Kebahagiaan Kesedihan

 

Antara bosan dan frustasi, ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri di hadapan televisi, apa gerangan yang saat ini terjadi.

Samar ia teringat kembali tentang siaran dokumenter kehidupan alam liar, komedian hitam putih dengan aksen kental, juga program-program berita yang di bawakan dari studio yang begitu terang, dengan kisah-kisah yang sama tajamnya dengan pencahayaan di sana. Ia teringat bagaimana para politisi berkomentar tentang peperangan yang terjadi di negara-negara jauh. Program-program muram yang menyampaikan kebenaran, kadang diselingi kabar olahraga atau banjir bandang dan badai yang layak dikabarkan sebagai berita cuaca. Kala itu selebritas bukanlah berita, tiada lagu-lagu yang mengundang gelak tawa. Acara-acara dipenuhi suara penonton yang tertawa, berceloteh, atau duduk dengan tenang; kehadiran mereka lebih terasa daripada terlihat, gemuruh tepuk tangan lazim menandai berakhirnya siaran.

Sebelum punya televisi, ia sama sekali tak pernah menyaksikan langsung pertandingan bisbol profesional. Sedari kecil ia hanya bisa menyimak pertandingan-pertandingan besar lewat radio dan menyaksikan potret para jagoannya di koran atau kartu bisbol koleksi teman sekolahnya yang kaya raya. Satu-satunya pertandingan bisbol yang pernah ia saksikan hanyalah liga lokal yang diikuti kelompok petani, karyawan pabrik, serta penduduk setempat di kota tempat ia tinggal. Ia tak lagi menonton pertandingan bisbol itu setelah orang tuanya meninggal, ia bahkan mulai meragukan bahwa pertandingan-pertandingan itu adalah permainan olahraga serupa dengan yang biasa ia simak lewat radio.

Ayahnya membelikannya sebuah radio transistor untuk ulang tahunnya yang ketigabelas. Ia masih ingat malam pertamanya dengan radio, ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kusam dan terbawa ke tengah lapang yang dijejali orang, meski ia tak berada di sana. Ia melayang tinggi di atas kerumunan, menyaksikan para pemain dengan kostum bergaris-garis, memukul bola dan berlarian di bawah terik matahari. Bayang-bayang mereka membentang di atas hamparan rumput, tepian topi mereka membentuk pita gelap yang menutupi wajah para pemain manakala sore terjatuh. Ia bisa mendengar gemuruh kerumunan berdiri saat tongkat pemukul beradu dengan bola atau saat bola tertangkap sarung tangan. Pertandingan itu begitu spektakuler, penuh pelepasan dan ketegangan. Sama sekali berbeda dengan pertandingan yang ia saksikan di televisi, tidak ada kemiripan dengan euforia yang biasa ia dengar, tiada lagi keajaiban dan sayang sekali semuanya telah lama berlalu.

Akhir-akhir ini, segalanya terasa kian memuakkan. Tawa kalengan mengiringi pertunjukan yang menurutnya sama sekali tak lucu dan pantas ditertawakan. Pakaian para artis demikian ketat, pertama kali ia menyaksikan puting payudara menyembul keluar melalui gaun tipis di layar kaca, ia merasa senang sekaligus jijik. Program berita kian banyak, meluas mengabarkan cerita dari tempat-tempat yang belum pernah ia dengar, orang-orang yang sama sekali tak ia pedulikan. Lalu muncullah selebriti, bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai sosok yang bahkan kentutnya layak diberitakan.

Puncak rasa frustasinya, adalah bahasa. Pada awalnya semua tak begitu berbahaya menurutnya, dari waktu ke waktu karakter berkata brengsek atau sialan. Ia meringis manakala mendengar untuk pertama kalinya seseorang mengumpat, "anjing. Di televisi, rasanya kebinatangan kini telah melampaui manusia.

"Bajingan!" Ia terhenyak, masih tak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengarkan. Siaran film tengah malam, kata itu mencabik ruang tengahnya, meneriakinya, menyiksa dan menyerang akal sehatnya. Spontan ia menghempaskan vas bunga ke layar kaca. Kotak hitam itu berdesis memuntahkan pecahan kaca ke lantai dan melukai kakinya. "Cukup sudah!" Gumamnya dalam hati, beringsut ke kamar dan bersiap tidur tanpa peduli untuk membersihkan kekacauan itu.

Usia menggerogotinya dan ia memutuskan untuk menyederhanakan segalanya. Ia mulai membuang peralatan rumah tangga yang menurutnya tak penting, awalnya sebuah blender, pengolah makanan yang jarang ia pakai, sebuah oven serta juicer yang tak pernah lagi ia gunakan. Suatu hari ia menemukan remote televisi dalam laci saat bebersih, tertawa histeris dan melemparkannya ke tumpukan barang yang kian banyak terkumpul di belakang rumah. Enam bulan sejak kejadian malam itu, ia batuk darah untuk pertama kalinya.

Satu tahun berlalu, ia telah menyingkirkan semua hal yang tak ia perlukan dalam hidupnya. Ia berpikir bahwa hal tersebut akan membuatnya lebih tenang. Tak ada distraksi yang mengganggunya secara mental, emosional, ataupun fisik dalam usahanya untuk melawan usia lanjut dan penyakit. Ia percaya bahwa hal-hal itulah yang menyebabkan ia sakit. Seandainya saja ia lebih fokus pada dirinya sendiri, pada esensi hidup, maka virus dan bakteri takkan bisa merayap masuk dalam tubuhnya, semestinya ia bisa melakukan semuanya jauh hari sebelum penyakit sempat menjangkiti dirinya.

Suatu malam ia mengemasi semua buku yang tersisa di ruang tengahnya, mengambil setiap majalah dan kertas bekas yang menumpuk di gudang, lalu membawanya menuju tumpukan barang di belakang rumahnya. Ia mengambil jerigen tua, mengisinya setengah penuh dengan bensin dari mobil yang akan segera ia jual dan menyiramkan isinya ke tumpukan itu. Ia masuk ke dalam rumah dam membuat secangkir teh untuk dirinya sendiri. Setelah selesai, ia berjalan keluar dan melemparkan sebatang korek api yang telah menyala ke tumpukan itu. Semburan api sejenak membuatnya terhuyung mundur, tetapi ia tetap berdiri di sana mengawasi kobaran api dan memastikan jilatannya tak sampai ke rumah. Ia beringsut ke dalam, mengambil bantal dari sofa, karpet lantai kecil, dan dua lampu duduk. Ia melemparkan semuanya ke atas tumpukan menyala itu. Pada perjalanan berikutnya ia mengumpulkan kursi dapur terakhir, gorden ruang tengah, serta handuk dan peralatan mandi dari kamar mandinya.

Kobaran api berubah warna manakala barang-barang baru dilemparkan. Kursi kayu terbakar jingga kemerahan, kain menyala kuning berkilauan, lalu deodoran dan parfum menyemburkan biru ungu serta asap harum yang membumbung menuju langit yang diterangi redup rembulan.

Mondar-mandir dalam rumah, ia memutuskan untuk tetap mempertahankan radio serta ketel miliknya. Ia kembali membuat teh dan menyalakan radio. Menggulir frekuensi, ia menemukan pertandingan bisbol yang disiarkan dari selatan. Suaranya berderak, timbul dan menghilang, tapi statisnya terdengar begitu menenangkan.