Malam sampai pagi sampai malam lagi. Kutatap malam menuju pagi yang menyakiti hati. Apakah seorang pria harus kuat menatap pagi? Hingga sendi-sendi tak boleh sendu? Apakah pria tak boleh indah? Dengan kulit bagai porselen dan sedikit gemulai?

Aku, di sebuah kamar bercat putih hampir mati, menenggak butir demi butir, harusnya satu butir, namun tidak dengan malam ini. Dengan mata menggantung pada kekosongan, kulempar pandangan ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Dia bergoyang tanpa ada angin bertiup, seakan mesra—mengajak menari bersama, tapi apa daya, diri ini tak bisa. Semula pintu itu bergoyang bagai ditiup angin, goyangannya lembut berirama, lalu perlahan berubah menjadi goncangan, seperti ada yang menggoncang dengan marah. Iya! Pintu itu seakan marah, mendapati kenyataan terpaku pada dinding, dia berusaha lepas, bebas dan tak terbelenggu. Pintu kamar mandi itu lupa, sekuat apapun usahanya, dia akan selalu terpaku di sana. Dia bisa lepas, tapi apakah dia bisa berdiri tanpa adanya dinding? Apakah dia bisa berguna tanpa adanya dinding? Ah, pintu itu terlalu pongah, terlalu percaya pada diri yang akhirnya membawa kehancuran untuknya sendiri. 

Goncangan pada pintu kamar mandi itu berhenti, mungkin dia lelah, buat apa memaksakan diri? Bukankah memang lemah? Sudah-sudah, mengapa tidak menyerah? Wahai pintu kamar mandi. Suara yang sering kudengar masuk ke telinga, jelas! itu suara kuku yang dibaretkan ke dinding, suaranya sangat kecil, tapi pengalamanku dengan suara itu membuat pendengaranku peka terhadapnya. Selimut tipis berwarna merah muda yang pudar memutih kutarik dan kututupi sekujur tubuhku. Aku tidak ingin mendengar atau sampai melihat hal-hal tak masuk akal. Kecurigaanku muncul, tak mungkin gangguan ini bakal berhenti, sedini ini. Engsel pintu depan yang mengarah ke ruang tamu bergerak seperti ada yang berusaha membukanya, kencang, seperti ada orang yang terburu-buru ingin masuk, padahal pintu itu tak dikunci, dengan dorongan sedikit dan ditambah putaran engsel kekiri, maka pintu itu akan terbuka, mengapa susah payah membuka bila memang itu tujuannya? Sayangnya tidak, bajingan ini! Dia pasti sengaja mengganggu hari-hariku. Dalam kesunyian ruang kamar, suara-suara itu pun perlahan berhenti. Bersama kecurigaanku tadi, muncul lah suara baru, kali ini pintu yang mengarah ke ruang tamu diketuk!

Terdengar suara pintu diketuk satu kali.

"Aku dengar tapi memilih diam".

Suara pintu diketuk dua kali

"Siapa! siapa!".

Suara pintu diketuk tiga kali.

"Pergi! pergi!".

uara pintu diketuk empat kali.

"Kalau memang ingin kemari, lekas masuk lalu jawab aku!"

Pintu itu terbuka dan tak ada seorang pun terlihat.

"Siapa disana?!"

"Kalau begini, lebih baik mati!” Suara misterius itu, tiba-tiba muncul merasuk kedalam telinga, "Segera.”

✸✸✸

Obat tidur sangat menakutkan, ketika menempel di ujung lidah, sekejap bulan berganti mentari. Terbaring di atas kasur dan dihantui adalah rutinitasku setiap malam. Pengantar galon biadab itu merenggut mimpiku. Keinginan menjual keindahanku, kemolekan dan putih kulitku di gawai para khalayak ramai—sirna. Masa depanku hilang dalam waktu sepuluh menit. Tubuhku kaget, otakku terhenti dan jiwaku mati. Harkat martabat seorang pria telah tenggelam dalam lautan kenyataan.

Setiap hari aku hanya terbaring di kasur, makan dan minum di antar oleh bibi tua yang tinggal di dekat rumah, begitu pun urusan buang membuang, bibi tua yang mengurusi. Keluargaku tidak kaya, itu yang membuat mereka harus kerja pagi, pulang malam, sedangkan aku, di sini lumpuh, dari pinggul sampai kaki, menghadapi malam-malam sendiri, hari-hari sendiri, untuk menghabiskan hari tak banyak yang bisa yang kulakukan lagi.

