“Kita berkumpul lagi untuk terakhir kali sebelum besok pagi proyek ini berjalan di seluruh negeri.
Setelah proyek besok, jangan pernah bertemu lagi.
Jam 2 pagi seperti biasa, di tempat yang biasa juga. Jangan ada yang terlambat! Terima kasih.”

Bunyi pesan singkat yang dikirimkan seorang petinggi militer di sebuah grup WhatsApp yang diberi nama “Operasi Warung Kopi”. Anggota grup itu terdiri dari petinggi militer, ketua aktivis, ketua mahasiswa merangkap ketua anarko sindikalis, ketua serikat buruh, ketua kelas menengah ngehek, influencer oposisi pemerintah, dan beragam jabatan lain yang masing-masing mewakili puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu orang di luar grup WA itu, terkecuali mungkin para influencer yang hanya punya massa di internet saja.

Proyek dalam pesan itu merujuk pada sebuah operasi yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa saat ini karena dirasa sudah melenceng dari tujuan negeri ini dibentuk. Dari awal pemerintahan hingga kini sudah berjalan empat periode, pemimpin ini hanya memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan diri sendiri.

Tak ada bagi-bagi proyek sehingga petinggi-petinggi yang lain pun iri dan merasa semua ini harus segera dihentikan. Cara keras ini dilakukan karena cara-cara resmi tidak pernah berhasil menggulingkannya.

Warung Kopi merujuk pada tempat di mana pertemuan-pertemuan rahasia itu mereka lakukan. Sebenarnya tidak rahasia-rahasia amat, warung itu berada di sebuah pertigaan sempit ibukota yang menjadi jalan tikus menuju kampus, pasar, dan area klub malam.

Warung itu tepat berada di samping sebuah pos ronda yang kini terbengkalai dan hanya menjadi sarang tikus serta kecoa, menempel pada gardu listrik yang kabelnya semrawut tak karuan. Percikan api kerap muncul dari gardu listrik itu. Tak pernah ada niatan dari warga setempat untuk memperbaikinya karena percikan itu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Ibu-ibu kerap membawa anak-anak mereka melihat gardu listrik itu di sore hari menjelang maghrib sembari menyuapi mereka makan, “Tuh liat tuh ada kembang api! Aaakkk, buka mulutnya. Nyaamm.”

Warung itu milik Teh Dewi, tidak secara resmi miliknya karena sebenarnya petak yang ditempatinya berdiri di atas lahan yang dikelola pasar, seorang janda bahenol asal Subang, Jawa Barat. Usianya sekitar 37 atau mungkin 38 tahun, menjanda dari usia 26 tahun karena suaminya tak pernah pulang semenjak merantau ke timur tengah hingga hari ini. 

Ada banyak hal yang istimewa dari Teh Dewi ini. Beberapa kali ia viral di media sosial, “Heboh! Pedagang gorengan ini gegerkan masyarakat dengan kecantikannya!” “Alamak! Cabe di warung ini kalah pedas dengan tampilan penjualnya,” dan beragam judul berita lain yang kurang lebih sama isinya. Selain parasnya yang memang cantik aduhai, ia pun sangat ahli dengan tangannya, ia membuat semua gorengannya secara dadakan sendirian. Perlu kamera dengan frame rate tinggi untuk bisa menangkap semua gerakan tangan Teh Dewi saat menyiapkan bala-bala, gehu, cireng, combro, pisang goreng, goreng ubi, dan beragam gorengan lainnya. Dalam beberapa menit saja ia berhasil menggoreng puluhan gorengan untuk kemudian siap disajikan dan disantap para pelanggan. 

Teh Dewi juga ahli menggoreng gorengan dengan tangan kosong, ia biasa membolak-balik gorengan di atas wajan penuh minyak yang tentunya panas dengan tangannya sendiri tanpa satu pun alat bantu. Pembeli yang terkagum-kagum kerap merekam berbagai macam aksinya dan mengunggahnya di media sosial. Ia pun kadang membuat tutorial teknik dasar Krav Maga dengan modal handphone seadanya kemudian ia unggah sendiri ke akun YouTube miliknya. Krav Maga sendiri merupakan beladiri asal Israel yang brutal dan tanpa ampun. Entah dari mana Teh Dewi belajar beladiri mematikan itu. Beberapa kali Teh Dewi diundang ke televisi karena paras wajahnya juga keunikannya itu.

