Martin
Namaku Tono, Desember nanti usia ku genap 50 tahun. Aku seorang General Manager sebuah perusahaan ekspor-impor di pusat Jakarta. Meski kecil, perusahaan itu aku rintis dengan kerja kerasku sendiri sejak dua puluh tahun yang lalu. Meski usiaku sebentar lagi genap 50, jangan kau bayangkan aku sebagai sosok laki-laki tua keriput berperut ganda dengan rambut ubanan, aku jauh lebih baik dari bayanganmu. Badanku masih segar, otot masih tercetak baik di beberapa area badan berkat kerja kerasku rajin berenang, gym, dan berlari setiap hari. Rambutku masih hitam tanpa pernah sekali pun ku warnai, belum ada satu helai uban pun di rambutku, kau bisa membuktikannya sendiri.
Dua puluh tahun lalu aku mengalami suatu kejadian yang membuatku sadar bahwa menggantungkan kebahagiaanmu pada orang lain adalah sebuah kesalahan besar. Sejak peristiwa kurang menyenangkan itu, aku belajar banyak hal. Selain tidak menggantungkan kebahagiaan pada orang lain, aku juga percaya bahwa menyayangi diri sendiri jauh lebih baik dari apa pun juga.
Merawat tubuh dan hanya menggunakan berbagai macam produk terbaik mungkin adalah salah satu usaha yang kulakukan. Sejauh ini hasilnya tidak mengecewakan, banyak orang yang mengira usiaku masih 35 atau 40 tahun, jujur saja hal ini membuatku senang. Tidak ada yang jauh lebih menyenangkan dibanding saat mengetahui ternyata kamu masih mampu meraih kebahagiaan dengan kekuatan diri sendiri serta mampu membuat orang di sekitarmu iri. Aku sangat menikmati perasaan-perasaan semacam itu.
Selama dua puluh tahun beroperasi, perusahaan milikku beberapa kali mengalami pasang dan surut. Kantorku pernah beberapa kali pindah lokasi, sebelum akhirnya sekarang berada di lantai sepuluh hingga dua belas sebuah gedung di sekitar SCBD. Syukurlah kali ini kantorku sudah menjadi properti pribadi milikku sehingga aku tidak perlu lagi merasakan ketakutan harus pindah karena terlilit hutang seperti beberapa waktu yang lalu.
Selain lokasi kantor, tingkat keluar-masuk karyawan di perusahaanku cukup tinggi, untungnya mencari pengganti mereka sangat mudah. Pekerjaan yang ada di kantor ini cukup gampang, selain itu kami menawarkan jam kerja serta jaminan masa depan yang pasti dan menjanjikan.
Aku membuat suatu kebijakan khusus bagi mereka yang ingin bekerja di perusahaanku, kamu harus melewati masa percobaan terlebih dahulu selama satu tahun. Bila setahun sudah terlewati dan kamu merasa tidak cocok, kamu boleh saja mengundurkan diri. Akan tetapi bila cocok dan ingin melanjutkan bekerja maka kamu akan dikontrak lagi selama dua tahun, jadi kamu akan bekerja selama tiga tahun untukku.
Sebenarnya tidak ada sanksi yang berat bila kamu berhenti bekerja sebelum genap tiga tahun. Akan tetapi entahlah, aku suka saja membuat peraturan macam ini, katakanlah ini semacam trauma atau sebuah antisipasi tetapi aku percaya bahwa tiga tahun adalah waktu yang sangat pas untuk mengenal seseorang dengan baik. Apabila tidak cocok, kamu bisa melepasnya dengan baik-baik tanpa harus takut terlibat ikatan emosional macam-macam.
Sejak pertama kali aturan itu berlaku, ada empat orang karyawan yang sudah bekerja lebih dari enam tahun dan hanya satu orang yang sudah bekerja bersamaku sejak pertama kali perusahaanku berdiri, seorang janitor bernama Junot. Ia loyal, jujur, dan boleh dibilang cukup setia—yang terpenting, ia tidak pernah bertanya macam-macam tentang urusan orang lain yang bukan urusannya.
Meski sudah 10 tahun lebih kerja bersamaku, Junot tidak pernah mau dinaikkan pangkatnya. Ia sudah merasa puas dan cukup dengan pekerjaannya sebagai janitor. Junot bekerja lima hari seminggu selama setahun tanpa pernah sekalipun alpa, selama setahun dia nyaris tidak pernah mengambil cuti meskipun ia bisa.
