Iblis Blues

 

Suatu hari aku bertemu Iblis, sore setengah lima di warung kopi timur persimpangan Gondolayu. Iblis menatapku nanar, saat itu kunyalakan rokok kretekku.

"Mau apa kau?" Ucapku lirih pada Iblis.

"Sejak dulu, jauh sebelum Ibrahim atau Yesus, aku tak pernah membicarakan tentang apa yang aku mau," balasnya sembari tersenyum tipis. "Semua selalu tentang apa yang kau inginkan."

"Tak ada." Kataku, "Apa aku terlihat seperti pria malang yang sangat menginginkan sesuatu?"

Iblis kembali menyeringai, kali ini sambil mengangkat kedua bahunya.

"Walau aku belum menemukan gadis yang mencintaiku dengan tulus, walau sebenarnya hanya ada beberapa lembar uang di dalam dompetku,  aku sudah merasa cukup. Terlebih masih banyak orang yang jauh lebih tidak beruntung dibanding diriku."

"Ooh, ya." jawab iblis puas, sambil mengangguk setuju.

"Selama masih ada keluarga dan sahabat-sahabatku, aku akan terus berusaha dan bersyukur pada semua yang sudah dikaruniakan padaku.

"Hmm, tentu. Seorang lelaki memang harus seperti itu." Iblis pun tersenyum, seolah kagum akan semangatku.

Karena nampaknya Iblis sudah mendapatkan jawaban dariku, kembali kunyalakan lagi sebatang rokok untuk kesekian kalinya, kembali menuju lamunanku. Iblis masih belum beranjak, masih duduk di depanku, menatapku lekat.

"Apa lagi yang kau inginkan, Bung?" tanyaku padanya, ketus.

"Berapa kali lagi harus kukatakan, tak pernah soal apa yang kuinginkan tapi apa yang kau inginkan?"

Kuletakkan rokok di asbak, "Hmm, sebenarnya ada satu hal. Aku selalu ingin bisa memainkan musik blues seperti Robert Johnson."