Oke baiklah, Tuan! Ternyata inilah asa yang ditimbulkan cinta. Busuk, dan membusuk dalam kemaluan. Dalam tiga tahun terakhir aku terjerembab dalam keagungan sajak-sajak dan puisi yang dikhotbahkan oleh para penyair tak bertanggung jawab, sastrawan cengeng, juga filsuf muda dadakan yang menggagas teori kuantum probabilitas kemunculan jagat baru bernama senja dan kopi; kenangan, kerinduan, nostalgia, alam raya, semesta, pegunungan, pendakian, pantai, bintang-bintang, juga tak tertinggal buku-buku kiri, kumpulan esai progresif, perkumpulan para aktivis, pergerakan bawah tanah dan juga semangat dari arwah-arwah pahlawan dan para pemikir keras. Kemaluan, klitoris, payudara, jembut, dan semuanya—semua yang mereka racik dengan berbagai bumbu fenomena yang dicampur adukan secara serampangan lalu dirancang dan dirangkai dalam kalimat yang bisa melukai. Memperindah. Menyemangati. Menyombong. Mengintelek. Ataupun Membunuh dalam bisu. Oh Tuan, sekarang aku katakan pada Anda, ketika cinta datang dan pergi, atau tak terbalaskan, semuanya menjadi salah, semuanya; tak luput Tuhan yang sedang mengancang-ancang kakinya di atas langit, sanak saudara, teman, juga orang tua yang terlupakan—bahkan binatang menjijikkan seperti kucing aku melihat perut mereka seperti samsak tinju, ia bisa, dan diharuskan sebagai luapan emosi, dan itu kebenaran mutlak, tak ada kebenaran selain yang ada di luar diri di saat-saat seperti ini. Akan tetapi, Aku tidak gila Tuan!

Sekarang aku ingin bertanya pada Anda, bagaimana gairahnya mencintai seseorang selama empat tahun tanpa pernah berbicara padanya, tanpa menyapanya dengan hangat meskipun melalui pesan singkat WA, ataupun celetukan dalam media daring seperti yang sering dilakukan oleh para predator penggila vagina dan buah dada dengan dua toping berry coklat masing-masing di atas-Nya, juga para perempuan jelmaan Venus dengan semangat mengejar kesempurnaan suatu hubungan akan kenikmatan badan?

Yang lebih memuakkan bagiku adalah sedikit pun ia tak tahu jika ada seseorang yang sedang menggilai tubuh dan jiwanya yang membentuk satu kesatuan badan dengan wajahnya yang terlampau menyebalkan manis.

Lantas Anda akan menanyakan alasan kenapa aku tak menyapa dan berkenalan dengannya bukan? Sebelum Anda menanyakan itu, aku akan terlebih dahulu menjawabnya dengan saksama, berantakan, lugas, dan tidak jelas—tentu dengan mengaitkan dan mencela hal-hal yang tak ada hubungan dengannya. Bahwasanya bagi kebanyakan lelaki pascamodern ketika ingin mendapatkan pujaan romansa ala drama klasik membosankan Romeo dan Juliet, apa pun yang menghalangi akan diterjangnya tanpa  kesadaran  dirinya, tapi, ah sudah-sudah, aku akan langsung menjelaskannya saja, simak baik-baik perkataanku ini, Tuan, aku tak mau Anda keliru sedikit pun;

