"Aku menunggumu, Sanmaku..."

Pagi menyambut, bising tetangga yang saling berbincang tak lagi terdengar. Sanma mencoba terbangun dari duduknya demi segelas air. Sekitar matanya mulai menghitam, tetapi Sanma tetap tak dapat memejamkan matanya barang sesaat pun. Tatapannya kosong, pikirannya hanyut dalam diam.

***

“Kemarilah, temani aku sejenak.” Ucap Sang Kekasih sambil membuka pintu rumahnya.

“Aku tak ingin menemanimu malam ini, aku tak ingin kejadian yang lalu terulang kembali.”

“Tak mengapa, aku menginginkannya malam ini. Maukah kau menemani aku, Sanma?”

Dengan berat langkah, Sanma pun masuk ke dalam rumah tersebut.

“Apakah ada asbak di rumahmu? Aku ingin merokok.” Tanya Sanma yang bingung karena baru dua kali ini ia mengunjungi rumah Sang Kekasih setelah sekian lama bersamanya.

“Ada di kamarku. Masuk saja. Atau kalau kamu mau, merokoklah di kamarku saja” Ujar Sang Kekasih sambil berlalu ke kamar mandi. Sanma beranjak menuju kamar Sang Kekasih. Semerbak harum menusuk hidung saat pintu kamar Sang Kekasih dibuka. “Lebih baik kubuka jendela kamarnya, daripada membuat kamar yang harum ini menjadi bau asap.”

Sanma membakar rokoknya dan berkeliling melihat lihat kamar Sang Kekasih. Seperti kebanyakan kamar wanita, dipenuhi dengan printilan-printilan yang estetik. Matanya menangkap tumpukan mixtape musik pop 90an dan mengambil secara acak kaset tersebut lalu coba ia dengarkan.

“Tak begitu buruk, atau setidaknya tidak terasa sunyi lagi di sini” Ujar Sanma membatin.

Sanma duduk sambil memejamkan mata, mencoba menikmati alunan musik, berteman rokok yang perlahan memendek, Sanma mulai terhanyut. Sejenak ia mampu menikmati kehidupannya. Dalam diam ia bersyukur.
“Aku sungguh menginginkanmu malam ini, Sanma” Ujar Sang Kekasih berbisik di telinga Sanma sambil memeluknya dari belakang.

Sanma mematung, detak jantungnya berdebar hebat. Harum tubuh Sang Kekasih begitu memikat. Layaknya sapi yang dicucuk hidungnya, Sanma hanya bisa menuruti ketika Sang Kekasih menarik tangannya beranjak menuju kasur.

Mereka menanggalkan semua yang melekat pada tubuh masing-masing, kedua insan tesebut memadu kasih dengan khidmat, bertukar segala macam  cairan yang ada dalam tubuh mereka. Suara kecupan, alunan musik, derit kasur, lenguhan dan samar suara binatang malam, semua bersahutan mengiringi kedua insan tersebut menuju puncak tertinggi. Sanma dan Sang Kekasih telah sampai pada puncak, mereka berdua merasakan hal yang sangat dalam menyentuh hati satu sama lain.

“Apakah kamu percaya kehidupan setelah kehidupan?” Tanya Sang Kekasih seraya mengatur nafas dalam dekapan Sanma

“Mengapa kau bertanya seperti itu?”

 “Tidak, aku hanya ingin bertanya saja...”

“Aku menyayangimu dengan sungguh-sungguh.” Lanjut Sang Kekasih tanpa berharap jawaban apa pun.

***

Sanma tersadar, kerongkongannya terasa kering kembali. Ia pun menuangkan lagi air ke dalam gelas yang masih terisi separuhnya. Sekilas perutnya mengisyaratkan bahwa lambungnya harus diisi makanan, tak cukup hanya dengan air segelas.

“Mungkin aku harus menyiapkan beberapa bungkus roti lagi dan beberapa botol alkohol. Aku juga harus mandi, sedikit merapihkan tampilan lusuh ini.”

Ia berjalan menuju toko minuman yang merangkap toko jamu. Sebatang rokok dan tangis bocah-bocah menemaninya melewati gang-gang sempit khas pemukiman padat penduduk. Uangnya yang tak seberapa, ia habiskan untuk membeli seluruh kebutuhannya hari ini, tak peduli lagi esok makan apa.

Dengan banyak plastik di tangan, ia berjalan kembali ke rumah. Terdengar suara botol beradu sepanjang jalan, tak berusaha menyamarkan suaranya, memang risih juga, tapi tak mengapa bagi Sanma, ia tidak sama sekali memperdulikannya.

