Berhujjah Jelaga

 

Senin pagi pukul 07.35, tubuhnya ditemukan tak bernyawa di salah satu bilik toilet terminal bus tak jauh dari pusat kota. Pecahan botol berserakan di sekeliling mayatnya yang tersandar kaku di balik pintu toilet, membisu bersama genangan merah yang mulai mengering menghitam. Robekan melintang menganga melintasi kedua lengannya dari pergelangan menuju arah siku, jelas tergambar bagaimana perempuan paruh baya itu mengakhiri hidupnya sendiri.

Masa mudanya relatif menyenangkan, setidaknya biasa-biasa saja. Ia terlahir dari keluarga kelas menengah yang berkecukupan, hubungan kedua orang tuanya pun selalu harmonis. Meski bukan anak yang cerdas, ia selalu mendapat kursi di sekolah-sekolah terbaik di kota tempat mereka tinggal, ia bahkan lolos masuk kuliah di perguruan tinggi negeri favorit sesuai keinginan ayah ibunya. Sebagai anak tunggal, sedari kecil ia selalu mendapat segala yang terbaik sesuai kemampuan kedua orang tuanya, meski kadang kala tak bisa menyerupai yang diperoleh kebanyakan sebaya di sekelilingnya. Ia hanya pemalu, tertutup dan sangat pendiam, harus melewatkan masa-masa pubernya mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan meninggalkan kota kecil tempat mereka berasal. Ia hanyalah seorang gadis biasa, menjalani hidupnya sesuai kodrat yang diciptakan sesamanya.

Segalanya perlahan berubah saat salah seorang kawan kuliah Alma mempertemukannya dengan Robby, seorang senior yang kemudian memperkenalkannya pada dunia yang sama sekali baru baginya, pada pergaulan kota besar, pada seks, juga pada kenikmatan alkohol. Pada akhirnya ia sama sekali lupa pada yang mana ia pertama kali jatuh cinta, tetapi ia ingat betul bagaimana Robby dan alkohol merupakan dua hal paling penting dalam lima belas tahun terakhir kehidupannya.

Robby dan Alma tak pernah menikah, keduanya selalu terlalu mabuk untuk berpikir dan membicarakannya baik-baik secara serius, pontang-panting mengumpulkan uang untuk membayar hutang-hutang mereka di sela desakan memenuhi kebutuhan rutin dan dorongan untuk melupakan segalanya. Pada awalnya uang bukanlah masalah bagi mereka, tinggal berdua di rumah pemberian orang tua Alma, hidup dengan tabungan yang mereka berikan sebagai modal Alma melanjutkan hidup selepas kuliah dan berumah tangga. Namun, apa lacur, tak pernah sekali pun terlintas dalam pikiran mereka berdua untuk berkeluarga dan memiliki anak seperti kebanyakan orang, ia pun tak sempat memikirkan karir dan pekerjaan yang layak, tak peduli bagaimanapun kata keluarga dan kawan-kawan mereka, semua seolah berlalu begitu saja, perlahan menjauh hanya menyisakan mereka berdua.

Dalam setahun, Alma hanya menstruasi beberapa kali, Robby pun lambat laun semakin kerap disambangi masalah klinis yang menghambat potensinya sebagai pejantan. Robby selalu seperti itu sejak Alma pertama kali mengenalnya, setidaknya Alma bisa merasakan bagaimana perangai egoisnya pada awal hubungan mereka, Robby selalu mengatakan kalau ia tak bisa hidup tanpa kesenangan dan alkohol, bahwa ia memang terlahir seperti itu dan segalanya bukanlah kesalahannya, bahwa ia tak pernah keliru sama sekali. Saat ia memukuli Alma, semuanya salah Alma sendiri, demikian pula saat Robby menyundutkan rokok di sekujur tubuhnya sebelum memperkosanya di dapur atau ruang tamu, ia melakukannya semata-mata karena Alma memang pantas mendapatkannya. Untunglah kepala Alma sering kali terlampau berat berat untuk mengingat semuanya. Kalau bukan karena bilur dan luka yang ia derita, hidup Alma mungkin akan baik-baik saja. Ia bisa saja meminta kesaksian pada kesemuanya, mengingat kembali ratusan kematian yang dialaminya lewat deretan nisan dan tumpukan bangkai di sekujur tubuh kurusnya. Akan tetapi, ia tahu pasti kalau semuanya percuma. Bagi Alma, lupa adalah salah satu berkah terbesar yang pernah ia terima semenjak hidup berdua bersama lelakinya.

Belum jam delapan dan sekeliling toilet di sudut terminal itu telah penuh disesaki warga sekitar serta para pengendara yang penasaran, belum ada aparat maupun polisi yang terlihat, ambulans sudah dipanggil menuju TKP dan petugas kebersihan yang pingsan telah dievakuasi menuju ruang kesehatan. Salah seorang pedagang terminal yang turut menyaksikan penemuan naas itu melepas jaket yang ia kenakan untuk menutupi jasad Alma.

Beberapa saat kemudian arwah Alma berangsur meninggalkan tubuhnya, melayang di atas orang-orang yang berjejal di mulut lorong kamar mandi. Tak ada seorang pun yang menyadari keberadannya, antara lega dan masih tak percaya, usahanya mengakhiri hidupnya sendiri dini hari pagi tadi merupakan perjudian terbesar yang pernah ia coba, tak tergambarkan kebahagiaan yang ia rasakan setelah tahu ia berhasil melakukannya. Puas mengamati orang-orang yang berkerumun, ia kembali masuk ke dalam bilik kematiannya, hampir tak mengenali tubuhnya sendiri yang tergolek di toilet. Alma sama sekali tak merasa terlibat dengan pemandangan itu, tak ubahnya menyaksikan siaran televisi.

Orang-orang masih terus berdatangan berdesakan, pedagang, karyawan, tukang kredit, anak sekolah, ibu rumah tangga yang menggendong anak mereka. Alma masih tak percaya pada kegemparan yang dilihatnya, sepanjang hidupnya ia terbiasa tak terlihat dan terabaikan. Alma sama sekali tak menginginkan keramaian itu, ia hanya ingin menghilang, lenyap tanpa sisa. Dalam benaknya tak terbesit sedikit pun harapan agar seseorang merindukan dirinya, menangisi kematiannya. Ia tak menginginkan simpati mereka, tidak sekarang, lain cerita kalau kini ia masih hidup, mungkin segalanya akan lebih ringan baginya, tetapi tidak lagi, percuma. Kini ia hanya ingin segera minggat dari tempat itu, meski tak tahu kemana dan harus bagaimana, ia ingin bisa pergi sejauh mungkin meninggalkan pengap bau pesing di ujung hidupnya. Alma mencoba bergerak menuju pintu keluar, berharap terbawa angin lalu naik ke langit atau mungkin menghilang. Akan tetapi, sayang, nampaknya belum cukup juga pelajaran hidup yang masih harus dihayatinya bahkan setelah mati, bahwa semuanya tak semudah yang dibayangkan, bahwa semuanya takkan selalu sama seperti yang diinginkan.

Di pelataran toilet ia tersentak terhenti di udara, tertegun tak bisa bergerak lebih jauh lagi. Alma pun spontan menengok ke belakang, menyaksikan utas tipis keperakan yang hampir tak terlihat, menghubungkannya dengan sesuatu di dalam kamar mandi, kemungkinan besar mayatnya sendiri. Alma beringsut pelan, berkelok menghindari kepala-kepala dalam kerumunan meski ia tak bisa menyentuh kesemuanya lagi, kepala-kepala yang tak berhenti mengungkapkan rasa heran, mencoba mencari relevansi antara mayat si fulan dan kehidupan mereka sendiri.

