Aku terbaring di kasur. Mata tertutup pikiran mengelana.

Malam ini aku melamun lagi. Dinginnya angin yang menembus jendela kamar membuatku tetap terjaga. Aku terjatuh lagi, lebih dalam dari yang sebelumnya.

"Apa dia memikirkanku juga seperti malam ini?" gumamku menghela nafas panjang.

Lucu kalau diingat, dari berjualan di Facebook sampai bisa seperti ini. Ya Allah, Engkau bimbing apa yang Kau sudah rencanakan sedangkan aku tidak mengetahui apa yang telah Kamu tetapkan? Kuatkanlah hamba, bimbinglah hamba, untuk segala urusan dunia dan akhirat.

Delapan bulan lalu kamu memulainya. Sampai sekarang lah kita menjalin hubungan.

"Bang, kalau jadi penjual jangan jutek kenapa sih?" Begitulah kamu, kamu, Steffany yang memulainya.

Tidak pernah berpikir apapun soal konsumen, asal barang terjual.

"Boleh aku chat ga nomornya?" 

"Namanya siapa, ya? Biar aku simpan nanti chat lewat WhatsApp" Tanya darinya.

"Afif," datar jawabku.

Kami bertukar kabar lewat WhatsApp kemudian. Waktu itu aku meladeninya tanpa berpikir apa pun, kupikir itu bagian dari pelayanan after sales setelah dia membeli apa yang aku jual. Aku rasa begitulah bagaimana hubungan penjual dan pembeli.

Pembicaraan remeh temeh memang, tapi tetap aku temani, jualan sedang sepi, sekedar pembicaraan kecil, toh tidak ada salahnya juga

"Kenapa kok mau chatan?"

"Iseng aja."

"Lah pacarnya kemana?"

"Suamiku udah dua tahun ga ada." 

"Itu punya suami kok masih chat sama gua?"

"Suamiku meninggal dua tahun lalu"

"Maaf ya, ga tau soalnya. Turut berduka." Aku terdiam bingung mau berkata apa.

Steffany empat tahun lebih tua di atasku. Sekarang dia dua puluh delapan. Aku masih tidak mengerti kenapa dia memberitahukan umurnya kepadaku. Entah apa maksudnya atau aku yang sudah terlalu lama sendiri dan membenci wanita setelah ditinggalkan begitu saja? Begitu kira-kira pikiranku setelah sebulan bertukar kabar dengannya.

Tiga bulan sebelum malam ini dia menelepon tiba-tiba.

"Aku nyaman ngobrol sama kamu." 

"Aku juga sama."

"Kok bisa begitu, ya?"

"Aku kesepian."

"Aku pun," jawab Steffany.

Waktu berhenti berputar. Rokok terbakar menjadi abu, angin kencang membawaku memandang bintang-bintang di langit tanpa awan sedikitpun.

"Mau ditemenin ga?"

"Ini kan udah?"

"Ditemenin dalam keadaan apa pun," tambah Steffany.

Apa ini jebakan? Apa ini tipuan wanita? Pikiranku berkecamuk, tidak ingin kejadian yang lalu terulang lagi dan lagi. Aku masih sendiri dalam gelapnya malam, pada akhirnya aku menjadi budak kepada mimpi. Pada akhirnya tidak ada yang akan rela dirinya berdarah kepadaku selain keluargaku sendiri. Apakah dia salah satu dari beberapa kedamaian yang ada di dunia ini? Entahlah, buku masih terbuka membuka lembaran kosong sepertiku. Aku berpegang pada harapan yang kunjung padam. 

"Sampai kita bertemu nanti."

"Aku yang samperin kamu bulan depan."

"Tunggu aku."

"Aku tunggu," jawab Steffany, terdengar tawa kecil darinya.

