Bagian I: Mercusuar Tua

Namanya Ismet. Tahun ini ia genap berusia 70 tahun. 

Pak Ismet beranjak menaiki tangga bersusun melingkar yang selalu ia lalui selama sekian puluh tahun hidupnya dengan hati-hati. 240 anak tangga batu dengan pegangan berangka besi tua. Dengan terengah-engah ia akhirnya mencapai anak tangga terakhir. 

Pak Ismet membuka pintu kayu berwarna abu-abu di depannya, suaranya berdecit pertanda engsel yang mulai aus. Ini adalah ruang kerjanya. Ia menyalakan saklar lampu ruangan lalu menyalakan lampu pijar utama.

Sunyi dan semilir angin laut bergerak masuk saat Pak Ismet membuka dua bilah jendela di atas meja tuanya. Inilah rumah Pak Ismet. Rumah Pak Ismet terbilang besar. Masih terlihat kokoh meski telah berusia hampir setengah abad. Lampu sorot diarahkannya lurus ke laut, sesekali digeser ke arah teluk dan sisi tebing pulau.

Rumah Pak Ismet tidak biasa. Ia vertikal. Tingginya 25 m. Pak Ismet tinggal di sebuah mercusuar. 

Beberapa saat kemudian pak Ismet menyalakan dua set radio. Satu untuk keperluan navigasi dan satu lagi radio satelit hadiah kawannya dari Mindanao 10 tahun lalu. Tak lama kemudian, Javier menyusulnya masuk ke dalam ruangan.

"Kenyang ya Kau, eh? Ingat jangan gigit bantal, Javi!", ucap Pak Ismet.

Javier, seekor German Shepherd berusia 10 tahun. Ialah satu-satunya keluarga pak Ismet yang tersisa menemaninya di mercusuar dan pulau ini. 5 tahun telah berlalu semenjak Lana, istri pak Ismet, meninggal karena malaria.

Lana dahulu begitu membenci Javier pada awal pertemuan mereka. Pak Ismet kembali teringat saat ia terhuyung-huyung pulang dalam kondisi mabuk dan membawa Javier kecil setelah berkumpul bersama teman-temannya di dermaga Tampilang. 

"Kau bawa apa itu? Tidak-tidak, jangan ada anjing hitam ini di rumah!" Pekik Lana.

"Hehe aku menang taruhan sama Hendri, Barcelona aku menang lawan Madridnya dia kali ini."

"Terus anjing hitam ini apa?"

"Ya ini hadiahnya hahahaha, kenalin namanya Javier!" Teriak pak Ismet menggebu-gebu dalam keadaan mabuk.

Javier, diberi nama dari Javier Saviola. Seorang striker lincah asal Argentina dari klub favorit Pak Ismet, Barcelona. Javier kecil begitu lincah, sama seperti versi manusianya yang striker sepakbola. Sesekali diajaknya ke kebun jagung atau membeli ikan di dermaga. Pak Ismet telah berhenti melaut mencari ikan semenjak Lana pergi. Selain karena memang sudah tua saja.

Pulau ini kecil. Hanya ada sekitar 82 orang saja penduduknya yang tersisa bersama beberapa puluh ekor ternak. Setahun dua tahun lalu mungkin masih ada 200an orang, kebanyakan sudah pindah ke Mindanao. Lebih maju dan ramai di Filipina ketimbang di sini. 

Pak Ismet sering berkelakar ke penduduk lain, "Kan sudah pada punya GPS kapal kalian, ga perlu lagi aku kasih hidup itu lampu mercusuar ya? Pergilah, biar aku jaga pulau saja."

Berulang kali pak Ismet diajak Hendri dan ayahnya, Pak Toga, untuk ikut pindah dan tinggal di Mindanao. Pak Ismet selalu menolak dengan halus. "Biar sajalah aku di sini, To. Aku di sini bahagia sama Javier dan sama Lana," ujarnya.

Cahaya bulan menerangi mercusuar. Bayangan mercusuar nan tinggi itu jatuh menimpa sebuah formasi batu tepat di sampingnya berdiri. Pusara Lana. Berbatu putih susu tanpa tulisan dengan bunga segar yang baru ditabur sore tadi.

