Aku meringis ketika melihat bangkai tikus tergeletak di tengah trotoar yang sedang kulewati. Berapa banyak sih populasi tikus di wilayah ini dan berapa persentase yang mati terlindas kendaraan? Rasanya banyak sekali, aku sangat sering menemukan pemandangan yang sama. Hidup ini sungguh sial bagi makhluk-makhluk yang terlanjur terlahir ke dunia. Dengan kesialan tersebut, para tikus tetap saja berkembang biak, tidak peduli anak mereka hidup kelaparan, mati mengenaskan di atas aspal, atau tidak mampu menyediakan tempat layak bagi mereka untuk bertahan hidup. Nampaknya manusia pun demikian.

Rasanya memuakkan melihat hewan-hewan menjijikkan, terutama yang tinggal di got, terpampang di depan wajahmu dengan usus terburai, menyisakan rasa lapar yang sebetulnya tidak begitu berkurang bagi orang seperti aku yang baru saja membeli ayam penyet untuk makan malam yang sangat terlambat ini. Bekerja seharian seperti sapi perah, hanya demi bisa hidup tanpa bantuan orang lain.

Aku ingat sesuatu.

Sewaktu kecil, nenekku sering berkata bahwa cilok yang dijual Mang Owow adalah cilok berisi daging tikus. Metode penjualan dengan memukul sebilah kelontongan kayu sambil berteriak “Owowo Owow,” nyatanya menarik banyak anak kecil untuk merengek pada orangtua mereka agar membelikan mereka santapan aci khas Sunda tersebut. 

Nenekku tidak termasuk dari orangtua dermawan tersebut. Bagaimana mungkin harga cilok bisa begitu murah di tengah krisis ekonomi seperti ini? Kala itu tahun 1999, dan aku berusia enam tahun. Pasti dagingnya daging tikus, ujar nenekku. 

Aku mempercayainya hingga aku menamatkan sekolah dasar. Semakin dewasa aku sadar, itu hanya taktik nenekku untuk tidak membeli cilok tersebut, karena, katakanlah, untuk membeli beras saja nenekku tak mampu.

Pikiranku kini beralih ke cilok. Di kota besar di luar tanah priangan, rasanya seumur-umur aku hijrah ke Jakarta, tidak pernah kulihat ada yang menjual cilok. Entah bagaimana ceritanya, aku merasa bahwa orang Sunda sering sekali menyajikan berbagai kudapan yang terbuat dari tepung aci. Cilok. Cilor. Cireng. Cimol. Bahan yang sama diproses secara berbeda dan menghasilkan kudapan dengan rasa mirip, tapi tidak sama. Berbagai metode memasak mulai dari menggoreng, mengukus hingga merebus digunakan, dengan tambahan bumbu sederhana. Jajanan aci begitu diminati. Bukan karena harganya murah, melainkan juga mengenyangkan dan cukup membuat pengkonsumsinya merasa perut mereka penuh lebih lama. Meskipun tentu saja, berak akan lebih sulit dari biasanya.

Lamunanku diinterupsi dering notifikasi LINE.

“hi, aku udh d rmh ini. Hati2 di jln dan kabari kalau sudah sampai rumah ya. ILY.”

Aku hanya membaca teks tersebut dan memutuskan membalasnya nanti saja. Mungkin ketika sampai rumah, dan sudah makan, baru akan kubalas.

Membayangkan wajah Hans sepulang berlatih sepakbola membuat imajinasiku bergerak liar, menggali memori yang kuingat ketika terakhir kali datang setelah ia bertanding dengan klub kota lain. Pasti banjir keringat dan endorphin.

Sejak awal mengenalnya, aku merasa dia memiliki kedalaman berpikir yang jarang kutemui di lingkungan sebayaku, meskipun ia berusia lebih muda dariku. Afeksi yang dia tunjukkan selalu stagnan. Rasanya aku sempat mengalami fase dimana aku merasa tidak nyaman disayang sedemikian rupa dan merasa tidak nyaman ketika mengetahui bahwa aku memiliki kapabilitas untuk peduli pada manusia lain sebesar aku peduli pada Hans. Afeksiku padanya begitu besar. Namun, menyadari bahwa kita dilahirkan sendiri dan akan mati sendiri, aku tidak pernah berharap banyak pada Hans, seperti halnya aku tidak pernah berharap banyak pada individu lain.

Lebih muda dariku. Afeksi yang dia tunjukkan selalu stagnan. Rasanya aku sempat mengalami fase dimana aku merasa tidak nyaman disayang sedemikian rupa dan merasa tidak nyaman ketika mengetahui bahwa aku memiliki kapabilitas untuk peduli pada manusia lain sebesar aku peduli pada Hans. Afeksiku padanya begitu besar. Namun, menyadari bahwa kita dilahirkan sendiri dan akan mati sendiri, aku tidak pernah berharap banyak pada Hans, seperti halnya aku tidak pernah berharap banyak pada individu lain.

Beruntung sekali memiliki dia. Kami menjalani kehidupan berpasangan dengan santai. Meskipun kami tinggal di kota yang sama, kami jarang bertemu karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Ada kalanya aku mengunjungi kontrakannya di wilayah Utara, dekat pantai dengan pemandangan pelabuhan—yang tentu saja tidak seromantis pantai wisata namun kusukai karena aku bisa membayangkan masa lalu ketika Batavia menjadi pusat perdagangan maritim di era kolonial–ketika merindukan eksperimen aneh dari kopi yang dia buat atau hanya sekedar bangkitnya birahi. Demikian pula dengan Hans, ia sering menyempatkan waktu untuk datang ke kontrakanku yang lebih membosankan di wilayah Selatan. Kurang lebih dengan alasan yang sama, menyalurkan nafsu dan eksperimen makanan yang sering kami buat bersama.