 

✧✧✧

 

Sampai kita dipersatukan

Aku hidup dalam gelap malam

Menunggu waktu

Untuk dua jiwa dipersatukan

Sebulan kemudian, di bulan yang kelima kami berkencan. Dia menjemputku di depan gang setelah aku shalat zuhur. Dia menjemputku dengan mobil sedan yang sulit untuk berputar balik karena jalan ke rumahku tidak muat dilewati dua jalur sekaligus. 

"Coba kamu bilang dari awal kalau kamu di bambu apus."

"Kalau kamu bilang aku kan bisa berangkat agak santai dari rumahku yang di Grand Wisata Cibubur, kamu baru bilang jam 7 pagi tadi, jadi aku berangkat dari rumahku yang di Pantai Indah Kapuk."

"Maaf deh, ketiduran semalam, bangun subuh ketiduran lagi."

"Yaudah, sekarang keluar ke jalan raya lewat mana ya?

Aku mengarahkannya ke jalan besar.

"Ke Skye mau?" Tanya Steffany.

"Itu tempat apa? 

"Bar di gedung tinggi."

"Fancy banget, mahal ya?"

"Tenang aja, aku yang bayarin."

Dengan rasa tidak enak aku menerima. Kami menghabiskan jam makan siang disitu. 

"Kenapa bengong? Kamu mau ngerokok? Ngerokok aja, gapapa kok di situ"

Apa tindakanku ini benar ya? Apa aku pantas berkencan dengannya ya? Apa ini terlalu dini? Banyak tanya dalam pikiranku saat memandang kota dari atas sini. 

"Boleh gabung?" 

"Iya silakan."

"Ih, hadap sini dong!" Teriak Steffany padaku.

"Eh, maaf, gak tau kalau itu kamu."

"Kamu mikirin apa? 

"Rat race."

"Maksudnya?"

"Selamanya manusia akan berkutat dalam perjuangan untuk berkuasa dan kekayaan "

"Bisa ga sih ga mikir kaya gitu?"

Aku terdiam. Memandang matahari langsung, terlalu silau membuat sakit mata. Aku berpaling memandangnya kembali.

"Aku kan udah bilang mau nemenin dalam keadaan apa pun" raut Steffany agak sedih.

Spontan aku memegang tangannya. "Aku gamau jadi orang-orang yang saling menjilati luka satu sama lain"

"Aku hampa, kamu hampa, aku coba buka hati ke kamu, aku cuma mau kamu juga buka hati ke aku. Aku mau mengerti kamu lebih jauh." Kata Steffany.

"Huum, ayo pindah dari sini."

"Kemana?"

"Taman Menteng?"

Kami berpindah ke taman menteng. 

"Udah pernah kesini?" tanyaku.

"Belum pernah, baru pertama kencan di taman."

Aku mencari Musholla, sujud dan berdoa atas pertanyaanku tadi. Dalam bingung aku memohon kepada Allah. Dalam kekosongan aku serahkan semuanya, aku berlutut kepada yang maha mengetahui. 

Aku membeli kopi di starbucks keliling lalu mencari tempat untuk duduk berdua. Aku membakar rokok filter dan duduk berdua. Memandang ke langit yang cerah sore itu. Angin bertiup seperti mengajak berdansa dedaunan yang jatuh dari rantingnya. memalingkan wajahku pada Steffany.

Aku menatap dalam kedua bola matanya. Aku merasakan panas matahari. Angin yang berhembus. Semakin dalam menatap matanya, semakin dalam. "Damai," ucapku.

"Maksudnya?" Tanya Steffany.

"Aku merasa damai, di sampingmu."

Kami menghabiskan sekitar satu jam di taman.

"Mau makan soto ayam kesukaanku ga?" Tanyaku

"Mau," jawab Steffany.