 

Bagian II: San Sebastian

Javier kini selonjor meringkuk di antara kaki kursi tempat pak Ismet duduk. Pak Ismet membakar rokok Gudang Garam kreteknya yang ketiga malam ini. Mata tuanya kosong menatap ke jendela.

Mercusuar tua peninggalan Jepang ini berarsitektur klasik art deco. Dengan lima ruangan utama, satu di lantai atas, dan empat lagi di bawah. Lantai bawah adalah ruang tidur, ruang utama merangkap dapur, gudang, dan kamar mandi. Semenjak ditinggal Lana, pak Ismet selalu tidur di atas.

Malam itu pak Ismet kembali tertidur di kursi tuanya.

"Bapak, ibu, kak Faris!"
"Bapak, ibu, kakak dimana?"

Pak Ismet terbangun sesaat. Sudah beberapa hari ini ia terus memimpikan hal yang sama.

Hal yang sebenarnya sudah ia lupakan berpuluh tahun lalu. Ia bermimpi berada di kapal "San Sebastian", kapal berwarna cokelat tua, kapal nelayan kebanggaan keluarganya dahulu. Ia sendirian di sana, berteriak mencari keberadaan bapak, ibu, dan kakak lelakinya. Ia menangis tersedu-sedu sendirian di atas kapal yang berlayar di lautan tenang.

"Maafkan aku, Javi. Aku tertidur lagi." Ucap Pak Ismet sambil tersenyum ke anjing kesayangannya. Javier memandang tuannya lalu meringkuk di antara kaki Pak Ismet.

Ketika berusia 10 tahun, Pak Ismet kehilangan kedua orang tua beserta kakak lelakinya di laut. Pada suatu siang setelah menjaring ikan tuna, dalam perjalanan pulangnya, kapal San Sebastian terhantam pesawat tempur Amerika Serikat yang terjun bebas dari langit.

San Sebastian hancur dan seketika karam siang itu juga, beruntung paman Pak Ismet yang berada di kapal lain berhasil menyelamatkan Pak Ismet kecil yang saat itu pingsan dan hampir hanyut tenggelam.

Saat itu pertengahan bulan Desember tahun 1944, Pak Ismet tidak lagi mengingat kapan hari atau tanggalnya. Yang diingatnya hanyalah saat ia terbangun dua hari kemudian di rumah pamannya di pulau yang ditempatinya sekarang.

Javier menggonggong kecil ke arah jendela. Badai kembali datang, pikir pak Ismet. Pak Ismet melihat jam dinding, jam tiga pagi.

Ia menutup jendela dan menggeser arah lampu sorot utama. Sudah beberapa hari ini badai kembali menyambangi pulau itu. Dua hari yang lalu badai sempat datang dan menyisakan beberapa benda-benda aneh di pesisir pulau itu keesokan harinya. Pak Ismet menemukan serpihan logam seperti laras senapan dan bagian-bagian kapal di halaman mercusuar.

Badai selalu datang di jam yang sama.


Bagian III: Kamikaze

Javier kembali menggonggong, kali ini lebih kencang. Pak Ismet berusaha menenangkan Javier.

"DUAAAAARRRR!"

Suara ledakan disertai kilat menghujam. Pak Ismet kaget setengah mati. Sumber suaranya tidak begitu jauh dari sini pikirnya. Javier berlari keluar menuruni tangga, Pak Ismet bergegas mengikutinya, tak lupa mengambil senter yang digantungkannya dekat jendela. Matanya terbelalak saat ia membuka pintu keluar.

Sebuah pesawat tempur berkokpit tunggal terhempas dan ringsek tepat di halaman mercusuarnya.

Pak Ismet menelitinya dengan seksama. Pesawat ini nampak kuno, Baling-balingnya tunggal dengan bendera Kyokujitsu-ki atau panji matahari terbit yang nampak jelas tergambar di badan pesawat.

