I. Satu Bintang

Debu dan serpihan memenuhi mulutnya, jatuh berguguran mengiringinya mengunyah makanan. Kelabu kehijauan, entah apa yang ia telan. Posisi duduknya terlihat sangat tidak nyaman, ia menghabiskan sebagian besar waktunya sendirian. Pada dasarnya ia selalu sendirian bersama bebayang penjilat yang terus menerus mengelilinginya, menyisir memanjakan seluruh urat syarafnya sepanjang waktu di istananya yang kotor legam. Jemarinya yang kurus tak berhenti menelusuri sampah, mencari siapa pun yang tak meringkuk ngeri saat ia menyambutnya dengan senyuman. Tangannya tak pernah menemukan apa-apa selain serpihan sementara hatinya tetap kering dan tak utuh.

"Seorang pangeran tampan," katanya lirih pada siluet-siluet yang membadut berlarian jungkir balik di sekelilingnya. Mereka pun pergi mencari seorang pangeran yang akan mematahkan kutukannya, nyonya besar mereka seluruhnya belulang dan tak pernah bisa berhenti menangisi nasib meski tak bisa lagi meneteskan air mata, seluruh keinginannya adalah keserakahan mereka—berburu dengan taring dan paru berbatu yang tak berhenti menjerit sepanjang malam.

Setelah perjalanan berhari-hari, akhirnya mereka menemukan seorang lelaki jelata duduk di teras rumahnya yang biasa-biasa saja pula, termenung menangisi lagu-lagu dari masa muda yang telah lama dilewatinya. Pria itu kebingungan, tak dapat memahami suara-suara yang berhembus bersama angin melewatinya, tetapi ia tahu pasti bahwa ia harus pergi menemui siapa pun yang memanggil kehadirannya. 

Pria itu akhirnya sampai di istana miliknya, terkagum memimpikan kemegahaan artistik yang tak terjangkau kewarasannya, sebelum akhirnya menangis meratapi lantai dingin dan udara tajam menusuk tenggorokannya. Air matanya tercium sang ratu bersama desir angin, hatinya yang menyusut pun bersuka cita. Ia singsingkan gaun kusamnya, bergemeretak pelan melalui gelap berusaha menemui cahayanya. Tubuhnya bergerak makin cepat, ribuan tahun berdebu mendorong kerinduannya menggebu. Ia menyaksikan lelakinya dari balik muram, matanya kosong, begitu luas sepenuh samudera dan lelaki itu pun berlayar, terus berlayar, mengikuti angin menggapai belulangnya, menyanyikan darahnya kembali, menyanyikan hatinya yang perlahan utuh kembali.

 

 

II. Dua Pusaran

Bumi berputar tanpa pernah berhenti. Binatang ternak mati, raja naik tahta silih berganti, tahun demi tahun berlalu bersama bergulirnya musim-musim. Saat seluruh daging meninggalkan tulang belulangnya tergolek di ladang itu, seluruh kenangan semasa hidupnya tak sempat abadi menjadi puisi. Tidak ada satu pun anggota keluarga, pedagang, juga para pelancong mengabarkan riwayat perempuan itu. Kenangan-kenangan miliknya pun akhirnya membatu menjadi buku. Entah sudah berapa windu berlalu, buku kecil itu masih merindukan seseorang yang akan membaca isinya dan mengingat kembali kenangan sang puan.

Zaman berganti, seorang anak tani bernama Djambek menemukan buku itu di ladang yang ia warisi dari mendiang kakeknya. Buku itu ditulis dalam bahasa asli kampungnya, di buku itu Djambek tidak menemukan apa pun tentang beternak dan berladang, di dalamnya hanya ada diam. Djambek membaca kesepian demi kesepian pada setiap halaman dalam buku itu. Buku itu berisi suara-suara tanpa mengisahkan dari mana asalnya, tatapan kosong yang tak pernah menceritakan panorama macam apa yang mereka saksikan. 

Lagi-lagi waktu berlalu pergi dan datang kembali. Djambek tumbuh besar menjadi kegagalan. Anak satu-satunya yang tak bisa meneruskan nama ayah dan ibu yang telah lama mendahuluinya mati. Tidak ada satu pun gadis dari kampungnya, atau dari kampung lainnya, yang bersedia menemaninya. Djambek dulu memiliki banyak kawan, tetapi entah kenapa dia berulang kali menyakiti mereka hingga semua orang akhirnya membenci Djambek. 

