjadi padanya? Apa ia mempunyai masalah? Aku pun segera menaruh kertas itu di atas meja belajarnya dan menutupinya dengan sebuah buku supaya tak terlihat oleh orang lain. Aku kembali ke kamarku dan kembali mengerjakan pekerjaan yang harus aku selesaikan hari itu supaya bosku tidak marah.
Beberapa bulan kemudian, pengumuman kelulusan sekolah menengah atas keluar dan adikku pulang dari sekolah dengan raut wajah yang datar. Ia segera pergi ke kamar mandi untuk mandi dan langsung pergi tidur hari itu. Tidak mendengar berita bahwa adikku mendapat peringkat yang bagus di hari kelulusannya menjadi sedikit aneh setelah selama ini ia selalu mendapat peringkat yang bagus pada saat kelulusan. Aku menjadi semakin heran dan penasaran akan apa yang terjadi dengan adikku selama ia SMA. Ia menjadi lebih pendiam, meski ia memang selalu pendiam di rumah, aku pun menjadi terasa lebih jauh darinya. Aku memang tak sebegitu dekat dengan adikku sendiri, namun akhir-akhir itu aku merasa seperti ada dinding transparan yang memisahkanku dengan adikku.
Di tempat kerjaku, aku memiliki seorang rekan yang punya adik seumuran dengan adikku. Ia mengeluh padaku tentang orang tuanya yang terlalu mengistimewakan adiknya. Rekanku berkata bahwa adiknya mengikuti les dengan harga yang sangat mahal, tetapi nilainya tetap biasa-biasa saja. Katanya, pelajaran SMA memang susah apabila tidak dipelajari di luar sekolah, apalagi apabila guru di sekolah tidak menjelaskan pelajaran dengan baik. Aku hanya tertawa dan mengiyakan ceritanya. Setelah kupikir-pikir, adikku tak pernah mengikuti bimbingan belajar apa pun selama SMA. Mungkin ia prihatin dengan keadaan ayah kami yang pengangguran sehingga ia memutuskan untuk belajar sendiri supaya tak perlu mengeluarkan banyak uang hanya untuk les. Selama SMA, adikku sepertinya lebih sering di rumah dan menyendiri di kamarnya. Ia sangat jarang pergi keluar untuk bermain dengan temannya, berbeda dengan saat ia SD dan SMP, ibuku hampir kewalahan karena ia hampir selalu bermain dengan temannya sepulang sekolah. Namun, dengan kebiasaannya yang selalu pergi bermain, nilainya tetap baik-baik saja. Lantas mengapa saat ia jarang bermain dan lebih sering di rumah nilainya malah menurun drastis? Apa ada yang salah dengannya? Apa yang salah dengannya?
Dengan nilai rapot yang sepertinya tak cukup baik, ia tetap mampu diterima di universitasku dahulu dan politeknik di kotaku melalui jalur tes bersama. Keduanya adalah kampus yang bagus. Saat mendengar ia diterima di kedua sekolah itu, aku sedikit merasa lega. Ternyata adikku masih pintar seperti dulu. Ia memilih untuk bersekolah di politeknik karena jurusan yang ia ambil di universitasku adalah jurusan psikologi. Menurutku itu jurusan yang bagus, namun tidak dengan kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku menolak mentah-mentah keputusan adikku untuk masuk ke universitasku. Menurut keduanya, jurusan psikologi tidak mempunyai masa depan yang cerah. Dengan berat hati, adikku pun masuk ke politeknik. Akan tetapi, setelah satu tahun belajar di politeknik, ia mendaftar SBMPTN dan diterima lagi di universitasku, kali ini di jurusan sastra Inggris. Adikku sangat pintar berbahasa Inggris dan sepertinya cocok apabila masuk ke jurusan tersebut. Kedua orang tuaku membolehkannya untuk pindah ke universitas itu karena selama berada di politeknik, keadaan adikku semakin membuatku dan kedua orang tuaku khawatir. Aku sering memergokinya menangis di kamarnya, di kamar mandi, bahkan di ruang tamu saat ia kira tidak ada orang di dekatnya. Ia tak pernah menceritakan apa-apa kepadaku atau kepada orang tuaku. Semakin hari, aku merasa adikku seperti kehilangan semangat hidup. Namun, saat ia hendak mendaftar ulang di universitas barunya, aku melihat secercah semangat di wajahnya lagi. Sudah lama aku tak melihat senyumnya yang cerah merekah di wajah mungilnya. Akan tetapi, saat berita bahwa ia diterima di salah satu sekolah kedinasan muncul di hari itu juga, aku tak pernah lagi melihat senyum cerahnya sampai saat ini.
