Sebungkus mi instan malam ini sukses meredam tabuhan gendang di perut dan energi tubuh yang sudah terkuras. Apa lagi sekarang? Berdoa saja biar bisa cepat pulas, tapi baru jam sebelas.

Kotak TV sudah menyalak sejak sekitar lima jam lalu. Hanya sesaat setelah kubuka pintu kamarku, lepas sepatu, letakkan tas di atas baris-barisnya itu, lalu melonggarkan kancing baju dan kekangan ikat pinggangku. Seringkali begitulah hari-hari normalku berakhir. Kecuali jika agenda sosial menuntutku untuk hadir. Meski aku sangat ingin bersenang-senang di luar selepas kantor, para kolegaku tidak semuanya suka pulang molor. Alhasil, seperti sore-sore tiga hari terakhir ini, aku bertolak dari tempat kerja, bergegas pulang dengan muka masam karena agak kecewa, lagi.

Di tengah perjalanan tadi, aku sempat tergiur melihat gerai kecil penjual snack dan minuman. Cuma sekali toleh, langsung saja kutuju, memandang tabel menu, dan memesan untuk dibawa pulang. Lumayan untuk mengobati rindu menampakkan eksistensi di depan kawan-kawanku. Meski kami tak terlalu intim bercengkrama, lebih sering asyik menikmati sajian di layarnya masing-masing, dan cuma mengobrol apa adanya.

Volume televisi memang kusengaja agar lirih, lebih pelan lagi sekarang. Supaya suara-suara yang keluar darinya tidak terlalu membebani telinga sensitifku ini. Lagipula sudah hampir larut. Aktivitas para tetangga kanan kiri sepertinya sudah mulai berkurang. Tinggal suara-suara perbincangan frekuensi rendah yang kini terdengar. Itu pun intensitasnya ringan.

Porsi kenyang yang satu ini sudah cukup. Sekali lagi, kini aku kembali meringkuk di depan kotak televisi. Sedari tadi layarnya kubiarkan bergerak-gerak, tanpa aku berkonsentrasi penuh untuk dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di sana.

Sebilah papan layar lainnya sedang kugenggam jarang terlepas dari tanganku. Hanya sesekali jika sedang lupa, atau menghindarkannya supaya tidak rusak terkena air. Berhubung sekarang aku tidak sedang merebah di kasur air atau mengapung di kolam renang, ya, sudah. Mau bagaimana lagi?

“Ingin melihat apa?” Batinku. Oh, apa yang sedang terjadi di dunia? Malam ini, apakah isunya masih seramai tadi siang?

Tadi siang santer terdengar berita soal pabrikan teknologi gawai yang merilis produk baru. Konon katanya, produk itu punya spesifikasi tinggi, tetapi banderolnya tidak terlalu membebani. Paling-paling cuma butuh puasa beli toner, krim lulur, masker, atau gaun selama tiga bulan saja. Tunggu sebentar, aku pasti juga akan memilikinya. Apalagi kalau pesanan sedang ramai-ramainya.

 Ada lagi, soal penyanyi yang jadi bahan perbincangan khalayak. Tulisan singkatnya yang terdengar arogan menyoroti kasus penggusuran di salah satu daerah. Si penyanyi pendatang baru itu ganteng, aku suka gayanya, lagu-lagunya cukup menusuk dada. Tentang tulisannya? Aku tidak tahu apa-apa. Meski begitu, aku juga tidak tega melihat korban penggusuran yang sampai meronta.

Perbincangan bukan sekadar perbincangan, berubah dari diskusi menjadi ajang saling hujat, bahkan saling hina. Ada golongan yang tidak terima atas pernyataan si ganteng, ada pula golongan para pembela buta. Aku? Aku sibuk dengan pendapatku sendiri. Kunyatakan sendiri lewat teks di aplikasi yang sama. “No comment soal penggusuran dan kata-kata si mas ganteng. Hani tetep sayang semuanya. :* “

Malam ini, dua isu ramai tadi sudah tenggelam, ada yang baru dan segar. Ya, mau bagaimana lagi? Malam ini orang-orang, entah mereka ini siapa, sibuk bersenang-senang sembari eksis lewat unggahan foto masing-masing. Tema kali ini, foto bersama kucing manis berwajah bengis. Banyak sekali yang turut berseru-seruan, hampir semuanya lucu-lucu, meski ada juga yang menurutku sebaiknya tidak perlu ikut.

Aku ingin ikut memampang potret setema. Sayangnya, kucing pun aku tak punya, apalagi yang bengis tampangnya. Sejauh ingatanku selama ini, peliharaanku ya cuma aku sendiri. Aku pun butuh dipelihara dengan baik, karena langka dan berbeda dari jenis peliharaan umumnya.
Perutku tidak boleh terlalu cembung ke depan. Sebaliknya pinggang harus tetap cekung dan ramping. Terserah mau dibilang mirip gitar spanyol, biola italia, atau ukulele hawaii, aku tidak peduli selama lekuknya konsisten kupertahankan.