  1. Ketika pertama kali mereka menemukan pujaan romansa berdasar angan-angan dalam pandangan pertama, mula-mula ia akan berkaca di hadapan cermin dan berkata, “Apakah saya pantas untuk dirinya?”
  2. Setelah diputuskan, pantas atau tidak, tanpa melihat kelemahan ataupun kehebatan dirinya lagi, sadar atau tidak akan kerangka tampang mereka, menimbang kemampuan yang dimiliki ataupun seberapa banyak materi yang mereka punya, dan memperhitungkannya dengan kebutuhan impuls seksual atau perasaan cinta yang menggebu, ia pun segera membangun kepercayaan diri tanpa kesadaran pasti yang mereka lakukan atas dasar berbagai macam quotes bijaksana akan perjuangan cinta ala manusia-manusia tacin ait jingan yang bertebaran di jagat internet.
  3. Jika sudah, mereka akan melancarkan serangan dengan berbagai macam gombalan menjenuhkan, strategi penipuan ala Sun-Tzu, menyusun metode cartesian, falsifikasi Popper, atau penalaran absurd dalam nihilitas kecintaan dalam cinta itu sendiri.
  4. Terbalaskan atau tidak akan berimplikasi pada tahap kelima.
  5. Jika terbalas, mereka akan senang dan merasa dunia ini milik mereka sendiri, kebahagiaan tiada tara, sebuah pencapaian ilahiah, dan tenggelam dalam kamar tak berlampu Sambil memegang ponsel semalaman suntuk, mereka pun merasa dunia ada di genggaman tangannya, berkuasa penuh atas kehendak dan kehebatan dirinya. Jika tidak, mereka pun menderita, mengalami kekosongan hidup, merasa semua penderitaan hanyalah milik mereka seorang, mendadak menjadi filsuf ataupun penyair, berusaha melewati tahap-tahap kesedihan diiringi ambang batas kematian, menjadi pemberontak edgy ala anak-anak lebay Twitter. Jika tak menemukan kejelasan dari semua itu, mungkin mereka akan bunuh diri atau mati tertelan waktu dan merasa semuanya adalah kesia-siaan yang diciptakan Tuhan secara khusus untuk dirinya seorang.
  6. Mati bahagia dalam tanah bersama cengkeraman Munkir, atau bebas-sebebas bebasnya di lautan langit dengan tubuh yang sudah menjadi abu.

Itulah penyakit cinta badan, Tuan. Sedangkan aku? Aku tak melakukan satu pun dari penjelasanku tadi. Aku hanya melihat sebagian foto-foto dari instagramnya yang aku simpan untuk meluapkan kekagumanku terhadapnya. Mungkin ada beberapa foto yang menjadi favoritku, sampai-sampai setahun yang lalu kucetak dan kubingkai fotonya, lalu aku pajang dalam lemari kaca bersama semua barang-barang kesukaanku. Namun, sehari setelah aku memandanginya dari tempat aku tergeletak selama kurang lebih setengah jam; aku sadar semua ini teramat sangat tolol! Rasionalitasku membentak, “Untuk apa aku memajangnya, ia bukan siapa-siapa, dan ia pun tak tahu juga siapa aku.” Saat itu juga aku memecah bingkai dan mengeluarkan selembaran fotonya, aku ludahi, aku injak, terakhir aku bakar, tapi itu semua bukan karena aku membencinya, melainkan membenci kelakuanku yang tolol ini, dan foto itu pun menjadi martir pengorbanan mulia kegelisahanku. Aku masih mengaguminya meskipun aku sedang terjerat dalam penghinaan kepada diriku sendiri kala itu.

Tenggak bir ini dulu Tuan, cerita masih sedikit lebih panjang di malam yang brengsek ini, cerita tentang yang namanya kebodohan itu. Tragedi yang menemukanku dengan dirinya adalah saat aku memasuki kuliah awal semester 6. Saat itu aku memasuki kelas mata kuliah kewirausahaan dengan dosen yang sangat religius sekali bernama Ibu Lina. Aku memasuki ruang kelas bersama dengan dua teman seperjurusanku dan kami pun mencari tempat duduk paling belakang karena kami yakin mata kuliah kali ini pasti akan sangat membosankan sekali. Terlebih, aku berpikir bahwa usaha ataupun seorang pengusaha jika ingin sukses harus saling menerkam, licik, dan penuh akan kebohongan, tetapi kenapa yang mengajariku adalah dosen yang sangat taat dan religius? ini terbukti dari pakaian yang ia kenakan saat itu, sangat membosankan sekali untuk dipandang!

Hari pertama berjalan tidak normal, hanya saling memperkenalkan diri dengan maju ke depan satu persatu untuk mengocehkan kehebatan masing-masing seperti halnya yang dilakukan oleh anak-anak sekolah dasar. Aku menyadari kita sudah menjadi maha bukan lagi siswa, bagiku hal itu adalah sebuah ketersia-siaan dan ketidakmampuan untuk berkenalan satu sama lain secara natural.