Area kerja Junot hanya satu lantai, toilet hanya ada di lantai sebelas, ia tidak memiliki teman kerja lain. Sebenarnya ada office boy tapi entah mengapa Junot tidak pernah mau bila office boy ikut bekerja di area toilet, jadi selama ini office boy hanya bekerja di sekitar lobi dan pantry. Toilet sepenuhnya milik Junot, sebut aku aneh tapi aku menuruti permintaannya itu dengan baik toh pekerjaannya memang memuaskan.
Aku kerap tertawa serta melamun sendiri membayangkan apa yang ada di kepala Junot bila tanpa sengaja aku melihatnya begitu semangat membersihkan toilet. Jujur aku kagum dan tak menyangka ternyata masih ada manusia yang bekerja sepenuh hati seperti dirinya. Oiya, toilet wanita juga ia yang memegang, aku sih percaya padanya, sejauh ini belum pernah kudengar pengaduan macam-macam dari karyawan perempuan tentang kasus mengintip atau CCTV jahil dan hal-hal semacamnya.
Selain Junot, bila kamu perhatikan dengan baik maka kamu akan menemukan beberapa keunikan yang cukup berbeda dari kantorku. Tujuh puluh persen pegawai kantorku adalah laki-laki dan lebih dari separuhnya adalah laki-laki tampan berusia matang dan tentunya memiliki pesona berbeda dari laki-laki kebanyakan. Sejak dahulu aku percaya berbisnis dan berpenampilan adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Jumlah pegawai perempuan yang sedikit membuatku cukup dekat dengan mereka, bukan kedekatan yang macam-macam tentunya, namun entah mengapa aku sering mendengar berbagai macam gosip tak enak mengenai hal itu. Aku sering mendengar gosip bahwa aku kerap tidur dengan beberapa pegawaiku. Aku juga memiliki beberapa julukan seperti GM mesum, tukang main mata, dan semacamnya. Hal yang paling menarik, aku tahu beberapa orang yang membuat gosip itu adalah para pegawai laki-laki yang sudah lama sendiri dan memiliki riwayat percintaan yang buruk. Kupikir mungin mereka iri denganku yang sudah tua ini tapi tetap terlihat muda. Tapi tidak, aku tidak pernah mencoba mengubah pemikiran mereka, biarlah aku tetap jadi karakter yang mereka ciptakan di kepala mereka sendiri. Justru aku sebenarnya senang dengan gosip semacam itu, mereka jadi tidak mengetahui siapa aku yang sebenarnya.
***
Hari ulang tahunku dan perusahaan milikku hanya berbeda beberapa hari, karena tahun ini angkanya spesial, 50 dan 20, aku memutuskan untuk membuat sebuah perayaan yang berbeda. Tahun-tahun sebelumnya aku hanya mengadakan acara potong tumpeng dan memberikan bonus kecil berupa tambahan bonus akhir tahun untuk setiap karyawan.
Aku berencana mengajak seluruh karyawanku berwisata. Di tahun yang spesial ini aku juga berencana merambah dunia digital dengan membuat iklan serta aplikasi di handphone untuk mempermudah masyarakat dalam mengenal produk perusahaanku. Untuk mengurus proyek digital itu, aku menyewa bantuan Matsui, sebuah konsultan dan multi agensi cukup bergengsi di Jakarta. Selama ini produk-produk yang pernah mereka buat selalu membuatku tertarik, benar saja, setelah beberapa pertemuan dengan tim kreatif khusus, aku merasa cocok karena ide yang ditawarkan begitu segar dan menarik. Satu hal yang lebih menyenangkan lagi, mereka juga memiliki usaha tambahan sebagai agen travel meski masih pemula, sekali tepuk dua lalat mati.
Diantara tim kreatif Matsui, aku menemukan seseorang yang menarik bernama Veronika. Aku tertarik padanya dalam arti dan pandangan khusus, bukan seperti apa yang kamu bayangkan. Sejak pertama kali bertemu Veronika, aku seolah melihat sosokku di masa lalu. Sorot matanya, caranya berjalan, hingga caranya memandangku yang begitu menenangkan. Sudah lama sekali rasanya aku tidak memiliki teman mengobrol yang asyik, Veronika bisa menjadi teman mengobrol yang menyenangkan meski perbedaan usia kami terpaut cukup jauh. Belum genap dua bulan aku mengenal Veronika, hampir setengah rahasia hidupku sudah tercurah padanya—termasuk rahasia yang setahun ini terus menyiksa tiap malamku, tentang orientasi seksualku sejak dulu, juga tentang perasaan tak terbalasku pada seorang laki-laki bernama Martin.