“Kita harus menarik perhatian. Rahasia bakal tersembunyi dengan baik di keramaian. Kita harus mencari tempat yang mencolok.” 

“Di mana, ya?”

“Gimana kalo di Warung Teh Dewi saja? Saya sering ke sana, gorengannya enak, atraksinya unik, pedagangnya juga sedap dipandang mata.”

“Ya, boleh juga. Warung itu juga buka dari jam 9 malam sampai subuh. Waktu yang pas untuk kita bermufakat.”

“Takkan ada yang curiga termasuk agen intelijen.”

Begitulah percakapan para anggota di awal grup WA Operasi Warung Kopi itu dibuat dan akhirnya memutuskan bermufakat merencanakan revolusi di warung itu.

***

Waktu menunjukkan pukul 01.52 dini hari saat petinggi militer itu jadi orang pertama yang hadir di pertemuan terakhir Operasi Warung Kopi. Petinggi itu selalu menjaga wibawanya setiap waktu, ia biasa memakai setelan militer di siang hari dan memakai setelan hansip (pertahanan sipil) di waktu senggangnya. Ia pun biasa mengenakan setelan hansip saat ke Warung Teh Dewi, lengkap dengan borgol murahan yang lumayan berat dan sebuah pentungan yang menggantung di pinggangnya.

Berselang lima menit kemudian, ketua mahasiswa datang. Perawakannya tinggi besar, sesuai dengan usianya yang bisa dibilang matang untuk ukuran mahasiswa. Ia kini semester 13 di kampusnya, berambut model dreadlock, sudah habis melahap semua buku progresif, mencoba semua agama dan kini berstatus ateis. “Kebaikan yang utama, agama tidak perlu-perlu amat,” serta “Tantang tirani!” Kerap jadi kalimat andalannya saat berceramah di depan mahasiswa-mahasiswi baru di kampusnya. Terkadang dari hasil ceramahnya itu ia bisa membawa seorang mahasiswi ke kamar indekosnya yang sempit dan pengap. Pagi ini ia seperti biasa memakai celana jin rombeng bolong di sana-sini, atasan flanel kotak-kotak warna merah bata yang tak dikancingkan dengan kaos Joy Division di dalamnya. Sepatu DocMart selalu jadi andalannya.

“Pagi Pak Jenderal! Yang lain belum datang?” Ketua mahasiswa menyapa petinggi militer sembari menyalakan sebatang rokok dan tersenyum kepada Teh Dewi.

“Belum, bisa-bisanya mereka telat di saat yang genting begini.” Balas petinggi militer sambil membetulkan kerah seragam hansip-nya.

Tepat pukul 02.00, ketua kelas-menengah ngehek datang dengan sedikit berlari kemudian mengambil bala-bala yang baru saja ditiriskan Teh Dewi. “Maaf terlambat.” Penampilannya culun seperti biasa, kemeja kotak-kotak warna putih gading yang dikancingkan sampai ke leher, celana cutbrai kebesaran, kacamata bulat sempurna dengan frame warna hitam, model rambut belah tengah dengan belahan simetris sempurna kiri-kanan seperti laut merah terbelah tongkat Nabi Musa. Pemikirannya Jakartasentris, lengkap dengan segudang kosakata yang awam didengar masyarakat umum. Ia kerap berperan ganda saat influencer oposisi pemerintah tidak bisa menghadiri rapat karena pemikirannya sejalan dengan mereka. “Kelas menengah sudah selesai dipersenjatai!” Kalimat itu diucapkannya sambil mengunyah gehu kedua.

Ketua aktivislah yang terakhir datang pagi itu. “Maaf saya datang terlambat. Maaf takkan terulang lagi.” Katanya. Waktu menunjukkan pukul 02.09 saat ia datang. Seorang perempuan di awal tiga puluhan dengan penampilan yang terhitung normal biasa-biasa saja bila dibandingkan tiga orang lain yang lebih dulu datang. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam legam, memakai gaun atau lebih tepatnya daster motif kembang-kembang, dipadu-padankan dengan jaket jin bladus warna biru muda. Di dalam tasnya selalu tersedia semprotan merica untuk berjaga-jaga. “Buruh dan tani telah dipersenjatai! Sipil dan pegawai negeri juga sudah! Semua siap! Kopi hitam tanpa gula satu, Teh!” Ketua aktivis menjelaskan perannya sambil memesan kopi ke Teh Dewi.

