BEBERAPA SISA BAIT SEBELUM AKU MENGUSIRMU

setelah sekian lama menyulam glotis di persimpangan kurtosis;
haruskah lurus dan menebus kesalahan?
atau menyetubuhi titik buta di tepi kirinya?
atau kembali menarik matahari dari tepi wajahnya?

sudahkah kau siapkan neraka-nya?

sepekan-dua pekan yang sama saja,
resam tubuh sama persisnya dengan cuaca
titik leburnya terbungkus antara mesoderm dan kelambu ekuinoks vernal,
yang semestanya menginap di antara bahu dan tekuk kepalaku.

jadi begini,

tidak berbeda peliknya dengan cerita lama yang kau tulis sebelumnya.
hanya saja tak ada imposisi dari yang aku tulis minggu ini.

kau karam,
aku karam.

tidak pernah ada yang berlabuh,
hanya bangkai yang menguap menjadi duplikatus.

kau mati,
aku mati.

kita hanya hilang.

memang sedari awal aku hanya lagu yang kau dengarkan ketika telingamu riang.
atau serambi rumah yang kau diami saat dinding kamarmu berisik.
atau segala hal yang kau benci sejak kau lahir di hari pertama.

tidak ada yang bisa aku jelaskan,

aku hanya imago,
yang menggantung di ketinggian.

lalu jatuh,

pecah,

dan tak pernah menjadi yang seharusnya.

 

 

OBSESI MATI

Verbena lelap dikunyah mimpinya,
sedang mataku sibuk berlarian di pelataran aphelion,
mencari titik yang paling sembunyi
dan meredam kelabu yang dibakar semalaman.

barisan sutura lepas satu per satu.
insersi terusir sendiri dari tidurnya,
dan aku berharap Batara Yama menjengukku dan membawakan larnaks;
tanpa selimut.

iris aku sekali lagi, Tuhan.
seperti dulu lagi, Tuhan.
dan jangan ijinkan siapapun untuk mengangkutku dari martirium.

begitulah doa sepotong lidah
yang tertelan eksklosi-nya sendiri.

rusuknya berhimpitan-bersilangan,
berkali-kali.
sampai tidak utuh lagi,
sama sekali.

ingin sekali rasanya bersurat dengan badai.
namun jemariku bengkak setelah menghantam septum raksasa,
dan kepalaku sendiri.

jika malam ini memang dipaksa lumpuh,
aku sangat tidak keberatan.

hanya saja;

sisakan jantungku,
di sudut kamar tidurmu.

 

 

SEPULANG DARI PEMAKAMANNYA

Tidak semua yang mati benar benar mati. Waktu masih belum bertemu dengan pemberhentiannya, dan hujan masih menanti ribuan doa yang memaksanya turun dan akan berjatuhan pada musimnya.

Thyme masih berpelukan dengan angin kering di atas gurunnya. Spinifex masih berterbangan, berbaur dengan asing dan terik.

Terbakar namun tidak ada rasa ingin untuk berhenti terbakar.

Terkadang memang selalu ada manusia yang ingin dipatahkan tulang tulang kakinya. Karna memang tidak peduli dengan langkahnya lagi. Kebahagiaannya hanya terlanjur diukur pada sebatas melihat senyum di ujung dinding-dinding sana. Lalu pulang dengan menyeret dirinya dengan mimpi yang siap dikemas untuk tidurnya. Tanpa sakit sedikitpun. Tanpa sesal sedikitpun. Kata yang paling abadi dalam kehidupan yang semakin jauh adalah "rindu" dan itu adalah intuisasi paling rampas dari hati kecil manusia. Sesuatu yang kecil namun jauh lebih kuat dibanding molybdenum.

Cukup sekali saja aku biarkan matamu berkeliaran di bait ini. Sekali saja.
Jika masih tetap mencari, tidak ada juga yang kamu temukan. Mungkin hanya sebuah
tulisan seorang pemabuk.
Yasudah.
Katakan saja, aku memang selalu mabuk, dan akan lelap pada waktu yang panjang di
balik perasaan yang takut dan resah. Lalu bangun dengan pertanyaan yang sama
seperti;

"sedalam apa rasa yang kemarin itu hilang?"

atau sekedar,
"baiklah, aku pulang sekarang"

lalu aku akan mencarinya lagi di lain waktu.

 

Tiga Puisi oleh w.g