Aku merindukannya, kurasakan pula celanaku terasa agak sesak. Merindukan kontrakan dengan pemandangan kolonial, juga tubuhnya yang tegap serta serpihan bulu wajahnya yang tipis. Rasa lapar yang membuatku membeli ayam geprek hampir sepenuhnya sirna, tergantikan oleh lapar akan hal lain. Aku membalas pesan singkatnya dan mengabarkan jika aku akan ke tempatnya sekarang juga. Aku memutuskan untuk naik bus dan berbalik arah, ke Utara.

✶✶✶

Birahi memang membuat manusia menjadi bodoh. Tidak pernah terpikirkan sebelumya, aku akan hilang secepat ini. Di saat seperti ini. Aku merasa hangat dan kemampuan indera-inderaku memudar. Dimulai dengan matinya rasa di kulitku. Aku merasa melayang, tidak menyentuh benda padat apa pun. Aku mati rasa. Perlahan, penglihatan dan pendengaranku menipis di saat bersamaan. Dengungan kencang yang kudengar setelah bunyi hantaman keras dan tulang yang patah serta daging terkoyak, kini semakin pelan. Aku menangkap beberapa kata yang disebutkan oleh orang-orang yang mengerumuniku. Ambulans, KTP, dan beberapa kata lain kudengar diteriakkan bersama riuh suara lalu lintas yang masih saja ramai meski tinggal dua jam lagi menuju tengah malam. Suara-suara tersebut menyisakan dengung dengan frekuensi rendah yang pada akhirnya hanya menyisakan kehampaan. Gelap, tidak ada suara.

Namun, aku masih bisa mencium sesuatu. Ah. Ini indera yang saat ini tersisa. Bau polusi, mesin diesel, darah, dan keringat. Tidak, ini bau sayur lodeh yang nenekku buatkan ketika aku diejek dan berkelahi setelah mereka menyebutku sebagai banci di Sekolah Menengah Pertama. Para manusia di barat berkata bahwa itu adalah konsep comfort food. Bau itu memudar, digantikan oleh bau kopi santan gula aren yang pernah Hans buatkan untukku. Orang lain tidak tahu kami sering bertemu, jika aku memang mati saat ini pun, Hans tidak akan datang ke pemakamanku. Tidak ada Hans. Tak ada juga ada keluarga yang membenciku hanya karena aku tidak merasakan birahi pada wanita.

Mati konyol adalah salah satu opsi teratas dalam daftar hal yang tidak ingin kualami selama hidup. Kini aku akan mati konyol tertabrak bus, usus terburai seperti tikus keparat yang kulihat tadi, lengkap dengan bonus penis yang setengah tegak berdiri.

✶✶✶

Layar bioskop menggelap, menunjukkan foto seorang pria paruh baya dengan senyum yang tulus. Fatih Wiyono, begitulah tulisan yang terpampang di layar bioskop. Nama samara yang detik-detik terakhir hidupnya baru saja ditonton puluhan pasang mata yang merasa hampa akan kehidupan mereka sendiri, memerlukan inspirasi atas kesengsaraan orang lain. Beberapa penonton terkikik, ada juga yang tidak tahu harus berbuat apa. Cringe Comedy, menjadi genre yang lumayan populer akhir-akhir ini.

Freya keluar bioskop dengan bergidik. Ia sadar, meskipun saat ini ia bisa menikah dengan siapa pun atau mencintai siapa pun, entah wanita, pria, atau robot sintetis, ia juga tidak punya siapa-siapa. Ia tidak tahu, siapa yang akan mengingatnya, atau menangisinya bila ia mati mendadak.

“Apakah aku harus menggadaikan memoriku juga agar orang lain mengingatku?”

Pikiran itu mengganggunya selama sekian detik. Ia tidak ingin mati tanpa dikenal banyak orang secara virtual. Beberapa orang memilih untuk membeli alat pengunduh memori, yang akan menyimpan momen-momen sebelum mati untuk ditayangkan di bioskop Anamnesis, di mana cerita hidupmu akan ditayangkan secara cuma-cuma, dan kau akan diingat banyak orang.

Freya berbalik, melihat daftar nama samara yang memorinya akan ditayangkan di Anamnesis disertai dengan biografi singkat orang tersebut. Erwin Gunawan. Seorang pawang harimau jalanan yang mati karena terkunci dalam van bersama harimaunya selama berhari-hari dan akhirnya menjadi santapan peliharaannya tersebut.

Menarik, pikir Freya. Ia pun berjalan menuju studio 7 di mana memori Erwin akan diputar. Tertunduk lemas karena ternyata antrian masih panjang.


oleh Diah






Seandainya saja ada cukup darah, siaran tersebut niscaya akan menghitam bersama sakit yang ditumpangkan pada keheningan. Kau menginginkan kebenaran absolut, tanpa sedikit pun kompromi? Guyurkan bensin ke sekujur tubuhmu dan nyalakan, setiap kenangan dalam kepalamu takkan bertahan dalam kobaran api. Segala sesuatu yang pernah kau lakukan akan terhapus, menghilang bersama penglihatanmu. Saat itulah, dirimu bisa menemukan kebenaran yang kau cari.