Pagi menjelang siang yang sangat aneh, sandaran kasur dari besi yang kini sudah berkarat, tempatku meletakkan kepala—bergoyang. Kasur ini seakan mengikuti irama napas, detak jantung, dan denyut nadiku. Dia bergerak perlahan-lahan, aku menikmatinya secara seksama, seolah-olah ada sosok lain di belakangku, akhirnya aku tak sendiri. Rasanya tak masuk akal bila tembok bata bisa bergoyang, ini bukan gempa, dia hidup! Terlalu lama sepertinya aku menikmati goyangan ini sehingga rasa awal ditemani berubah menjadi sebal, bukankah suatu hal yang konstan itu menyebalkan?

Didorong rasa penasaran yang membuncah, kudorong sandaran kasur itu ke belakang dengan punggungku, agar siapa pun yang ada di balik tembok paham—aku sebal! Tanpa disangka, tanpa dinyana, tembok itu membalas! Aku semakin sebal, mengapa tembok bercat putih itu menjadi sangat menyebalkan?! Kuketuk perlahan, tidak terlalu kencang, tidak juga terlalu pelan, sebab tujuan utamanya agar siapa pun di balik tembok paham bahwa aku sebal!

Ketukanku dibalas, bajingan! Betapa biadabnya siapa pun yang ada di balik tembok itu! Aku tak habis pikir, apa yang dia inginkan dari pria lumpuh sepertiku. Kubiarkan tembok itu beberapa menit, tetap kurasakan goyangannya yang menyebalkan, sekali lagi, itu bukan gempa! Ada sosok di balik tembok itu! Aku percaya! Aku yakin! Nagai orang yang ingin bersin lalu diganggu, seperti itulah kesebalanku sekarang.

Suara ketukan muncul tanpa kupancing, sekali, dua kali, tiga kali, empat kali! Bajingan itu mengetuk tembok itu empat kali! Sekarang kugedor tembok  dengan keras, kencang dan penuh amarah, sekarang rasa sesalku telah berubah menjadi marah, seakan jeritan serigala muncul dari rongga paru-paru berjalan menuju pita suara lalu ke artikulator yang menghasilkan jeritan kekesalan yang nyaring—aku teriak sekencang-kencangnya. Aku meronta gila, aku marah, aku sedih, mengapa kejadian ini bisa terjadi padaku? Kubenturkan kepalaku ke tembok sebagai tanda menyerah, betapa sengsaranya orang lumpuh dan merana ini.

Seperti siang yang mulai redup, perlawananku pun begitu. Goyangan tembok makin kencang, diiringi ketukan yang lebih mirip gedoran, aku sekarang hanya bisa menangis, kalau bisa berlari, sudah kutinggalkan tempat ini. Tiba-tiba, suara berbisik terdengar samar, apakah ini dari balik tembok? Mengapa temboknya tak bergoyang dan digedor lagi? Sungguh aneh, namun perhatianku sekarang berganti pada apa yang dibicarakan suara-suara samar itu, suaranya terdengar seperti desahan, bukan-bukan, itu rintihan, mungkin dengan kenikmatan, tapi bisa jadi bukan, itu suara kesakitan! dengan penasaran yang bercampur ketakutan, kutempelkan daun telinga ke tembok agar terdengar jelas suara apa itu.

“Ah…” Suara perlahan dan penuh hembusan napas.

“Argh…” Suara kembali terdengar perlahan, kali ini berisi geraman.

“Aaaaaaaaaa!!!” Suara jeritan memekakan telinga, menusuk jantung dan membuat kulitku memucat ketakutan diiringi keringat dingin yang mengucur deras.

Aku merinding dan membatu, keberanianku telah pergi, seperti matahari hari ini.

✸✸✸

Malam kembali tiba, bayangkan saja betapa menderitanya aku menghadapi hari-hari? Aku sebagai pria, aku sebagai orang lumpuh, aku sebagai seorang yang dihantui suara-suara. Apakah hidup hanya untuk menderita? Apakah mati adalah akhir dari penderitaan? Tidak ada yang tahu. Sebelum terlahir, aku tidak pernah terpikir bahwa kehidupan akan semenderita ini. Ketika aku mati? Bisa jadi penderitaannya lebih parah dari ini, tidak ada yang tahu, tidak ada yang pernah berbicara, tentang bagaimana kehidupan setelah mati. Orang-orang yang didiagnosis mati suri pun hidup lagi, jika mati itu tak hidup, berarti siapapun yang katanya pernah mati, dia tidak pernah mati, karena dia bercerita setelah hidup lagi.

