Veronika
Aku bahkan belum sempat menyalakan sebatang rokok pun saat tiba-tiba datang panggilan untuk untuk meeting. Demi Tuhan! Sekarang baru pukul delapan dan hari Senin. Sepuluh menit yang lalu aku baru sampai, seingatku jam kerja kantor ini dimulai dari pukul sembilan. Tak bisakah manusia-manusia itu lebih sabar sedikit, setidaknya sampai otak dan tubuhku bisa menyesuaikan diri setelah berdesakan dalam kereta pagi tadi.
Harapanku itu tidak akan pernah bisa jadi kenyataan di kantor ini. Panggilan meeting adalah sebuah keharusan, haram hukumnya bila tak diacuhkan. Terkadang aku heran, perusahaan kecil dengan keuntungan tak seberapa besar ini kalau mau meeting repotnya bukan main, apa kabar perusahaan-perusahaan besar yang bangunan megahnya kerap kulewati tiap pergi dan pulang kerja itu?
Akan tetapi di sinilah aku, sibuk menyiapkan berkas-berkas untuk keperluan meeting, sendirian. Sebenarnya aku memiliki satu tugas membuat sebuah presentasi kecil sih, tidak terlalu penting, lagi pula aku sudah menghafalnya dengan baik di luar kepala sejak minggu lalu.
Sambil menata beberapa berkas dan makanan kecil, aku terlarut dalam lamunan. Tak sengaja aku melihat ke arah dinding kaca ruangan ini, sibuknya jalanan sekitar SCBD terlihat begitu jelas dari lantai dua belas. Masik asyik melihat ramainya mobil-mobil di bawah sana, pintu ruangan terbuka. Wangi parfum Black Narcissus segera menguar memenuhi ruangan. Veronika, salah satu klien besarku menyunggingkan senyum sumringah sambil membetulkan letak tote bag miliknya.
“Selamat pagi!'' Sapanya ceria.
Belum sempat aku menjawab, beberapa orang lainnya mengekor memasuki ruangan, atasanku, beberapa klien lain dari agen milik Veronika, serta beberapa pegawai lain dari kantorku. Melihat jumlah peserta yang tak biasa, sepertinya ini akan menjadi meeting pagi yang panjang.
Semua orang bergegas duduk dan mencoba membuat kesibukan. Aku sendiri sibuk mengamati Veronika yang kali ini duduk di seberangku sedikit agak ke kanan. Meski tidak bisa menatapnya dengan leluasa, setidaknya aku bisa memandang wajah cantiknya dari samping. Ia kini sibuk mencari beberapa dokumen dari map biru miliknya sambil menunggu laptopnya menyala.
Aku tidak pernah bisa mengawali hariku dengan baik tanpa memulainya dengan 2 batang Marlboro, apalagi hari Senin. Namun melihat penampilan Veronika pagi ini, kurasa aku bisa membuat sebuah pengecualian.
***
Aku yakin kau pasti pernah mengalami hal semacam ini. Pada suatu hari, kau bertemu dengan seseorang yang menarik perhatianmu, entah caranya tersenyum, berjalan, berpakaian, tertawa atau bahkan menguap. Saat bertemu dengannya, kau bisa berkhayal begitu jauh tentang kehidupan bahagia milik kalian berdua di masa depan. Kau sering membayangkan senyuman itu akan menghiasi setiap pagimu. Caranya berpakaian yang sebenarnya tidak begitu menggoda tapi entah mengapa sering membuat resleting celanamu mendadak kesempitan atau bagaimana saat ia menguap dan membuatmu merasa gemas ingin mencubit pipinya dengan mesra. Semua hal itu aku rasakan saat bertemu dengan Veronika sebulan yang lalu, seorang staf bagian pemasaran dari perusahaan klienku.
Ini adalah pertemuan kelima kami dan ia masih saja berhasil membuatku lupa cara bernapas dengan baik. Selama hampir 22 tahun hidup, belum pernah aku bertemu mahluk seindah dirinya meskipun sebenarnya aku tidak tahu pasti apa yang membuatnya begitu indah di mataku. Ia tidak cantik namun tidak bisa dibilang jelek juga menurut standar kecantikan wanita Asia. Ia memiliki kecantikan yang unik, membuat siapa pun betah berlama-lama memandanginya.