“Sepertinya malam ini hanya kita yang datang. Baiklah kita mulai saja.” Petinggi militer membuka rapat. Lalu lalang pedagang pasar, hilir mudik muda-mudi dari dan menuju klub malam jadi latar yang menemani pertemuan itu. Mungkin satu atau dua di antara yang mondar-mandir adalah intelijen yang sudah mengendus pergerakan mereka, tapi itu bukan masalah lagi karena sebagian besar unsur militer sudah berada di bawah komando petinggi militer yang kini sedang memesan semangkuk mie rebus. Sekali saja agen-agen intelijen berani mengusik, nyawa mereka akan jadi taruhannya. “Mie rebusnya satu ya, Teh. Jangan lupa pakai telur.”

Teh Dewi tersenyum melihat mereka, mereka adalah pelanggan favoritnya. Selain selalu bayar lebih tanpa pernah mengutang, dari mereka pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya Teh Dewi jadi mengetahui kata-kata yang sebelumnya kurang familiar di telinganya; referendum, makar, reformasi, subversif, revolusi, gerilya, oligarki, diktator, otoriter, reformasi, provokasi, ideologi, radikal, dan puluhan kata lain yang merujuk pada aksi yang akan terjadi pagi ini. 

Teh Dewi terus membolak-balikkan gorengan dalam wajan panas dengan tangan kosongnya. Teh Dewi jarang berinteraksi dengan pembelinya, ia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa pernah ingin ikut campur urusan orang lain. Jika ada yang bertanya, “totalnya berapa, Teh?” Ia akan segera menunjuk tulisan di sebuah kertas A4 yang sudah dilaminasi dan dipaku di salah satu pasak kayu penyangga warung tersebut tanpa pernah berbicara sepatah kata pun. Di bawahnya, tampak menyempil selembar A4 lain yang juga dilaminasi, tertutup oleh daftar menu dan harga tersebut.

“1 gorengan = Rp 1.000
  2  gorengan = Rp 2.000
 3 gorengan = Rp 3.000
4 gorengan = Rp 4.000
5 gorengan = Rp 5.000 
Mie rebus = Rp 10.000 
Kopi = Rp 5.000”

Walaupun sudah beberapa kali diundang masuk televisi, Teh Dewi tak pernah bersuara, ia selalu mendengarkan saja. Ia selalu mendengar apa saja lalu mencatat kata-kata, frasa, dan kalimat yang menarik di telinganya, termasuk kata-kata yang pernah diucapkan pelanggan favoritnya pagi ini atau janji-janji yang diucapkan para wakil rakyat. Ia mencatat semuanya di buku lusuh miliknya yang dipenuhi cipratan minyak lalu sesampainya di rumah ia akan membuka kamus Bahasa Indonesia dan Inggris untuk mencari artinya. 

Beragam kamus indonesia dan inggris aneka edisi tersusun rapi di rumahnya. Ia akan menggunakan kata-kata tersebut di kemudian hari. Buku Teh Dewi penuh dengan kata-kata, frase, dan kalimat-kalimat menarik yang ia tulis berdasar apa yang ia dengar, seperti: feminis, relasi kuasa, kesetaraan jender, konsen, eduket yorselp, kapitalisme, alerta, patriarki, misoginis, panjang umur perjuangan, yes kwin, seyit loder, ay sten, oemji kensel, no debat, bajer, dominasi, menara gading, coli intelektual, open maindet, mai badi mai otoriti, protokol, men ar tres, ol kop ar bastar, mosi tidak percaya, dan banyak lagi istilah-istilah lain dalam catatannya. Semuanya itu ia dengar dari pelanggan muda-mudi yang kerap mampir di pagi hari setelah setengah mabuk di area klub malam tak jauh dari warungnya, istilah-istilah yang kerap keluar pula dari mulut ketua kelas menengah ngehek yang jadi pelanggan favoritnya.