"Apa-apaan ini?" Pikirnya sembari menyusuri utas itu perlahan, merasakan kelembutan dan kekuatannya yang melampaui besi, bergeming manakala ia berusaha menariknya sekuat tenaga, atau setidaknya dengan segala sesuatu yang tersisa pada dirinya.

Alma kini merasa terjebak—tak berdaya menghadapi panik dan kengerian pertamanya setelah mati. Ia merasa begitu konyol. Ia terus mencoba memperhatikan sekitarnya, tak ada suara dari langit, tak ada pula malaikat yang memberinya petunjuk atau menyeretnya menuju siksa alam baka, hanya ada dua orang polisi muda dan beberapa sosok lain yang berusaha mati-matian mengendalikan khalayak di sekeliling mereka.

Petugas kebersihan yang menemukan mayat Alma akhirnya siuman, kerumunan masih membesar, dan kabar tentang kematiannya telah tersebar luas—dari mulut ke mulut, lewat internet, dan media massa. 08.15, hampir satu jam sejak mayatnya ditemukan dan ambulans belum juga datang. Alma mulai bosan dengan pemandangan di sekitarnya, ia berharap mereka bisa datang lebih cepat, tetapi ia pun menyadari bagaimana dirinya bukanlah prioritas sama sekali. Para pejuang kemanusiaan itu pasti tengah sibuk menyelamatkan nyawa-nyawa yang lain yang membutuhkan pertolongan di luar sana, Alma hanya bisa menunggu dan mencoba menghitung waktu yang telah ia lewati, menit demi menit, hingga akhirnya kerumunan terbelah memberi jalan pada paramedis yang didampingi aparat keamanan.

Alma begitu bahagia menyaksikan kedatangan mereka, ia tak tahu lagi apa yang harus ia nantikan setelah ini dan ia pun memutuskan untuk merayakannya sebagaimana hari ulang tahun atau kelulusan sekolah, berputar-putar di udara, menari, sejenak berhenti untuk memeriksa kembali utas yang menghubungkannya dengan tubuhnya, juga memandangi salah seorang kru ambulans ganteng yang sigap mengarahkan brankar mendekati mayatnya. Alma bersiul riang, terkekeh menikmati aksi akrobatik yang baru saja ia lakukan, ia tak mungkin melakukannya saat masih hidup, tetapi tidak lagi, berbeda sama sekali—bukan menikmati hidup, tetapi dimabuk kematian.

Saat mereka mulai mengangkat tubuhnya, Alma merasakan sensasi aneh menjalarinya, seolah ia bisa merasakan sentuhan pada tubuhnya yang telah tak bernyawa. Sensasi itu terus bergolak seolah seluruh ujung syarafnya terbakar hebat dan ia pun merasakan hasrat tak tertahankan. Ia ingin menciumi petugas medis ganteng itu, ia ingin merasakan hangat pelukannya, ia ingin merasakan tubuhnya. Kesemuanya membuatnya begitu bahagia, membenamkannya sesaat dalam fantasi, tetapi saat ia menengok ke bawah Alma hanya menyaksikan dinding dan lantai toilet, juga bagaimana tim paramedis menutup resleting kantong mayat yang kini telah membungkus jasadnya.

Alma hanya mendesah kecewa, tentu saja mustahil, hidup atau mati tetap saja mustahil. Akan tetapi, ia teringat bagaimana ia sama sekali lupa kapan terakhir kali merasakan sensasi serupa yang baru saja ia alami. Sayang sekali kematian tak memberinya waktu lebih lama lagi, beberapa menit kemudian mayatnya telah berada di balik pintu belakang ambulans yang tertutup rapat, menghimpit utas yang menempel padanya dan menjebaknya di udara. Alma tersadar dari lamunan, gelagapan ia berusaha bergerak mendekat, tetapi terlambat. Ambulan melaju, menyeretnya macam layang-layang penuh lubang, susah payah Alma mencoba mempertahankan ketinggian.

Sesampainya di rumah sakit, mayat Alma diserahkan pada seorang petugas yang telah bersiaga menantikan kedatangan mereka. Dalam perjalanannya bersama brankar beroda itu Alma menyaksikan sosok yang melayang di udara, terhubung dengan mayatnya, mayat lain yang pertama kali ia saksikan setelah mati selain mayatnya sendiri. Alma yang penasaran sebenarnya ingin melihatnya lebih dekat, mungkin menyapa dan berkenalan dengannya, sebelum akhirnya teringat kembali pada perjalanan yang baru saja ia alami dan segera mengurungkan niatnya.

Alma menyaksikan bagaimana petugas itu berulang kali menguap sepanjang perjalanan, membawanya ke sebuah ruangan di ujung lorong lantai pertama, lalu membaringkannya di atas meja dari logam. Ia teringat pernah menyaksikan meja serupa di televisi, semacam meja operasi dengan sistem drainase untuk darah yang tersisa manakala mereka membedah tubuh yang tengah diotopsi. Tak lama kemudian, seorang koroner datang ditemani dua orang asisten dan nilon yang membungkus jasadnya pun perlahan terbuka. Alma terkagum-kagum menyaksikan mereka mempersiapkan mayatnya untuk diotopsi, bagaimana mereka menggunting pakaian yang ia kenakan dan mengosongkan isi kantong celana jins yang dikenakannya. Satu-satunya barang yang mereka temukan selain kalung salib kayu yang tergolek di dadanya adalah sebuah miniatur pantofel hitam berbahan porselen. Sedikit lebih besar dari korek api dan terkesan tak begitu signifikan, tetapi Alma tergagap saat menyaksikannya, ia lupa bagaimana hal itu ada di dalam kantong celananya, Alma lupa kalau ia masih menyimpannya, membawanya menuju tempatnya mengeksekusi dirinya sendiri.

Sepatu kecil itu satu-satunya kenang-kenangan yang menemaninya menuju kematian dan Alma pun hanya bisa menyaksikannya tanpa daya saat sang koroner melemparkannya menuju sebuah loyang logam tanpa berpikir dua kali. Alma mencoba turun mendekat, menjulurkan tangan kanannya menggapai sepatu kecil itu, naas, genggamannya luput menembus meja kerja sang koroner bak pisau panas membelah bongkahan mentega. Ia mencobanya lagi dan lagi, berulang kali. Ia menginginkan sepatu itu, tetapi ia tak punya kesempatan lagi, otopsinya telah dimulai dan seketika Alma merasa ingin muntah.

Kedua tangan pria itu terkubur jauh dalam perutnya. Alma tak merasakan sakit, tetapi ia merasa ternodai, mendorongnya memuntahkan kekosongan ke udara berulang kali. Ia memaksakan diri untuk tak memperhatikan apa yang mereka kerjakan meski penasaran. Alma akhirnya hanya bisa melongo menyaksikan jasadnya di antara tangan-tangan yang terjulur menggerayanginya.

Alma terkejut melihat apa yang ia saksikan, ia baru tiga puluh enam, tetapi ia tampak dua puluh tahun lebih tua. Alma terkejut menyaksikan bagaimana kesengsaraan hidup telah meninggalkan jejak yang begitu jelas pada tubuhnya. Kurus kering, alkohol telah menggantikan sebagian besar darah dalam urat-uratnya. Alma merasa jijik sekaligus kagum terheran-heran, seperti menyaksikan kecelakaan lalu lintas mematikan yang memikatmu dalam rasa penasaran.