Sesampainya di rumah, ia melihat sekeliling, ia merasa harus merapikan rumah yang tanpa sadar telah ia buat berantakan. Sanma mengeluarkan semua barang belanjaannya, plastik belanjaannya itu ia gunakan untuk mengumpulkan sampah yang berserakan. Sanma mengambil sapu dan membersihkan setiap sudut rumah, tak lupa ia pun membenahi posisi kursi yang acak-acakan, entah siapa yang melakukannya.

“Rumah ini harus bersih lagi, setidaknya orang lain tak harus kerepotan membersihkannya.” Pikirnya sambil menyapu lantai.

Sesaat ia teringat, bahwa ia tak harus merapikan kamarnya kembali. Malam ini ia akan menggunakannya kembali, sia-sia saja rasanya jika harus membersihkannya lagi.

Semua telah seperti sedia kala, rapi, harum, dan begitu pun tampilan Sanma yang sedikit segar setelah mandi dan mencukur sedikit rambutnya. Sanma beranjak menuju kamar, perutnya berbunyi makin lantang. Sanma pun mengambil rotinya, bungkus demi bungkus, ia melahap kudapan yang terasa sedikit hambar itu.

Sore berganti malam, Sanma tetap tak beranjak dari kamar. Ia larut dalam alunan musik, sedikit lamunan sesaat, dan berbagai pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. “Baiknya kubuka saja botol ini, entah butuh beberapa jam untuk menghabiskan semuanya. Entah sanggup atau tidak, siapa yang tahu.” Ujar sanma sembari mengambil botol pertama, tak lupa ia pukul terlebih dahulu dasar botol dengan sikunya.

Malam yang panjang dilalui sebagian orang dengan tidur nyenyak, ada yang masih bekerja, pun ada pula yang hanya hura-hura. Sementara itu, Sanma masih asik dengan aktivitasnya menenggak air yang dipikirnya akan membuatnya sedikit tenang. Dalam khusyuk, terdengar suara yang khas, namun tak membuat Sanma beranjak sedikit pun, matanya tetap memandang ke depan.

“Kau terlihat sangat tampan malam ini, Sanmaku” Sang Kekasih duduk di sebelah Sanma.

"Sudah berbotol-botol dan lehermu yang jenjang itu masih saja terbayang dalam ingatan tatkala kutinggalkan bekas merah dari hitamnya bibirku." ucap Sanma seraya mengikat rambutnya.

“Aku pun masih mengingatnya dengan sangat jelas.”

“Ya, Kekasihku, aku yakin kau masih mengingatnya dengan sangat-sangat jelas.” Ujar Sanma dan mengalihkan pandangannya menatap mata Sang Kekasih.

“Aku menyayangimu, Sanmaku.”

Lalu keduanya menatap ke luar jendela, memandang jauh dalam gelap, menghirup angin malam yang dinginnya sama sekali tak membuat keduanya berkutik sedikit pun.

Perbincangan Sanma dengan kekasihnya berlangsung dengan hangat, meski lama tetap tak ada gestur diantara keduanya, saling diam di tempat, tersenyum, tawa kecil di sudut bibir, mereka melalui malam.

"Apakah kamu tahu apa yang kurasa saat kau memelukku dari belakang? Saat kau menarikku ke kasurmu, apa yang kau ketahui tentang apa yang kurasakan saat itu?” Tanya Sanma ditengah perbincangan mereka.

"Tidak, memangnya kenapa?"

 "Tidak, aku hanya bertanya." jawab Sanma sambil kembali menatap ke luar jendela. Keduanya saling terdiam.

 "Mungkinkah kamu..." Sang kekasih melanjutkan. Sanma memandang ke depan, ke tempat yang membuat pertanyaan kekasihnya itu terhenti, mencoba menahan tetesan air matanya.

 "Hei, kenapa hari ini kau terlihat tak seperti biasanya?"

 “Aku memang selalu begini.” Ujar Sanma. "Tidak, aku hanya cukup lelah. Tidak, tidak, tubuhku sama sekali tidak lelah."

"Aku tidak mengerti, memangnya apa yang mengganggumu seharian ini, Sanma ku?"

Sanma tak menjawab. Pikirannya terbang jauh menembus tembok memori yang beberapa waktu ini berusaha ia runtuhkan.

"Menurutmu, apa aku ini sudah gila, Kekasihku?" Tanyanya ketika masih terbuai lamunan akan memori bersama sang kekasih.

"Tidak, Sanma ku. Kau tidak gila sedikit pun." Jawabnya sambil mengusap kepala Sanma.

 Pikiran Sanma kian jauh tenggelam, menjelajahi setiap momentum, mencoba mencari kehangatan pada setiap cerita dalam benaknya. Hingga pada satu momen, ia tersadar, ia butuh sang kekasih.