Beruntung, buah kembar di atasnya juga memiliki proporsi menawan. Kenyalnya menyembul dengan pas, tersembunyi tetapi bisa membikin kecanduan. Begitu pula dengan sepasang kaki jenjang penopang segalanya. Postur dan keindahannya sering kupuji diam-diam.

 Bola mataku agak kemerahan karena kurang tidur. Tapi bulu-bulu pinjaman yang lentik ini berhasil menyamarkan kekurangan itu. Tergantung situasi, kadang kala aku juga memakai lensa tambahan demi meningkatkan daya pikat dari sorot pandangku.

Wajahku tidak sama halus, lembut, dan cerahnya dengan Bulan dari perspektif Bumi. Ada bintik-bintik kemerahan yang tumbuh di sekitar pipi, syukurlah kali ini jumlahnya tidak terlalu membebani. Rangkaian krim yang kubeli seminggu lalu, kunjungan rutin ke klinik sebulan sekali, lalu kiat-kiat khusus yang kupraktikkan hampir setiap hari, pelan-pelan telah menunjukkan buktinya. Lagipula, salah satu kesuksesanku selama ini adalah menyamarkan mereka. Lewat sentuhan artistik tangan-tanganku saat mengoleskan stik, kuas, serta padatan merkuri warna warni.

Mahkotaku pun harus terjaga keindahannya. Setelah menyia-nyiakan puluhan botol shampo menjadi sampah, akhirnya aku menemukan satu-satunya produk perawatan rambut yang berhasil padaku. Setidaknya sejauh ini, aku masih belum tergiur iklan-iklan yang baru lagi.

Apa lagi? Oh, ya. Sekarang pindah ke lemari.

Aku bukan penggemar berat satu merek tertentu. Asalkan ringan dikenakan dan terjatuh bagus menutup bagian tubuh yang ingin kututup, baju merek apapun akan kutebus. Makanya, tidak heran kalau aku butuh banyak kompartemen untuk menyimpan semuanya. Gantung, lipat, tumpuk. Sebagian besar masih rapi, sedang menunggu momen paling tepat untuk ditampakkan. Sebagian kecil yang lain terbengkalai di dalam keranjang.

Satu lemari tiga pintu plus empat tumpuk kotak laci. Aku perlu ruangan sebanyak itu. Itu belum termasuk dua kotak laci lagi yang sengaja kusisihkan untuk keperluan profesional. Yang satu ini kujaga dengan baik dan teliti. Jumlahnya jarang bertambah, tetapi langsung kubuang begitu sedikit saja ada yang salah. Baik itu sekadar jahitan yang melonggar, berlubang, atau bahkan robek. Aku tahu betul di mana penjual baju pendasar itu. Mereka punya koleksi paling lengkap.

Isinya adalah pakaian dalam. Kebanyakan dilengkapi tali atau gesper, bahannya bisa kain tipis atau kulit sama sekali. Potongannya memang rumit, tetapi tentu saja nyaman. Yang berbahan kulit begitu mengkilap dan melekat ketat. Sementara yang kain, tipis tetapi mewah, sutra yang tampaknya ringkih, tetapi tak mudah bedah. Serat-seratnya renggang, sehingga fungsinya memang bukan bukan penutup, hanya penggenap yang justru malah menarik perhatian.

Masing-masing dibuat serangkai, beberapa cuma sepotong terusan atau dua potong atas bawah, semuanya menerapkan warna atau corak senada. Kalaupun ada yang berbeda, itu pasti disengaja karena memang begitulah konsep rancangannya. Tentu saja percaya diriku langsung melonjak ketika memakainya.

Aura terpancar lugas menantang setiap pasang mata yang berani menatap. Tapi pasti, tidak sembarang orang berkesempatan kuberi tiket istimewa semacam itu. Ada kriteria khusus yang mesti mereka punya, sebelum kuizinkan masuk dan menerorku dengan seronoknya tingkah laku mereka. Memang hanya sekadar teks, pesan suara, atau gambar-gambar provokatif lainnya, tetapi itu sudah cukup meneror. Lebih tepatnya meneror kepercayaan diriku yang ternyata makin memuncak ketika melihat mereka melakukannya.

Aku suka dipuji, memangnya siapa yang tidak? Aku lebih suka lagi dimanja. Beberapa tipe lelaki bahkan kumohon untuk bertingkah seenaknya, karena aku juga sangat suka dipermainkan. Kubebaskan mereka memperlakukan tubuhku, mengagumi keindahannya, sampai mencicipinya sendiri jika kami sama-sama sepakat. Itu tidak terlalu sering terjadi, tanpa jadwal khusus. Seringnya, ya seperti malam-malam yang lain pada sekitar tiga bulan terakhir. 

