Namaku Gandhi. Kepalaku botak. Umurku 23 tahun dan aku adalah seekor anjing. Aku dipungut orangtua angkatku sekitar 19 tahun lalu dari penangkaran yang terbakar. Atau dibakar. Entahlah, tidak begitu penting rasanya membicarakan hal ini dengan sedemikian subtil. Intinya terbakar. Aku sebenarnya tidak begitu ingat.

Kau tahu? Setidaknya sekian persen kadar intelegensi yang dimiliki seseorang akan turut terpangkas ketika ia memotong rambutnya. Begitulah yang mereka beritahukan kepadaku. Aku ini botak, kau ingat? Jadi mengapa pula menuntut sesuatu yang berada di luar kuasa seseorang? Singkat cerita, begitulah sejarah mengapa aku bisa berada di rumah ini.

Meskipun anak pungut, aku begitu disayang oleh kedua orangtua angkatku. Ayahku kerap memukuli kepalaku dengan batok kelapa, katanya agar aku tidak menjadi anak yang keras kepala. Ibuku terlampau rajin mencambukiku setiap petang dengan sapu rotan agar aku menjadi anak yang berpendirian teguh. Begitulah hobi unik mereka. Aku menyebutnya hobi karena rutinitas ini sudah beribu-ribu kali mereka lakukan sejak aku berumur delapan tahun. atau tujuh. Entahlah.

Selain rutinitas-rutinitas itu, wajah antusias mereka saat melakukannya pun sudah terbenam jauh di dalam pikiranku selayaknya potongan film yang membosankan. Bayangkan seorang lelaki paruh baya bermuka datar tiba-tiba bisa terlihat begitu antusias seperti kelebihan dopamin sembari memegang batok kelapa hasil jualan yang tidak laku. Kumis lebatnya terangkat mengikuti seringai yang tersungging di wajahnya. Mata lelahnya membelalak dan terlihat amat bergelora. Ibuku pun demikian, ibu-ibu keriput yang biasanya hanya cemberut tiba-tiba tersenyum sumringah. Perubahan mood yang begitu drastis. Kulit longgarnya bergelantungan, tampak payah ketika melayangkan sapu rotan ke setiap jengkal tubuhku. Ketidaksinkronan antara bentuk dan isi. Kalimat inilah yang tepat menggambarkan kondisi ibu angkatku tersebut. Pemandangan yang begitu membahagiakan.

Selama ini, aku pun tidak diperbolehkan memiliki teman selain dari sekolah karena katanya aku tidak pantas berteman dengan orang-orang berpendidikan rendah. Jadi, selama aku berada di rumah, aku cukup berteman dengan perkakas demi menjaga status dan harga diri kedua orangtua angkatku yang sudah begitu baik kepadaku. Palu seringkali menyapa tengkorakku dengan lantang. Pisau dapur bekas memotong daging hasil pemberian tetangga begitu senang bermain dengan kulitku dan berinteraksi dengan bagian terdalamnya.

Bila bosan, biasanya aku akan membuat teman proyektifku sendiri. Ini cukup menyenangkan. Kau bisa membentuk tampilan temanmu sendiri. Semacam fitur eternal yang ditawarkan oleh Tuhan yang maha kuasa. Coba saja sendiri kalau tidak percaya. Begini caranya, coba bayangkan: seorang anak laki-laki berkepala ikan lele dari warung pecel terdekat, perempuan muda dengan badan penuh luka sayatan hasil bertengkar dengan belalang sembah, atau terkadang seekor centaurus berbadan ubur-ubur. Kemudian coba ajak mereka berinteraksi. Mereka berkomunikasi dengan bahasa aneh yang entah bagaimana dapat aku mengerti. Percaya padaku, ini sungguh menyenangkan.

Teman-teman sekolahku pun begitu baik hati dan pengertian kepadaku. Setiap aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, mereka akan menertawakanku demi membuatku terpicu untuk menjadi anak yang rajin dan pintar. Pun begitu dengan guru-guruku, terutama Pak Haryono, Guru Matematika. Seringkali aku tidak dapat menjawab pertanyaan yang ia ajukan kepadaku. Misal saja, kala itu kami sedang membahas materi fungsi trigonometri dan tiba-tiba aku disuruh mengerjakan soal yang ia tuliskan di papan tulis. Seperti biasa aku tidak bisa menjawab, maka beliau berkata, “Kamu ini benar-benar goblok ya?!” Ujarnya lantang, disusul dengan tangan yang melayang begitu cepat hingga akhirnya mendarat mulus di pipiku. Seisi kelas riuh dipenuhi gelak tawa. Membuatku cukup terhibur. Mungkin aku ini memang ditakdirkan untuk membawa kebahagiaan pada orang lain. Terima kasih Tuhan. Aku akan berupaya menunaikan tugasku ini sebaik mungkin.