Djambek selalu kebingungan. Dia pikir dia adalah seorang tuan, dia pikir dia adalah pemilik tanah. Djambek terus menunggu hingga semuanya berlalu. Djambek begitu mencintai waktu.

Badan wadag mencerna jasad fana lainnya. Seorang buta juga memakan makanan, akan tetapi orang-orang berpenglihatan terus makan tanpa pernah melihat apa yang mereka santap. Belasan tahun hidup tanpa penglihatan, pikiran dipenuhi bayang-bayang, kerbau juga gadis berambut keemasan dengan bulir-bulir padi di tiap helainya yang berkilau. Djambek percaya ada dunia yang lain, bahwa dunianya kini tidaklah nyata sama sekali. Djambek selalu menceritakan apa yang dipercayainya, Djambek tak pernah bisa berteman, orang-orang membicarakan pasar dan kerajaan. Djambek tidak percaya pada para pedagang, menurutnya raja bukanlah manusia hebat sebagaimana yang dipercaya orang-orang. Djambek sering melihat Tuhan di mata gadis-gadis cantik, Djambek yang kesepian terus menunggu kedatangan mereka. Namun, Djambek tak pernah berani berbicara pada satu pun di antara mereka, tiada gadis yang memperhatikannya. Djambek pun marah dan mendendam.

Kemarahan seorang cerdas menjadi kebajikan sementara kemarahan pemuda akan menjadi kerja. Kemarahan Djambek melampaui nuraninya, menghapus seluruh ingatan tentang siapa ia sebenarnya. Saat kemarahan pergi, dia tak merasakan apa-apa lagi selain kesepian.

Satu-satunya ingatan Djambek adalah buku itu. Mengingatnya membuatnya terkenang pada masa kecilnya. Buku itu diawali sebuah kisah tentang kegelapan, diikuti munculnya cahaya yang membawa lautan. Buku itu menciptakan dirinya sendiri untuk Djambek, kini Djambek pun tak bisa lari. Djambek berulang kali mencoba mengisahkan kembali isi buku itu dengan bahasanya sendiri dan berakhir menjadi sebuah tragedi komedi. Djambek pun merasa makin kesepian.

Buku itu kini berbicara dengan suara Djambek sendiri, setiap pagi dan sore Djambek mendengar buku itu bernyanyi dengan bahasa yang tak dapat ia pahami. Sejak lama Djambek berusaha memahami orang-orang, membayangkan bagaimana ia bisa berbicara dengan mereka semua. Kini ia tak bisa memahami apa pun, Djambek akhirnya memutuskan untuk tidak berbicara lagi.

Djambek terus menua, raganya kini enggan diajak bekerja. Berladang, menanam dan merawat lalu memanen hasilnya. Menghalau rumput dan hama, juga mencukupi airnya, mencintai dengan sepenuhnya. Kini semua sudah percuma, pikirnya. Padi dan jagung juga berhak atas kebebasan, berhak atas akhir dari segalanya. Djambek yakin hal ini adalah keputusan terbaik, ia tidak akan berpura-pura merasakan sesuatu yang tak dirasakannya sama sekali. Serangga dan burung-burung pun berhak makan dari ladangnya, Djambek tak akan mengusir apalagi menyakiti mereka. Seluruh tanaman bukan budaknya, Djambek telah memerdekakan mereka, lagipula mereka pun juga tidak pernah mengharapkan kehadirannya.

Para tetangga hanya diam melihat tingkah laku anehnya. Menurut mereka, Djambek masih bugar dan mampu merawat dirinya secara mandiri. Ladang yang luas itu kini terbengkalai, para tetangga diam-diam berharap Djambek cepat mati agar mereka bisa mengambil tanah miliknya. Padi dan jagung layu rebah di tanah merah, membusuk bersama empunya. Kehidupan terus berjalan, Matahari tenggelam sampai merasa cukup dengan tidurnya.