Alma memperhatikan setiap gerak-gerik koroner itu manakala dirinya memeriksa hatinya yang rusak parah, lambungnya yang penuh luka, tulang rusuknya yang retak, serta janin yang mengeras kaku di dalam rahimnya. Kondisi organ dalamnya sama sekali bukanlah hal yang mengejutkan, Alma juga masih ingat pukulan-pukulan keras yang menghantam dadanya, tetapi janin itu, Alma tak tahu harus bagaimana, sama sekali tak yakin dengan apa yang dirasakannya.

Koroner itu meletakkan janinnya dalam loyang yang sama, di samping sepatu kecil milik Alma serta kalung salib kayu yang sebelumnya ia kenakan. Dua bagian penting dari hidupnya terbaring bersebelahan dalam pemandangan yang begitu kejam. Di kedua sisinya, hadiah kecil peninggalan mendiang ayahnya—satu lagi kenangan-kenangan dari masa yang terus coba ia lupakan—bagaimana masa lalu dan bagaimana seharusnya semuanya bisa berlalu. Alma tahu pasti, janin itu perempuan, entah bagaimana memastikannya, ia hanya yakin dengan apa yang diketahuinya. Alma selalu menginginkan kehadiran seorang anak, seorang anak perempuan yang kemungkinan besar akan mengubah segala sesuatu dalam hidupnya.

Saat kedua asisten menutup kembali dan menjahit tubuhnya, Alma mendengar bagaimana koroner itu bergumam lirih, menggelengkan kepalanya sembari memeriksa hasil otopsi yang ia diktekan pada asistennya. Ia mengatakan bahwa Alma mungkin memang lebih baik mati daripada harus hidup lebih lama dalam derita, Alma pun mengangguk setuju, meski tentu saja semua yang telah terjadi sama sekali jauh dari seluruh ekspektasinya. Mereka menutup tubuh Alma dengan kain dan mencuci tangan mereka berulang kali sebelum kembali ke samping mayatnya dan sejenak menundukkan kepala untuk berdoa.

Alma mendengar bahwa jasadnya akan ditempatkan di kamar mayat sampai ada seseorang yang mengklaimnya, atau sampai pihak kepolisian bisa menemukan seseorang yang terhubung dengannya. Lorong-lorong steril dan turunan, hingga akhirnya mereka berhenti di ujung terjauh basemen rumah sakit. Beberapa menit kemudian, Alma termenung menatap permukaan logam tahan karat dari laci-laci berpendingin dalam ruangan remang-remang. Alma bisa menyaksikan tiga utas keperakan lain yang terjuntai di sekelilingnya. Mereka memasukkan tubuhnya ke dalam salah satu laci penyimpanan dan Alma menyaksikan bagaimana salah seorang petugas menuliskan nama "Bunga" di bagian depannya. "Oke, sekarang aku Bunga?" Pikirnya, "Boleh juga, selamat tinggal Teresa Almadita dan halo Bunga."

Dua orang petugas itu pun meninggalkannya, memberinya waktu untuk membiasakan diri dengan identitas barunya. Saat pintu di belakang Alma tertutup rapat, tiga sosok lain yang dilihatnya tadi mulai mendekat mengelilinya. Mereka memperhatikannya lekat, salah seorang yang tampaknya paling tua, kemungkinan besar mati secara natural, sepertinya menyadari luka di lengan alma. "Bunuh diri ya?" tanya sesosok lelaki tua itu dan Alma pun mengangguk kecil. Hanya itulah yang ingin mereka ketahui dan ketiga hantu itu pun mengernyitkan wajah mereka dengan penuh rasa jijik sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Alma sendirian dalam gelap.

Alma membuka mulutnya, mencoba menjelaskan situasinya sedetail mungkin, tetapi percuma. Alma bunuh diri dan hal itu telah membuatnya menempati kasta terbawah di kalangan sosial pascakematian. Salah seorang kolega si bapak yang mati tua itu mati karena kanker dan seorang lagi tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Mereka menceritakan penyebab kematian mereka dengan penuh rasa bangga lalu mengejek Alma dengan ketidakpedulian mereka pada keadaannya.

Alma ingat betul bagaimana perangai orang-orang seperti mereka. Meski Alma sangat menginginkan kawan berbincang, tetapi Alma enggan ikut dalam permainan bodoh mereka. Tiga bedebah itu akhirnya bosan sendiri dan beringsut meninggalkan Alma melayang-layang sendirian di depan bilik pendingin yang ditempati mayatnya, termenung memikirkan apakah memang seperti inikah kehidupan setelah mati ataukah masih ada hal lain setelahnya.

Selasa dan Rabu terlewati begitu saja, tak ada yang perlu diingat dan diceritakan, Alma menghabiskan waktunya memandangi jam dinding besar di atas pintu kamar mayat, menyaksikannya mengisyaratkan berlalunya menit-menit dan jam menuju kekosongan. Kamis datang tepat waktu sementara Alma tetap persona non grata. Dua orang aparat yang mengunjunginya pun mempertimbangkan untuk menghubungi dinas sosial dan menyelenggarakan pemakan sebagaimana yang mereka berikan untuk orang-orang terlantar dan tak dikenal. Sebagian Alma merasa lega mendengar hal tersebut, tetapi sebagian yang lain tidak. Di satu sisi Alma merasa tak ingin siapa pun tahu kalau ia sudah mati, di sisi lain ia membenci rasa kecewa yang mulai timbul dalam dirinya, bagaimana tak seorang pun dari empat puluh enam tahun kehidupannya yang mengkhawatirkan keberadaannya.

Perasaan Alma benar, tak ada yang merindukannya. Ia sudah mati selama tiga hari hari manakala Robby mengambil koran edisi kemarin dan menyaksikan sebuah artikel kecil tentang penemuan jenazah yang disinyalir sebagai kejadian bunuh diri serta permohonan bagi keluarga atau kolega untuk mengklaim tubuh si korban. Robby mencermati artikel itu dan tersadar bagaimana deskripsi yang tertulis di sana mengingatkannya pada Alma, juga kalung salib kayu, serta sepatu kecil dari porselen berwarna hitam yang mereka temukan dalam kantong celana perempuan itu—mendorongnya terhuyung memelototi pecahan-pecahan porselen di atas karpet tak jauh dari sofa tempatnya membaca berita. Ia tak sadar Alma tak ada di rumah setelah terkapar lemas di tempat tidur selama beberapa hari dan hal pertama yang ia lakukan setelah keluar adalah mencari alkohol dalam lemari pendingin untuk meredakan rasa bersalahnya. Setelah semuanya habis tak tersisa, ia melanjutkan pelariannya menuju rumah salah seorang teman minumnya.

Alma yang kini teringat padanya tahu pasti bagaimana Robby akan menggunakan kematiannya untuk memanfaatkan belas kasihan orang-orang demi berbotol-botol minuman. Di sisi lain, Alma pun sebenarnya ragu Robby cukup waras untuk menyadari kepergiannya. Alma mencoba menghibur diri membayangkan lelaki brengsek itu membuang waktu di sofa ruang tengah menunggu Alma memanggilnya untuk makan malam.

