Masalah Perut
Ia terbangun menggigil, basah kuyup dipenuhi keringat dingin, sekujur tubuhnya diliputi kengerian.
Ia kembali memimpikan hal tersebut, sebuah mimpi buruk tentang perut. Sebagaimana hari-hari lainnya, dalam kesendirian, ia melakukan rutinitasnya seperti biasa, memotong rumput di halaman belakang rumahnya, menyantap makanan cepat saji di kafetaria, semuanya berjalan dengan normal, baik-baik saja seperti biasanya. Tiba-tiba sesosok tanpa wajah mendatanginya, kulit wajahnya, entah kenapa menggelambir sedemikian rupa, menutup setiap fitur yang lazim mendefinisikan sosok manusia. Mendekat begitu cepat, tanpa disadarinya, tangan-tangan terjulur memegang sesuatu yang ia kenali sebagai perut manusia—bergidik ngeri saat ia menyadari bahwa itu perutnya sendiri. Kesemuanya berlangsung diiringi rasa sakit yang sulit ia jelaskan, meski tak ada tanda-tanda luka yang bisa ia temukan. Sebuah rasa sakit psikologis menyerupai rasa malu yang tak tergambarkan, berdenyut kencang seolah seluruh urat-urat di sekujur wajahnya akan meledak. Pada momen-momen itu ia akan mulai membayangkan bagaimana kesemuanya hanyalah mimpi, tak berdaya bergulat memastikan apakah semuanya hanya ada dalam benaknya atau nyata.
Ia memang sudah lama merasa tak nyaman dengan tubuhnya sendiri, nampaknya mimpi memanfaatkan kegelisahan tersebut untuk terus mengingatkan dirinya, untuk tak lagi mempertanyakan rasa jijik yang selalu ia rasakan setiap kali memandangi tubuhnya sendiri. Mimpi-mimpi tersebut berulang secara rutin meski tak selalu sama, rutinitas yang ia lakukan kadang berbeda dari waktu ke waktu, menciptakan realisme sureal yang menjebaknya dalam demam, menyulitkannya untuk mengenali apa yang terjadi sebagai mimpi ataupun nyata. Hari demi hari berlalu, ia kian ngeri dengan apa yang dialaminya, berusaha keras untuk mempertahankan kewarasannya.
Selain perutnya, ia juga selalu merasa bahwa wajahnya sama sekali tak memiliki fitur yang menarik. Setiap kali seseorang menyebutnya dengan suatu istilah yang berkaitan dengan penampilan rupawan, ia segera mengenalinya sebagai suatu bentuk candaan bahkan cemoohan yang tersembunyi di bawah sikap baik dan keramahan. Tentu saja komentar-komentar demikian hanya muncul dari orang-orang terdekatnya, ayah dan ibunya, beberapa teman baik yang kian hari kian sedikit. Tak peduli apa pun niat mereka, ia tak bisa menghilangkan prasangka tersebut, sesuatu yang tak terbantahkan mengenai dirinya, perasaan kurang diinginkan secara fisik, ketidakpantasan untuk menerima pujian-pujian . Akibat hal tersebut, ia memutuskan untuk menghindari orang-orang, memutus kehidupan sosialnya yang sudah sempit dan hanya melakukan interaksi-interaksi yang ia anggap perlu entah itu keperluan kerja ataupun kebutuhan sehari-hari yang tak mungkin ia hindari.
Belakangan ia selalu merasa lebih baik manakala menyaksikan sosoknya melalui cermin buram, pantulan-pantulan samar dari berbagai objek yang ia temui sehari-hari, menunjukkan fitur-fitur samar tubuhnya diselimuti cahaya yang lembut. Setiap kali mandi malam, ia akan mengagumi wajah tak berbentuk yang ia perhatikan pada cermin kamar mandi. Saat embun mulai memudar dari sudut-sudut kaca, ia pun akan segera menutup kedua matanya dan bergegas mengeringkan wajahnya. Baru-baru ini ia bahkan berusaha untuk menghindari kontak mata dengan bayangannya yang terpantul di sana. Ia memperhatikan wajahnya yang buram perlahan menajam mendetail, berjuang untuk mempertahankan kontak mata dengan sosoknya yang berada dalam cermin, berusaha membuka mata menyesuaikan ambang toleransinya yang kian tipis, tergugup tak yakin apakah aliran air yang melewati dahinya adalah akibat dari udara lembab ataupun tetes-tetes keringat.