***

Di hadapan kekasihnya, Sanma membaca sepucuk surat yang ia yakini merupakan pesan dari sang kekasih.

“Sanma, maafkan aku yang belum mengerti sepenuhnya tentang dirimu. Maafkan aku yang tak begitu memahami jalan pikiranmu. Sanma, Aku menyayangimu dengan sungguh-sungguh, dengan rasa yang maha luhur. Maafkan aku bila pada akhirnya kita seperti ini. Akan tetapi, aku sangat bahagia, beberapa waktu lalu, aku merasakan cintamu yang begitu menyentuh. Aku bahagia, Sanma.”

Sanma terjatuh, berusaha menahan semuanya, dunianya runtuh seketika.

***

 "Kekasihku, saat ini aku merasa, bahwa aku benar-benar membutuhkanmu, dengan sebenar-benarnya pula aku ingin selalu denganmu"

"Aku disini untukmu, Sanmaku." Ujar sang kekasih tersenyum.

 “Kau saat ini hanyalah ilusi. Bayang-bayang dari keresahan dan ketakutanku.”

“Mengapa kau berbicara seperti itu, Sanma?”

 "Tidak. Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku terlalu lelah untuk mabuk agar tetap bisa berbincang denganmu, merasakan kehangatan yang tak bisa kurasakan setiap saat."

Sang Kekasih hanya tertunduk tak berucap sepatah kata pun.

"Itu..." Ucap Sanma sambil menunjuk tempat yang selalu membuatnya bersedih.

"Itu adalah tempat dimana kau memilih untuk pergi, tempat dimana kau menggantungkan semua mimpi, tempat kau menggantung semuanya, hingga kau pun menggantung dirimu disana, kekasihku." ujar Sanma dengan tatapan nanar.

"Sanmaku..." ujar sang kekasih tertunduk.

 "Kau tahu tidak, kenapa semua itu masih kubiarkan pada tempatnya? Kursi yang kau pijak, tali temali yang tergantung, semua masih kuletakkan sama seperti beberapa saat sebelum kau menggunakannya." Tangis Sanma pun pecah. 

Dalam isak, Sanma melanjutkan. "Semua ini, semata agar aku dapat memahami dengan seksama kepergianmu saat itu, dengan surat itu.. Aku tak mengerti, hingga saat ini. Semua seperti rentetan peristiwa yang berlangsung begitu cepat." Ujar Sanma tertunduk.

“Tak ada yang perlu kau mengerti, Sanma. Aku hanya ingin bahagia dan aku mendapatkannya sebelum aku pergi. Maaf bila aku terlalu terburu-buru, semua semata karena aku telah mendapatkan kebahagian yang kuinginkan, lalu apa lagi yang harus ku lakukan? Maka aku putuskan untuk pergi. Maaf.” Ucap sang kekasih masih tertunduk.

Isaknya mulai reda, Sanma mengangkat kepalanya dan menghapus air matanya. Sanma mencoba mengingat lagi semuanya, seluruh kebahagiaan, seluruh kesedihan, dan segala sesuatu yang mengganggu, Sanma secara jelas tak bisa melakukan apa apa.

"Aku sudah terlalu lelah untuk semua ini, kekasihku." Sanma pun berdiri menuju tempat yang menjadi sumber kesedihannya.

"Semoga kita dapat bertemu setelah ini. Aku pun tak perlu lagi mabuk untuk dapat merasakan kehangatanmu, kekasihku. Biarlah semua kugantung di sini, sama seperti yang kau lakukan. Aku sungguh mencintaimu, Kekasihku" Ujar Sanma seraya meraih tali yang tergantung
“Apa kau yakin?”

“Jangan buat aku memikirkannya dua kali, aku tak sanggup berpikir lagi. Tunggulah aku.”

"Aku menunggumu, Sanmaku."


oleh Okewapi






Mereka para pembawa kepala, martir pasca eksekusi yang memikul artefak kematian mereka sendiri. Mengangkangi wajah peti mati kosmik yang mengorbit dalam ruang hampa. Menanyikan derau putih dipandu radiasi psionik. Mengabarkan padamu, bahwa semesta menunggumu di luar sana, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain menantikan kedatanganmu. Apa lagi yang kau inginkan? Menggelandang bersama sebuah asteroid atau mendarat di permukaan bopeng bulan? Atau ditelan nebula raksasa? Ada tiga tingkatan, masing-masing berpoles nuansa pucat, mungkin marmer, beton putih, atau kuarsa, segala jenis batuan yang dapat terbenam mencapai inti bumi.