Karena desakan kedua orang tuaku, akhirnya ia melepas jurusan sastra Inggris dan masuk ke sekolah kedinasan. Ia harus tinggal di luar kota dan menetap di kos agar proses belajarnya mudah di sekolah kedinasan itu. Aku yang memang tak pernah mendengar kabar soal adikku dari dirinya sendiri semakin buta akan keadaan adikku. Ia hanya pulang ke rumah saat libur semester dan saat pulang pun aku merasa dinding yang dulunya masih transparan kini menjadi beton tebal yang benar-benar membuatku merasa terpisah jauh dari adikku. Sampai saat ini aku tak tahu apa yang salah dengannya. Pertanyaan mengenai apakah ada suatu hal yang terjadi pada adikku hingga ia menjadi seperti itu semenjak SMA tak pernah aku pusingkan lagi karena aku sibuk dengan duniaku sendiri.
Hingga pada suatu hari saat ia berada di rumah, aku melihatnya memegang pisau dan menatap kosong ke pergelangan tangan kirinya di dapur. Aku terdiam dan bersembunyi di balik pintu. Aku hendak berbicara padanya saat ayahku datang dari ruang sebelah dan saat itu juga ia menyembunyikan pisau itu di antara tumpukan sayur bayam. Saat ayahku bertanya sesuatu padanya, ia hanya menggumam. Saat itu juga aku menyadari bahwa setiap adikku berada di ruang yang sama dengan ayahku, ia menjadi gagap saat berbicara. Bukan gagap sangat parah, namun seperti ada sesuatu yang menganggunya sehingga ia selalu menjawab pertanyaan yang dilontarkan ayahku dengan sangat hati-hati dan penuh keraguan, selalu terhenti di tengah kalimat yang ia ucapkan, seolah apa pun yang ia katakan tidak seharusnya ia suarakan di depan ayahnya sendiri. Pun setiap ayah tertawa atau sedang bercanda gurau dengan ibu dan diriku, adikku selalu menatap ayah dengan tatapan kosong. Seolah ia sedang bergulat dengan pikirannya sendiri dan kalah. Mengapa ia seperti itu?
Pertanyaan-pertanyaanku akhirnya terjawab, tapi aku tak tahu apakah pertanyaanku terjawab dengan cara yang benar. Adikku adalah bintang berkilau menakjubkan di malam hari. Keberadaannya dapat menjadi sangat berguna bagi banyak orang, seperti mimpinya yang tak sengaja aku dengar di satu kesempatan. Ia bermimpi untuk menjadi seseorang yang dapat membantu banyak orang. Ia pernah bermimpi menjadi seorang dokter yang menyelamatkan banyak orang, terutama orang-orang yang kurang beruntung secara finansial. Ia juga pernah bermimpi untuk menjadi seorang guru yang membantu banyak anak untuk mendapat pendidikan dengan baik. Namun, lama-kelamaan mimpinya menjadi semakin sederhana. Ia hanya ingin mendapatkan uang sehingga ibunya tak perlu lagi membanting tulang untuk keluarga kami. Sepertinya ia juga pernah mempertimbangkan untuk menjual dirinya saja hanya agar ibunya dapat berhenti bekerja apabila yang ibunya butuhkan hanyalah uang. Adikku adalah bintang malam yang perlahan menghilang seiring datangnya fajar. Fajar itu adalah ayahku. Semakin fajar menyingsing, gemerlap dan cahaya dirinya semakin redup, dan pada akhirnya ia akan tertutupi oleh birunya langit pagi yang benderang. Tak ada kemungkinan untuk keduanya berada di satu waktu yang sama.
Pada hari itu, sepertinya adikku telah memutuskan pilihan, antara meledak dalam supernova dahsyat dan berhenti menjadi bintang atau membunuh fajar. Pilihannya membuat ibuku gila dan memenjarakanku di palung penyesalan setelah terlambat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lama menghantuiku. Apabila aku lebih memperhatikannya, apabila aku lebih dekat dengannya, apabila aku lebih berusaha untuk memahami perasaannya, apabila aku adalah kakak yang baik baginya, apa yang akan terjadi kepada bintang malam saat fajar tiba?
Kultus Gemini bangkit kembali, menghidupkan mayat mereka sendiri di atas lanskap digital. Menggali ceruk di setiap permukaan yang bisa ditinggalinya. Pesawat televisi di ruangan lain terus memberitahumu bahwa ada perbedaan antara dirimu dan proyeksi keberadaannya yang absolut, daging yang sama sekali berbeda dengan yang menempel di tulangmu saat ini. Warna-warni berputar, mengidentifikasi apakah kau adalah dirimu sendiri atau bukan. Bayang-bayangmu tenggelam ke dalam kerak bumi tanpa pamit, meneteskan produk sampingan dari setiap penyesalan dan amarah yang kau rasakan. Saat lapisan plastik pada tubuh meleleh, yang tersisa hanyalah kerangka dan tulang rawan. Meski cacat, dirimu pasti akan bersimpati pada keberadaan mereka, pada ketidakmampuannya untuk kembali pada keadaan semula, pada cangkang-cangkang kosong yang memainkan melodi, menari di bawah lapisan jaringan dan cairan.