Saat semuanya tampak jelas, ia berasa seperti berdiri menatap wajah seorang asing, wajah dipenuhi jerawat, mata merah kelelahan, kantung mata menggelambir, hidung bengkok yang menjijikkan, serta rambut tipis yang menghubungkan kedua alisnya. Saat itu pun ia segera melengos memalingkan pandangannya, rasa jijik menggelegak menjalari sekujur tubuhnya. Ia pernah mendengar sebuah cerita tentang kandang kuda yang dilengkapi sebuah cermin, bagaimana kawanan akan bergerak tak terkendali sampai menyakiti satu sama lain hingga akhirnya cermin tersebut hancur. Meski ia takut pada kuda, kini ia merasa bisa berempati dengan kisah absurd yang ia dengar tersebut.
Dari waktu ke waktu, ia mulai menyadari bagaimana selama ini ia kurang serius memperhatikan tubuhnya sendiri, bagaimana ia selama ini tak wajar dan lain daripada yang lain. Ia juga menyadari bagaimana orang-orang seolah menghindari pembicaraan mengenai hal tersebut. Ia merasa upayanya untuk memulai pembicaraan atau sekedar menyampaikan kegelisahannya pada orang lain selalu berujung sia-sia, tak peduli betapapun keras ia berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkap kesemuanya, menyampaikan getir yang ia rasakan mengenai tubuhnya. Jelas sudah, seandainya ia memiliki tubuh yang proporsional serta wajah yang menarik, apa pun yang hendak ia sampaikan pada orang lain pasti akan memperoleh tanggapan yang ia harapkan. Setiap interaksi pasti akan disambut dengan wajah yang menyiratkan persahabatan, pengertian, serta pertimbangan penuh akan potensi dari apa-apa yang hendak ia sampaikan. Namun, kondisinya saat ini membuatnya merasa segala sesuatu yang ia lakukan dan ungkapkan selalu ditanggapi dengan ketidakseriusan yang sulit ia jelaskan, bukan sekedar dingin ketidakacuhan, tetapi sikap merendahkan yang samar, senyum kecut serta gelagat untuk segera meninggalkan percakapan. Ia merasa kesemuanya merupakan sebuah penghukuman kolektif atas sesuatu yang dianggap tak wajar, tingkah laku gerombolan yang terus berusaha untuk menjinakkan segala sesuatu yang dianggap aneh maupun menyimpang.
Jauh di lubuk hatinya, ada bagian dari dirinya yang merasakan iri dengki pada mereka yang termasuk dalam kategori obesitas. Ia, entah kenapa, selalu berasumsi bahwa obesitas adalah suatu permasalahan genetika atau penyebab abstrak lain yang tidak bisa diubah sama sekali. Ia merasa bahwa tak adil untuk menghakimi mereka sekedar karena bentuk tubuh mereka, sesuatu yang ada di luar kendali mereka sendiri. Meski demikian, ia perlahan menyadari bagaimana kesemuanya merupakan salahnya sendiri, bagaimana ia membiarkan dirinya percaya bahwa ia jauh lebih menderita dibandingkan orang-orang lainnya. Episode-episode penyiksaan dirinya tak pernah berlangsung lama, karena ia pun menyadari bahwa hakikat hidup adalah bagaimana terus mempertahankan diri, bahwa ia tak mungkin menjalani hidup dengan baik bila ia terus mendahulukan penderitaan orang lain di atas, atau bahkan mengorbankan rasa untuk mengasihani diri sendiri.