***

“Bagaimana kondisi masing-masing di lapangan?” Petinggi militer menanyakan.

“Seperti yang saya bilang tadi, buruh, petani, pedagang, sipil, dan pegawai negeri telah dipersenjatai. Semua sudah siap beraksi.” Jawab ketua aktivis.

“Kalo yang lain gimana?” Petinggi militer mengusap-usap kumisnya.

“Mahasiswa juga sudah siap turun ke jalan. Puluhan ribu akan hadir, siap pasang badan lengkap dengan jaket almamater untuk menggulingkan pemerintahan.” Jawab ketua mahasiswa yang juga ketua anarko,

“Guillotine untuk pemenggalan juga sudah siap!”

“Loh kok? Jangan! Jangan! Itu ga perlu! Kita gunakan jika terpaksa saja, termasuk senjata-senjata untuk buruh, petani, pedagang, sipil, dan pegawai negeri.” Petinggi militer bergidik ngeri sambil menyeruput kuah mie rebusnya. “Sluuurrpp!”

“Cyber army sudah siap, poster-poster dan selebaran digital siap dikirim gerilya ke grup WA seluruh masyarakat. Hashtag untuk membakar semangat dan merayakan perubahan juga sudah siap. Bot juga siap dilepas. Saya jamin kita akan trending di seluruh dunia!. Kontra- narasi sudah disiapkan untuk para buzzer jika ada yang menentang pergerakan perubahan ini di media sosial.” Ketua kelas menengah ngehek menjelaskan dengan berapi-api sampai sampai rambut belah tengahnya sedikit berombak.

“Almamater, guilotin, saiber armi, hestek, bot, trending, kontra-nasi, bajer.“ Diam-diam Teh Dewi membatin sembari menulis di buku lusuhnya kemudian membolak-balikkan gorengan lagi dalam wajan panas dengan tangan kosongnya. Tangannya terus bergerak tanpa henti dengan kecepatan tinggi.

Agen-agen intelijen yang sedari tadi mondar-mandir kini berdiri mematung, syok dengan apa saja yang baru mereka dengar. “Gileee benerrr...” Seorang agen menggumam dalam hati.

“Kalo militer sendiri gimana?” Ketua aktivis bertanya pada petinggi militer sambil menyeruput kopi hitamnya, kemudian menggigit combro. “Ih pedes banget, Teh!” Teh Dewi hanya senyum saja. Combro buatannya memang hot.

“Ribuan anggota sudah siap turun tempur. Tank, pesawat, kapal laut, kapal selam, dan artileri siap dilepas. Dor!” Petinggi militer memain-mainkan pentungan di pinggangnya. “Mereka tinggal menunggu komando dari saya saja. Petinggi-petinggi intelijen juga sudah siap dan mengerti pergerakan ini. Mereka juga menjamin takkan ada yang mengganggu. Berani mengganggu artinya mati!” Petinggi militer melirik ke arah belakang bahunya, ke arah agen-agen intelijen yang berdiri mematung. Ia tersenyum manis sambil mengangguk ke arah mereka.

“Buseeettt dahhhh...” Seorang agen ngeri mendengarnya. Ia mulai membasahi celananya dengan kencingnya sendiri. Agen-agen itu kemudian berlari tunggang langgang meninggalkan lokasi pertemuan.
Teh Dewi mencatat kata artileri. Ia mulai mengerti arti dari semua pertemuan- pertemuan mereka di warungnya, tapi seperti biasa takkan ikut campur urusan pelanggannya.

“Media juga sudah kita kontrol, dari yang cetak sampai elektronik. Masyarakat akan melihat apa yang ingin mereka lihat.” Ketua aktivis menambahkan.

“Pintu masuk ke negeri ini sudah ditutup rapat, serapat kancing di leher Si Culun. Takkan ada media atau militer asing yang bisa masuk ke sini.” Sambung petinggi militer. Semua tertawa tapi ketua kelas-menengah ngehek terlihat malu dan melonggarkan kancing di lehernya.

“Apakah konstitusi negara ini perlu diganti?” Ketua mahasiswa yang juga ketua anarko penasaran. Ia juga melirik menggoda Teh Dewi yang sedari tadi mengamati perbincangan mereka.