Ketika Satu persatu mahasiswa maju ke depan kelas, aku hanya memperhatikan gerak-gerik serta lekuk tubuhnya dari tempat aku duduk dengan saksama sampai kebosanan melanda dan akhirnya memasang earphone untuk mengalihkan semua pengenalan diri yang begitu monoton dan tak bergairah sama sekali. Giliran aku maju pun tiba, memperkenalkan diri dengan template yang sama persis seperti orang-orang lakukan sebelumnya; menyebutkan nama, jurusan, asal sekolah, hobi, angkatan, dll. Seusai memperkenalkan diri dan kembali ke tempat aku duduk, aku benar-benar sudah muak pada keadaan, aku segera membuka obrolan kepada teman di sampingku dengan sebuah topik celaan terhadap orang-orang yang terlampau aneh dalam pengamatan kami seperti orang-orang dengan tampang bloon, rambut klimis dengan pomade murahan, serta para perempuan bertampang konyol bertubuh gendut. Semuanya kami hina tanpa mereka tahu dalam bisik-bisik dan tawa absurd yang takkan mereka mengerti. 

Sampai akhirnya ada satu perempuan yang maju ke depan kelas dan memperkenalkan dirinya. “Namaku Elsa Viranda, aku mengambil jurusan Publik Relationship, aku angkatan 2016, aku tinggal di jalan Petamburan Raya Jakarta Selatan. Hobi aku adalah menonton Anime Naruto dan membaca cerita-cerita di platform Wattpad”. Ia menjelaskan dirinya seperti itu, mengagumkan sekali caranya berbicara dengan wajah manisnya itu, sampai aku melepas earphone dari telingaku dan berkata dalam hati, “Oh, betapa manisnya dia dengan tubuh yang sedikit gempal, rambut yang tak sampai sebahu, pipi dengan lesung yang sangat menggoda, bagian bawah bibir yang sedikit tebal, mata yang seperti tetesan air, serta pakaian khas perempuan urban abad 21; baju bergaris hitam-putih dibalut cardigan berwarna hitam, celana jeans hitam dan sepatu putihnya yang bermerek Adidas, dua anting emas yang dihiasi berlian palsu, serta kalung dengan motif huruf E.” Aku berbicara dalam hati, terkagum, tak sadar, gila, memujinya, seperti orang kesurupan yang tak sadar akan gumamannya sendiri!

Oh sial, Tuan, aku sepertinya jatuh hati kepada perempuan itu. Saat ia selesai dan kembali pada tempat duduknya, aku khusyuk memandanginya terus, sampai-sampai aku tak sadar waktu jam pelajaran sudah berakhir. Saat itu aku berkeinginan kuat untuk menyapa dan berkenalan dengannya ketika pelajaran selesai. Ketika pelajaran usai, semua orang yang ada di kelas meninggalkan ruangan satu per satu, perempuan itu juga, dan aku dari kejauhan tempat ia duduk berniat mengikutinya. Ia pun berjalan keluar bersama empat orang temannya. Aku tepat di belakangnya bersama dua temanku yang berisik menuju pintu keluar. Temanku yang bernama Dobar berjalan cepat menuju tangga dan disusul temanku satu lagi, melewati perempuan itu dan empat orang temannya. Sedangkan aku mengacuhkan mereka menuruni tangga, tetap membelakangi perempuan itu. Rasanya berdebar, aku sungguh tak percaya ketika sangat dekat sekali padanya, seakan sedang berjalan hanya berdua dengannya saja. Akan tetapi, nyatanya aku bingung dan tak sanggup menegur apalagi mengajaknya berbicara, hanya terus berjalan dengan mata yang tertuju padanya. Aku tahu begitu tololnya diriku ketika dihadapkan perasaan semacam ini, perasaan yang datang tiba-tiba membawa hal abstrak yang seketika membuatku menjadi salah tingkah yang berakhir dalam ketidakberdayaan dalam menghadapi perempuan. Jujur saja Tuan, ini bukan soal aku malu atau tidak, pesimis dan optimisme, bukan juga kepercayaan diriku yang rendah, dan asal kau tahu saja Tuan, sudah tak terhitung lagi banyaknya perempuan yang kukencani dan sekedar menjalin hubungan dengan mereka. Contohnya saja, saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan perempuan yang satu jurusan denganku bernama Laras. Namun, perasaan cinta yang ambigu kepada Laras itu seketika hilang ditelan oleh paras manis yang baru saja aku lihat untuk pertama kalinya, perasaanku kepadanya sudah pergi entah kemana— padahal tadi pagi ketika aku mandi sebelum pergi ke kampus, aku sempat beronani membayangkan tubuh dan wajah Laras, mengingat malam-malam yang pernah aku lewati bersamanya.