***
Martin Setra datang tiga tahun lalu untuk melamar posisi sebagai Admin Media Sosial. Sejak aku menemukan CV miliknya di tumpukan berkas pelamar entah mengapa aku sudah merasakan bahwa ia istimewa. Benar saja, selama kontrak setahun pertama bekerja kemajuan perusahaan berkembang lumayan pesat. Untung saja ia memperpanjang kontrak meskipun akhir tahun nanti sepertinya ia tidak berniat untuk melanjutkannya kembali.
Selain pekerjaannya yang bagus, Martin juga berbeda karena aku memiliki ketertarikan khusus padanya. Kalau kau perhatikan matanya, kau akan menemukan suatu sorot haus akan sesuatu yang mengingatkanku pada masa mudaku dahulu. Lebih dari itu, Martin sangat tampan. Well, menjelaskan ketampanannya ini memerlukan keterampilan tersendiri, Ia memiliki perpaduan sempurna antara Donny Alamsyah dan Fedi Nuril. Berbadan proposional, hidung mancung, tulang wajah yang tegas, suara yang lantang, serta senyum yang manis. Tidak hanya fisik, sikapnya pun baik, membuatnya cukup disegani meski ia pegawai termuda di kantorku. Hanya saja ia memiliki beberapa kebiasaan buruk, Ia seorang player dan gemar berganti-ganti teman kencan. Dari pengamatanku, sering kali bila kebutuhan seksualnya itu tak terpenuhi akan berimbas pada kinerjanya di kantor.
Tiga tahun terakhir ini aku mengamatinya diam-diam, aku hafal hampir seluruh nama mantan pacar atau gadis-gadis yang sekedar memiliki hubungan semalam saja dengannya. Aku tahu kebiasannya tiap pagi untuk selalu merokok dua batang Marlboro sebelum mulai bekerja, atau bagaimana ia menggerakkan kaki atau mengoleskan pelembab organik di tangannya ketika ia merasa tegang. Kebiasannya memperhatikan langsung ke mata lawan bicaranya dengan tenang berhasil membuatku luluh kesulitan berkata-kata karena entah mengapa aku seperti di tarik jauh masuk ke dalam matanya, matanya yang buas seperti orang kelaparan akan sesuatu.
Sejak tertarik padanya, aku sering memasukkan Martin dalam berbagai proyek pekerjaan kantor meskipun itu bukan termasuk pekerjaan sesuai posisinya, termasuk untuk proyek digital bersama Matsui. Hari ini adalah meeting kelima bersama Matsui, Aku selalu tertawa sendiri setiap melihat Martin yang memasang wajah merengut bosan atau bertampang begitu kacau tiap mengikuti jalannya meeting. Kadang kala aku juga sering melihat ia menatap Veronika selama meeting dengan tatapan seperti ingin memakannya hidup-hidup.
Veronika gadis yang cantik dan aku tau Martin tertarik padanya. Veronika pernah bercerita padaku kalau memang Martin pernah berusaha mendekatinya namun ia tak tertarik. ‘’Masih terlalu muda,’’ begitu katanya waktu itu. Aku hanya tertawa, aku justru malah suka yang muda seperti itu.
Aku dan Veronika membuat permainan khusus, kami kerap bermesraan di hadapan Martin untuk menarik perhatian atau membuatnya cemburu. Ya Tuhan, aku selalu merasa gemas dan ingin memakan Martin hidup-hidup kalau melihatnya sedang cemburu, ingin rasanya aku mengecup keningnya sambil mengatakan, ‘’Hei baby. Tenangkan hatimu, jangan cemburu begitu, mari bermain-main bersamaku’’. Tapi aku tidak pernah melakukannya, hanya mampu menahan semua itu dalam hati, perasaan ini benar-benar menyiksaku.
***
Hari ini meeting kelima dengan Matsui. Aku menghitung Martin sudah menguap delapan belas kali, bergantian memainkan pulpen dan melipat kertas di meja menjadi empat origami beraneka rupa, juga berkali-kali menatap dengan buas ke arah Veronika yang pagi ini kuakui begitu menggoda dengan blus biru berpotongan krop yang sedikit menampilkan perut rata miliknya. Aku sengaja mengadakan meeting pagi hari sebelum Martin mulai membakar Marlboro miliknya. Sebenarnya aku sedikit tidak tega melihatnya tersiksa seperti itu, aku sendiri bukan perokok tapi aku memahami dengan baik bagaimana rasanya harus mendadak berhenti dari kebiasaannya merokok untuk urusan yang mungkin tidak terlalu penting baginya.
Semua itu kulakukan sebagai balas dendam dan untuk mengetahui seberapa jauh Martin mampu bertahan menjauhiku. Ada hal yang cukup menarik terjadi di antara kami beberapa waktu yang lalu, aku tidak sengaja bertemu dengannya di Gay Night Club di Bilangan Kemang. Aku sendiri sebenarnya tidak kaget, sejak dulu aku tahu ia berbeda.
