Berasian 1

Entah tepat pukul berapa sosok Ainu Zami mulai masuk ke dalam mimpiku. Seingatku, sorenya aku teringat kembali pada puing-puing ingatan ketika kami masih bersama, di sisi lain aku meracau tentang usahaku untuk melupakannya sembari menelan beberapa butir pil yang tersisa, mataku mulai terpejam, lalu terlelap. Ia hadir layaknya penghakiman atas dosa serta penyesalan akan masa laluku, menyampaikan sebuah petuah agar aku senantiasa ceria dan menikmati hidup dengan penuh kebahagiaan.

Namun, dalam mimpi itu aku hanya duduk termangu di sampingnya, tak ada sepatah kata pun yang bisa aku lontarkan. Bahkan untuk menolehnya kembali aku pun tak sanggup, mengingat sosoknya yang begitu elok nan anggun. Aku tak pernah melihat wujud malaikat, akan tetapi, saat itu ia seolah menjelma citranya dan masih tetap sama seperti ketika pertama kali kami bertemu

Sesaat aku menghela nafas, tak lama Ainu pun beranjak pergi dari sampingku. Tak ada kata pamit di sepanjang langkahnya dan aku pun tak bisa berbuat apa-apa, hanya menganga, duduk terdiam. Mimpi itu rampung berubah menjadi keringat yang membasahi dahi saat aku kembali tersadar dan masih terbaring lemas diatas ranjang.

Aku tak mengerti apa maksud dari setiap perkataanya. Tak ada perubahan, dari dulu ia hanya memberiku harapan demi harapan lain yang berakhir sia-sia. Bahkan sampai saat ini aku masih mencari harapan-harapan itu, di dalam kotak pandora yang ia tanamkan dalam diriku.

 

Berasian 2

Bahkan saat aku tak memikirkannya sebelum beranjak tidur pun, ia masih saja menghantuiku, Ainu Zami kembali hadir dalam mimpiku untuk kesekian kalinya. Mimpi kali ini terasa membuatku dilema saat aku tersadar bahwa itu semua hanyalah sebatas mimpi. Dalam mimpi itu Ainu berjalan riang sambil menggenggam tanganku, menuntunku dari depan menuju taman yang dipenuhi kupu-kupu berwarna putih terang serta beberapa ekor burung gereja yang bersiul menyambut kedatangan kita.

Ketika ia menuntunku, aku melihat sebuah gelang melingkari pergelangan tangannya, gelang yang pernah aku berikan kepadanya sebagai hadiah saat pertama kali kami bertemu. Aku sangat bahagia melihat Ainu Zami masih memakainya, aku pun masih memakai gelang serupa hingga sekarang.

Sesampai di taman, kami duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati bermotif floral, Ainu pun mulai bercerita tentang betapa bahagianya ia bisa bertemu kembali setelah sekian lamanya, aku mengangguk patuh saat ia menanyakan hal yang sama kepadaku. Mendengar jawaban tersebut, aku mulai merasakan dingin genggaman tangannya yang semakin erat. Sambil mengayunkan tangan kami, ia menatapku dan berkata bahwa ia akan selalu bersamaku di taman ini, taman yang akan selalu terlihat indah dan menjadi tempat yang paling damai untuk kita berdua untuk selamanya.

Ia lalu memintaku untuk berdoa dan berterima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami di dunia ini, lalu kami pun mulai memejamkan mata secara bersamaan. Aku berdoa kepada Tuhan semoga ini hanyalah sebuah mimpi. Benar saja, aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang dari genggaman tanganku, telapak tangan yang begitu dingin itu mulai tak terasa kembali dalam pejam mataku. Samar kudengar suara Ainu dari kejauhan mengucapkan selamat tinggal, aku seketika terkejut lalu membuka mata dan melihat Ainu sudah berlari cukup jauh, menghilang dari pandanganku. Kulihat seisi taman mulai mengering, kupu-kupu serta burung gereja menjadi bangkai yang mulai membusuk. Aku ingin beranjak dari kursi taman ini untuk mengejar Ainu, akan tetapi aku terbangun dari mimpiku, Ibuku sudah berada disampingku dan mengingatkanku untuk segera meminum obat yang telah diberikan dokter. Sambil melantur dan mengingat-ngingat kembali mimpi tadi, aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku sudah benar-benar gila dibuatnya.

