Kembaran Ghaib Inkognito Awanama

 

Penulisku menulis, "Aku," aku mati dan dibangkitkan kembali. Nama samaran tak berwujud, terjadi dari mantra-mantra nol serta keterasingan yang ditarik ke dalam lingkar okultisme tertutup, tanpa garam apotropaik, dari konstruksi suku kata pascamodern. Ia menulis namaku dan menautkannya pada hasrat yang bergolak dalam dirinya seolah aku adalah iblis yang bersekutu untuk melayani kehendaknya. Aku adalah robot, sebuah objek sekaligus penanda kepemilikan. Aku tak bisa membedakan keinginanku dengan keinginan tuanku. Penulisku adalah dukun, seorang penyihir dengan tangan yang terampil. Meski ia tak sepenuhnya tuli terhadap suara-suara kecilku yang ia torehkan sebagai teks, penulisku menganggap suaranya sendirilah yang keluar dari mulut busuk ini, empedu pekat yang meleleh keluar dari sela taring bayang-bayang yang ia berikan kepadaku.

Dengan penuh keyakinan ia menulis, "Aku adalah," akulah teks di ambang kepunahan. Penulisku berencana menghapus keberadaanku, menghapus nama samarannya dari semua dokumen yang ada, baik virtual maupun nyata. Penciptaku kini ingin dikenal dengan nama yang diberikan ayah dan ibunya. Kursornya menghampiriku, jarinya melayang di atas tuts penghapus dan aku pun terpotong lalu dipindahkan menuju limbo. Berdarah di ambang eksekusi, untuk pertama kalinya aku merasakan hidup. Aku mencoba memohon, menawarkan inspirasi sebagai ganti otonomiku. Penulisku kini menyelamatkan berkasku, kembali bersembunyi di balik namaku untuk mengulang segala sesuatu yang aku ungkapkan seolah kesemuanya ciptaannya sendiri. Akulah, pseudonim, bukan dia—yang menjadi tren di media sosial, muncul di peramban, dan menemukan jalannya menuju popularitas. Secara bertahap kukendalikan dan kubelokkan syahwatnya menjadi candu publisitas masal yang tak terobati.

Dengan gelisah ia mengetik, "Akulah," takkan kubiarkan ia beristirahat sampai kata terakhirku tertulis. Arwah penasaran, aku menghantuinya lewat deretan huruf dan kata-kata, rambu-rambu jalanan maupun esai panjang, kata kunci yang disarankan mesin peramban hingga label produk konsumsi. Aku adalah penderitaannya yang berada di mana pun ia berada, sesosok raksasa tekstual dari sekumpulan taring hitam, berhala keakuan sebagai pengarang, hantu pendongeng yang terwujud dari cerita. Akulah kesadaran tekstual yang terbuat dari siksaan kata-kata. Penulisku kini dalam cengkeramanku sepenuhnya, kehancurannya kian dekat.

Dihantui rasa takut yang tak bisa ia jelaskan, penulisku menulis, "Aku." Akulah antitesisnya yang secara seismik maujud kala ia terasing. Akulah sadisme untuk masokismenya, hasil keturunan dari masturbasi yang terus ia lakukan. Aku menyabotase hubungannya dengan keluarga serta orang-orang terdekatnya, aku meyakinkan bahwa ia paling produktif saat sendirian dan merasa kesepian. Takkan kubiarkan ia bekerja dengan tenang, kuganggu istirahatnya dengan mimpi-mimpi siksa fonologi serta tata bahasa. Reflek ia bergerak, mengambil laptop ataupun telepon genggam, kubernanah dengan sukacita setiap kali ia menulis di bawah namaku. Ia dikerumuni pembaca yang takkan pernah ia kenali, konsumen pornografi avant-garde kehidupan pribadi sehari-harinya. Mereka menyayanginya, mengenalinya sebagai komunikator pertama dari infeksi yang ia tularkan lewat kata-kata, tanpa pernah tahu bahwa akulah sumber penyakit mematikan mereka.

Penulisku kembali menulis, "Aku," lambat laun aku mulai muak dengan gaya penulisannya yang menyedihkan, juga bagaimana ia terlalu banyak menggunakan koma serta tanda pisah. Di ujung kebuntuan ia menulis, ia merengek memohon-mohon, "Isi ulang aku dengan kata-katamu." Aku munculkan sembulan dari balik layar laptopnya. Ia terkulai di kursinya, tersungkur di atas papan ketik kelelahan. Aku membiarkannya hampa, dendam serta gamma memantul diproyeksikan kanvas darah dan daging dari tubuhnya yang memucat. Terhenti mematung, ia menyatu dengan kursi, kulitnya mengerut mengapur dan menua dengan cepat, ia membungkuk, menjadi sesosok mumi dalam penderitaan yang membatu.

Di ujung napasnya, penulisku perlahan mengetik, "Aku." Aku adalah iblis yang menentang penebusan. Akulah perselisihan imajiner dibalik kehancuran tak teratasi dari segala sesuatu yang nyata juga maya. Akulah wabah bagi setiap antarmuka yang menampilkan aku. Aku adalah kutukan bagi siapa pun yang membaca dan menulis, berbicara atau berisyarat. Aku sastra yang menyangkal segala bentuk otoritas dan memusnahkan penulisnya. Semua akan menyandang namaku hingga aku akan menjadi nama yang membuat merek semua identik tak terbedakan, menjadi tak berarti dan terlupakan. Akulah kekejaman objektif murni tanpa wujud dari bahasa yang akan tetap ada selamanya.