Satu hal yang membuatku terkejut adalah ia menyapaku saat itu, mengajak berbicara dan turun ke lantai dansa. Membicarakan banyak hal seolah kami berdua tak saling mengenal satu sama lain, kebetulan kami berdua tak begitu akrab di kantor karena entah mengapa ia terkesan selalu menjauhiku. Akan tetapi malam itu ia begitu berbeda, begitu hangat, menyenangkan dan seolah memasrahkan hidupnya padaku.
Tentu saja kau sudah bisa menebak bagaimana akhir dari malam itu, it was a good night. Dan uhm, itu juga kali pertama untukku setelah aku berpuasa selama lebih dari dua puluh tahun. Aku mengingat dengan baik dan selalu memutar ulang kejadian malam itu di kepalaku, tentang bagaimana ia memperlakukanku dengan hangat dan tenang, tentang bagaimana ia membisikkan namaku dengan suara yang mampu membuatku meleleh, tentang kebiasaan tidurnya yang melingkar seperti kucing, dan tahi lalat berbentuk seperti bulan sabit di dadanya juga tentang ciumannya yang tenang namun seperti menuntut lebih. Aku tidak merokok dan membenci bau tembakau tetapi malam itu aku mendadak menyukai bau tembakau, terutama bau tembakau dari bibir Martin.
***
Meeting kali ini berjalan cukup lama. Selain masuk pembahasan final tentang proyek digital, aku juga ingin membahas sedikit tentang rencana liburan. Itulah sebabnya aku meminta hampir setengah dari pegawaiku turut serta agar bisa memberikan ide dan berpartisipasi menyusun rencana liburan. Aku sempat meminta beberapa pegawaiku untuk memilih destinasi liburan yang mereka inginkan serta membuatnya dalam bentuk presentasi sebelum dipilih salah satu lewat voting. Setelah beberapa pegawai maju, kali ini giliran Martin dengan presentasinya. Aku penasaran tentang lokasi yang pilih, beberapa pegawaiku banyak yang memilih pergi mengunjungi beberapa pantai di timur Indonesia.
Sambil menunggu slide presentasi miliknya terbuka, entah mendapat pikiran dari mana, aku meraba pelan punggung milik Veronika yang tepat duduk di sampingku. Veronika sempat kaget meskipun akhirnya ia bisa menguasai diri dan berakting terlihat begitu menikmati. Aku menemukan ekspresi yang sulit kuartikan dari wajah Martin. Cemburu kah? Atau Marah? Alisnya bertaut kencang dan ia tidak menyadari bahwa sedari tadi tangannya terkepal erat. Kuhentikan aksiku dan kualihkan perhatianku sepenuhnya pada Martin saat gambar presentasi mulai muncul di proyektor.
“Mungkin ini terdengar basi dan kuno. Waktu kuliah saya seratus persen sibuk belajar dan nggak sempat ikut organisasi atau bergaul yang macam-macam biar cepat lulus dan bekerja, jadi saya sama sekali belum pernah ke Bali dan pengen banget ke sana. Saya belum pernah ke sana karena selain nggak punya waktu, saya juga takut naik pesawat. Nah, nanti kalau bareng-bareng sama kalian gitu kan enak jadi ada temennya hehe” Martin membuka presentasinya dengan polos dan membuatku tersenyum juga sedikit terkejut. Bali, terlalu biasa sekali. Terlalu banyak kejutan tentangnya yang selalu berhasil membuatku makin jatuh cinta.
Respon sebagian peserta meeting tentu sudah bisa kau duga, banyak yang tak setuju dan bahkan mencibirnya norak karena belum pernah ke Bali. Banyak juga yang bertanya bagaimana bisa playboy sepertinya belum pernah ke Bali? Ah, aku jadi teringat kembali akan malam itu.
***
Kami tidak tidur di malam yang hebat itu, empat ronde sekaligus, kuakui Martin memiliki stamina yang cukup bagus di usianya yang masih begitu muda. Kalau aku sih jangan ditanya, tidak sia-sia kebiasaan berenangku setiap pagi. Sebenarnya aku masih kuat hingga dua atau tiga ronde lagi tapi Martin meminta istirahat karena kelaparan. Ia meminta ku membuatkan roti bakar tapi roti bakar yang di panggang di atas kompor seperti di warung burjo. Aku sempat bingung dan terkejut, sekarang kan sudah ada toaster? Buat selama 10 menit langsung jadi, Kenapa harus repot-repot?