 

Berasian 3

Aku menangisi mayatku sendiri di dalam mimpi ini. Konon ketika seseorang meninggal dunia, ia akan terkena azab ketika seseorang yang menghadiri—menyaksikan proses penguburan jenazah sambil menjerit dan meratapi mayat yang dimakamkan, entahlah aku tak begitu meyakininya.

Sedih adalah merupakan fitrah dari perasaan manusia, setiap manusia yang terlahir dan hidup di dunia adalah sekumpulan masalah yang tak luput dari kesedihan.

Sudah satu pekan lebih aku tak bermimpi, tentang hal apa pun, termasuk Ainu. Dalam mimpi ini aku tak begitu yakin bahwasanya ia turut hadir di sana. Hanya saja, aku ingat kalau namanya sempat aku panggil ketika aku menangisi mayatku.

Aku tak menemukan Ainu di sekitar pemakamanku, aku begitu gelisah dan tak berhenti menangisi mayatku yang sudah terkubur itu. Aku memohon kepada Tuhan agar aku bisa menemui Ainu untuk terakhir kalinya, agar air mata ini berhenti mengalir meratapi mayatku.

Aku sangat cemas ketika jeritanku seolah tak didengarkan oleh Tuhan, aku bertanya kepada sekeliling makam dan tak ada satupun juga yang menyadari kehadiranku. Aku hanya melihat Ibu bersedih dalam pelukan Ayah, pun kerabat dan tetanggaku.

Aku terus berpikir untuk mencari Ainu dalam kerumunan, barangkali ia sengaja bersembunyi dalam barisan tamu yang hadir, atau mungkin ia berdiri sendiri di balik pohon beringin—bersandar dan diam-diam menangisi mayatku yang sudah terkubur. Bergegas aku pun berlari menuju pohon beringin namun tak kutemukan Ainu Zami di sana.
Aku sangat amat marah, mengapa di saat masalah ini terjadi ia tidak hadir, walaupun beberapa detik saja sosoknya tak kunjung ada. Aku duduk bersandar di pohon beringin sambil memeluk kedua lututku sembari sesekali menoleh ke arah makamku dan tak berhenti menangisinya.

Kerumunan orang-orang yang hadir di pemakaman mulai beranjak pergi satu persatu setelah selesai memanjatkan doa. Pemakaman mulai hening, hanya hembusan angin yang meniup dedaunan serta menyapu beberapa kembang yang mulai berserakan di atas kuburanku.

Samar kulihat sesosok wanita yang datang terlambat menghadiri pemakamanku Tangisku mulai reda dan aku pun mengusap air mata yang tersisa. Aku berdiri dan memperhatikan sosok wanita yang membawa setangkai bunga wiku menaruhnya di atas kuburan sambil mengusap batu nisanku dan memanjatkan doa lalu beranjak pergi.

Aku mencoba memanggilnya dari kejauhan, tapi ia sama sekali tak mendengar, saat aku bergegas ingin menghampirinya lagi-lagi aku terbangun dari mimpi.

Terimakasih Ainu Zami, doamu kepada Tuhan telah terkabul. Bunga wiku yang telah kau bawakan konon bisa menghidupkan orang mati dan benar saja aku tidak mati, aku masih hidup dan akan tetap menelan beberapa butir pil untuk segera menemuimu di alam mimpi nanti. Aku terbangun dari mimpi tersebut, kelak akan selalu kubawa bunga tersebut ke dalam setiap lelap tidurku.

 

Ainu Zami di Lazuardi

Mimpi terakhirku tentang Ainu berujung nestapa. Aku mulai terbiasa untuk melupakan semua kenangan serta memaafkan diri sendiri atas apa yang telah menimpaku di masa lalu, terutama tentang kisah cinta diantara kami yang berakhir sia-sia.