Sehari-harinya, teman-teman sekolahku pun kerap memukuliku karena aku anak yang payah dalam pelajaran olahraga. Pukulan, kata mereka, dapat membuat fisik seseorang meningkat menuju level yang selanjutnya. “Tut Wuri Handayani!” Ujar Reno, teman sekelasku yang hobi menyasarkan pukulan uppercut tepat di rahangku. Ada lagi Daniel dan gengnya yang seringkali memasukkan kepalaku ke dalam bak kamar mandi sekolah yang airnya berwarna coklat. Mereka tahu, praktik renangku mendapat nilai yang buruk. Juga Bagas, seorang pemuda yang cukup populer di kalangan siswi SMAku. Aku cukup sering membantunya meraih gelar tersebut. Misalnya saja, suatu kali aku pernah diminta berpura-pura menjahili seorang perempuan dengan menepuk pantatnya. Tentu saja ia menangis. Kemudian Bagus pun datang bak kesatria putih dari kayangan menghajar wajahku dengan dwichaginya yang sebetulnya tidak begitu sempurna, tetapi tetap dapat membuatku pingsan. Kemudian perempuan itu langsung jatuh hati kepada Bagus. Adegan murahan semacam ini sudah kami lakukan berpuluh-puluh kali, Bagus pun menjadi pemuda yang dielu-elukan oleh perempuan SMAku. Akan tetapi, tidak apa lah, toh setelah itu aku dianggap teman oleh Bagus. Ikatan ini nantinya akan berguna juga bagiku, setidaknya itulah yang aku rasa. Jadi begitulah, maksud mereka sungguh baik dan mulia. Karena aku anak yang terdepan, mereka selalu memberikan dorongan kepadaku agar dapat melesat kencang.

Teman-teman sekolahku pun turut memberikan panggilan akrab mereka kepadaku. Penanda pertemanan. Ikatan persahabatan yang begitu mulia. “Woi anjing, sini lu! Beliin gua rokok di warung Mpok Ratna buruan!” Seperti yang diucapkan Herman pada suatu waktu di jam istirahat. “Woi Gandhi anjing, buruan kerjain PR Bahasa Indonesia gua! Udah mau masuk nih, 5 menit lagi!” Ucap Danu pada hari Senin satu bulan yang lalu. Biasanya dilengkapi dengan adegan geplak kepala, tumit kaki yang menghantam tengkuk saat aku tersungkur, atau yang lain, masih banyak lagi, mengingat mereka adalah tipikal lingkaran intelektual yang begitu senang melakukan eksplorasi. Untuk itu, sebagai penghormatan atas hubungan pertemanan ini maka aku pun turut menganggap bahwasanya aku ini adalah seekor anjing. Membanggakan sekali, bukan? Hewan yang setia terhadap tanda. Sebuah entitas penjaga abadi. Betapa membanggakan.
Ketika menceritakan hal ini pada kedua orangtua angkatku sepulang ke rumah, Ayahku tertawa terbahak-bahak sementara Ibuku memasak. Ayah pun mencukur plontos kepalaku. “Bhahahaha, kau ini tolol ya?! Sini kucukur habis rambutmu agar kau menjadi sebuah botol. Botak dan tolol!” Ujar Ayahku kala itu. Aku masih suka tersenyum ketika mengingatnya. Betapa membahagiakannya ungkapan cinta kasih ini. Memang benar-benar tidak ada alasan bagiku untuk melupakan jasa dan kebaikan orang-orang terdekatku. Mana mungkin pula aku dapat melupakan jasa mereka padaku? Benar-benar mustahil. Jadi, aku memanifestasikan diriku sebagai pelengkap imajinasi mereka. Walau bagaimanapun, begini-begini aku ini anak yang tahu diri juga lho, sialan.

