Sejak matahari belum terlihat sempurna hingga hampir menghilang di ufuk barat, hari itu sama seperti hari sebelumnya, semua berjalan seperti biasa. Hanya saja, semuanya memang terasa lebih hening. Sehabis menyelesaikan rutinitas dan jadwal, aku langsung bergegas kembali ke rumah, mandi, dan mengganti pakaian lalu mengemas barang-barang yang akan dibawa besok. Tak ada yang menggangguku saat itu, bahkan pikiran-pikiran buruk mengenai hari esok yang biasa menghantui kepala pun tak lagi muncul.

Pikiranku hanya tertuju pada satu hal, bahwa besok aku akan bertemu dengan perempuan yang aku cinta. Setelah selesai mengemasi barang, aku melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam lebih tiga belas menit. Sebelum tidur, aku menyempatkan mengirim pesan terlebih dahulu kepada perempuan yang aku cintai, untuk memastikan bahwa besok jam setengah sepuluh pagi aku bisa memulai perjalanan untuk menemuinya. Malam itu tidurku tak terlalu nyenyak sebenarnya, seperti biasa, tapi cukup untuk memulihkan energi yang terkuras habis setelah menjalani rutinitas dan jadwal yang sebenarnya sudah mulai membosankan.

Hari sudah pagi, aku terbangun dan membuka tirai jendela kamar lalu menengok ke arah luar. Berdiri sejenak dalam keheningan. Seketika aku merasa seperti di atas awan, mengambang dan tak tahu arah. Aku terus berdiri dan termenung  sambil melihat sekitarku; sepertinya pagi ini matahari terbit kesiangan, di luar pun sepi tak seperti biasanya, padahal hari-hari sebelumnya orang masih sibuk lalu lalang seperti sedang dikejar oleh sesuatu yang tak kasat mata, tapi hari itu kota tampak seperti kota rantau ditinggal eksodus di masa libur hari raya. Setelah terpaku cukup lama di depan jendela kamar, aku memutuskan untuk membereskan kamar lalu bersiap untuk melakukan perjalanan untuk menemui seseorang yang aku cinta.

Tak hanya sepi, hari itu cuaca pun seperti tidak mendukungku. Pukul sembilan pagi angin bertiup sangat kencang, mendung hitam menggantung disertai ledakan-ledakan halilintar yang terdengar sangat riuh di langit. Memberikan isyarat bahwa tak lama lagi hujan lebat akan segera turun. Sialan, aku menggerutu. Pesan yang aku kirim semalam belum juga dibalas, meski begitu aku tak begitu memperdulikan, toh tanpa dikabari pun seharusnya sudah sama-sama tahu bahwa hari ini aku akan mengunjunginya karena memang ini sudah direncanakan sejak jauh hari.

Menunggangi kuda besi dengan kecepatan di atas rata-rata, berharap agar bisa tiba sebelum turun hujan. Aku bahkan tak mempedulikan peringatan “kurangi kecepatan” dari si tukang memerintah yang tertera di papan iklan sepanjang jalan. “Sebagai tindakan pemberontakan ahahaha,” kataku sambil tertawa. Tapi memang saat itu jalanan sangat sepi, tak ada salahnya untuk melaju dengan kecepatan di atas rata-rata selama bisa tetap menjaga fokus dan berhati-hati, pikirku. Di tengah perjalanan dering ponselku berbunyi, aku tahu itu dari dia tapi aku mengabaikannya dan terus melanjutkan perjalanan karena aku ingin bisa tiba sebelum hujan turun. Dengan kecepatan di atas rata-rata dan kondisi jalanan saat itu yang sedang sepi, tak butuh waktu satu jam aku pun tiba di pertengahan antara kota yang kutinggali dengan kotanya, melewati sebuah desa dan sekumpulan orang yang sedang kerja bakti. Aku mengurangi kecepatan sambil memperhatikan sekitar, terlihat sebagian orang sibuk membersihkan gorong-gorong, sebagiannya lagi membuat slogan-slogan seruan mengenai pentingnya menjaga lingkungan, ada juga yang hanya haha-hihi. Kondisi yang sama sekali tidak aneh karena di setiap kerja bakti rasanya memang selalu seperti itu. Semuanya wajar-wajar saja. Sampai ketika aku melihat sebuah slogan seruan agar manusia bisa lebih menyatu dengan alam. Aku berhenti sejenak. “Sebentar, untuk apa mereka menyerukan suatu hal yang sudah sangat jelas diketahui oleh banyak orang, apakah mereka tidak sadar bahwa kita semua adalah alam semesta itu sendiri, lalu mengapa kita perlu melakukan sesuatu agar bisa menyatu dengan alam? Hahaha aneh tapi bodo amatlah, ngapain juga aku memikirkan hal seperti itu?” Pikirku sambil kembali melanjutkan perjalanan.

