Tebing Kutukan
Saat tersadar, pria itu ada di atas sebuah tebing. Tak lama kemudian, tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seorang perempuan menggelantung di bibir tebing dan berusaha naik. Tanpa pikir panjang, pria itu segera berjalan mendekat dan mengulurkan tangan untuk membantunya ke atas. Naas, sepasang telapak tangan pucat itu lebih dulu terempas sebelum ia bisa meraihnya.
Pria itu menutup kedua matanya saat tubuh perempuan itu akhirnya membentur batuan di kaki tebing, meringis saat mendengar jeritan tercekat. Saat ia melongok ke bawah, merah sudah menggenang—membaur dengan warna gaun yang dikenakan perempuan malang itu. Ia memperhatikan sekelilingnya, menemukan sebuah jalan setapak curam di sisi tebing dan berjalan turun perlahan.
Ia memberanikan diri untuk mendekat, tak sadar telah memijak genangan darah, dan kembali melangkah mundur. Ia menjulurkan kepalanya ke depan, mencoba melihat wajah perempuan itu, separuhnya hancur, ia sama sekali tak mengenalinya.
Setelah menenangkan diri, ia kembali berjalan menaiki setapak ke atas tebing dan mendekat ke aspal yang terbentang tak jauh dari sana. Tak ada mobil, tak ada orang, ia tak tahu ada di mana dirinya. Pria itu meneruskan langkahnya, menuju terang yang ia kenali sebagai kota.
Tak lama, ia menemukan sebuah pos polisi. Di sana ia menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Polisi yang ia temui membawanya kembali menuju tempat itu menggunakan mobil patroli. Namun, mereka tak menemukan apa pun saat mereka berdua mencoba menengok ke bawah dari atas tebing. Tak ada darah, tak ada mayat perempuan, tak ada apa pun.
“Bagaimana mungkin? Tadi perempuan itu ada di sana, Pak.”
Mereka berjalan menuruni setapak dan memeriksa sekeliling, “Bapak harus percaya, Pak. Saya tidak ngibul soal peristiwa itu!”
Namun, tak ada setetes pun darah, nafasnya tercekat saat ia akhirnya sadar bila sepatunya pun bersih tanpa setitik pun noda merah mengering.
Polisi itu pun membawanya kembali ke pos, memintanya mengisi beberapa formulir dan surat pernyataan. Saat itu, ia kembali teringat pada namanya, di mana alamat tinggalnya, serta pekerjaannya sehari-hari.
Polisi kembali mengantarnya menuju alamat yang ia tuliskan dalam formulir. Sesampainya di sana, ia duduk di meja makan, membuat kopi lalu tidur. Pria itu pulang ke rumah, kembali melanjutkan rutinitas, semua yang terjadi malam itu seolah hanya mimpi.
†††
Suatu hari, dalam perjalanan sepulang kerja, pria itu berpapasan dengan seorang perempuan, bukan sembarang perempuan, ia adalah perempuan dari malam itu. Pria itu mencoba memanggil perempuan itu, mengejarnya, “Hei, halo, tunggu!”
Saat melihatnya, wajah perempuan itu tampak panik, berusaha menjauh. “Maaf, ada yang harus saya tanyakan.”
Ia akhirnya berhasil memegang lengan perempuan itu. Tiba-tiba, polisi yang sama dari malam itu muncul di dekat mereka, mengajak mereka berdua naik mobil patroli menuju kantornya.
Dari balik jendela kaca, pria itu duduk di bangku panjang mengamati polisi meminta keterangan dari perempuan itu. Ia tak bisa mendengar apa yang mereka katakan, semakin bingung saat perempuan itu sesekali menengok ke arahnya dan tampak ketakutan.
Saat mereka usai berbincang, sang polisi membuka pintu kantornya dan mempersilakan perempuan itu pulang. Pria itu bergegas beranjak dari bangku, tak sadar polisi itu telah memegangi lengannya. “Mau kemana dia? Apa yang ia katakan Pak?”
“Tak ada,” jawab sang polisi, “segeralah pulang dan lupakan semuanya karena tak ada apa pun yang terjadi.”
Pria itu masih ngotot, sebelum akhirnya sang polisi memanggil dua orang rekannya yang menyeret pria itu keluar dari kantor polisi.
Malam itu, ia berusaha mengikuti polisi itu sepulang kerja. Ia terus mengikutinya sampai ia sampai di rumah, ia mengikutinya setiap malam. Beberapa hari setelahnya, polisi itu tak langsung pulang, keluar dari kantor mengenakan kemeja alih-alih seragam polisi yang biasa ia kenakan lalu menyetir mobilnya menuju sebuah rumah di pinggiran kota.
†††
Polisi itu menekan bel dan perempuan itu membukakan pintu untuknya, perempuan yang sama, perempuan dari malam itu. Mereka berdua pergi ke restoran, pria itu terus memperhatikan mereka dari kejauhan. Kencan mereka beberapa kali terulang selama satu bulan itu, hingga akhirnya suatu malam mereka pergi ke luar kota menuju arah yang familiar, mereka berdua kembali mengunjungi tebing tempat perempuan itu terjatuh.
Pria itu mengawasi mereka saat keduanya berjalan mendekati tepian tebing dan menengok ke dasar jurang. Sang polisi menunjuk ke arah setapak, tak lama kemudian mereka berdua berjalan turun dan menghilang dari pandangan pria itu.
Ia bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengendap-endap menuju bibir tebing, dari atas ia bisa menyaksikan polisi dan perempuan itu bercinta dengan penuh gairah. Sayup, terdengar desah dan lenguhan mereka berdua. Pria itu mencoba bergerak maju sedekat mungkin dengan tepian tebing, konyol, kakinya terpeleset dan ia pun jatuh.
Pasangan itu mendongak ke atas saat ia terjun bebas, ia berusaha tetap membuka kedua matanya, sepertinya kedua lengannya cukup lebar untuk memeluk mereka berdua.