Kamis sore sekitar pukul 03.30, tubuh Alma diambil dari kamar mayat oleh kepala Rumah Duka Sentosa. Pak Tommy sangatlah efisien, ia telah menyelesaikan sebagian besar keperluan administrasi sebelum sampai di sana dan tiga puluh menit setelahnya pun Alma bisa mengucapkan selamat tinggal pada rumah sakit muram itu.

Tak sampai satu jam kemudian mereka telah sampai di Rumah Duka Sentosa. Sesuai permintaan dinas sosial, jenazah Alma dijadwalkan untuk dikremasi besok siang. Entah untung atau sial, terdapat perubahan jadwal, tetapi konfirmasi yang mepet berarti para petugas sudah tak punya banyak waktu lagi. Sebelum Alma sempat menengok suasana rumah duka itu, ia dibawa begitu saja menuju ruang persiapan.

Pada waktu yang sama, Robby tiba di rumah Jamal, setengah mabuk dan segera meluncurkan rengekan demi rengekan dari mulutnya. Jamal mendengarkan dengan seksama saat Robby mencurahkan isi hatinya, mencoba ikut tertawa manakala mendengar lelucon serupa mengenai Alma yang diulang Robby untuk kelima kalinya bak kaset rusak. Jamal adalah salah satu kawan setia Robby sejak kuliah, tentu ia ingin bisa menemaninya saat Robby membutuhkannya meski pening dan rasa kantuk tak berhenti menggelayuti kepalanya. Pada akhirnya alkohol dan rasa bosan meninabobokannya menuju lelap di ujung sofa. Robby sama sekali tak sadar, masih sibuk menceritakan keluh kesahnya pada siapa pun yang hendak mendengar serapahnya.

Persiapan terus berlanjut di Rumah Duka Sentosa dan Robby pun tak berada jauh dari benak Alma saat seorang lelaki memasuki ruangan menjinjing dua tas penuh kosmetik dan peralatan rias. Lelaki itu memperkenalkan dirinya pada si mayat, Harlan, katanya. Alma membalas sapaannya dan terhenyak sejenak saat Harlan melanjutkan obrolannya. Saat menyisir rambut Alma, ia menanyakan apa yang direncanakan Alma untuk liburan akhir tahun nanti, tak ada seorang pun yang pernah menanyakan hal tersebut padanya, tetapi Harlan sudah mengganti topik bahasan menjadi serial televisi yang belakangan ia saksikan dan Alma pun tersadar bagaimana perbincangan di antara mereka berdua adalah sesuatu yang mustahil. Alma hanya diam mendengarkan Harlan terus mengalir berbicara menceritakan pengalamannya selama hampir lima belas tahun, pekerjaannya di salon serta bagaimana semuanya membuatnya menjadi seorang ahli berbasa-basi.

Setelah seluruh ramah tamah itu usai, Harlan mundur menjauh dan menyaksikan kembali jenazah Alma dengan cermat. Tak seperti biasanya, tak ada foto maupun testimoni yang bisa ia gunakan sebagai referensi dan ia pun memutuskan untuk memberikan paket konvensial bagi Alma. Gaun putih, rambut rapi tersisir ke belakang, seluruh riasan terbaik yang bisa ia pikirkan, ditutup dengan beberapa semprot parfum mewah dan banyak sekali pujian-pujian. Alma merasa puas dengan hasilnya, agak terlalu mencolok untuk seleranya, tetapi jelas jauh lebih anggun dibanding kondisinya beberapa jam lalu.

Alma merasa sedih saat Harlan merapikan peralatannya, tetapi kematian sama sekali bukanlah bisnis sembarangan, semua harus serba efisien, terbukti tak lama kemudian tubuhnya telah terbaring di salah satu peti mati mewah. Mereka menutup peti matinya dan perutnya pun terasa melilit manakala menatap nanar ke arah plakat kuningan yang kosong tanpa tulisan di atas peti matinya. Ia merasa kesepian, jauh lebih kesepian dari sebelumnya, Alma pun teringat kembali pada keluarga yang telah lama ia tinggalkan. 

Orang tua Alma perlahan menjauh saat ia mulai tinggal bersama Robby di rumah pemberian ayahnya. Dahulu ia sering sekali memikirkan mereka, ayah dan ibunya, bagaimana mereka melanjutkan hidup berdua tanpanya. Alma beberapa kali menyaksikan mereka berdua di kota, menyaksikan bagaimana keduanya terhenyak terdiam saat menyadari keberadaannya lalu menghindar, menyeberang jalan atau menghilang menuju pertokoan. Pada awalnya Alma merasakan kesedihan mendalam, lambat laun kesemuanya berubah menjadi penyesalan saat ia mengingat kembali perhatian dan nasihat-nasihat yang coba mereka berikan, tetapi Alma tahu pasti apa yang bisa membuatnya merasa lebih baik, jauh lebih baik, bagaimana cara terbaik menenggelamkan kesedihannya sedalam ia bisa, hari demi hari, tahun demi tahun, sampai akhirnya mati rasa.

Sementara itu, penyebab utama penderitaan hidup Alma, masih bermain duka di hadapan satu dari sedikit sahabatnya yang tersisa, mendengkur di hadapannya. Saat seisi botol yang ia minum habis tanpa sisa, Robby menyikut dada Jamal yang kemudian terbangun dengan kedua tangan mengepal siap menghantam siapa pun yang mencari masalah dengannya. Beberapa menit lalu, ia sedang mengendarai mobil mewah bersama Pinkan Mambo, habis sudah kesabarannya, mengumpulkan seluruh kesadarannya yang tersisa dan menarik lengan kanan Robby, "Anjinglah, bangsat! Kalau masih peduli, kenapa nggak pergi mencari Alma?"

"Mana bisa, aku nggak tahu kemana mereka membawanya," sanggah Robby. Alasan saja, Jamal tahu pasti, tetapi ia pun tahu bagaimana Robby harus terus memainkan kesedihannya atau takkan ada lagi minum-minum gratis bersamanya. Robby hampir yakin Jamal takkan melanjutkan amarahnya sampai Jamal menghempaskan koran hari ini ke wajah kusutnya. Jamal melepaskan genggamannya dan membiarkan Robby memelototi koran itu. Kasus bunuh diri misterius itu masih hangat diberitakan, hari ini mereka kembali mempublikasikannya bersama detail pemakaman yang akan diberikan pada si korban.

Robby tersadar bagaimana ia tak punya banyak pilihan, tetapi bersamaan dengan ide-ide licik yang perlahan terbenam dalam otak busuknya, kesemuanya mulai terasa masuk akal baginya, terutama bila ia masih ingin memanfaatkan kepergian Alma lebih lama. "Benar juga," kata Robby tertunduk patuh, "Aku harus pergi menemuinya, mengucapkan selamat tinggal padanya." Robby tampak ragu beberapa saat sebelum menengok ke arah Jamal, "Please, antar aku ke sana." Jamal hanya mengangkat kedua bahunya dan mengangguk enggan, ia terhenyak saat menyaksikan Robby mengambil jaketnya dan bersiap pergi. "Sudah malam Rob," protes Jamal. "Sudah lewat jam sembilan, paling sudah tutup." Robby tak peduli, ia merasa harus berangkat sekarang. Jamal tahu ia tak bisa menghentikan niat kawannya itu, menyetujui permintaannya, tetapi terlebih dahulu mengajaknya sejenak beristirahat, setidaknya menghabiskan satu batang rokok dan mendinginkan kepala mereka.

