Belakangan ini Barlianto kedapatan mendengar bagaimana raungan hati kecilnya semakin keras dan memori-memori hari kemarin menjadi satu-satunya lawan sepadan. Dalam dua puluh menit ia babak belur. Matanya bengkak, tubuhnya mematung. Serangan balik hanya tersedia dalam pertahanan diri. Diayunkannya gayung yang berisi air terus dan menerus pada persimpangan jalan, setelah melewati perut, kemurnian air itu pun menghilang.

 “Ini wajar, kok. Di waktu seperti ini kau mendapati bahwa segala yang dulu kau peroleh terasa tidak berguna. Lalu kau seolah-olah bijak dalam mengambil langkah, mahir dalam menerima semua suara, dan teliti dalam setiap perencanaan. Berlagak.”

Barlianto sering terlibat perkelahian. Emosinya gampang terpancing. Alasan perkelahiannya rata-rata sepele, misalnya saja ketika bola mata Barlianto menangkap ada seseorang yang memperhatikannya cukup lama. Posisi tangannya diubah, empat jarinya dikumpulkan di satu titik, satu menyelimuti. Kemarin, beberapa menit sebelum jam sepuluh malam, Barlianto terlibat perkelahian dengan seorang pria. Menurut desas-desus tetangga serta saksi mata yang melihat dari kejauhan, perkelahian itu dimenangkan Barlianto dengan telak. 

Tidak ada yang tahu persis mengapa perkelahian itu terjadi. Satu-satunya informasi yang masih berlalu-lalang di telinga adalah setelah perkelahian terakhir selesai, karena lelah, tulang belakang Barlianto bersandar di tembok, rokok dinyalakan, dan sebelum menuju hisapan kedua tiba-tiba suara hentakan kaki beradu dengan lantai membuat Barlianto meluruskan pandangannya ke depan. Dada Barlianto menjadi penuh. Makin tidak ada ruang ketika serangan pertama diluncurkan dengan tiba-tiba. Wajahnya pucat melihat ke arah Barlianto, tangannya menggantung panjang, setara dengan lutut kaki, senyumnya tidak pernah berubah. Perkelahian selanjutnya terjadi.

Tempo hari, Amdin, kawan Barlianto satu-satunya, menegur sifat Barlianto yang kegilaan main perempuan. Memang pada awalnya Amdin yang menawarkan perempuan-perempuan kesepian itu pada Barlianto, namun makin sering Barlianto berkunjung dan selalu pamit larut, Amdin pun naik pitam.

“Bar, biar kau dan aku sama-sama enak, aku tahu nafsu kau besar, paling tidak dalam seminggu, tiga atau empat kali sajalah kau berkunjung. Memang, aku tidak terganggu dengan kunjungan dan aktivitas kau di sini, dan juga, berkat nafsu kau yang besar, uang yang aku dapatkan lebih banyak dari biasanya. Masalahnya adalah perempuan itu. Setiap kali kau pulang larut, kaki-kaki kau melangkah pergi, tidak lama tubuhnya langsung bersandar pada bahuku dan aku hanya bisa diam mematung mendengar ocehannya.” Amdin melihat Barlianto ke bawah, “dan juga, singkirkan tatapan itu. Aku tahu kau berjasa besar atas kelangsungan hidupku, lima kali adalah keputusan akhir, kau hanya boleh berkunjung lima hari dalam seminggu dan tidak usah repot-repot menceramahiku.” Ucap Amdin sambil mengatur tubuhnya untuk duduk pada kursi kayunya.

Barlianto pun hanya tersenyum.

Amdin masih kepikiran bagaimana konsep berpikir bahwa hidup itu indah yang sering diocehkan Barlianto. Sugesti itu begitu kuat sekaligus melemahkan karena apa yang diamini Amdin dari pernyataan Barlianto masih mempunyai celah kuat; pertanyaan tentang bagaimana jika rentetan ini berakhir; apakah keinginan hidup panjang merupakan bakat alami manusia; bagaimana seandainya bakat itu terhalang jika kematian memperlihatkan wajahnya? Suhu tubuh Amdin meninggi, tangannya gemetar, dan satu-satunya jalan keluar adalah mengajak Barlianto merokok serta berbincang seputar perkelahian Barlianto juga bentuk payudara seperti apa yang menjadi favorit mereka masing-masing.