Ketukan itu muncul lagi, seperti halnya ketukan pengantar galon yang datang ke kosanku pada pukul sepuluh pagi saat orang-orang sibuk urusannya masing-masing.

Suara ketukan pertama terdengar, hanya sekali.

Suara itu tak terdengar jelas, mungkin karena saat itu aku sedang sibuk mengeringkan tubuh. Saat itu juga aku tak tau bahwa sepuluh menit dari dua puluh empat tahun hidupku sangat berarti.Teringat jelas detail kejadian itu. Senin, hari yang paling kelam di antara semua hari. Kamar kos sepi penghuni, hanya ada aku seorang, memang hari itu aku meliburkan diri dari menjajakan gawai di pasar besar. Seorang pria yang memiliki mimpi menjadi model iklan gawai harus bekerja menjadi penjaja gawai demi cita-citanya itu. Mengapa kuterima pekerjaan ini? Karena seleksi yang dilakukan hanya perkara urusan tampang, oleh sebab itu aku mengambil pekerjaan ini, urusan soal tampang, dahulu aku amat sombong dan sering membicarakannya. 

Terdengar dua kali suara ketukan.

Aku segera menyadari ada orang di luar, aku pun bergegas sampai lupa kalau hanya mengenakan handuk, dadaku yang bidang pun terekspos. 

Kuhampiri pintu dan kubuka. Ternyata pengantar galon, aku memesannya pagi itu, kupersilahkan dia masuk dan kuminta untuk memasangkan galon ke dispenser. Bukannya tak kuat, hanya saja aku sedang tak mau. Ketika sedang memasang galon, pengantar itu sedikit mengendus, mungkin aroma musk parfumku tercium olehnya. Setelah kubayar lalu pergilah dia.

Terdengar tiga kali suara ketukan.

Aku tidak berpikir siapa yang ada di balik pintu, refleks saja aku bergegas menuju pintu depan dan membukanya.

Pengantar galon itu lagi, matanya tajam, seakan mengiris perlahan tepat di dadaku, naik ke leher, lalu ke sepasang bola mataku. Selang beberapa detik kemudian, dia meraih kepalaku, membungkam mulutku dengan bibir hitam yang berbau tembakau diiringi dengan cengkraman pada kemaluanku. Aku meronta gila, namun tenaganya lebih besar, dia memperkosaku. Aku ingat setiap detik yang terlewat, tergambar jelas dalam otakku bagai lukisan Tarquin and Lucretia karya Titian. Sepuluh menit yang merubah hidupku, aku beku saat itu, setelah sepuluh menit terlewati, entah dari mana tenagaku kembali, dan aku pun berteriak sekencang-kencangnya.

Singkat cerita, khalayak disekitar kostku menghampiri asal muasal suara teriakan, mereka tak percaya dengan kejadian di depannya. Mereka melihatku terkulai lemas dengan kegagahannya menancap di pembuanganku, pukul memukul terjadi, semua orang yang datang karena ada keributan menghadiahkan tinju ke wajah pengantar galon itu.

Tiga hantaman ke daun pintu, sekarat, dengan wajah yang hampir tak berbentuk, kepalanya dihantamkan kembali ke daun pintu, tiga kali! Setelah itu, terdengar ketukan benda tumpul dari luar daun pintu sebanyak empat kali, ternyata polisi, mereka pun berusaha melerai, tapi tidak ada lagi yang bisa dilerai, sebab seperti puding yang jatuh berantakan ke lantai, pengantar galon itu hancur berantakan dan mati.

Lalu malam ini, apakah aku harus menelan lebih dari satu butir lagi, sebab suara-suara ketukan itu terdengar lagi.


oleh Yurie A.T.






Bantal menangisi embrio berlapis lilin, besok pagi di tepi sungai biru kita akan minum darah Bapa. Bakar dan sterilkan. Pisau malam merajah daging porselen. Kepala cakrawala tertunduk memandangi hutan merah dan ratusan kuil langit, hati mereka terbuka ke bulan, terjalin dalam abu. Seorang hamba baru saja lahir ke dunia, hanya mengenal darah dan air mata, tanpa dosa kesucian, tanpa harapan.