Alma kembali melanjutkan perjalannya, peti matinya kini didorong menyusuri lorong penuh lukisan dan Alma memaksakan diri bergerak mengikutinya. Mereka berhenti sejenak setelah sampai di bagian belakang rumah duka. Tak jauh dari tempatnya berada, sebuah pintu besar, dengan dua vas besar berisi kembang plastik di sisi kiri dan kanannya. Alma bisa menyaksikan sebuah peti mati yang telah terlebih dulu sampai di sana, juga utas putih tipis keperakan terjuntai mengambang di udara. Pemandangan itu merusak moodnya, kembali teringat pengalamannya di kamar mayat dan Alma sama sekali tak menginginkan konfrontasi lain dengan entah si siapa pun yang berada di sana.

Peti mati Alma pun kembali bergerak bersama kereta dorong yang ditempatinya, sekilas Alma bisa menyaksikan kawan barunya tersenyum menyaksikan kedatangannya. Alma lega, sangat lega. Namanya Doni, ia tampak rikuh saat Alma mencoba menanyakan masa lalunya dan Alma pun menahan diri karena ada banyak hal lain yang ingin sekali ia tanyakan kepadanya.

Beruntung, meski jauh lebih muda dibanding Alma, Doni begitu tenang dan pengertian menghadapi kegelisahan Alma. Dengan sabar, ia mencoba menjawab sejelas mungkin pertanyaan-pertanyaan Alma mengenai kematiannya. Alma senang sekali mendengar penjelasan-penjelasannya, terutama tentang pendapatnya bahwa mereka takkan terikat dengan mayat mereka untuk selamanya. Menurut Doni, kemungkinan besar utas itu akan menghilang saat jasad mereka terdekomposisi, bagaimana mereka begitu beruntung karena akan melewati proses kremasi, selebihnya tinggal membayangkan saja apakah mereka akan tiba di alam lain, mengalami reinkarnasi, didaur ulang, atau entah bagaimana. Meski masih banyak yang menjadi misteri, Alma merasa sangat lega, belum lagi, sebentar lagi ia berkesempatan menyaksikan Doni melewati proses kremasi terlebih dahulu sebelum dirinya, begitu pikirnya.

Alma merasa nyaman berbincang dengan Doni, tak lama kemudian ia pun menceritakan segala sesuatu mengenai dirinya, tentang Robby juga masa lalunya. Seluruh kisah tragis kehidupannya dalam katarsis monolog panjang hingga akhirnya ia sampai pada beberapa hari sebelum kematiannya. Ia merasakan getir karena ingatan itu masih begitu segar menyertainya, tetapi Doni dengan sabar menyemangatinya untuk terus bercerita, apa lagi bila itu bisa membuat Alma lega.

Kalau saja Alma mati seperti orang-orang pada umumnya, ia berharap bisa menemui ayahnya, bertemu dengannya yang telah menantikan kedatangannya di alam sana, memaafkan seluruh kesalahannya bersama senyuman penuh kasih menghiasi wajah Ayahnya yang teduh berlatarkan cahaya serta malaikat-malaikat yang bernyanyi dan menari menyambut kedatangannya. Tidak jarang Alma berpikir untuk melarikan diri dari Robby dan memperbaiki hidupnya, setidaknya itulah yang ada dalam bayangannya. 

Ia sangat ingin menemui ayahnya dan memohon maaf kepadanya, ayahnya yang belum lama wafat sebelum kematiannya, tetapi sudah lebih dari lima tahun sejak terakhir kali Alma bertemu dengannya. Tak ada seorang pun yang merasa perlu memberikan kabar pada Alma bahwa ayahnya menderita stroke, kalau Alma tahu, pasti ia akan mengunjungi ayahnya di rumah sakit, ia pasti melakukannya, tetapi Alma baru mendengar tentang hal itu bersama kabar kematian ayahnya. Alma sempat berencana pergi menghadiri pemakamannya, tetapi saat Alma berhasil memantapkan diri, ia sudah terlambat tiga hari setelahnya. Menurut Robby, mungkin itulah yang terbaik bagi Alma, membujuknya dengan kemungkinan-kemungkinan buruk bagaimana keluarganya akan bereaksi menghadapi kehadirannya. Alma menyetujui pendapat Robby, lebih mudah seperti itu saja, tetapi kesemuanya terus menghantuinya dan minggu lalu akhirnya ia menyelinap meninggalkan rumah dengan sebotol anggur menuju makam ayahnya saat Robby tertidur.

Malam itu terasa begitu pahit baginya, Alma terduduk di samping makam ayahnya, diterpa angin dan hujan, menggenggam salib kayu yang tak berarti apa-apa lagi baginya selain penyesalan mendalam dan kenangan-kenangan mengenai ayahnya, kebaikan dan kesabarannya, nasihat-nasihat dan petuah yang selalu ia berikan pada Alma sedari belia. Jauh lebih mudah berbicara pada ayahnya kini setelah ia tiada, Alma tersadar bagaimana untuk pertama kalinya ia bisa jujur pada dirinya sendiri setelah bertahun-tahun lamanya. Alma menceritakan padanya bagaimana ia merasa malu, bagaimana ia begitu membenci dirinya sendiri, membenci kehidupannya sekarang. Ia bisa membayangkan bagaimana ayahnya akan marah lalu menasihatinya dengan lembut bahwa ia semestinya bisa lebih menghargai dirinya sendiri, menghormati dirinya sendiri karena kedua orang tuanya yang menyayanginya tahu pasti bagaimana Alma bisa jauh lebih baik dari apa yang diceritakannya. Akan tetapi, apa boleh buat, kehormatan telah lenyap entah sejak berapa tahun lalu dan segalanya pergi menyusulnya hingga tiada lagi yang tersisa pada diri Alma.

Alma menghabiskan waktu di makam ayahnya hingga menjelang pagi, tiba di rumah dengan menumpang truk pengantar susu yang berkeliling komplek tempatnya tinggal tiap pagi. Ia mencoba menyelinap masuk, tetapi Robby sudah menunggu kedatangannya, memberi makan amarahnya dengan vodka. Saat alma melangkah masuk melewati pintu, saat itu pula Robby menjambak rambutnya, menariknya hingga Alma tersimpuh lalu menyeretnya menuju ke tengah ruangan. Robby menuduhnya menghabiskan malam bersama lelaki lain, membanting tubuh kecilnya ke seluruh sisi ruangan mengharapkan pengakuan.

Alma telah melewati situasi serupa berulang kali dan ia tahu pasti hal apa saja yang menantikannya, bagaimana setiap tendangan akan diikuti dengan pukulan keras dan seterusnya. Alma hanya bisa pasrah, tetapi tidak dengan lelakinya, terus menjejakkan kakinya ke dada alma dan membilurkan sekujur wajahnya. Asin memenuhi mulutnya, Alma kehilangan satu lagi gigi yang tersisa di rahangnya, tetapi itu belum seberapa. Robby meraih tongkat golf di sudut ruangan dan mengayunkannya ke arah wajah Alma. Alma otomatis meringkuk melindungi kepalanya meski ia tahu bagaimana semuanya tak dapat melindunginya dari kekejaman Robby. Saat itu Alma kembali teringat pada ayahnya, membayangkannya memperhatikannya, menyaksikan air mata membanjiri wajahnya, bercampur dengan kehinaan dan darah. Kira-kira apa yang ada dalam benak ayahnya, nasihat macam apa yang ia berikan untuknya dalam situasi demikian?