Djambek tak lagi memaksakan diri. Saat seorang petani sudah merelakan ladangnya, maka tak seharusnya ia membunuh rumput dan alang-alang. Entah apa pun itu, ia tak berhak mengakhiri nyawa mereka. Semak dan rerumputan akan terus hidup, bila Bumi membutuhkan sang petani maka Bumi akan terus memberinya makan dan penghidupan. Saat seorang petani pasrah meninggalkan tanahnya, hujan tetap menjalankan tugasnya. Hujan menumbuhkan jamur di tanah dan kayu-kayu yang menyusun rumah. Hujan akan melahirkan rayap dan ulat, mereka yang akan memakan dedaunan dan meruntuhkan bangunan. Hujan akan membusukkan segala sesuatu yang tumbuh dan mati di ladang.

Sampai akhir hayatnya, Djambek masih seorang petani, seorang petani yang ingin memahami makna sebuah buku yang pada akhirnya ia lupakan. Sampai hembusan nafas terakhir, Djambek tak pernah menyadari bagaimana perempuan itu telah merebut kembali tanah ladang dulu pernah ia miliki.

 

 

III. Tiga Impian

Kota kecil di kaki gunung itu begitu tersohor, kabar tentang kecantikan perempuan-perempuan di kota itu telah lama terdengar di seluruh pelosok negeri. Pendeta itu, yang begitu cantik pada usianya yang hampir setengah abad, menganggap reputasi kota kelahirannya itu sebagai sebagai sebuah kegagalan besar. Atas dasar musyawarah bersama dewan kota dan para tetua, ia menambahkan pantangan bercermin dan bersolek pada bulan pertobatan mendatang, bulan yang sudah menjadi tradisi turun temurun di kota mereka, masa berpantang yang rutin dilaksanakan selama satu bulan penuh sebelum musim tanam terakhir setiap tahunnya.

Para nenek sebagian besar tak begitu peduli pada keputusan itu, sudah belasan tahun sejak mereka berhenti bersolek atau sekedar memandangi perubahan dan keriput di wajah mereka setiap kali bertemu kaca. Para budak hanya bisa tertawa, mereka sudah berprihatin sejak lahir ke dunia; hanya ada sedikit hal menyerupai cermin yang mengisi keseharian mereka: peralatan makan kusam, piring dan gelas besi yang dipinjamkan tuan dan nyonya mereka. Mereka juga tak pernah punya waktu untuk membicarakan genangan air di pencucian, yang mereka temui tiap pagi dan sore sebelum diusir ke selokan, samar memantulkan wajah-wajah legam mereka kelelahan.

Para perempuan muda yang bekerja di bank dan kantor pemerintahan mengadakan unjuk rasa, mengajukan tuntutan kepada para pemimpin dan pengelola gedung demi terlaksananya pertobatan mereka. Kini hanya ada buram di setiap permukaan yang bisa memantulkan cahaya. Para tukang kebun dan tenaga kebersihan berbondong menempelkan kertas samson serta koran bekas sesuai arahan orang-orang saleh yang ditunjuk oleh dewan kota. Para perempuan dari keluarga terpandang menutup permukaan keran yang mengkilap dengan satu tangan saat membasuh yang satunya, kadang mereka tergoda juga untuk menengok ke bawah, sebelum tersipu malu saat pantulan hidung mereka muncul di sana, mengolok kemunafikan dan kesombongan mereka.

✶✶✶

Cermin besar di kamarnya mulai merindukan perhatiannya. Setiap pagi sang pendeta selalu menyisir rambut serta merias wajahnya yang ayu, menghabiskan beberapa puluh menit di hadapannya. Kini cermin itu tak pernah lagi bisa memandanginya, memburam tercampakkan di balik kain hitam. Ia pasti sudah bosan denganku, pikirnya. Ia pasti menghabiskan waktu dengan yang lain. Dalam keputusasaan cermin itu membayangkan jendela, ukiran kuno yang tampak makin elegan dengan paras rupawan sang pendeta terpantul di permukaannya yang gelap mengkilap tanpa ada gorden yang menghalangi keelokannya. Cermin itu menghabiskan waktu-waktu sepi mencemburui cepuk kecil peralatan rias milik sang pendeta. Tercekik sepi, dingin tanpa pernah lagi bertemu cahaya, cermin itu bahkan mencurigai sendok perak dan cangkir porselen yang biasa menemani perempuan pujaanya minum kopi. 