Sebelum pertemuannya dengan Amdin, perkelahian Barlianto seringkali tidak ada sangkut-paut dengan hidupnya. Ia hanya suka berkelahi. Tubuhnya kecil, namun ketahanannya sangat kuat. Setiap perkelahian adalah kemenangan bagi Barlianto. Kebanyakan dari lawan kelahi Barlianto merasa iba setelah berkelahi dengannya karena wajah Barlianto yang sudah babak belur. Sisanya menganggap bahwa Barlianto adalah orang yang aneh lalu menghadiahkan satu bogem keras sampai Barlianto terhuyung ke tanah dan meninggalkannya begitu saja. Kondisi seperti itu pun disebut oleh Barlianto sebagai kemenangan karena lawan tidak ada lagi dalam arena ataupun tidak lagi bersedia untuk berkelahi. Selepas perkelahian biasanya Barlianto mencari benda padat yang bisa menjadi sandaran bagi tubuhnya yang lelah, lalu mencari benda berikutnya secara acak untuk dijadikannya titik fokus penglihatannya. Dengan memfokuskan pandangan ke arah benda tersebut. Ia sering membicarakan bagusnya kinerja kulit yang membuat darahnya lekas kering serta kebenciannya pada bahan celana olahraga miliknya yang jika bersentuhan dengan luka akan terasa begitu perih.

Malam Kamis, jam sepuluh, kira-kira lima belas tahun yang lalu, perjalanannya ke arah selatan mendapat sambutan baik dari pria besar yang dengan sengaja mengayunkan kakinya ke tubuh Barlianto yang kala itu diselimuti oleh kedua tangannya, sebagai perekat agar kaki-kakinya tidak lepas dari badannya untuk menghalau dinginnya angin malam. Barlianto terbangun, tangannya menjawab uluran tangan pria besar itu.

“Amdin.”

“B...Barlianto.”

Remasan tangan Amdin membuat seluruh bagian pergelangan tangan Barlianto ke bawah tenggelam. Menyisakan raut muka Barlianto yang dengan susah payah menahan sakit. Amdin tersenyum. Pasalnya hanya Barliantolah yang dengan kesadaran penuh tidak kaget dan berusaha melepaskan genggaman tangannya. Dari pertemuannya dengan Amdin, Barlianto mendapat tambahan nama. Dalam hari-hari yang mereka lalui bersama, Amdin selalu memanggilnya Kawan Barlianto. Telapak tangan yang lembab adalah alasan kenapa Amdin selalu dihindari oleh orang-orang yang ia dekati, biasanya pria, perempuan baginya hanyalah sebuah pekerjaan.

Langkahnya yang lamban dan juga rambutnya yang keperakan bukan menjadi persoalan bagi para perempuan. Justru di situ letak kharismanya. Meskipun Amdin menderita ejakulasi dini, aroma tubuh Amdin adalah satu-satunya alasan perempuan rela bersenggama dengannya. Melayani perempuan adalah cara Amdin untuk bertahan hidup, pertemuannya dengan Barlianto dapat membuat Amdin memuaskan pelanggan lamanya dan juga dibanjiri pelanggan baru.

Semenjak pertemanannya dengan Barlianto, Amdin menjadi satu-satunya sasaran bagaimana lihainya Barlianto bersilat lidah. Kata-kata bijak selalu berdansa di telinga Amdin. Amdin selalu mempunyai prasangka kuat bahwa kata-kata itu hanyalah suatu kebohongan besar. Baiknya Barlianto dalam memuaskan pelanggannya membuat mulut besar Amdin terdiam. Itulah alasannya.

Di tengah obrolan mereka tentang payudara, Barlianto menunjukkan leher kanannya yang terdapat bercak berwarna merah. Ia mengeluh bahwa bercak ini tidak membuatnya gatal. Namun, sudah berjalan satu bulan pandangannya sering kabur dan pada malam hari tubuhnya dibanjiri oleh keringat. Amdin menanggapi dengan santai sembari menenggak pil berwarna kuning dengan bungkus bertuliskan Tadalafil pemberian Barlianto.

“Itu hanya bercak biasa. Apa-apaan juga pandangan kau ini. Di mana semangat hidup indah itu?”

“Apakah ini pertanda bahwa aku berbakat menjadi manusia?”

“Ya. Sangat. Kau hidup dalam alam nafsumu, keserakahanmu, keegoisanmu, kepintaranmu, keluguanmu, dan itu merupakan bakat alami manusia agar bisa terus hidup. Apa kau tidak merasa bahagia, atau puas?”

“Aku merasa puas. Kepuasan yang tidak memiliki akhir. Yang terus berteriak agar selalu terisi penuh. Mereka terlalu berisik.”

“Gunakan nafsumu. Manfaatkanlah.

“Sekarang pandanganku hilang. Kedua mataku tidak berfungsi. Aku hanya bisa mendengar suaramu.”

“Tak apa. Di saat seperti ini wujud tidaklah penting, kau hanya membutuhkan suara.”

“Ada yang tidak beres dengan tubuhku,” gumam Barlianto dalam hati. Barlianto menjauhi suara. Pandangannya sudah kembali. Ia pun mengambil handuk sementara Amdin hanya memandanginya dari kejauhan.