Tanpa pikir panjang, Alma membuka mulut dan membenamkan giginya menuju lengan Robby, sekuat tenaga mempertahankan cengkeramannya meski ia bisa merasakan darah mengalir menuruni tenggorokannya. Robby menjerit kesetanan dan Alma menggigitnya lebih kencang, Alma dapat merasakan giginya jauh terbenam, menyisakan potongan saat Robby mengibaskan tangannya menjauhkan diri. Meludahkannya penuh rasa jijik, menghantam perutnya bergolak, Alma ingin muntah.

Robby meledak, kini ia benar-benar ingin menyakiti Alma, tetapi ia tahu bagaimana Alma sepenuhnya siap menghadapi siksaan fisik yang diberikan padanya. Sesuatu yang lebih menyakitkan, ya, Alma menginginkan sesuatu yang lebih kejam. Alma masih terhuyung memegangi perutnya menatap nanar ke arah Robby yang memperhatikan seisi ruangan, pandangannya kini terpaku pada koleksi miniatur sepatu porselen yang mulai dikumpulkannya sejak pertama kali mengenal Robby. Di dalam kabinet kaca, Alma sangat menyukai sepatu-sepatu kecil itu, selalu membersihkannya setiap hari entah mabuk maupun sadar. Koleksi itu seperti bayi-bayi kecil bagi Alma dan ia sangat menyayangi kesemuanya seluruhnya.

Alma kini berdoa dalam hati agar Robby tak menyentuh koleksinya, tetapi Tuhan tak mendengarkan doanya, Alma pun hanya pasrah tanpa daya saat robby mulai menghancurkan kabinet kaca itu dengan tangan kosong dan mulai menghempaskan sepatu-sepatu kecil itu ke dinding satu demi satu—sepatu hak tinggi biru muda, stiletto hitam, slop merah muda, hingga sedikit saja yang masih tersisa. Alma melemparkan tubuhnya ke hadapan koleksi harta karun miliknya, Robby kembali menjambak rambutnya berusaha menjauhkan Alma menuju sisi lain ruangan, mencengkeram lengan kurusnya, membantingnya berulang kali, bergulat meneruskan upaya penghancuran yang tengah ia kerjakan.

Alma yang terus berusaha berontak mendapati pantofel hitam itu tepat di hadapan matanya, di bagian paling bawah kabinet. Dengan cepat ia meraihnya, meringkuk serapat mungkin sebelum berusaha berguling menjauh perlahan. Porselen dingin dalam genggamannya itu kini sedikit menenangkan rasa paniknya, Alma berusaha menjejalkannya dalam kantong celananya tanpa sepengetahuan Robby. Naas, Alma mengenali tatapan itu, Alma tahu pasti apa yang berikutnya akan ia lakukan, tetapi kini Alma takkan tinggal diam.

Naluri yang telah lama menghilang bergemuruh memenuhi kepalanya, Alma mencoba berlari ke arah pintu depan. Robby sampai terlebih dahulu di sana, menyeretnya kembali menuju ruang tengah, entah kekuatan dari mana, Alma menggerakkan lututnya ke atas sekeras mungkin menghantam selangkangan Robby. Tersungkur, memegangi wajahnya dengan kedua tangannya, Robby mengerang kesakitan. Alma sempat ragu, tetapi saat ia menyaksikan Robby mulai merangkak mendekat, ia pun memaksa tubuhnya melaju ke arah pintu depan, membukanya secepat ia bisa lalu berlari sekencang-kencangnya.

Alma berlari meninggalkan rumahnya, menyusuri jalanan entah kemana, melewati deretan ruko lalu sampai di taman kota. Paru-parunya bergolak berbenturan dengan tulang rusuknya, Alma mengabaikannya tanpa berpikir sampai ia tiba di deretan toko-toko kecil di sisi terminal, menyadari tatapan orang-orang yang penasaran, memelankan langkahnya terburu-buru sampai Alma tiba di depan toilet umum terminal.

Alma berhenti bercerita dan mendongakkan kepalanya ke arah Doni. "Lalu?" Tanya Doni. Alma mengulurkan kedua lengannya, menunjukkan luka di pergelangan tangannya pada Doni. "Kenapa kamu tidak meninggalkan Robby sejak lama?" Doni melanjutkan pertanyaannya. "Entahlah," Alma menggelengkan kepalanya lesu, "Aku benar-benar tak tahu lagi harus kemana, percuma. Setiap kali mencobanya, Robby selalu menemukanku. Selalu seperti itu."

Doni mendekati Alma dan mengulurkan kedua tangannya, ia ingin menenangkan Alma, tetapi usahanya sia-sia, kedua tangannya melewatinya seolah tak ada apa pun di sana. Alma hanya tersenyum, ia sangat menghargai inisiatif kawan barunya itu, tetapi ia merasa tidak membutuhkannya lagi, ia memutuskan bahwa itu adalah keputusan terbaiknya, setidaknya itu yang diyakininya.

Entah jam sebelas lebih atau sudah lewat tengah malam, Jamal dan Robby tergopoh meninggalkan mobil yang mereka parkir cukup jauh dari tempat tujuan mereka. Dinginnya udara malam itu mulai menyadarkan keduanya, cukup sadar untuk meneruskan perjalanan mereka, tergopoh-gopoh sembari tertawa keras berulang kali tanpa alasan yang jelas. Robby memandangi rumah duka itu, merasakan jalan yang akan dilaluinya untuk bertemu Alma. Mereka berdua dapat masuk melewati pagar rendah dan membuka paksa salah satu jendela di sisi bangunan paling depan komplek Rumah Duka Sentosa.

Berdua mereka menyusuri lorong menuju bagian belakang bangunan tersebut, Jamal hanya diam mengikuti langkah Robby, entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang, tetapi ia merasa harus mengawasi kawan baiknya itu. Gelap, tak ada penjaga, tak ada siapa pun. "Rob, kayaknya jangan deh." Jamal yang mulai ketakutan pun mencoba memperingatkan, tetapi pandangan Robby kini tertuju pada bangunan besar di seberang halaman belakang, melangkah mendekatinya seperti kesetanan.

Robby membuka pintunya yang tak terkunci, mengamati sekeliling mencari saklar lampu. Jamal yang terburu-buru mengikutinya tanpa sengaja menyenggol vas besar di sisi kiri pintu hingga hampir jatuh terguling saat ia mencoba menahan daun pintu agar tetap terbuka dan membiarkan cahaya lamat-lamat dari lampu di belakangnya menerangi isi ruangan. "Sssstt, anjing!" Robby membungkukkan badannya dan menempelkan telunjuk kanannya ke bibirnya.

Suara mereka berdua membangunkan Alma yang termenung dalam gelap. Saat Robby berhasil menemukan saklar lampu di sisi ruangan, jantung alma berdetak begitu kencang, setidaknya itu sensasi yang ia rasakan, menyaksikan dua orang itu celingak-celinguk di bawahnya tak ubahnya ayam yang hendak menyeberang jalan.

Peti mati Doni adalah yang terdekat dengan pintu masuk, Robby segera membuka tutupnya dan mencampakkannya begitu saja di lantai saat menyaksikan lelaki yang tak dikenalinya. Alma hanya memandangnya ketakutan saat Robby mendekati peti mati berikutnya, peti mati miliknya. Awalnya Robby tak mengenali jasad Alma yang telah dibersihkan dan didandani, cantik juga, pikirnya. Robby mengusap wajah kaku dalam peti mati itu dan Alma mengerang penuh rasa jijik. Ia masih tak percaya bagaimana Robby menemukannya kembali, setelah semua yang telah dilaluinya.