Sekarang aku berada di tahun terakhir masa perkuliahanku. Kalau sedikit ingin mengenang, masa perkuliahanku sebenarnya cukup menyenangkan juga. Pada tahun pertama aku sudah cukup dikenal oleh banyak orang. Ketika masa orientasi aku sempat mengenakan baju yang salah. Perintahnya adalah atasan putih polos dengan bawahan hitam sementara aku mengenakan atasan abu-abu dengan bawahan coklat. Alhasil oleh kakak-kakak senior aku disuruh maju ke depan dan menyanyikan lagu pok ame-ame belalang kupu-kupu sembari melakukan tarian poco-poco. Dari situ figur seorang laki-laki kocak dan humoris sudah melekat padaku. Anehnya lagi, mereka semua sudah tahu bahwa aku ini seekor anjing. Padahal aku belum memberitahukannya pada siapa pun. Tebakanku, salah seorang dari mereka adalah paranormal. Pernah di suatu waktu pada tahun pertama masa perkuliahan, aku dipanggil oleh seorang senior gondrong, “Eh anjing! Kalo lewat sini seenggaknya bilang permisi dong!” Wah orang ini hebat sekali. Aku harus hormat kepadanya. Terakhir aku tahu kalau panggilannya adalah Bang Jek. Aku pun cukup sering diajak nongkrong olehnya. Diajak mabuk-mabukan sampai narkobaan pun pernah. Tentunya itu tidak gratis. Aku diminta untuk memijatnya kalau dia sedang capek atau menjadi samsak tinjunya ketika ia sedang kesal setelah ditolak perempuan. Berita baiknya, aku sudah cukup terbiasa dengan peran semacam ini.

Di tahun kedua, aku mendengar kabar bahwa Bang Jek ditangkap Polisi karena dugaan kuat menjual sabu di kampus. Kasihan sekali. Yang aku salut adalah dia tidak turut melaporkanku pada polisi. Kalau tidak, mungkin aku juga akan dipenjara. Aku pun mulai jarang bergaul dengan para senior sejak saat itu dan mulai bergaul dengan teman seangkatanku. Mereka tidak begitu menyenangkan sebenarnya. Alasannya satu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang merupakan paranormal. Tidak ada yang tahu bahwa aku ini adalah seekor anjing. Mereka memanggilku dengan namaku, “Gandhi.”

Aku pun turut berkenalan dengan cewek-cewek, sampai salah seorang dari mereka menjadi pacarku, Tiara namanya. Dia cantik, perawakannya menyenangkan. Rambut hitam legam sebahu, kulit kuning langsat bersih, tingginya lima senti di bawahku. Aku berkenalan dengannya ketika jam makan siang di kantin. Saat itu, katanya dia baru saja kehilangan dompet dan tidak bisa makan siang. Aku pun meminjamkannya uang kepadanya. Sejak saat itu kami pun menjadi dekat. Aku pun memutuskan untuk menembaknya dua minggu setelah momen itu. Aku diterima.

Selayaknya orang pacaran pada umumnya, kami pun sering menghabiskan waktu bersama kemana-mana. Biasa saja sih sebenarnya. Yang tidak biasa hanya satu. Setelah 5 bulan berpacaran tiba-tiba Tiara menelponku untuk meminjam uang sebesar 1 juta rupiah. Untuk biaya berobat ibunya, katanya. Sebagai pacar yang baik, tentu saja aku meminjaminya uang tabunganku. Apa pun akan kulakukan untuk orang terkasihku. Meski demikian, keesokan harinya ia tidak dapat dihubungi dan tidak datang juga ke kampus. Aku mencarinya kemana-mana, melacak alamat kosnya, menghubungi nomor rumahnya yang ia taruh di database kampus, sampai mengunjungi alamat rumahnya di kota sebelah. Namun, semuanya nihil. Ia hilang bagai hantu. Padahal aku sangat merindukannya. Alhasil tahun-tahun selanjutnya aku menghabiskan masa kuliahku dengan melakukan pekerjaan apa pun, dari penjaga minimarket sampai menjajakan jasa joki pun aku kerjakan. Begitulah, membosankan untuk diceritakan sebenarnya, jadi tidak usah.

Ah sudahlah, lama-lama memuakkan juga memberikan kadar positif berlebih di dalam cerita ini. Tentu saja aku muak dengan semua ini. Bodoh sekali kalau kau pikir aku benar-benar menganggap semuanya sesuai dengan apa yang aku bicarakan. Anjing. Akan tetapi, terima kasih sudah mendengarkan, meski kau tahu sejak awal semua ini sama sekali tidak ada artinya. Jadi, di sinilah aku sekarang. Di kamar kos sempit dengan tali tambang yang aku beli tadi siang di toko bangunan terdekat. Mungkin malam ini juga aku akan memberontak, tunggu saja.


 

oleh xyzxcxzv






Menghamba pada denyut espotik katedral berapi, jiwa-jiwa gelisah tenang terkubur di bawah praksis bara gila. Akankah kau telan dunia seisinya, wahai bocah? Bersediakah kau memikul seluruh amarah serta keputusasaanmu dan membawanya pada kami semua? Pembalasan mengerikan untuk menyucikan kenyataan dari seluruh kepalsuannya. Tak ada jawaban selain kobaran api, tak ada pilihan selain tumbuh menjadi tokoh utama dalam tragedi ini. Sungguh, kelak dosa-dosa atas ketaatan kita pada kebenaran akan menyeret kita menuju gelap kematian.