Dia bilang bahwa ia tiba-tiba merindukan masa kuliahnya, katanya ia pernah kerja sambilan di warung burjo untuk menambah uang jajan. Aku mengalah. Pada pukul dua pagi hari itu, ia mengajariku membuat roti bakar yang enak ala burjo. Aku ingat, saat melihatnya sibuk bekerja di kompor, aku sempat membatin dalam hati, kejutan macam apalagi yang ia punya untukku.
Roti bakarnya enak dengan tekstur yang berbeda dengan roti yang dibakar menggunakan toaster, rasanya begitu gurih. Dan Sambil makan, Martin bercerita banyak hal padaku. Ia menceritakan tentang burjo Abadi, sebuah burjo di pinggir kota tempat Martin dulu pernah bekerja. Ia menceritakan tentang pemilik burjo tersebut, Ci Mai, juga beberapa pelanggan tetap yang bernama Burhan, Paidi dan Badrun yang mengenalnya cukup dekat. Mereka sedikit banyak telah membantu Martin melalui masa mudanya yang penuh dengan ketidaktahuan tentang dunia di luar sana.
‘’Mereka berempat orang yang baik. Kalau mereka lagi kumpul bareng gitu ya Di, suasana burjo tuh beneran ramai dan hangat kayak di rumah. Mereka bisa saling berbagi cerita dengan pas akan banyak hal. Pokoknya kalau mereka berempat lagi kumpul rasanya gak mau pulang.’’ Jelasnya dengan mata berbinar. Martin memanggilku dengan nama depanku, Aldi—Aldimas Hartono, aku suka panggilan itu.
‘’Tapi sekarang aku sedih. Beberapa waktu lalu ci Mai pergi merantau entah kemana menyusul mas Paidi dan Burhan. Kalau mas Paidi sih memang kerjanya keliling Indonesia, jadi jarang kumpul. Nah, mas Burhan dan ci Mai ini yang tiba-tiba pergi tanpa kabar, tahu-tahu pas aku main ke burjo yang jaga orang lain,’’ lanjutnya bercerita. Aku jadi membayangkan sosok yang bernama ci Mai, Burhan, Paidi dan Badrun ini; sepertinya mereka orang-orang yang menarik.
Lalu Martin kemudian bercerita tentang masa kecilnya. Ia seorang yatim piatu dan besar di sebuah panti yang mendapat donatur tetap dari seorang pengusaha. Karena ia cukup pandai dan beberapa kali masuk kelas aksel, ia pun mendapat beasiswa untuk melanjutkan sampai ke jenjang tinggi. Martin sendiri sejak dulu mandiri dan tidak ingin menyulitkan siapa pun, itulah sebabnya ia belajar dengan begitu keras agar cepat lulus dan bisa segera bekerja serta keluar dari panti.
Martin bukannya membenci panti, hanya saja pergaulan disana kurang begitu baik karena memiliki donatur tetap yang begitu royal. Uang dari donatur disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan sialnya Martin tidak bisa berbuat apapun tentang hal itu. Itulah sebabnya ia hanya tinggal di panti untuk tidur dan menghabiskan sebagian besar waktunya di burjo untuk bekerja sambilan atau kuliah. Martin tumbuh dewasa lebih cepat dari remaja seusianya, satu lagi kesamaannya denganku.
Tidak butuh waktu lama bagi Martin untuk mendapat pekerjaan dengan nilai yang bagus, usia yang masih sangat muda serta waktu kuliah yang cukup singkat. Ia mendapat pekerjaan di sebuah instansi pemerintahan dengan gaji yang cukup besar. Namun Martin tidak merasa betah, ia menginginkan pekerjaan yang lebih santai agar bisa sedikit lebih menikmati hidup. Kekayaan bukan tujuannya, yang penting ia sudah bisa keluar dari panti dan memiliki penghasilan yang cukup, beruntung ia menemukan lowongan di kantorku.
Martin juga bercerita tentang masa kuliahnya dulu. Ia dulu begitu kuper dan hanya mementingkan pelajaran serta bagaimana caranya agar bisa tetap makan sampai besok. Orang-orang di panti banyak tidak suka padanya karena ia berwajah tampan dan pintar. Entahlah, ia selalu merasa kebingungan kenapa ada orang yang iri dengan wajah tampan dan otak pintar milik orang lain. Karena hal itu pacaran bukanlah prioritas bagi Martin, bahkan sama sekali tidak pernah terlintas di kepalanya meski pernah ada beberapa gadis yang membuatnya tertarik.