Tahun ini Veronika akan berusia 28 tahun, aku tahu setelah berhari-hari stalking akun-akun miliknya di berbagai media sosial. Menurutku usia 28 tahun adalah masa di mana seorang perempuan sedang matang-matangnya, mungkin menurutmu ini aneh tetapi sejak dulu aku hanya tertarik dengan wanita-wanita dewasa dan sedikit tua.
Veronika memiliki kulit berwarna khas Jawa, kuning langsat, cerah dan menggoda. Pada beberapa pertemuan yang lalu, ia melepaskan blazer miliknya, di baliknya ia mengenakan sebuah blus putih yang menampilkan dengan jelas keindahan tangannya. Demi Tuhan, aku masih ingat bagaimana aku buru-buru merapatkan kedua pahaku dan menjejalkan kedua tanganku di antaranya sambil menahan gejolak yang tiba-tiba datang.
Kulit tangannya sehat, memantulkan kembali sinar lampu yang menyorot ke arahnya. Kulitnya tidak mengendur pun tidak memiliki otot yang begitu jelas, menggairahkan. Benar-benar tipeku, aku masih ingat pula seharian itu imajinasiku bekerja begitu baik membayangkan hal-hal tentunya kau sudah ketahui. Di pikiranku, aku sibuk menelanjangi tubuhnya, mencari titik-titik paling sensitif miliknya, mengapresiasi keindahan lengan dan kakinya juga bagian lain dari tubuh indah miliknya yang lebih tersembunyi.
Sungguh beruntung, hal itu sepertinya tidak akan terjadi lagi pagi ini, semoga. Pagi ini Veronika mengenakan blus biru berbahan katun bermodel crop-wide dengan tambahan garis putih vertikal rapat, yang kutau itu adalah salah satu produk H&M. Ia mengenakan celana katun berwarna khaki yang membungkus kakinya dengan indah.
Pacarku beberapa waktu lalu membeli baju dengan model serupa meski berbeda warna, jujur saja blus itu tidak cocok untuknya karena pacarku memiliki perut yang buncit. Pakaian model crop membuatnya nampak begitu buruk. Aku ingat harus menahan malu ketika pergi berdua dengannya dan harus melihat lemak di tubuhnya meluber ke mana-mana.
Lain dengan Veronika, blus itu terlihat seolah memang dibuat khusus hanya untuknya. Tadi sebelum ia duduk, aku sempat melihat perutnya yang rata dan pinggulnya yang sungguh menggoda. Meski ia mengenakan crop top, Veronika tidak mengenakan pakaian lain di atasnya untuk menutupi bagian tubuhnya yang bisa saja terlihat. Ia nampaknya bangga pada keindahan tubuhnya, perutnya memang layak mendapat perhatian-orang orang. Veronika melakukannya tanpa terlihat terlalu show off tetapi juga tidak terlalu tertutup, sempurna.
Aku menebak di balik blus birunya itu ia hanya mengenakan pakaian dalam saja. La Senza Hello sugar mungkin? Saat ia melepas blazernya pada meeting yang lalu, aku sempat sekilas melihat pakaian dalamnya, Beyond Sexy lace berwarna hijau mint dari La Senza. Lagi-lagi aku bisa menebaknya karena pacarku memiliki mode yang sama dengan warna berbeda. Bra edisi Beyond Sexy lace itu indah, menampilkan dengan sempurna payudara milik pacarku dengan cara yang pas, membayangkan Veronika yang memakainya…Wah, jangan!
Sementara itu, Jo, salah satu pegawai kantorku mencoba untuk memulai meeting. Namun otakku masih sibuk bekerja menebak model dan merek pakaian dalam Veronika. Sebut aku maniak atau panggil aku si gila tetapi ini imajinasiku. Persetan dengan semua itu, mulutku begitu kering dan terasa asam, seharusnya saat ini aku sedang membakar batang kedua rokokku bukan terjebak meeting tidak jelas seperti ini!