Pak Ismet mencoba melihat lebih dekat dan menaiki bagian hidung pesawat. Kaca pilotnya pecah berkeping-keping. Ia melihat seorang pilot laki-laki, nampak masih muda, kepalanya berdarah-darah dengan helm telah dilepas. Pak Ismet mencoba menarik keluar si pilot muda. Diletakannya perlahan di tanah, ia masih bernafas.

Esok harinya, si pilot muda terbangun di ruang utama lantai bawah. Javier menatapnya tajam. Kepala si pilot telah terbungkus perban, begitu pula beberapa bagian lain tubuhnya. Kaki kanannya nampak lebam di sekitar lutut dengan luka robek sepanjang 15 cm. Ia merasakan seluruh badannya nyeri. Kaki kanannya agak mati rasa.

"Kamu beruntung, Anak Muda," ucap pak Ismet yang menongolkan kepalanya dari balik sekat dapur.

"God have mercy on you, what's your name? Do you speak English?"

"He eh, watashi wa Koji-desu, Koji Yamamoto. Thank you for saving my life, Ojisan." Balas si pilot dengan logat Jepang medok.

"No, no, don't call me gramps or ojisan, just call me bapak. My name is Ismet. Your wounds will be healed in a couple days. You can stay here. Don't rush yourself and you can tell me whatever happened to you before."

Koji Yamamoto, 23 tahun. Seorang pilot muda Jepang. Bergabung dengan angkatan udara sejak usia 17 tahun. Ia bercerita bahwa pesawatnya hilang kendali dan hampir menabrak tebing. Sebelum sempat menabrak, ia berhasil membelokannya dan mendarat keras di halaman mercusuar.

Ia  berasal dari tahun 1944. Dengan kata lain, ia terbang melintasi waktu dan terdampar sekarang di tahun 2005.

Ia bercerita bahwa siang hari sebelumnya, ia tengah berada di lautan terluar Mindanao Selatan dalam misi serangan kamikaze ke salah satu dari empat kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat. Saat itu, ia ditugaskan terbang dari pangkalan militer Jepang di pulau Peleliu menuju Mindanao Selatan. Ia berangkat bersama sekitar 10 pesawat tempur Jepang lain. 20 km dari target, ia dikejar oleh 4 pesawat lawan.

Ia berhasil meloloskan diri. Bersiap menabrakkan pesawatnya yang penuh berisi artileri dan torpedo berdaya ledak tinggi ke kapal induk yang ia tuju. 500 m sebelum target, pesawatnya seketika hilang kendali dan terhisap masuk ke dalam pusaran air misterius yang terbentuk di bawahnya.

Itulah hal terakhir yang diingatnya sebelum segala sesuatu di sekelilingnya berubah gelap dan ia menemukan dirinya kembali terbang hampir menabrak tebing di sisi mercusuar.

Pak Ismet hampir tidak percaya atas apa yang baru saja didengarnya.

"So you're one of the fighter pilots from WWII? Ya Tuhan."

"Yes."

Sunyi cukup panjang.

Pak Ismet kemudian menjelaskan kepada Koji mengenai kapan dan di mana dia sekarang berada. Tak lama setelah itu, beberapa warga pulau yang lain berdatangan ke mercusuar untuk melihat keajaiban apa yang baru saja terjadi.

 

Bagian IV: Gua di Lereng Bukit

Hampir 2 minggu berlalu semenjak pesawat tempur itu mendarat di halaman mercusuar Pak Ismet. Berita mengenai hal itu telah menyebar bahkan sampai ke pulau-pulau sebelah. Koji sudah menjadi semacam artis kondang di pulau itu. Ia kini membantu pekerjaan rumah Pak Ismet, Pak Ismet menganggap Koji sebagai keluarganya atau bahkan anaknya sendiri, satu hal yang tidak ia dan mendiang istrinya dapatkan.

Pak Ismet sempat bertanya kepada Koji, apakah dirinya tidak ingin kembali ke Jepang atau mungkin menemui keluarganya. Koji merasa bahwa ia lebih baik menetap di pulau itu. Segala perbedaan yang disebabkan oleh lompatan waktu itu, membuatnya tidak mungkin untuk bertemu keluarganya. Belum lagi kehebohan yang bisa ditimbulkan nantinya.