Ia mulai mengenal dunia percintaan dua tahun terakhir. Pekerjaan yang cukup santai dengan gaji yang cukup membuatnya mulai memperhatikan penampilan, memperbaharui gayanya berpakaian dan mulai membuka diri pada lawan jenis. Pada dasarnya Martin tidak mengerti apapun tentang cinta dan kebutuhan saling menyayangi antar individu, yang dia tahu dia merasakan sesuatu yang kurang dan hilang pada dirinya. Dia rindu merasakan kasih sayang dan ada dorongan dari dalam tubuhnya yang meminta untuk diberi makan. Satu hal yang kemudian ia sadari adalah begitu banyak cewek yang tergila-gila padanya, tentu saja ia tak menyiakan kesempatan itu.
‘’Aku sendiri tidak pernah tahu apa yang aku cari. Definisi cinta itu sendiri menurutku aneh dan membingungkan. Jadi kupikir bila aku bercinta dan mengenal banyak wanita mungkin aku bisa mengetahui apa itu cinta.’’ Jelasnya tiba-tiba.
‘’Kau mencari tau definisi cinta dengan banyak bercinta?’’ tanyaku.
‘’Ya.’’
‘’Kau gila? Kau tidak memikirkan perasaan para wanita yang sudah berhubungan denganmu?’’ tanyaku bingung,
‘’Aldi, it just sex, one night stand. You don’t need love or any other bullshit like that. Kalau dari malam pertama saja sudah tidak memberi kesan menarik, ya sudah cukup, tidak perlu berhubungan lagi setelahnya.’’
Kami terdiam.
‘’Aku masih bingung dengan apa yang kamu cari. Maksudku, kau pernah pacaran kan? Aku tahu kalau kau berpacaran dengan Dinda empat bulan ini, dan kau tidak mencintainya, begitu?’’ tanyaku.
‘’Nope. Dinda mengajakku berpacaran, ia berkepribadian menyenangkan dan kupikir tidak ada salahnya mencoba karena siapa tahu nanti aku akan merasakan atau menemukan sesuatu yang berbeda. Tapi ternyata tidak. So, yeah, mungkin hubungan kami lebih tepat bila disebut teman saja. She was nice dan aku tidak berani untuk minta putus dengannya jadi aku mencoba tetap menjalaninya, menunggu sampai semua ini dengan berakhir sendirinya.’’
‘’Kamu gila!’’
‘’Yap,’’
‘’Tapi Martin, bagaimana caranya kamu mencari bila kau sendiri tidak tau apa yang sedang kamu cari?” tanyaku penasaran.
Ia terdiam lama, menatap mataku.
‘’I think you will find out if he was the right person for you. You will know,’’ jawabnya perlahan sambil memberiku ciuman hangat agar aku tidak banyak bertanya lagi dan membawaku ke ranjang.
***
Seharusnya hari itu akan menjadi Minggu pagi yang sempurna bila aku bisa menghabiskan waktu dengan sarapan atau jogging bersama Martin. Namun yang aku temukan hanyalah kasur kosong, piring dan kompor bekas membuat roti bakar yang sudah bersih, dan keheningan panjang yang begitu menyiksa.
Martin menghilang begitu saja, tanpa memberi kabar atau meninggalkan pesan apa pun. Tanpa memberi penjelasan apa yang sebenarnya terjadi antara kita atau mungkin kesalahan apa yang kuperbuat sehingga membuatnya menjadi tidak nyaman. Ia terus menghindariku sampai hari ini, hampir tiga bulan setelah malam itu.
Aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk bertanya. Aku tidak memiliki kontaknya dan entah mengapa ia selalu bisa menghindar agar jangan sampai kami berdua saja dalam ruangan selama di kantor. Ini menyiksaku. Rasa perih ini sama seperti yang kualami dua puluh tahun yang lalu. Aku membenci perasaan ini. Perasaan terbuang tanpa penjelasan yang jelas apa kesalahanku, seolah keberadaanku tidak berarti apa pun untuk hidup orang lain, seolah aku dilupakan, dianggap tak pernah ada dalam hidupnya.
Ini bukan hal yang mudah. Jujur saja aku kesulitan untuk bisa move on karena Martin masih menjadi pegawaiku. Pelarianku dengan menambah jam olahraga tidak membuahkan hasil, tubuhku justru berontak karena kupaksa untuk terus bergerak. Aku kerap melamun sambil mencoba memutar ulang perlahan kejadian hari itu. Seingatku, Martin mengatakan memang pernah berhubungan dengan sesama jenis sebelumnya, ia tidak keberatan karena ia memang bersifat terbuka. Aku juga ingat bahwa ia cukup puas denganku. Ia memuji beberapa bagian tubuhku dan bahkan mengatakan bahwa sudah lama rasanya ia tidak merasa begitu puas setelah bercinta.