***
Pukul 09.37.
Meeting sudah setengah jalan. Aku melihat beberapa peserta di ruangan ini sibuk menenggak kopi setiap beberapa menit dan mencoba untuk tidak tertidur selama mendengar penjelasan dari pimpinan perusahaanku. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan, Tono sudah tua dan jujur saja menurutku sudah saatnya ia pensiun bukannya mengurusi perusahaan ini.
Sejak bekerja disini tiga tahun lalu, aku tidak pernah suka dengan Tono. Ia adalah tipe laki-laki tua yang suka berbuat mesum pada karyawan perempuan di kantor kami. Namun sayangnya semua perempuan yang dia perlakukan seenaknya memilih diam saja dan menganggap seolah perbuatan Tono adalah hal yang wajar. Kadang kala aku kerap berkhayal menghabisi nyawanya bila kebetulan aku melihat perempuan-perempuan di kantorku digoda olehnya.
“Hoaaahhm.” Aku terang-terangan menguap. Tidak ada yang peduli, semua sibuk berusaha menahan kantuknya masing-masing. Kulihat mulut Tono yang bergerak meracau tak jelas di seberang sana, ah daripada melihatnya lebih baik aku melihat Veronika yang tepat berada di sampingnya. Tidak banyak yang bisa kulihat memang, saat ini ia sibuk tenggelam dalam laptop miliknya. Tak apa, daripada aku harus melihat si brengsek Tono.
Tak lama kemudian Veronika tiba-tiba berdiri dan mengambil sebuah spidol untuk menggambar sebuah ilustrasi produk, kali ini Tono sudah selesai bicara. Melihat Veronika mendadak bagkit dari kursinya membuatku kaget, kuperhatikan pinggulnya yang besar bergerak dengan irama menggoda saat ia berjalan menuju papan tulis. Pinggulnya indah meski sebenarnya agak terlalu besar untuk tubuh kecilnya. Aku teringat beberapa obrolan yang pernah kudengar tentang pinggul besar yang katanya cocok untuk melahirkan anak.
Pikiranku pun mulai bergerak makin tak terkendali, kubayangkan Veronika sebagai ibu dari anak-anakku, anak-anak kami. Tiga bocah kecil dengan nama-nama yang kami pilih secara matang disertai makna filosofis tertentu. Oh iya, aku selalu ingin memiliki tiga orang anak. Tiba-tiba saja tanganku tergelitik untuk menuliskan nama-nama yang kupikir cocok untuk anak kami berdua nanti. Kuambil pulpen dan secarik kertas, lalu aku mulai membuat daftar-daftar tiga nama menarik.
Stone, Cloak, dan Wand. Kuambil dari salah satu seri Harry Potter, The Deathly Hallows. Veronika adalah seorang ‘potterhead’. Aku melihat laman instagram miliknya penuh dengan berbagai macam hal tentang Harry Potter. Nama-nama itu mungkin terdengar aneh dan menyeramkan tapi aku yakin Veronika pasti setuju.
Faiz, Kaixa, dan Delta dari Kamen Rider 555. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan Kamen Rider tapi aku pernah iseng menelusuri Wikipedia untuk mencari tahu Kamen Rider yang menjadi wallpaper laptop milik Veronika.
McCartney, Lennon, dan Harrison. Kau tentu tahu siapa mereka, Veronika adalah penggemar The Beatles sejati. Aku pernah menunggu lift dengannya setelah meeting dan menemukan bahwa ia menggunakan I Want to Hold Your Hand sebagai nada dering, aku juga melihat foto The Beatles menjadi gambar utama telepon genggamnya saat ia menjawab panggilan masuk.
Law, Agger, dan Charlton. Oke mungkin ini terdengar aneh, dua di antaranya adalah anggota Trinity klub Manchester United dan Agger-Daniel Agger adalah salah satu pemain terbaik Liverpool kesayanganku. Aku suka Liverpool dan sayangnya Veronika adalah penggemar berat MU. Semoga kelak segalanya akan lancar dan baik-baik saja.
