Kupu-Kupu
Saat semua orang masih terlelap mereka menyelusup masuk dari celah-celah pintu bagai asap. Tak ada yang terbangun, tak ada yang sadar saat mereka menelusuri setiap sudut rumah, laci-laci dan lemari, dari dapur hingga kamar mandi. Meninggalkan noda coklat di piring-piring kotor yang belum sempat dicuci sejak semalam, mereka memetik daun dan kelopak yang mengering dari tanaman-tanaman di pot yang tak terawat. Tak ada yang sadar saat mereka masuk ke kamar tidur anak-anak kita, menempelkan mulut mereka di bibir anak-anak kita dan mencuri napas mereka.
Mereka naik ke ranjang, merayap di atas sprei, memeluk tubuh lelah yang terlelap. Kita bisa merasakan hangatnya, mengiranya sebagai napas kekasih kita, menyerah pada napas lembap mereka yang menghangatkan pagi buta.Jari-jari mereka mengusap kening kita, kuku panjangnya menyayat ubun-ubun, mengupasnya bagai kulit pisang lalu membuka batok kepala seperti membuka toples kue-kue hari raya. Mereka mendekatkan mulut, menyedot isi kepala. Kita bermimpi dan tak menyadarinya.Di sisa malam mereka terus mendekap dada kita; lalu saat selesai mereka mengembalikan kulit dan daging menutup tulang, semua semudah yang kita lakukan saat memasang sarung bantal.
Saat alarm berdering, saat cahaya mulai masuk menembus gorden jendela, kita berusaha keras untuk bangkit dari ranjang. Semua orang merasa lelah, tubuh seolah habis dirampok dan porak poranda, pikiran lambat melayang-layang. Keluh kesah lebur di udara bersama uap kopi; tak bisa tidur semalam, mimpi buruk, pikiran-pikiran buruk, beban kehidupan. Kita tak pernah menceritakan mimpi-mimpi itu; tentang kehidupan yang lain, orang-orang lain yang selama ini mengisi hati kita. Kita tak pernah berani jujur tentang bagaimana kita mungkin saja menyerah lalu pergi mengejar mimpi-mimpi itu, akan tetapi, kita saling bergenggaman tangan dan mengucapkan aku cinta padamu; bahwa kita, aku dan kamu akan baik-baik saja. Kita melakukannya seolah berusaha masuk dalam mimpi-mimpi itu, mimpi kita masing-masing; sentuhan yang memberi rasa aman, kepercayaan bahwa kita tetap satu.
Dalam ketakutan kita terdiam. Kita tak ingin membangunkan anak-anak kita. Pikiran kita berantakan, dan seperti biasanya, kita selalu bisa kembali menyalahkan pekerjaan, kemacetan perjalanan pulang, atau alkohol murah dan pil pelelap dari tadi malam.