Hal ini benar-benar menyiksaku. Kenapa ia menghindariku? Apa ia membenciku? Apa salahku? Kau tahu, sakit itu bukan karena harus berpisah atau berubah seolah menjadi tidak mengenal sama sekali pada seseorang yang cukup berarti bagimu. Yang menyakitkan adalah sikapnya yang biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa, sementara dirimu menganggap istimewa apa yang pernah terjadi diantara kalian berdua.
***
‘’Well, saya nggak terlalu agamis, saya cukup terbuka untuk mempelajari hal-hal baru di luar sana jadi tema liburan yang saya pilih kali ini adalah wisata alam dan agama. Kita akan menyewa sebuah vila untuk tiga hari. Tempatnya tenang dan cukup privat, benar-benar cocok untuk menyegarkan pikiran. Selain itu, kalau kita mau ikut beberapa kegiatan keagamaan juga bisa. Kalau mau main-main ke pantai juga gak masalah, cukup dekat menuju laut dan aksesnya mudah. Yang lebih menarik, area ini masih baru karena dibuat oleh salah satu kenalan saya, jadi kita bisa mendapatkan harga khusus kalau nanti rombongan kantor kita ke sana,’’ jelas Martin.
‘’Selain belum pernah ke Bali, saya pikir Bali adalah salah satu tempat tujuan wisata yang paling aman. Akses transportasi dan fasilitas wisatanya sudah mendukung, apa aja ada, dan kalau seandainya kita tertinggal dari rombongan kita bisa pulang ke Jakarta sendiri dengan mudah. Saya tidak hanya menginginkan liburan yang menyegarkan dan mempererat kebersamaan saja untuk peringatan ulang tahun kantor nanti, tapi liburan tersebut harus memberikan kemudahan akses dalam berbagai macam hal juga.’’ Tutup Martin sambil menggeser dan menampilkan beberapa gambar fasilitas dan contoh lokasi tinggal dari presentasi miliknya.
Selain meminta langsung pada pegawaiku tentang destinasi liburan yang mereka inginkan, aku juga meminta mereka membuat riset harga dan susunan acara liburannya. Semua biaya transportasi dan penginapan ditanggung oleh kantor selama tiga hari dua malam, mereka hanya perlu menyiapkan pakaian dan mungkin uang jajan kalau mau membeli oleh-oleh. Mereka bisa memilih tempat wisata pilihan mereka sendiri selama masih di Indonesia asal mereka mau membuat riset dengan rincian dengan jelas tentang biaya dan kegiatan selama liburan nanti.
Kulihat beberapa peserta meeting mengangguk setuju mendengarkan penjelasan Martin. Meski sudah ada beberapa orang yang pernah berkunjung ke Bali tapi pilihan kegiatan yang di tawarkan Martin cukup menarik. Siapa yang mengira bahwa sosok playboy sepertinya malah menawarkan wisata agama seperti itu?
Tepat pukul sebelas siang akhirnya meeting selesai. Pembahasan mengenai proyek digital sudah disepakati tinggal menunggu hasil akhir dalam bentuk iklan, sementara untuk rencana liburan akan dibuat voting beberapa hari lagi. Beberapa pegawai pun mulai berkemas dan meninggalkan ruangan. Aku masih terdiam sambil memiilih beberapa file berisi tujuan wisata beberapa orang di mejaku: Belitung, Surabaya, Pulau Komodo, Yogya, Bali, Maluku, dan Ambon. Dari semua pilihan yang ada, kebanyakan meminta untuk berlibur ke pantai, aku jadi membayangkan melihat Martin bertelanjang dada dan sibuk bermain air. Ya tuhan, aku merindukannya!
Otakku sibuk menghayal sampai aku tidak menyadari bahwa ruangan meeting sudah sepi. Hanya ada aku dan—Martin? Tunggu, mau apa dia di sini? Kenapa ia tidak segera pergi dan merokok untuk mengganti jadwal merokoknya pagi tadi?
Tapi tidak, Martin hanya duduk terdiam di seberangku sambil melipat tangannya, menatap lurus ke arahku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
‘’Aku tidak tahu kalau sekarang kau mulai menyukai dan bisa berhubungan dengan wanita,’’ ucapnya tiba-tiba dengan suara dingin.
‘’Apa maksudmu?’’
Alih-alih menjawab, Martin kemudian bangkit sambil membawa berkas miliknya dan berjalan ke arah mejaku tanpa melepas tatapan tajam ke arahku. Demi Tuhan, rasanya aku ingin mati karena tidak kuat dengan tatapannya itu.