Viviyona, Cindy Yuvia, dan Jinan Safa. Well..
Sampai pilihan kelima dan aku akhirnya menyerah. Aku lalu melihat ke arah Veronika yang kini sedang sibuk mendengarkan salah satu pendapat pegawai kantorku. Secara bergantian, aku melihat daftar nama buatanku dan menatap ke arah Veronika, aku akhirnya menyimpulkan sendiri bahwa sepertinya ia akan menyukai pilihan nama-nama yang pertama. Stone, Cloak, dan Wand terdengar keren.
Aku merasa bahagia dan tanpa sadar tersenyum sendiri. Masih larut dalam kebahagiaan itu, aku tiba-tiba terpikir suatu hal, bagaimana bila Veronika menginginkan lebih dari tiga orang anak? Atau bagaimana bila Veronika tidak menginginkan anak sama sekali meski pinggul yang besar konon cocok untuk melahirkan anak?
Kuhembuskan napas panjang, hal-hal seperti itu tidak bisa kusimpulkan sendiri. Kucoret daftar nama di depanku lalu kupandangi Veronika yang kini sedang mencoba membandingkan data di laptop dan di papan tulis. Melihatnya begitu fokus bekerja, aku membatin, apapun keinginan Veronika nanti pasti akan kupenuhi.
Apapun yang terjadi nanti, aku tahu bahwa aku akan menjadi suami yang setia untuk selalu berada di sampingnya. Mengecup keningnya, meyakinkannya bahwa anak kami sudah lahir dengan selamat, memiliki sepuluh jari di tangan dan kaki juga suara tangisan yang tegas dan mantap. Mungkin juga aku akan mengecup keningnya dengan manja, dengan penuh rasa sayang, meyakinkan bahwa tidak masalah bila sebuah rumah tangga tidak disertai kehadiran seorang anak. Aku akan tetap bahagia, asalkan bisa bersamanya, selamanya.
Tiba-tiba Veronika tertawa menanggapi sebuah lelucon yang dilontarkan seseorang di tengah presentasinya. Senyumnya lebar merekah, pipinya merona merah, matanya menyipit dan hilang dalam pipinya seolah ikut tersenyum. Suara tawanya khas, membuat siapa pun yang mendengarnya ikut tersenyum atau paling tidak menoleh untuk mencari asal suaranya.
Veronika masih menanggapi lelucon beberapa orang sambil mencoba menguncir rambut pendek miliknya. Rambut milik Veronika tidak bisa dikatakan pendek pun tidak terlalu panjang. Menurutku fase rambut seperti miliknya saat ini adalah fase yang menyebalkan, Veronika sepertinya terbiasa berambut pendek. Namun, entah karena lupa memotongnya lagi atau memang ia sedang ingin memanjangkannya, rambutnya kini menjadi terlihat berantakan. Mau dikuncir susah, di gerai juga membuat gerah.
Akan tetapi, melihatnya mampu membuatku senang. Lucu melihat beberapa rambutnya jatuh di sekitar kening dan tengkuknya seperti itu. Aku ingin memainkannya, oh, saat melihatnya menguncir rambut aku malah salah fokus ke bagian dadanya. Blus biru dengan garis vertikal putih ini membuat pandangan mataku otomatis memperhatikan bagian itu. Ketika ia sedang menguncir rambutnya tadi, bagian dadanya terbusung sempurna, dibantu pantulan cahaya matahari pagi aku bisa memastikan dengan tepat ukuran payudara Veronika, ranum. Tidak terlalu besar pun tak terlalu kecil. Pas seperti cetakan nasi di restoran A&W. Bulat penuh, pas dalam genggaman tangan, juga bergizi dan nikmat. Ya Tuhan, aku benar-benar membayangkan menggenggamnya dengan kedua tanganku!