Robby membungkukkan badannya ke dalam peti dan mencium keningnya. Alma bergidik ngeri, ia dapat merasakan tangan Robby saat ia mencoba mengeluarkan jasadnya dari dalam peti. Alma yang panik berusaha membangunkan Doni yang terapung-apung di sudut ruangan kremasi, tetapi terlambat, saat ia terjaga, Robby sudah berhasil membopong mayatnya. Lagi pula, apa yang bisa mereka lakukan?

Saat itu, Jamal menemukan radio kecil di sisi ruangan dan menyalakannya, entah apa yang ada dalam pikirannya. Lagu dari film Titanic terlantun dari speaker cempreng menggaung memenuhi ruang kremasi. Robby menurunkan jasad Alma dari pundaknya, memeluk pinggangnya dan membiarkan kedua lengan Alma terjuntai kaku melewati punggungnya. Robby mulai melangkahkan kedua kakinya mengikuti irama, berayun ke kiri dan ke kanan bersama mayat Alma dalam parodi waltz mengerikan. Alma ikut terseret terayun-ayun mengikuti utas yang menghubungkannya dengan mayatnya, Doni yang panik terus mencoba memberikan pertolongan meski sia-sia.

Kegilaan itu makin menjadi saat Jamal yang terbawa suasana mencoba berpartisipasi, berputar-putar bersama partner dansa imajinernya hingga kehilangan keseimbangan saat menabrak peti mati Doni hingga terjatuh dari atas meja kayu tempatnya berada. Suara keras bergema memekakkan telinga memenuhi ruangan, mayat Doni menggelundung perlahan sementara empunya terdiam tak bisa berkata-kata melihat apa yang baru saja ia saksikan. Alma mengenal kedua orang itu dengan baik, ia tahu pasti bahwa hal-hal yang lebih buruk bisa saja terjadi, hanya bisa berharap ada seseorang yang mendengar semua ini dan memanggil polisi.

Kali ini doa Alma didengar, Alma membuka lebar-lebar pendengarannya, memperhatikan langkah-langkah kecil beradu dengan paving blok halaman belakang. Alma mengira mereka akan masuk ruangan dengan sigap dan melumpuhkan Robby atau Jamal atau salah satu dari mereka, tetapi tidak, pintu terbuka perlahan menampakkan Pak Tommy dengan singlet dan celana pendek ditemani salah satu anak buahnya, wajah mereka tampak lelah dan keduanya jelas masih mengantuk.

Saat Pak Tommy menyaksikan tubuh Doni tergolek di lantai, ia pun berteriak dengan suara tercekat sementara Robby dan Jamal terdiam terpaku, melongo ke arah datangnya suara. Jamal pun segera berlari kencang ke luar ruangan, mendorong anak buah Pak Tommy dan menghempaskannya ke tanah. Robby masih memeluk jasad Alma, meninggalkannya begitu saja atau membawanya lari ternyata adalah pilihan sulit yang tak ia bayangkan sebelumnya. Robby pun mulai melangkahkan kakinya cepat meninggalkan ruangan sementara Pak Tommy yang masih syok mencoba mengikutinya dari belakang dan membujuknya untuk mengembalikan jasad Alma, mencoba mengajaknya bicara baik-baik dan berjanji takkan mempermasalahkan apa yang baru saja mereka lakukan di sana. Anak buah Pak Tommy berusaha bangkit dan menghentikan Robby, tetapi sia-sia. Dengan jasad Alma tergendong di pundaknya, ia berhasil menggagalkan usaha pria kurus itu, menabraknya hingga terhuyung jatuh dan melanjutkan pelariannya melewati lorong bangunan depan Rumah Duka Sentosa, menapaki jalan mengejar Jamal ke arah mobil mereka.

Alma terus berteriak histeris, kedua tangannya terangkat di atas kepalanya saat ia berusaha dengan penuh rasa frustasi untuk menghambat langkah Robby. Alma begitu marah, ia semakin membenci Robby, semakin benci pada dirinya sendiri. Ia sudah bunuh diri, ia mengakhiri hidupnya sendiri untuk meninggalkan Robby dan kini ia hanya bisa terus berteriak putus asa, terseret di udara mengikuti mobil yang ditumpangi Jamal dan Robby entah menuju ke mana.

Sepanjang perjalanan mereka berdua hanya diam. Jamal memutuskan untuk mengantarkan Robby ke rumahnya dan segera bergegas pergi, entah apa pun yang akan Robby lakukan dengan mayat Alma, ia mencoba tak memikirkannya lagi. Robby duduk di kursi belakang, bersama jasad Alma yang kini terbaring di atas pangkuannya, wajahnya menyeringai, tatapannya kosong. Jamal terus memperhatikan perilaku sahabatnya dari kaca spion, berbagai macam pikiran buruk terus terputar dalam kepalanya, ia hanya terhenyak kebingungan saat tersadar telah sampai di hadapan rumah Robby. Tanpa mengatakan apa pun, Robby membuka pintu dan menyeret mayat Alma keluar. Setengah berlari, ia bergegas membopong mayat Alma masuk dan mendesau panjang setelah ia mengunci pintu.

Robby membaringkan tubuh Alma di sofa ruang tengah, menutup rapat semua gorden meski hari masih gelap, Robby menyalakan lampu dan mendorong salah satu rak di ruang depan untuk mengganjal pintu. Alma memperhatikannya dalam kengerian saat Robby mengambil satu botol whiskey dari kulkas. Robby mengisi penuh dua buah gelas yang ia ambil dari rak, Alma mencoba menebak-nebak apa yang selanjutnya ia lakukan saat Robby meletakkan salah satu gelas yang telah terisi di atas meja di hadapan mayatnya.

Robby masih gugup, Alma mengetahui hal itu dan ia tahu pasti bagaimana perilakunya yang tak terkendali setiap kali moodnya buruk. Robby menenggak habis minumannya dan menyalakan beberapa buah lilin beraroma vanilla yang ditemukannya di salah satu kabinet. Mungkin untuk menghidupkan suasana, mungkin pula untuk menutupi aroma dari mayat Alma yang mulai tercium menyengat. Ia kembali mengisi gelasnya, melakukan hal yang sama pada gelas di hadapan mayat Alma hingga alkohol terus mengalir turun membasahi karpet di tengah ruangan.

Robby menelan habis isi gelasnya dan menghempaskan tubuhnya menuju sofa terdekat. Alma rela mengorbankan apa pun untuk mengetahui apa yang ada dalam kepala lelakinya sekarang. Ia terus memperhatikan wajahnya yang berkerut-kerut, sejenak tertegun saat menyaksikannya mulai menangis hingga Alma sadar bahwa Robby hanya menangisi dirinya sendiri.

Tak lama kemudian Robby pun dapat menenangkan diri dan merasa malu dengan apa yang baru saja ia lakukan, mengusap air matanya dan kembali mengisi gelasnya sampai penuh. Robby menenggaknya habis dan seringai jahat menghampiri wajah kusamnya manakala alkohol mulai bereaksi dengan darah yang mengaliri tubuhnya. Alma memperhatikannya terhuyung membawa gelas dan botol miliknya melintasi ruangan menghampiri mayatnya. Robby duduk di ujung sofa, memandangi mayat Alma dan kembali menenggak minumannya, kali ini dari mulut botol setelah mencampakkan begitu saja gelas yang dibawanya tergolek ke lantai.