"Everyone in Japan, including my family must have thought that I was already dead. I have nothing to do, and there's no way to turn back time." Ujar Koji lirih.

Pak Ismet tahu, bukan hanya keluarganya yang dirindukannya. Koji juga merindukan kekasihnya.

"What about that lady? I know it, Koji. You always stare at her photos every night."

"Eh, she's Yoshiko. My soon to be wife. We promised to marry after the war is over." Koji pun mulai terdiam.

Sore itu pak Ismet mengajak Koji berjalan ke sisi tebing dan lembah di sebelah selatan mercusuar, lokasi dimana Koji membanting stir pesawatnya tempo hari.

Di tepi pantai di bawah tebing itu nampak jalan setapak batu yang menanjak naik ke sebuah celah gua karang di atasnya. Sebuah akses rahasia yang hanya dapat dilalui dua kali dalam satu hari, yaitu saat air surut di fajar dan senja hari.

"I used to be here with Lana. We're always spending time together here."

Di balik celah gua itu terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Puluhan stalaktit dan stalakmit berwarna pualam menyembul dari dinding gua. Formasi stalaktit dan stalakmit itu cukup unik, bentuknya hampir melingkar sempurna. Di salah satu sisi dinding terdapat semacam rongga yang terpahat sempurna menghadap ke arah laut, ke arah cakrawala. Pak Ismet sedikit memodifikasinya sedemikian rupa.

Lana sangat suka berdiam di sini, tepatnya melihat senja dan matahari terbenam melalui rongga yang pak Ismet lebarkan sedikit itu.

 

Bagian V: Portal, Cahaya, dan Selamat Tinggal

Waktu menunjukkan jam tiga pagi. Badai pun datang kembali.

Keadaan makin muram karena pak Ismet mendadak sakit demam. Dalam sakitnya tersebut pak Ismet kembali bermimpi, kali ini ia tidak bermimpi berada di San Sebastian sendirian. Ia bermimpi melihat Lana. Dalam mimpinya, Lana memanggil-manggil nama pak Ismet. Ia berdiri tepat di tepi pantai, di bawah tebing tepat di ujung setapak menuju gua.

"DUAAAAARRRRR!"

Suara ledakan dan petir menyambar keras di luar mercusuar. Javier menggonggong keras dan berlari keluar. Koji yang sedari tadi terjaga karena Pak Ismet mendadak jatuh sakit seketika itu turut keluar mengejar Javier. Pak Ismet pun terbangun.

Javier berlari menyusuri pantai menuju ke arah tebing. Koji dan pak Ismet mengikutinya dari belakang. Sesampainya di bawah tebing, mereka melihat bangkai kapal nelayan berwarna coklat tua berserakan, nampak sebuah papan bertuliskan San Sebastian di situ.

Pak Ismet menangis sejadi-jadinya sambil memeluk papan tersebut. Koji melihat pula beberapa bangkai pesawat tempur Amerika Serikat di situ.

Di situ Koji baru teringat bahwa dia tidak asing dengan pesawat lawannya itu dan juga San Sebastian. Koji memberitahu pak Ismet kalau ia mengenal dan mengingat bangkai kapal serta pesawat itu. Sesaat sebelum ia terseret masuk ke dalam pusaran air misterius kala menjalankan misi kamikazenya, ia terlibat kejar-kejaran dengan 4 pesawat lawan. Di situ ia berhasil menembak jatuh satu pesawat pengejarnya yang kemudian terjun bebas menimpa kapal nelayan berwarna coklat tua di bawahnya.

Pak Ismet langsung terduduk dan menangis mendengar penjelasan Koji tersebut. Sesaat setelahnya pak Ismet menceritakan semua ke Koji, kecelakaan apa yang menimpanya saat ia kecil. Kecelakaan yang telah merenggut nyawa bapak, ibu, serta kak Faris, tepat di tahun 1944 di tengah situasi Perang Dunia II antara Jepang dan sekutu.