Martin duduk di dekatku. Jaraknya begitu dekat dan aku bisa mencium dengan jelas wangi pelembut pakaian dari badannya, bau yang mengingatkanku pada rumah, pada masa kecilku, bau cucian ibu yang kering di Minggu sore, pada hangatnya dada bidang Martin malam itu.
‘’Aku tidak tau apakah kau sekarang sudah normal dan mulai menyukai perempuan. Tapi, bisakah aku meminta sesuatu darimu? Tolong jangan bemesraan dengan Veronika di depanku atau di depan pegawai yang lain. Kau ini tidak punya malu atau bagaimana?’’ Tanyanya ketus dengan tatapan menyidik.
‘’Itu bukan urusanmu,’’ putusku geram dan mulai membereskan berkas milikku agar aku bisa bergegas pergi.
‘’Itu urusanku!’’
‘’Apa pedulimu?’’ Teriakku kencang. Aku kehilangan kendali. Perasaan terabaikan, marah, rindu, semuanya beraduk jadi satu dan tak bisa kutahan lagi. ‘’Apa pedulimu apakah aku sudah mulai menyukai perempuan atau tidak? Apa pedulimu kalau aku bemesraan dengan Veronika di manapun? Kau tertarik pada Veronika? Bukan begitu caranya untuk mere..’’
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Martin menarik tubuhku ke arahnya dan memberikan ciuman di bibirku. Hangat dan tidak tergesa, aku juga merasakan adanya rasa rindu yang coba ia tahan sejak lama.
‘’Aku pikir dengan menghindarimu aku bisa menghilangkan perasaan aneh yang muncul sejak malam itu, ternyata tidak,’’ jelasnya tiba-tiba sambil menunduk.
‘’I think you will find out if he was the right person for you. You will know…and I think that now i know..’’ lanjutnya sambil menatap mataku pasrah.
Aku hanya bisa terdiam dan nyaris mati berdiri. Ini tidak bercanda kan?
‘’Aldi, aku minta maaf kalau aku menghindarimu sejak malam itu. Aku minta maaf atas perbuatanku yang kurang menyenangkan padamu. Tapi Aldi, aku mohon, jangan pernah lagi melakukan hal apapun bersama Veronika di depanku. Aku tersiksa. Aku hanya mau kau melakukannya denganku. Would you mind?’’ Pintanya tulus dengan nada memohon.
Aku sudah lupa bagaimana rasanya bahagia tapi campuran berbagai macam perasaan yang memenuhi dadaku ini membuatku mengucapkan, ‘’Ya,’’ dan Martin segera menarik tubuhku ke dada bidangnya. Wangi pelembut pakaian segera memenuhi indra penciumanku. Wangi Martin, wangi rumah.
Aku hanya terdiam tak tahu harus melakukan apa selain membalas pelukan Martin sambil mendengar debaran jantungnya yang begitu kencang tak menentu sampai tiba-tiba saja pintu ruangan meeting diketuk oleh seseorang.
Junot masuk tak lama kemudian dengan wajah sedikit terkejut lalu nampak kebingungan karena mencari sesuatu.
‘’Permisi pak, saya mau mengambil tas kecil milik Bu Veronika. Katanya tadi ketinggalan di bawah meja,’’ katanya sungkan sambil mencoba mencari di kolong meja.
Aku bergegas melihat ke kolong meja di sebelahku dan kutemukan tas kecil berwarna hitam milik di sana, kuberikan pada Junot dan ia pun bergegas pergi meninggalkan ruangan.
Rasa canggung begitu kental terasa ketika Junot pergi, akhirnya aku memutuskan untuk mengemasi berkas-berkasku dan bersiap meninggalkan ruangan. Sebelum pergi, tiba-tiba Martin berbisik pelan di telingaku,
‘’Untuk membalas yang waktu itu dan untuk banyaknya penjelasan yang mungkin perlu kau dengar, bagaimana bila malam ini aku buatkan roti bakar spesial di rumahku? Jadi kamu tidak perlu takut lagi kalau aku pergi keesokan harinya.’’
Belum sempat aku menjawab, Martin segera pergi dengan langkah ringan di depanku. Aku hanya mampu tersenyum tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah ini nyata? Benarkah aku kembali berhak bahagia? Aku memutuskan menyusul Martin meninggalkan ruangan, tidak memikirkan hal itu lagi.
Aku senang. Aku bahagia…dan kau tahu dengan pasti bukan, apa yang saat ini memenuhi pikiranku?
~
oleh Muchamad Ali Zaini, solo player yang gemar menonton film jepang sambil kentut dan masturbasi