Tiba-tiba di jalan yang tak kuketahui namanya, hujan turun sangat deras dan membasahiku. Aku berhenti di sebuah warung kopi untuk berteduh. Membeli secangkir kopi dan sebungkus rokok sebagai teman berteduh. Sambil menunggu kopi datang, aku menyulut rokok, ini batang pertama yang aku bakar hari ini, sambil terpaku ke arah jalanan yang berkabut akibat hujan deras. Aku teringat pesan yang belum sempat dibalas. Aku bergegas mengambil handphone yang tersimpan di dalam tas pinggang dan membaca pesan dari kekasihku.

“Iya, hati-hati di perjalanan. Sesuai apa yang aku bilang tempo hari, aku mau masak buat makan malam kita nanti. Sampai jumpa sayang.” Tepat seperti apa yang diperkirakan, ia memintaku untuk berhati-hati saat mengendarai motorku.

“Hahaha iya, nanti aku coba. Ini aku sudah setengah perjalanan, tapi di sini hujan deras, sekarang aku sedang berteduh. Nanti begitu hujan reda, aku lanjut jalan. Sampai jumpa sayang.” Balasku sambil tersenyum sendiri seperti habis menelan jamur magic dari tahi sapi pilihan.

Dia adalah perempuan cantik, pintar, dan tentu saja seksi. Dia adalah alasan mengapa aku bekerja keras meskipun payah. Teman-temanku bilang itu penghambaan? Hahaha, bukan, this is love. Itu pembelaanku. Hubunganku dengannya dimulai di penghujung bulan Februari lalu. Beberapa bulan setelahnya aku pun sering memikirkannya dan ingin menemuinya untuk menyampaikan sesuatu yang perlu kukatakan kepadanya. Teman-temanku selalu menyajikan asupan bergizi untuk menambah rasa pesimisme agar tidak terjatuh karena harapanku sendiri, tapi dalam kasus ini rasanya aku tidak bisa sepesimis itu. Ya mungkin dia tidak akan tertarik, tapi aku tetap ingin mengatakannya. Didengar atau tidak, dibalas atau tidak; bodo amat sih. Pikirku saat itu.

Kopi yang aku pesan untuk menemaniku berteduh sudah datang. Tak terasa sudah tiga batang rokok aku habiskan, jam menunjukkan pukul sebelas siang lewat sembilan menit dan hujan tak kunjung reda juga. Aku memberi kabar padanya mengenai situasi dan kondisi yang sedang aku hadapi, di sini hujan semakin deras kemungkinan aku akan terlambat tiba dari waktu yang sudah diperkirakan.

Setelah sempat tertidur karena bosan menunggu cukup lama, karena hujan sudah tak sederas sebelumnya, aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku tiba di kediamannya jam dua lewat tiga belas menit dengan kondisi sedikit basah. Dia menyambutku dengan pelukan hangat, mempersilahkan masuk dan menyarankan untuk beristirahat.

“Ayo masuk aja, terus kamu ganti baju dulu. Aku mau bikin teh buat kamu biar ga masuk angin habis itu kamu istirahat.” Katanya. Aku mengangguk mengiyakan.

Setelah beristirahat dan mengobrolkan hal-hal kecil sampai waktu makan malam, kami makan malam sambil sesekali membahas yang telah lalu. Hal sederhana yang cukup membahagiakan bagi kami berdua. Ketika selesai makan, dia menatapku dan berkata, “Di luar hujan deras, dan kita makan malam berdua di sini. Ditemani lagu-lagu yang kita suka. Romantis.” Ujarnya padaku.

Sambil tersenyum, aku menjawab “Sekalipun di luar sana huru-hara, asal denganmu itu romantis, sayang.” Jawabku sambil menatapnya dengan penuh keyakinan.

“Hahahaha,” dia hanya tertawa.