“Heh! Jaga matamu!” Ketua kelas menengah ngehek menegur si ketua mahasiswa yang juga ketua anarko.

“Itu bisa kita bicarakan nanti di grup WA setelah operasi ini berhasil. Tapi ingat, jangan pernah bertemu satu sama lain lagi setelah ini.” Petinggi militer menambahkan.

Sepertiga malam hampir berlalu menuju subuh, ratusan orang semakin ramai hilir-mudik di belakang mereka. Terlihat sudah ada yang membawa senjata tanda bersiap. Obrolan mereka semakin berapi-api, tanpa henti membahas apa saja, hingga akhirnya berhenti saat adzan berkumandang.

Semua berdiri siap berpisah, “Baiklah, ini sudah saatnya. Ingat, jam 9 pagi nanti di seluruh negeri. Panjang umur perjuangan! Revolusi! Revolusi!” Mereka bersalaman dan berpelukan satu sama lain. Mereka semua bersiap menyongsong hari baru di negeri ini.

“Teh, sekarang kami ngutang dulu ya hehehe... Tenang, setelah revolusi ini kami bakal bayar semuanya dengan harga lebih besar dari yang bisa Teteh bayangkan. Sebuah kebebasan hehehe.” Ketua mahasiswa yang juga ketua anarko itu memohon kepada Teh Dewi.

Teh Dewi kaget mendengarnya, tak menyangka pelanggan favoritnya berani mengkhianati kepercayaannya selama ini. Ia paling benci dikhianati. Tiba-tiba terlintas wajah mantan suaminya di kepala. Ia sangat benci sekali dengan pengobral janji. Ia naik pitam. “Takkan kuberi ampun!” Ucap Teh Dewi dalam hati.

“Eh jangan begitu, kita tetap harus bayar. Biar saya yang...” Belum selesai petinggi militer dengan kalimatnya, Teh Dewi lebih dulu mengeluarkan semua aksinya.

Dengan kecepatan tangan super dan ilmu beladiri Krav Maga, Teh Dewi tarik kepala ketua mahasiswa yang juga ketua anarko ke dalam wajan panas. Wajahnya melepuh. Kemudian Ia mencekik leher petinggi militer dan menusukkan borgol murah yang tergantung di pinggangnya ke kedua matanya. Teh Dewi lalu menyayatkan pisau yang sehari-hari digunakan untuk membuat gorengan ke leher ketua aktivis. Terakhir, ia cabut paksa pasak kayu penyangga warung itu dan mengkhatamkannya ke kepala ketua kelas menengah ngehek. Darah di mana-mana, tak ada ampun. Semua selesai dalam waktu 42 detik saja.

“Bicara revolusi tapi bayar gorengan saja ga becus!” Tiba-tiba Teh Dewi yang selama ini diam kini bersuara dengan nada tinggi di antara mereka yang bergelimpangan.

Amarah Teh Dewi memuncak, “Cek yor pripilej! Eduket yorselp!” Ia ambil ember besar penuh air kotor yang biasa digunakan mencuci piring, lalu mengguyurkannya ke gardu listrik semrawut di samping warungnya.

“BOOM!!! BOOOM!! BOOOMMM!!!”

“Lihat Bu, ada kembang api di pagi hari! Horeeee!” Seorang anak berteriak riang melihat ledakan dari kejauhan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Pagi ini jutaan orang harap-harap cemas menunggu komando yang tak kunjung datang. Di antara puing-puing warung yang terbakar, melayang-layang secarik A4 terlaminasi yang sudah terbakar seperempatnya.

“Hiroshima dan Nagasaki Hancur Karena Bom!
Warung Hancur Karena Bon!”


oleh @constantane






Fajar laut mekar liar, mencegat baris gereja batu yang menjerit dalam diam. Perairan kelabu kini terbentang di hadapanmu, sebuah kolam sunyi diantara ratusan pilar. Bau busuk mengambang di udara setipis gaun gundik-gundik tuhan. Tak ada apa pun di bawah permukaanya. Tenggelam berarti masuk ke dalam, bergabung dengan kemurnian korupsi menuju kedengkian paripurna.