Ia kadang membayangkan bagaimana orang lain menyaksikan proporsi tubuhnya sebagai sebuah peringatan yang hidup. Mengingat kembali bahwa dahulu ia pernah hidup sebagai seseorang yang kurus, menyaksikan orang-orang sepertinya saat ini sebagai cerminan atas sebuah pola hidup yang harus dihindari. Rasanya tolol sekali bila berharap agar orang-orang bisa menyaksikan bahwa bentuk tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan siapa dia sebagai seorang manusia. Tentu saja semua orang menyadari bagaimana kondisi fisik dapat menyiratkan setidaknya sedikit tentang kehidupan maupun kondisi psikis seseorang. Wajar saja selama ini ia terus menemui pandangan-pandangan gugup orang-orang, tak ada apa pun selain rasa kasihan ataupun cemoohan.
Pada akhirnya, sebagaimana seseorang yang menginginkan perubahan diri, juga cukup beruntung memiliki akses terhadap segala macam sumber daya yang ia perlukan untuk perubahan, ia mendapati dirinya berada dalam kebuntuan, di antara kebencian dan harapan berkenaan dengan penderitaan yang selama ini ia hadapi.
Sebagaimana hari-hari biasa lainnya, ia tergesa berjalan menuju ke kantor. Ia mencari kamar mandi terdekat dari ruang konferensi yang baru saja ia hadiri. Ia memperhatikan dirinya sendiri di dalam cermin, merasa tak nyaman dengan begitu banyaknya keringat yang ada di permukaan wajahnya, menduga-duga bagaimana massa perutnya merupakan penyebab utama atas hal tersebut. Di tengah perenungannya, ia menyaksikan perut yang terisolasi, berdiri sendiri, beserta otot sfingter, mengambang di luar sosoknya sendiri, di dekat urinoir. Ia tertegun kaku, berusaha menyadari bahwa kesemuanya hanyalah mimpi. Ia berusaha memastikan kesemuanya kembali. Ia beringsut pelan menuju sakelar lampu di dekat pintu. Ia menekannya dengan santai, yakin bahwa ruangan yang ia tempati akan tetap terang, bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, lampu padam. Dalam kepanikan ia tergagap menekan kembali sakelar tersebut dan lampu pun kembali menyala. Ia melirik ke arah cermin besar di sisi ruangan dan menyaksikan bagaimana perut tersebut masih ada, melayang perlahan mendekatinya. Perut tersebut tampak meneteskan sesuatu yang menyerupai campuran darah dan muntahan, bau busuk seketika menyengat hidungnya, mengurungnya dalam kengerian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia bersusah payah mencoba mengatupkan kedua kelopak matanya, menimbulkan rasa sakit tak tertahankan di ubun-ubun kepalanya. Ia pun sontak menancapkan kuku jemarinya ke kedua pipinya untuk mengalihkan diri dari rasa takut serta rasa mual dan pusing yang kian tak tertahankan. Matanya perlahan meleleh membanjiri pipinya, air matanya kemungkinan kini telah menyatu dengan cairan busuk yang dari lambung terkutuk itu memenuhi lantai yang dipijaknya sekarang. Putus asa, ia berusaha menggerakkan kedua kakinya hanya untuk merasakan lengket di kedua sepatu kerjanya. Berulang bergumam pada dirinya sendiri, "Bangun! Bangun! Bangun!" Mencoba mengulanginya dalam berbagai intonasi, berharap ia dapat memanggil alam bawah sadarnya untuk menghentikan semua kengerian tersebut.
Akan tetapi, sama seperti momen-momen sebelumnya, ia tersadar bagaimana kesemuanya hanyalah upaya sia-sia untuk menipu diri sendiri. Terjaga ataupun mimpi, selama ini ia hanya bisa terus menipu diri sendiri. Ia kini menerima kenyataan bahwa fenomena yang tengah dialaminya bisa saja terjadi, bahwa perutnya bukan lagi entitas yang bisa ia hindari pada realitasnya sehari-hari—ia tak bisa lari lagi dari mimpi-mimpi buruknya, dari kegilaan yang selama ini ia takuti. Kedua matanya berkeriap beradu dengan teror. Ia terbangun menggigil, basah kuyup dipenuhi keringat dingin, sekujur tubuhnya diliputi kengerian.