✶✶✶

Suara-suara aneh mulai mengganggu tidurnya, suara tangis dan derit lirih terus terdengar sejak akhir pekan pertama bulan pertobatan. Cermin itu mengirimkan rohnya, melayang-layang di atas sang pendeta. Buka matamu! Pandangi aku! Sang pendeta tak bisa bergerak atau membuka matanya, melenguh mencoba memberontak dari kaku yang mengekang sekujur tubuhnya, hingga akhirnya para pelayan masuk ke dalam kamarnya. Mereka menyadari dingin yang tak wajar dalam kamar dan sekujur tubuh sang pendeta namun tak menemukan apa pun yang aneh. Sang pendeta kembali mencoba merebahkan tubuhnya di bawah selimut, masih ragu dengan apa yang baru saja terjadi. Suara tangis kembali terdengar, bayangan-bayangan keperakan mulai bermunculan dalam mimpinya, ia hanya bisa berdoa.

Malam-malam berikutnya cermin-cermin yang lain turut beramai-ramai mendatanginya dalam mimpi, bersorak bersama melakukan protes pada ketidaksewenang-wenangannya, tapi sang pendeta tak terganggu sama sekali, makin teguh dalam doa dan pasrah yang mengikuti kebulatan tekadnya di sepertiga akhir bulan pertobatan.

✶✶✶

Rombongan cermin beriringan keluar dari jendela. Para pemabuk terhuyung-huyung di antara para penjudi yang bergegas pulang setelah mengakhiri permainan mereka menjelang fajar. Hidup begitu susah, tetapi para lelaki tak begitu peduli pada pertobatan-pertobatan, apalagi pantangan bercermin. Para lelaki masih ingat bagaimana wajah mereka belasan tahun yang lalu, sebelum menikah, saat masih muda dan gagah, tak ada lagi yang mereka perlukan selain ingatan tersebut di sisa hidup mereka. Mereka bercermin hanya untuk bercukur, atau menyisir rambut, mereka melakukannya seperlunya saja karena cermin hanyalah sekedar alat lain di antara ratusan yang lain di hadapan mereka. Bulan pertobatan kali ini begitu merepotkan bagi para lelaki, terutama mereka yang telah dewasa dan berumah tangga, perempuan-perempuan tak berhenti merengek pada mereka. Bagaimana penampilanku hari ini? Kamu cantik, sangat cantik seperti biasanya, jawab para lelaki. Sayang sekali, sudah jadi rahasia umum bagaimana sebagian besar lelaki tidaklah setia dan sejujur permukaan cermin, sama halnya dengan para lelaki di kota itu.

Cermin-cermin berlalu begitu saja melewati para penjudi dan pemabuk, terus melayang panjang beriringan menuju danau di utara kota. Kabut tebal membungkus permukaannya yang tenang, cermin-cermin bersiap menenggelamkan diri mereka ke dalam kegelapan sedingin es. Lebih baik menghilang daripada harus menunggu tanpa ada kepastian, cermin-cermin berdoa memohon ampunan. 

Menjelang tengah malam, kabut dan mendung yang menyelimuti kota itu melanjutkan perjalanan bersama angin, cahaya rembulan turun menyentuh permukaan danau berkilauan. Cermin-cermin melingkar kikuk di antara kabut tipis, terpana menyaksikan rembulan melihat ke bawah menyaksikan bayangannya yang indah terpantul di permukaan air. Danau bergeming datar, mengendalikan airnya agar tetap tenang di bawah sorot cahaya kudus keemasan. Merasa malu pada diri mereka sendiri, para roh penasaran itu melesat kembali menuju bingkai masing-masing. Dalam diam, mereka bersepakat untuk sabar menanti satu hari lagi.

Keesokan paginya, sang pendeta terbangun dan menyadari kain hitam yang menutupi cermin besar miliknya merosot tersingkap. Ia pun duduk di hadapannya sebagaimana yang biasa ia lakukan setiap pagi, kembali menaikkan kain hitam itu ke tempatnya semula, merapikan sisir dan peralatan kosmetik lain di atas meja kecil miliknya. Di dalam cermin, sekilas ia menyaksikan sorot tajam kedua matanya sendiri yang indah. Ini hari pertobatan yang terakhir, esok pagi waktu dimulainya penebusan dosa dan perayaan-perayaan.

 

oleh helen & pulasara