 

✧✧✧

 

Tersesat dalam waktu dengan harap dan batu membelenggu kaki

Masih terjebak dalam lumpur hisap hari kemarin

Tetap tidak bisa berkutat karena esok hari akan diambil

Kehilangan diri sendiri di dalam kegilaan mimpi

Aku kehabisan nafas saat tidak ada orang yang tersisa kecuali aku sendiri

Aku kehabisan nafas

Kami sampai di Soto Bajay, soto kesukaanku di daerah Kwitang. Banyak yang mampir sehabis memenuhi tarikan trayek.

"Baru pertama kali ke tempat kaya gini?" tanyaku meledek.

"Iya, ga boleh?" jawab Steffany 

"Soto ayam dua, pakai nasi, minumnya es teh manis Pakdhe." Aku memesan makan dan minum untuk kami berdua.

Kami tidak banyak bicara, khusyuk memakan soto, kaldu yang tidak ditemukan di tempat mana pun, lebih enak daripada masakan di rooftop tadi. Kali ini aku yang bayar. Adzan Maghrib berkumandang. Aku minta tolong diantar Steffany menuju Masjid di samping Gereja Kernolong.

"Aku tau tempat yang mungkin kamu bakal kamu suka," kata Steffany sambil tersenyum.

Memasuki Tol Cempaka Putih aku merasa ngantuk dan tertidur sepanjang jalan.

"Afif!" Steffany membangunkan aku.

"Kita udah sampai."

"Di mana?"

"Ayo keluar."

"Aku dulu suka diem di sini, di ujung pantai indah kapuk," tumpas Steffany.

Pukul delapan malam, aku melihat jam di ponselku. "Kamu ga capek nyetirin aku begini? Apalagi kamu anter aku balik?" tanyaku tidak enak merepotkan.

"Besok aja pulangnya, aku udah sewa hotel deket sini deket rumahku."

Kesadaranku hilang setelah menghembuskan rokok ditelan ombak, ujung pandang, dan sinar bintang. Kepala terasa berat, aku membaringkan badanku di jalan setapak, diguyur sinar rembulan dan bintang. Angin laut membawaku terbang bersamanya mengarah ruko dagang, klenteng, dan debu jalanan.

Steffany mengangkat kepalaku dan menaruhnya di pahanya.

"Kamu mau menikah sama aku ga?" tanya Steffany.

"Emang bisa?"

"Urus administrasi di Singapura aja."

Aku kehilangan kata. Aku ingin merokok dan menikmati malam ini. "Selene?" 

"Maksudnya?" tanya Steffany kebingungan.

"Dewi Yunani, personifikasi bulan malam ini. Bulan sabit yang indah, begitu juga kamu malam ini."

Steffany tertawa kecil sambil mengelus kepalaku.

"Aku harap kita bisa menghabiskan waktu seperti ini dan takkan pernah merasa bosan, aku bahagia," tuntasku.

"Terima kasih telah masuk ke kehidupanku. Aku bersyukur" balas Steffany.

"Aku pun begitu, terima kasih juga. Aku akan berusaha sebisaku." 

"Aku cinta kamu, Afif."

"Aku juga cinta kamu, Steffany.”

“Sampai kita dipersatukan, Aku hidup dalam gelap malam. Menunggu waktunya, untuk dua jiwa dipersatukan. Di bawah pudarnya rembulan, harapanku begitu muram. Andaikan kita tidak pernah bertemu. Hanya ada derita dan diriku sendiri. Ini panggilan terakhir dariku. Entah awal atau akhir dari sore ini dan selamanya. Aku tenggelam dalam waktu yang berjalan. Aku menjadi malam. Dengan sinar dari hari esok. Aku akan menghilang. Kenyataan merobek daging sampai ke dalam. Maukah kamu berdarah untukku, Selene?”

"Menemani dalam keadaan apa pun" balas Steffany dengan senyumnya yang menenangkan.

"Terima kasih." 

Kami memilih tidur di mobilnya sampai subuh berkumandang.

"Dalam keadaan apapun" tumpas Steffany.

"Dalam keadaan apapun " balasku.

 

Vanilla oleh Aileen