Cahaya remang-remang dari ruang depan dan nyala lilin yang bergoyang-goyang seolah menggerakkan dada mayat Alma terkembang, dalam keadaan mabuk Robby membayangkan bahwa perempuan di hadapannya masih bernapas. Perasaan lega mendorongnya meraih tangan kanan Alma yang dingin terjuntai kaku dan mengangkatnya menuju bibirnya. Tanpa sadar, Robby kini menciumi bibir mayat itu, sebelum akhirnya tercekat dengan bau anyir bercampur dengan manisnya parfum mahal yang mulai memenuhi rongga hidungnya dan tersadar dengan kehadiran beberapa ekor lalat yang beterbangan mengelilingi jasad perempuannya.

Robby mencoba menenangkan diri, berjalan mondar-mandir di sekeliling ruangan dan meraih pengharum ruangan beraroma jeruk dari salah lemari lalu menghabiskan seluruh isinya untuk mayat Alma. Awalnya Robby tersedak membaui wangi yang menyengat itu, tetapi saat kesemuanya perlahan menipis pikirannya pun melayang mengingat kembali kenangannya saat pertama kali menyetubuhi alma di kamar apartemennya. Sayang sekali, kenangan indah itu bukanlah satu-satunya hal yang kini terputar memenuhi kepala Robby. Jasad Alma tampak begitu tenang, cantik bahkan, seperti boneka, kembali mengingatkannya kepada Alma muda yang masih lugu. Kali ini, Robby benar-benar ingin bercinta dengannya. Ia meraih jasad Alma dan memeluknya erat, mengusap-usap rambut dan punggungnya, berulang kali mengecup keningnya. Dalam keadaan mabuk, Robby merasa ada yang keliru dengan perbuatannya itu, tetapi ia tak mampu lagi menghentikan hasratnya.

Alma tak mampu menyaksikan semuanya, menyaksikan Robby menjamah tubuhnya yang telah membiru. Ia hanya tertunduk tanpa daya saat Robby melepas kancing pada gaun yang dikenakannya lalu memenuhi telapak tangannya dengan payudaranya yang kurus kering. Alma ingin pergi sejauh mungkin, tetapi utas yang terhubung padanya hanya cukup panjang untuk membawanya menuju depan jendela, mencoba mengalihkan perhatiannya pada gelap yang ada di luar sana. Robby mulai melepas celana yang ia kenakan dan Alma menjerit keras meluapkan seluruh emosi yang sebelumnya tertahan, keluar tuntas dalam satu lolongan panjang menyakitkan.

Robby terhuyung ke belakang, dadanya berdegup kencang dan memperhatikan seisi ruangan, "Hah?" Robby tergagap, tetapi tak ada siapa pun di sana. Alma belum bisa mempercayai apa yang baru saja ia saksikan, Robby mendengarnya, Alma bisa membuatnya mendengarkan teriakannya. Sementara Robby mencari-cari sumber teriakan itu, pikiran Alma dipenuhi kemungkinan-kemungkinan, mungkin ini adalah kesempatannya untuk merebut dirinya kembali, mungkin ia bahkan bisa bersenang-senang dan membalas dendamnya saat ini.

Hal berikutnya yang disadari Alma adalah bagaimana ia berhasil mendorong jatuh salah satu vas kecil di atas lemari kecil di sudut ruangan. Robby yang kini terhuyung-huyung berputar mengelilingi ruangan dengan wajah penuh ketakutan membuat Alma tersenyum girang. Beberapa detik kemudian vas kecil itu pun melayang menuju kepala Robby. Ia berhasil menghindar, tetapi Alma kini tengah mencoba trik lain. Pecahan-pecahan sepatu porselen yang sebelumnya berserakan di atas karpet pun kini menghujani kepala Robby.

Akhirnya Robby menangis tersedu-sedu, menggigil gemetar sembari berusaha menyeret pantatnya menjauh meski kedua kakinya kini terkulai lemas dan mati rasa. Alma sama sekali belum puas, ia ingin Robby menyadari bahwa semua ini adalah perbuatan Alma. Berulang kali Alma bergerak turun dari langit-langit ruang tengah menuju jasadnya yang tergolek di sofa. Dengan seluruh kehendak yang bisa ia kumpulkan, ia mencoba menggerakkan mayatnya. Alma sama sekali tak menyangka ia bisa melakukannya, ia terkejut saat tiba-tiba bisa merasakan sensasi hangat menjalari kulitnya dan mencium aroma vanilla dari lilin-lilin yang masih menyala di sudut ruangan. Hal itu menguras habis seluruh energi yang ada padanya, tetapi entah bagaimana Alma bisa kembali masuk ke dalam jasadnya dan memaksa matanya terbuka, menggerakkan kepalanya dan menengok ke arah Robby dari mata ke mata.

Tak perlu digambarkan panjang lebar, hal itu tentu saja merupakan hal paling menakutkan yang pernah Robby saksikan. Dengan susah payah ia membetulkan celananya, menyeret tubuhnya berusaha memindahkan rak yang menghalangi pintu depan lalu membukanya dan berlari secepat mungkin. Alma bisa mendengarnya berulang kali mengumpat dan berteriak sepanjang perjalanannya berlari meninggalkan rumah dan Alma pun mulai mengucapkan selamat pada dirinya sendiri sebelum akhirnya satu pikiran buruk menghantam kepalanya. Jasadnya masih tergolek lemas di sofa, entah apakah akan ada yang menemukannya di sana, Robby bisa saja memutuskan untuk kembali kapan saja.

Alma berputar-putar mondar-mandir di ujung utas yang menghubungkannya dengan jasadnya yang membusuk makin cepat, putus asa memikirkan jalan keluar. Alma semakin panik hingga akhirnya ia teringat percakapannya dengan Doni. Kini tiba waktunya untuk mengambill kendali, atas tubuhnya, atas hidup dan kematiannya sendiri.

Alma bergerak melintasi ruang tengah sembari terus berdoa utas yang menempel padanya cukup panjang, menuju lilin-lilin beraroma vanilla yang masih berkerlip menyala. Tak lama kemudian, salah satu gorden panjang di sisi ruangan pun mulai terbakar. Poliester murah berwarna krem itu tersulut begitu saja, tanpa Alma sadari nyalanya telah merambati karpet serta perabot kayu di sisi-sisinya. Entah mujur atau entah bagaimana, selama Robby dan Alma menempati rumah kecil pemberian orang tua Alma itu, tak sekali pun mereka pernah melakukan renovasi atau mengubah isinya. Semuanya rapuh dan begitu mudah terbakar.

Pukul 05.16, sofa di mana jasad Alma terbaring mulai terbakar. Di antara asap dan lidah api, Alma masih melayang-layang, terasa begitu ringan, jauh lebih ringan dibanding sebelumnya. Entah ia akan bertemu dengan ayahnya kembali atau entah bagaimana, entah hukuman, entah ketiadaan, Alma hanya pasrah. Alma yakin ia telah berhasil meninggalkan segalanya. Bukan tak peduli lagi, tetapi ia kini hanya merasa terbebas, siap dengan apa pun yang memang harus dihadapinya, ia sepenuhnya pasrah. Dalam kobar yang kian membesar, utas tipis yang menghubungkan Alma dengan segala sesuatu yang masih tersisa darinya kini tak lagi terlihat. Alma melayang melewati langit-langit dan atap rumah yang telah runtuh separuh, mengikuti asap, membumbung tinggi mengudara.

 

oleh buttercup & pulasara