Kedua pahaku semakin merapat. Dadaku berdegup kencang. Kupejamkan mata sesaat; di atas ranjang luas bersepraikan kain satin warna putih, kubayangkan diriku sedang mengecup setiap sudut tubuh Veronika dengan segenap perasaan. Saat ku genggam dadanya, tebakanku tidak meleset, benar-benar seperti nasi A&W. Segera kulumat dengan tenang dan tak tergesa-gesa. Ini ritme percintaan kami, lapar seperti bayi yang baru lahir namun tenang seperti kucing yang baru belajar membuka mata. Tubuhnya bergetar dalam dekapanku, napasnya tertahan di dadaku.
***
Kembali ke ruang meeting, Veronika kali ini sudah selesai dengan presentasi dan gambarnya. Ia kembali duduk di kursi miliknya. Tak sengaja, ia membalas tatapanku. Kulihat ia tersipu dan memberikan senyum simpul sambil mengangguk, kubalas dengan anggukan kecil lalu mataku berpindah fokus pada bibirnya yang mungil tapi penuh.
Bibir milik Veronika kecil, mungil tapi memberikan kesan tebal. Dari beberapa pertemuan kami, seingatku ia tidak pernah memakai pewarna bibir yang macam-macam. Bibirnya sudah merah alami. Merah dan segar, entah mengapa mengingatkanku pada jajanan pasar kue lapis beras, terlihat manis menggoda dengan warna menarik yang seolah menantangmu untuk menggigitnya manja. Veronika memiliki kebiasaan mengulum dan membasahi bibirnya tiap beberapa menit sekali atau menggigit bibirnya tiap ia mencoba untuk fokus pada sesuatu. Aku benar-benar tidak tahan tiap melihatnya melakukan hal itu, membuatku makin penasaran.
Aku jadi ingat saat sedang menunggu di lift setelah meeting beberapa waktu lalu, aku pernah iseng bertanya kenapa namanya menggunakan huruf K bukannya C, menjadi Veronica. Veronika menjawab sambil tertawa santai seolah pertanyaan itu memang sudah sering ia dapatkan, ia bilang itu terjadi karena kesalahan ketik oleh juru tulis pengurus berkas kelahiran. Kedua orangtuanya pun baru sadar setelah Veronika tumbuh besar, jadi ya dibiarkan saja lagipula Veronika menyukainya dan ia merasa itu menjadi bagian keunikannya.
Saat mendengarkan jawabannya kala itu, pandanganku terfokus pada giginya yang rapi dan bibirnya yang mungil. Suaranya enak di dengar, aku bersedia mendengarnya berceloteh seumur hidupku. Aku lalu segera mencoba menyiapkan beberapa bahan obrolan lain agar bisa mendengar suaranya lagi sebelum akhirnya I Want to Hold Your Hand mengalun pelan dari telepon genggam miliknya.
***
Pukul 10.15.
Jo tiba-tiba memanggilku untuk memulai presentasi. Kutundukkan kepalaku dan sukurlah si kecil di bawah sana bisa menahan diri dengan baik meski bibir Veronika sejak tadi begitu menggoda pikiran liarku. Kurapikan kemeja dan celanaku, kuseret dengan malas kakiku ke muka ruangan sambil membawa flash drive dan beberapa berkas untuk presentasi.
Sambil menunggu slide milikku terbuka, kulihat Veronika yang duduk di hadapanku terlihat begitu mencolok dengan kemeja birunya di antara pria-wanita berseragam kemeja merah membosankan milik perusahaanku. Di tengah remang cahaya, sebelum slide kumainkan, tanpa sengaja aku melihat ke bawah meja. Tangan keriput milik Tono mulai bergerak menjelajahi pinggul ramping Veronika. Kulihat Veronika mengigit bibirnya sambil merapatkan paha, entah mencoba menahan dinginnya ruangan atau menahan gelenyar rasa asing yang menjalari tubuhnya.
Aku teringat kembali pada tiga nama anak yang kupilih berdasarkan The Deathly Hallows tadi. Aku kini sibuk menelan ludah. Rasanya asam dan kering. Aku ingin Marlboroku sekarang.
Kau tahu kan apa yang ada di pikiranku?
~
oleh Muchamad Ali Zaini, solo player yang gemar menonton film jepang sambil kentut dan masturbasi