Aku mencoba untuk tak mengingatnya sama sekali. Hari demi hari aku terus mencoba menjalani hidup dengan ala kadarnya. Hingga suatu ketika aku membuka jendela kamarku di pagi hari, aku melihat cuaca begitu cerah, aku memandangi langit dan melihat awan begitu indah dalam gumpalannya yang abstrak di lazuardi.

Bentuk awan mulai merasuki imajinasi, angin semilir berhembus dengan begitu tenang. Aku masih menatap ke atas langit dan mulai memejamkan mata sambil berharap keajaiban datang sebagai cinta yang kekal, sesekali aku menghirup udara segar.
Aku mulai terbawa hanyut ke dalam dunia imajinasi, aku membayangkan sedang berada di tengah savana, berbaring bersama seorang wanita yang sosoknya selalu aku biarkan hidup di dalam hati, aku ingin berbaring di atas rerumputan sembari memandang langit yang dihiasi awan serta cahaya fajar, saling berhadapan dan saling menatap wajah satu sama lain. Dalam iringan musik berjudul Indica dari Land of Peace dan Motte serta beberapa ekor burung dan kupu-kupu yang ikut melengkapi keindahan.

Dalam alunan musik tersebut, kulihat air matamu mulai menetes dengan penuh haru. Aku mengusapnya dan menyentuh wajahmu yang amat lembut dan kau pun melakukan hal yang sama kepada diriku. Saat kau mulai menyentuh wajahku dingin tanganmu mengingatkanku akan sesosok wanita yang dahulu pernah aku miliki. Akan tetapi, aku tak begitu peduli dengan kejanggalan tersebut karena sekarang aku tahu aku takkan bisa bersamanya lagi untuk selamanya.

Dalam sadarku, aku mulai membuka mata dan aku pun mulai tersenyum sendiri dengan apa yang aku ciptakan pada dunia fantasi. Kulihat awan masih sama indahnya seperti pertama kali ketika aku melihatnya, burung gereja dan kupu-kupu mulai berdatangan menghampiri taman di halaman depan jendela kamarku.

Mungkin akan lebih baik jika aku hidup dalam dunia fantasi yang begitu bebas aku ciptakan sendiri, aku bebas menciptakan kisah yang jauh dari rasa takut akan kehilangan seseorang yang begitu aku cintai. Bisa saja aku memilih kisah yang paling indah bersama Ainu dalam dunia fantasi nanti, namun aku buang jauh-jauh rencana tersebut, biarkan ia mengalir begitu saja di alam mimpiku kelak. Aku masih ingat kalimat yang pernah ia sampaikan kepadaku bahwasanya ketika seseorang hadir dalam mimpi, itu tandanya seseorang tersebut sedang memikirkanmu dalam kerinduannya. Jadi biarlah ia terbang bebas sesukanya dan masuk ke dalam mimpiku, hingga diri ini benar-benar mati dimabuk kerinduan yang ia pendam diam-diam.

Kudengar suara Ibu di balik pintu kamar memanggil namaku lalu membukakannya sambil membawa sarapan pagi serta beberapa pil yang siap aku telan dengan lahap.

Setelah menelan beberapa butir pil, dalam lelap tidurku nanti sembari ditemani iringan musik "Indica" dari Land of Peace ft Motte dan sebuah buku terjemahan karya Paulo Coelho yang berjudul Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis. Kali ini aku siap untuk bermimpi lagi bertemu Ainu, mendengarkan beberapa petuahnya serta melihatnya tanpa rasa ragu dan takut akan peran yang hendak Tuhan mainkan walau nanti ia hadir sebagai orang yang siap membunuhku dengan penuh tawa dibalik sosoknya yang begitu elok. Aku tak peduli itu.


oleh manistelor






Kenakan gaun putih dan bersiaplah dikorbankan, mahkota kadal, serta kolase potongan tubuh dan organ dalam. Darah menggetarkan kata-kata, laring pun dibanjiri berjuta hasrat dan keinginan. Sobek daging, kupas kulit buah batu. Bangunlah gundukan besar di atas lubang yang mereka gali. Panggil dua ratus perempuan tanpa kepala dan biarkan semesta mengembang dibuahi ketidakberdayaanmu.