“Kenapa tertawa?” Tanyaku heran.

Tanpa menjawab, ia  menghampiri dan memelukku. Diam. Hangat.

“Nanti, setelah aku tiba di rumah, mungkin hujan akan sama sekali berbeda dengan saat ini…”

“...”

“Tanpamu, hujan sepertinya tak akan sehangat ini.” Katanya.

“Hehe, iya. Menyedihkan.” Jawabku.

Ia pun bertanya padaku mengenai sesuatu yang ingin aku katakan. Aku bisa saja mengurungkan niatku karena aku paham betul bahwa ini bukanlah saat yang tepat, tapi masalah cinta tetaplah sebuah perasaan belaka. Sebagaimana perasaan-perasaan yang lain, cinta pun dapat datang dan pergi kapan saja. Setiap waktu. Tak ada yang mampu mengendalikan dan menghentikannya, hanya mampu berpura-pura untuk tidak merasakannya. Maka pada malam itu, seperti yang Carsie Blanton katakan, “Dibandingkan berpura-pura tak merasakannya atau berupaya mengabaikannya, aku ingin menyatakan apa yang kurasa; aku jatuh cinta.”

Sebelum berbicara kepadanya, aku memindahkan lagu yang kami putar, Daft Punk - Something About Us. “Agar lebih romantis,” kataku sambil tersenyum. Bagiku pribadi, single tersebut adalah yang paling romantis. Kuputarlah lagunya dengan volume yang tidak terlalu keras agar apa yang aku katakan tetap bisa terdengar jelas dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.

“Jadi gini, mungkin agak terdengar absurd, tapi sebenarnya aku menyukaimu sudah cukup lama, bahkan jauh sebelum kita menjalin komunikasi yang cukup intens. Dari percakapan awal saat itu, aku tak pernah menyangka bahwa kita akan bisa sampai di titik ini. Semuanya benar-benar di luar dugaan. Aku mengagumimu, itu dulu tapi saat ini aku merasakannya dengan hal yang berbeda, sejak saat itu sampai sekarang aku tak sekadar mengagumi, namun aku juga mencintai dan menyayangimu.” Kataku sambil menatap tajam.

Malam itu, aku telah menegaskan kembali perasaanku untuk yang entah kalinya. Akan tetapi, ini adalah pertama kalinya kuungkapkan secara langsung dan sangat serius. Aku tak pernah bosan menunjukkan kepada orang yang aku cintai bahwa aku sedang mencintainya. Dia terdiam tanpa kata lalu memelukku, semakin erat dari sebelumnya malah. Entah apa maksud pasti dibalik pelukannya, tapi aku tidak mempermasalahkan itu. Seperti rencanaku di awal; tanpa kepastian, hanya memajukan harapan; aku ingin menemuinya. Kami pun saling peluk diiringi lagu daft punk.

“It might not be the right time
I might not be the right one
But there's something about us I want to say
Cause there's something between us anyway
I might not be the right one
It might not be the right time
But there's something about us i've got to do
Some kind of secret I will share with you
I need you more than anything in my life
I want you more than anything in my life
I'll miss you more than anyone in my life
I love you more than anyone in my life”

Setelah malam itu hingga hari terakhir sebelum aku harus kembali pulang, aku sangat menikmati waktu-waktu bersamanya. Ada banyak kenangan yang tercipta malam itu. Yang jelas, dia sosok yang aku harapkan dan inginkan. Aku mencintainya. Romantis, ya, tentu. Suasana seperti apapun bisa terjadi dalam sebuah cerita fiksi sementara dalam kehidupan nyata, hal seperti itu sangat jarang terjadi, mungkin hampir mustahil terjadi.

“The time is right to put my arms around you
You're feeling right, you wrap your arms around too
But suddenly I feel the shining sun before I knew it this dream was all gone
I don't know what to do about this dream and you
I wish this dream comes true.”


oleh arnitjetta






Mengembarai margin keterasingan, api membakar hijau, menyisakan kekecewaan di antara melodi dan derau. Segala hal dan interaksi di antara kesemuanya, bagaimana pun kontradiktif dan inkonsisten,sepenuhnya indah, sepenuhnya suci. Mimpi-mimpi lahir dari pemahaman tersebut, bahwa kita harus memelihara segala sesuatu tanpa menghentikan gerakannya, tanpa mencuri sedikit pun nyala mereka.