Dengan raut wajah datar dan tanpa memikirkan apapun, Barlianto berjalan ke muka pintu kamar mandi, melepaskan kaus berwarna hitamnya, melemparkannya dengan sembarang, dan tidak lupa, celana olahraganya, yang ia gantung pada kursi kayu milik Amdin dengan sopan. Barlianto telah sampai. Dalam keadaan telanjang, matanya setajam endusan anjing patroli yang menyisir setiap bagian tubuhnya yang tertangkap mengeluarkan keringat. Dan memberikan laporan dengan lebih jujur ketimbang si empunya.

Berkeringat pikir Barlianto adalah hal wajar, entah siang atau malam, yang setiap manusia pun pernah mengalaminya. Ia tidak menyuntuki betul hal itu. Tangan kirinya bergerak ke sumber rasa nyeri. Dicekik kepala kontolnya, dipijitnya pelan pada bagian leher sampai ke kepala. Gerakan ini persis ketika Barlianto sudah mencapai klimaks dan siap memuntahkan sisa-sisa air mani pada perut pelanggannya. Bedanya, kali ini di setiap pijitan tersebut kontolnya mengeluarkan cairan putih kehijau-hijauan, sedikit nanah, dan sisa-sisa urine. Tiap gesekan antara campuran cairan barusan dengan saluran di dalam kontol miliknya menimbulkan rasa sakit. Aktivitas itu dilakukan Barlianto dengan susah payah. Selain karena tidak tahan dengan rasa sakitnya, cairan itu keluar dengan tersendat-sendat. Dengan cepat ia meraih handuknya dan menggigit handuk itu dengan sangat kuat. Upaya itu Barlianto lakukan agar teriakannya tidak sampai menembus dinding kamar mandi.

Tiga sampai empat menit ia berjibaku. Wajah Barlianto sembab karena air mata. Barlianto menyudahi, meskipun jika leher kontolnya ia pijat lagi tetap mengeluarkan cairan barusan. “Ah, jadi di sini sumber sakitnya,” ucap Barlianto dengan handuk yang masih menyumpal mulutnya dan sambil mencekik kepala kontolnya sekali lagi. Ia membatin, “Cairan ini membuatku mual. Rasanya percuma jika kupikir sekali lagi. Kehidupan akan jahil kepadamu, lalu dilemparlah aku ke dalam ruang penghakiman. Mereka tidak menghendakiku lama-lama dalam keadaan bahagia.”

Suara benda logam yang terjatuh membuat Amdin penasaran. Ia harus menunggu setidaknya satu menit lagi. Pada seminggu pertama, Amdin selalu mengingat anjuran Barlianto, bahwa setelah menenggak Tadalafil, ia harus berdiam diri setidaknya lima menit terlebih dahulu. Rokok di tangannya terasa tanggung. Satu-dua hisapan lagi menjadi tanda bahwa Amdin bersiap menelusuri sumber suara. Dengan langkahnya yang lamban Amdin berjalan melewati kamar yang biasa Barlianto pakai, lalu melewati tumpukan buku yang berdebu karena tidak pernah dibaca, lalu menuju kamar mandi. Gagang pintu dibuka dengan sangat tegas. Di dalam ruangan satu kali dua meter, suhu tubuh Amdin meninggi, tangannya gemetar. Mata Kawan Barlianto terbuka. Mulut Kawan Barlianto dililiti handuk. Tulang belakang Kawan Barlianto bersandar pada tembok. Badan Kawan Barlianto yang kecil membuat ruangan itu terlihat begitu luas. Dua tangan kawan Barlianto terkulai di ubin seperti orang menengadah meminta-minta. Jembut kawan Barlianto sangat lebat, warnanya hitam bercampur merah pekat. Kepala kontol Kawan Barlianto melarikan diri dari tubuhnya, lengkap dengan cairan putih kehijau-hijauan yang kali ini bercampur darah. Amdin berjalan ke arah Kawan Barlianto. Diraihnya pisau itu lengkap dengan suguhan darah kental. Seperti yang sudah-sudah, ceramah singkat mengiringi laju darah menuju pintu keluar saluran air. Amdin menutup paksa mata Kawan Barlianto. Kali ini untuk pertama kalinya, Barlianto kalah dalam perkelahian.


oleh Nabair






Hari-hari penyesalan datang terbungkus sutra kelabu. Orang-orang adalah sekantung saraf yang didorong ilusi gila. Orang-orang terlalu banyak minum kopi. Kabel membawa topeng, membawa simbol, membawa kata-kata, kota mati dengan pepohonan berdaun merah tanpa cabang. Mata kita tertutup, telinga mereka pun tertutup. Wajah kita adalah benda asing, artefak kuno yang terbuat dari merah dan putih, retak di bawah tekanan waktu.