Koji menangis pilu tersedu-sedu dan berteriak sekencang-kencangnya. Ia meminta maaf dan bersujud di kaki pak Ismet. Di tengah itu semua, Javier menggonggong ke arah dalam gua. Seketika Koji dan Pak Ismet pun melihatnya.

Gua itu begitu terang. Berpendar dipenuhi cahaya kekuningan. Menyala-nyala di antara gelapnya langit.

Pak Ismet, Koji, dan Javier bergegas menaiki jalan setapak batu. Air sedang surut. Mereka memasuki ruang di dalam gua. Di situ mereka melihat sebuah pusaran cahaya berwarna kekuningan melingkar di udara. Formasi stalaktit dan stalakmit yang melingkar membuat pusaran itu tampak seperti sebuah portal.

Pak Ismet dan Koji saling pandang satu sama lain. Terperangah. Javier menggonggong tiada henti.

"It's probably an interdimensional portal, it might be the only way to take you home, Koji." Ujar Pak Ismet.

Mereka berdua dan juga Javier melangkah masuk ke dalam portal cahaya tersebut.

Hening.

Kaki mereka kemudian menjejak ke sebuah bukit berpadang rumput. Siang hari.

Di sekelilingnya terdapat persawahan dan perumahan ala Jepang. Koji mengenali pemandangan ini, tempat ini, dan masa ini. Ini adalah Shizuoka. Kampung halamannya.

Koji berlari. Ia menyapa seorang bapak-bapak petani yang ada 100 meter di hadapan mereka. Dari jauh pak Ismet bisa melihat wajah sumringah Koji dan air matanya yang mengalir deras.

Koji kemudian menghampiri pak Ismet. Benar bahwa tempat ini memang kampung halamannya di tahun 1944, tepat sebelum ia berangkat ke pangkalan udara Jepang di Okinawa. Koji memeluk pak Ismet. Ia meminta pak Ismet tetap tinggal disini bersamanya. Ia ingin mengenalkan pak Ismet pada bapak ibunya dan juga pada Yoshiko.

Pak Ismet terdiam sejenak lalu melihat ke belakang. Javier duduk tegak menunggunya di depan portal cahaya yang masih terbuka.

"Arigatou, Koji-san. But it's not my home. It's yours..."

"Pak Ismet, you're all alone there by yourself. I will definitely pay all my debts by welcoming you here. You are my bapak, remember?"

"I already have my happy life with Lana for all those passing years. I'm happy to have met you in person, Koji. To finally know the truth, you've done nothing wrong for that accident. Now it's your time to live a happy life, a second chance. To live without fear of any more battlefields or kamikazes. You can change not only your future, but also the future of the world. I wish I could meet your parents and Yoshiko. I will be forever your bapak, anakku."

Mereka berdua pun berpelukan untuk terakhir kalinya. Pak Ismet berjalan kembali menuju ke arah Javier dan portal cahaya. Javier mengibaskan ekornya tanda bahagia.

Sesaat setelah Pak Ismet dan Javier melangkah masuk, portal cahaya itu pun tertutup.

Di ujung portal tersebut, Pak Ismet dan Javier telah kembali lagi di dalam gua. Portal cahaya tersebut menghilang. Beberapa saat kemudian gua itu pun kembali gelap, sebelum perlahan cahaya matahari fajar akhirnya menembus celah-celah gua.

Pak Ismet memeluk Javier sambil duduk di depan pemandangan yang selama ini belum pernah ia lihat, termasuk bersama Lana. Sebuah fajar yang baru.

"Lana, aku rindu padamu. Aku tak sabar bertemu denganmu sebentar lagi."


oleh shitestormx






Ribuan helai serat kayu berjumbai melingkar menangisi tuhan. Matahari pecah oleh tetes hujan menghasilkan bayang panjang warna-warni yang menggambarkan sebuah mitos baru, gambar gerak yang berkeliaran di antara para malaikat dan neraka. Mereka membungkusnya serampangan bak tanaman rambat yang tak terawat, lumut tumbuh di sekujur permukaannya, dimahkotai abu dan gurat gunung-gunung berapi.