Di hari-hari selanjutnya, kehancuran jiwa akan ketidakberdayaan ini perlahan-lahan mulai menghampiriku setiap malam, di setiap aktivitasku, setiap kali aku berdiskusi dengan teman-temanku, dan di setiap kesendirianku menghadapi dunia ini. Aku tak percaya jika kekotoran ini benar-benar melahap jiwaku, ini menjadikan aku sedikit percaya dengan orang-orang yang mengatakan bahwa terdapat dua bilah tajam dalam hal percintaan, yaitu bilah rasa sakit dan kebahagiaan. Aku mendapati dua hal tersebut ketika hanyut dalam ruang kelas memandangi bagian punggung yang dihiasi mahkota hitamnya dalam kurun waktu seminggu sekali dalam enam bulan, dan ketika aku sudah tak bisa lagi melihatnya untuk waktu-waktu selanjutnya dan selamanya dalam kehidupan nyata. Oh betapa mengerikannya bukan? Aku hanya bisa memandanginya selama dua jam dalam kelas perkuliahan selama enam bulan sebelum kemudian direduksi hanya sekali dalam seminggu, dan selama-lamanya dalam benda metafisik berbentuk kotak berdimensi 6,3 inci ini.

Ya sudah, Tuan, aku menerimanya dan selalu berjuang untuk melupakannya sampai saat ini, sudah terlewat selama empat tahun juga, bukan? Aku pun tak bunuh diri bak orang-orang tolol di luar sana.

Salah satu juga yang membuatku bingung di dunia cinta ini adalah aku sudah tak bernafsu lagi pada perempuan! Juga tak dipungkiri, Elsa adalah perempuan yang tak sekedar manis, tetapi ia juga cantik dan berbadan ideal, Anda tahu kan badan ideal perempuan yang saya maksud itu? Aku tak perlu menjelaskan lagi sepertinya. Tapi ketika menatap dan mencoba memikirkan hal-hal yang berbau seksual di luar dirinya, itu tak tersanggupkan, maksudku adalah bahwa libido ini sepertinya sudah mati, aksi ereksi yang kudambakan sudah tak bisa lagi ditegakkan, di pagi hari ataupun saat-saat menonton video porno. Penyakit ini sudah terjadi mungkin tiga tahun belakangan ini, pertama kali aku mendapati kondisi seperti ini, aku sangat takut—sangat takut tidak bisa bercinta lagi dengan perempuan. Di saat seperti itu, aku hampir gila dan putus asa—kegilaan apa lagi yang berhubungan dengan itu semua? Aku selalu bertanya-tanya, berusaha mengobati rasa sakit ini dengan pergi menuju tempat-tempat yang menyediakan jasa seks komersial dengan berbagai macam pilihan perempuan-perempuan cantik dan seksi, namun nyatanya sebuah kejantanan sudah benar-benar tiada.

Akan tetapi, satu hal yang menghampiri dan menyadarkanku adalah seorang perempuan berkekuatan tangan Tuhan yang telah menghancurkan hidupku dengan kepakkan kharisma memancar yang sanggup membunuh kebutuhan biologis seorang pria, sebuah kehancuran yang indah dalam foto-foto yang kucetak dan kutaruh kembali dalam lemari kaca bersama barang-barang yang kucintai, Tuan. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada menunggu foto-foto yang tak berbicara itu. Aku memang akan selalu menjadi tolol menghadapi kejadian-kejadian yang belum pernah kualami sebelumnya.


oleh rzkyyaji






Data menggumpal pada batas bidang yang terus mengembang bersama implosi waktu. Ketika tak ada lagi ruang untuk tumbuh, setiap artefak harus dibuang atau didaur ulang. Darah dan daging begitu rapuh, mendamba setiap perhatian yang bisa mereka peroleh secara berkelanjutan. Mereka menginginkan dimensi, mutasi, dan variasi, mungkin sebagai sarana untuk mengabadikan ontologi keberadaan mereka. Apakah kau takut pada teks yang berkehendak? Pada kemampuannya untuk kembali netral dari segala sesuatu yang telah diasumsikan atasnya? Meski dirimu merasa tak ada lagi yang bisa diungkap, masih ada banyak sekali hal yang bisa terus mereka ungkapkan.