Bangkai Lumutan

 

Akko menghembuskan napas terakhirnya dan hujan mulai turun. Awalnya datang rintik-rintik bersama angin semilir, kemudian menebal menjadi tetes-tetes deras menghujam nyaring di permukaan genteng dan jendela kamar kami. Sejak itu aku berhenti keluar rumah, siang malam dan rintik-rintik di jendela menyanderaku dalam bisu, merutuki kekasih yang pergi meninggalkanku.

Apartemen kami kini kebanjiran. Aku masih terbaring tak acuh di atas ranjang ketika basah menjalari dinding kamar. Air hujan yang hangat mulai merembes ke kasur. Bayang wajah dan dan rambut keritingku menari-nari di atas permukaan air saat aku memiringkan badan ke pinggiran kasur, aku tak mau repot beranjak ke dapur dan minum dari air yang menggenang. Aku tak menemukan wajah Akko di mana pun di sana.

Aku terus menunggu.

Semak-semak tumbuh dari dalam lemari dan layar komputer. Belukar merambati dinding menutup lukisan dan foto-foto yang ditinggalkan Akko. Dinding kamar perlahan tenggelam menghilang, menjadi rimbun yang berputar berdenyut.

Bantal dan sprei melembab, kedua tangan dan kakiku kini layu terhisap, selimut wol mulai mengeluarkan aroma kucing basah. Saat tertidur, aku dapat merasakan dunia seisinya mengalir, bergerak bersama arus dan gelombang. Akan tetapi, permukaan air tak pernah sampai menyentuh tubuhku, mungkin hujan sudah berhenti turun, atau mungkin ranjang ini sudah terapung.

Lumut mulai menjalari betis dan terus menyebar di lipatan pahaku. Aku masih minum air bah dan sesekali makan lumut. Jamur merah terang tumbuh dari pusarku, kian membesar dan aku masih cukup waras untuk tidak mencoba merasakan racun dalam warnanya yang menggoda. Asin mulai tercium di udara, sepertinya aku telah sampai di tengah samudera dan hanya ada Akko dalam pikiranku.

Cendawan putih menganyam rambut keritingku, menyatukannya dengan bantal dan kasur. Ikan-ikan kecil berkumpul mengerumuni ganggang yang membungkus lenganku, kini sesekali aku bisa makan ikan segar. Tetes-tetes air masih terus turun perlahan langit-langit kamar, sesekali menyentuh hidung dan bibirku dengan kesegaran yang tak memberiku kesempatan untuk kembali merasakan dahaga. Ingatan-ingatanku mulai mencair, mengalir dari lubang telingaku, larut menjadi satu dengan ingatan seluruh dunia. Terdengar suara burung camar memanggil namaku.

†††

Tak ada satu pun percikan air yang memperingatkanku pada jari-jari yang membekap kedua mataku. Jari berkuku tajam menjejalkan sebutir pil melewati bibirku yang terkatup rapat, lumer perlahan menjadi getir yang memenuhi permukaan lidahku. Sejak itu aku terus memuntahkan air, hari demi hari sampai akhirnya kasurku mulai mengeras dan basah memudar pergi meninggalkan dinding dan langit-langit kamar. Air mulai surut, membawa Akko pergi.

Matahari membelalak dan memaksa kedua mataku terbuka. Aku terus berteriak minta tolong sampai mereka kembali mendatangiku. Haus kini kembali menyesaki kerongkonganku bersama pikiran-pikiran buruk yang kembali ramai dalam kepalaku. Semak belukar menyusut, menampakkan wajah sayu Akko dalam kotak kaca, tersenyum.

Suara-suara memaksaku terbangun.

Setiap hari, jari-jari berkuku tajam datang dan sebutir pil pahit dijejalkan ke dalam mulutku, setiap hembusan napas terasa begitu panas dan kering. Kini aku telah belajar berjalan kembali, menganggukkan kepala patuh, dan menyusun kaleng-kaleng makanan di atas rak-rak berderet panjang. Kini aku telah hapal pada setiap sudut dan retakan di dinding kusam tempat terkutuk ini.

Setiap malam aku berusaha memaksa kedua mataku terkatup, hingga terdengar suara burung camar memanggil namaku.