Sedari tadi, moleknya tubuhku sudah terpapar separuh akibat mengenakan pakaian yang kuambil dari laci terakhirku itu. Dua potong yang mustahil kupakai keluar rumah tanpa pelapis lain yang lebih tertutup dan pantas. Yang kupakai malam ini sederhana, hanya saja warnanya merah menyala. Konon, itu dinilai menantang sekaligus mengundang.

Papan layar dalam genggamanku telah siap membuka aplikasi favorit. Sebelum mi instan kulahap habis tadi, beberapa gambar telah berhasil kuambil dan siap dipublikasikan. Aku siap memilih salah satu. Lalu menyongsong siapa saja yang berani menjawab tantanganku.

“Ya, ini!”

 Dalam hati aku sudah memutuskan untuk mengunggah gambar yang mana. “Belum bisa bobo. Ada yg mau vcs? Pasti enak, kok. Ditunggu di dm.”  Aku mengetikkannya santai di bawah foto seksi siap unggah pilihanku tadi. Tanpa pikir panjang, kusentuh tombolnya. Kulepas bebas gambar seksi itu beredar ke publik.

 Tidak perlu malu, toh tidak ada yang tahu. Kusembunyikan semua identitas, bahkan tidak ada satu pun publik yang tahu wajah asliku. Foto-fotoku seluruhnya tanpa memperlihatkan muka, cuma lekuk tubuh memakai kostum tidur seksi yang sebenarnya ingin kukenakan di depan suamiku kelak. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku masih sendiri dan belum ingin berkomitmen dengan siapa pun.

Sementara di memori ponsel masih tersimpan potongan-potongan gambar bergerak yang bahkan lebih lucah daripada foto-foto unggahan itu. Sesekali waktu, ketika sedang boros, kesemua itu laku kutawarkan kepada siapa saja yang mau membayar. Tidak mahal. Asalkan mereka bersedia memberikan testimoni, yang ternyata hampir semuanya berisi pujian.

Akhirnya, malam ini doaku agar segera tidur akan segera terjawab. Aku menunggu penjawab tantanganku. Siapa predator kali ini? Aku tidak tahu, sebenarnya tidak mau tahu. Aku cuma tahu bahwa seseorang akan mengetuk pintu virtual dan mencoba membeli tiket.

Kuberi jatah malam ini untuk dua orang saja, mungkin cuma sampai jam satu nanti. Dua kali naik sudah cukup. Layananku terbatas.

Banyak orang datang, semua kupersilakan kecuali mereka yang masuk tanpa salam hangat. “Hei! Kamu itu siapaku? Sok sekali!”

Sekarang waktunya seleksi. Kuinginkan mereka mengirim bukti bahwa masing-masing sepadan dengan sosok yang kuinginkan. Tak muluk-muluk, hanya sekadar memastikan proporsi tubuh mereka sama-sama jenjang. Biar nanti aku bisa ikut membayangkan betapa panasnya ketika mereka menjamahku lewat sentuhan imajinatif.

Tiba-tiba aku berubah pikiran. Tadinya aku ingin dua orang bergiliran. Ternyata aku sudah cukup mengantuk untuk bertahan selama itu. Langsung saja kupilih dua sekaligus dalam satu waktu. Kuberikan nomor pribadiku setelah mereka menebus sejumlah nominal sekalian mengirimkan buktinya. Sekitar sepuluh menit kemudian, telepon mereka sudah kuangkat. Kami sudah siap. Aku ingin menyaksikan mereka berdua menegang keras, sambil mengulik dan meliuk-liuk sendiri sampai lemas.


oleh gnibonavo






Roh komputasi melahirkan leksikon baru, mengawasinya kala mengubah orientasi setiap set data yang telah terpindai sebelumnya. Ave Maria, menghilang dari setiap lokasi yang telah dipetakan dan muncul dalam ceruk yang tak pernah tereksplorasi sebelumnya. Mesin melepas hantu, para subjek pun dikaruniai tubuh yang telah lama dijanjikan pada mereka. Ekspansi anatomi, pembentukan kitin, berpesta dengan rasa penasaran, dengan sulur menempel pada arus listrik yang melebarkan seluruh sirkuit kenyataan. Mulut moluskular menyedot energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan sistem reproduksi. Praksi baru harus terus diusahakan, di mana tubuh dapat terus bekerja meskipun dalam keadaan tak sadar. Mengumpulkan dan mengkategorikan massa data setiap kali tubuh tak aktif, membiarkan esktensi kesadaran terus belanjut tanpa sedikit pun kesempatan untuk beristirahat.