Banjarasul

 

Para tetua begitu sering memperingatkan kalau pabrik itu hanya akan membawa petaka pada Banjarasul. Entahlah, segalanya memang berubah jauh. Dulu, nabi-nabi tumbuh secara alami di tengah kelompok masyarakat. Nabi-nabi biasa muncul di atas tanah yang sudah digarap lalu orang-orang akan menanam doa-doa mereka di sekelilingnya, perlu waktu sekitar tujuh hingga sembilan tahun sebelum nabi-nabi itu siap menunaikan tugas mereka.

Petani, pedagang, penjahit, dan pembuat sepatu berbondong-bondong beralih profesi menjadi buruh saat pabrik itu mulai dibuka. Mesin-mesin mengeruk, menggiling, melumat tanah dan bebatuan—melenyapkan nabi-nabi kecil malang yang ada di atasnya. Tanah dan batu diangkut menuju pabrik untuk diolah menjadi nabi-nabi baru, seluruh nabi lama yang masih ada segera dikirim ke luar kota; digantikan dengan senyum manis, penampilan necis, serta suara lemah lembut sekaligus gagah penuh wibawa. Hanya perlu tiga tahun untuk mendapat nabi siap kerja dengan mode produksi ini. Para utusan baru Tuhan itu dengan begitu cepat menyebar keluar dari Banjarasul menuju kota-kota di sekitarnya, menyebarkan wahyu prabayar serta berbagai mukjizat dalam edisi terbatas.

Banjarasul kini menjadi Mekahnya Negeri Medayin. Pabrik itu pun mulai menerima kunjungan dari anak sekolah serta para pejabat dari kota tetangga yang hendak mengadakan studi banding. Mereka akan dibawa ke pusat produksi, di mana tanah dan batu menempuh proses pengolahan panjang menjadi berbagai macam organ serta bagian tubuh. Diperlihatkan pula bagaimana kita bisa mengombinasikan warna rambut dengan warna kulit sesuai selera; apakah kita akan memberinya aksen yang seksi atau sikap cuek masa bodoh.

Sepertinya takkan butuh waktu lama sebelum akhirnya nilai nabi-nabi dari Banjarasul anjlok di pasaran. Permintaan akan turun dengan banyaknya persediaan nabi-nabi yang tersedia di gudang, belum lagi biaya perawatan mereka yang sangat mahal, PHK massal menjadi momok di kota ini dan pabrik itu akan segera ditutup. Mereka akan membuang bahan galian dan stok yang tersisa di belakang gudang-gudang besar itu. Nabi-nabi setengah jadi akan merayap di jalanan gelap, kejang-kejang atau berjalan sempoyongan di pasar dan seputar area perkantoran, menggelayuti baju dan tas jinjing orang-orang sembari memuntahkan ceramah bercampur serapah.

Mungkin sebagian nabi yang tersisa akan memperoleh murid-murid baru dalam situasi krisis kelak apabila mereka cukup beruntung, orang-orang pastinya perlu pegangan spiritual di masa-masa sulit. Sebagian yang lain mungkin pula bisa sukses bila mampu pergi sejauh mungkin dari Banjarasul menuju tempat-tempat di pelosok yang masih terbelakang dalam kehidupan jahiliyah. Namun, sebagian besar nabi-nabi itu pasti akan kehilangan akal, meracau di pinggir jalan dan menari di lorong-lorong kampung. Pemerintah Banjarasul mungkin akan membentuk dinas khusus untuk melenyapkan nabi-nabi yang tak berguna, pabrik baru untuk menghancurkan para nabi pun akan segera berdiri di lokasi yang sama di mana mereka semula diproduksi.

Pada akhirnya Banjarasul akan segera lupa tentang bagaimana nabi-nabi sebelumnya tumbuh secara alami, dan berikutnya, diproduksi dengan mesin. Orang-orang hanya akan teringat pada deru mesin, truk-truk besar lalu lalang, serta asap hitam yang mengepul dari cerobong-cerobong tinggi di batas utara kota.