80Hg
Pelan-pelan ia berusaha melangkahkan kakinya satu demi satu, menghindari gundukan-gundukan lembek berbau busuk di sepanjang lantai beton itu sembari terus mengutuk dalam hati, tak mau lagi mengulang kesalahannya, menginjak bangkai atau apapun itu; ia berusaha keras untuk tak terlalu memikirkannya lagi. Semakin dalam, tak ada lagi cahaya dari gerbang tempat ia masuk. Tetes-tetes air dari atas terowongan makin deras; sejenak ia tertegun, di hadapannya nampak cahaya putih redup dari sebuah rekahan dinding di sebelah kiri. Dengan hati-hati ia mendekati rekahan itu, memperhatikannya dengan seksama. Terdengar dengung lirih, apa yang sempat ia kira sebagai reaksi alkimia ternyata adalah sebuah lampu neon dari sisi lain dinding terowongan yang menempel persis di hadapan celah itu, menghalanginya untuk bisa melihat ada apa di balik dinding itu.
Ia pun melanjutkan langkah, maju menyusuri sisa terowongan yang ia sendiri tak tahu akan berujung di mana. Tak lama, ia melihat seorang pria tua berjongkok di sisi terowongan, menghadap ke dinding, telanjang. Dengan hati-hati ia mencoba mengarahkan senternya ke arah pria itu, berusaha agar tidak mengenai mukanya, menyilaukan matanya, atau membuat ia marah.
Dengan cahaya redup senternya ia bisa melihat belikat dan tulang punggung pria itu mencuat dari badan kurus dengan kulit kecoklatan miliknya. Sekujur badannya tampak gemetar, entah karena kedinginan atau lapar. Pria tua itu mengangguk-angguk tak beraturan, sesekali kepalanya menggesek dinding terowongan, wajahnya tertutup darah dari luka menganga di keningnya yang tergores dinding beton. Mulutnya komat-kamit menggumamkan sesuatu, ia sibuk membolak-balik tumpukan perkamen kulit dengan tangan keriputnya, seolah ada rahasia besar yang coba ia temukan di sana.
Ia berjalan maju pelan-pelan, berusaha untuk tidak menarik perhatian pria tua itu. Belum begitu jauh dari tempat pria tua berjongkok, langkahnya kembali terhenti; ia tiba di sebuah gua yang cukup luas, jauh di hadapannya tampak cahaya terang. Setengah berlari, bergegas ia menghampiri apa yang ia kira sebagai pintu keluar gua. Saat hampir sampai, ia bisa melihat pintu keluar itu berbentuk setengah lingkaran menyerupai mulut terowongan yang ia masuki; hanya saja, semakin dekat menuju ke sana, semakin jelas pula bahwa apa yang ia lihat bukanlah cahaya. Rasa penasaran mendorong langkahnya sedekat mungkin dengan gerbang itu, gumpalan cairan kental berwana perak memenuhi gerbang itu, naik turun mengombak, bergerak tak beraturan, perlahan maju mendekat ke arahnya. Ia pun panik dan segera berbalik arah, berlari secepat ia bisa sebelum akhirnya kembali terhenyak karena pria tua yang ia lihat sebelumnya sudah tak ada lagi di tempatnya.
Ia pun berjongkok menghampiri tumpukan perkamen yang ditinggalkan pria tua itu. Tanpa tahu apa yang sedang dicarinya, ia membolak-balik satu demi satu perkamen yang ada di hadapannya. Tak sadar, dalam kepanikannya, lembaran-lembaran kulit berjatuhan dari keningnya bergabung menjadi satu dengan tumpukan yang ditinggalkan sang pria tua. Setiap kali lembaran kulit terjatuh dari kepalanya, ia makin panik dan bingung, ia mulai melupakan siapa dirinya atau apa yang sedang dilakukannya di tempat itu.
Tiba-tiba terowongan terbuka dan menampakan langit berawan diiringi suara bergemuruh. Mendengar suara itu, ia mendongakkan kepala. Tulang belulang berjatuhan, ia ketakutan, menutup kedua matanya. Saat suara-suara berlalu, ia menengok ke sekelilingnya, tak ada langit dan tulang belulang, tak ada apa-apa, gelap. Ia segera menyadari ada yang salah dengan penglihatannya. Meski ia merasa telah membuka lebar kedua matanya, kini ia hanya bisa melihat dari sudut luar keduanya. Ia kembali menunduk, lamat-lamat, ia bisa melihat lembaran-lembaran coklat di hadapannya, Ia tak akan pernah bisa membaca atau mengenalinya. Tak akan bisa.