Oom Kumis

 

Ia memulai pekerjaanya dari cabang yang paling rendah. Kami bisa melihat potongan-potongan itu tergolek di tanah. Ia memotong cabang dan dahan-dahan tersebut menggunakan sebuah gergaji, kerjanya begitu rapi dan cekatan seperti seorang tukang kayu, meski dari tebakan kami, setelah melihat sebuah mesin mobil yang teronggok di tengah garasi kosong miliknya serta berbagai macam peralatan yang tergantung di dinding, ia adalah seorang mekanik, atau setidaknya seorang oom-oom berkumis dengan keahlian menangani mesin sekaligus keterampilan seorang tukang kayu. Ia tak meninggalkan rumah selama beberapa hari terakhir, selain sibuk di garasinya atau mengambil kiriman botol susu dan menemui para kurir yang membawakannya makanan. Tak ada cukup banyak petunjuk kecuali mesin besar yang berkilauan itu.

Hari ini ia terbangun lebih pagi, muncul dari dalam garasi dengan menenteng sebuah gergaji, berjalan berjingkat melewati botol-botol oli dan bensin, menyeret kakinya malas menyeberangi halaman rumahnya yang tak begitu luas lalu mulai naik memanjat pohon ini. Sebagian burung muda segera kabur ketakutan, yang merah, juga kuning, serta yang biru, mungkin mereka mengira ada seekor kucing yang berniat memangsa mereka. Kini mereka bertengger di pinggiran atap rumah dan tampak tenang. Konyol sekali. Biasanya mereka tak pernah bertahan cukup lama sebelum sempat belajar tentang hidup. Mereka semua hanya mengandalkan insting, terburu-buru, terbang ke sana, hinggap kemari, sepertinya tak ada separuh dari mereka yang mampu bertahan bila tiba-tiba datang hujan besar dengan angin kencang. Lain halnya dengan kami, kami sudah ada di sini sejak lama, menyaksikan para pesarang itu datang dan pergi.

Pria itu memperhatikan cabang yang ia duduki, menggoyangkan badannya naik turun lalu dengan cekatan berpindah ke cabang lebih besar di atasnya dan menyelesaikan potongannya dengan gergaji. Hanya tinggal tiga cabang besar yang tersisa, pria itu mengambil sesuatu dari kantung bajunya, sebungkus rokok, ia mengambil sebatang dan meletakkannya di mulut tanpa menyalakannya. Ia hanya duduk di sana dan melihat ke arah langit, seolah ia bisa meramalkan datangnya badai. Saat itu kami pikir ia akan menghentikan pekerjaannya, ternyata tidak, ia sepertinya hanya sedang berpura-pura, sama seperti burung-burung kecil itu, mungkin ia hanya gelisah dan butuh mereganggkan badan. Kadang memang sulit memahami para pesarang itu, wajah mereka begitu datar seolah mereka tidak bernapas sama sekali.

Pria itu menyalakan rokoknya, tiga isapan dan hembusan panjang sebelum kembali lanjut menggergaji. Kami berpindah ke dahan paling tinggi, berhati-hati dan mencoba untuk tetap tenang. Dari atas sini, kau bisa melihat ke dalam rumah pria itu, dinding kuning kecoklatan dan sebuah bagian kusam di karpet bekas sebuah sofa yang pernah diletakkan di situ. Batang besar yang ia duduki tadi kini terjatuh ke tanah bersama suara gemuruh dedaunan, burung-burung kecil di atap kembali panik bercicitan, sepertinya mereka tak menyangka semuanya akan seburuk ini.

Pria itu menyenderkan gergajinya di batang pohon dan melihat ke arah kami. Saat itu kami melihat sebuah kerlip berkilauan dari sudut garasi miliknya. Aku menginginkannya, begitu pula dengan teman-temanku. Kami melesat, menggaok, menukik tajam, saling patuk, berebut untuk mendapatkan benda indah itu. Dalam kekacuan sayap-sayap hitam, botol-botol di garasi terjatuh. 

Ternyata benda itu hanyalah sebuah tutup botol, tidak lebih. Kami kembali beterbangan, melewati tumpahan bensin bercampur oli yang meluber meninggalkan garasi hingga membasahi dahan dan ranting di bawah pohon. 

Dari bawah kumis ras tanpa paruh itu merekah senyum lebar. Ia menuruni batang pohon dengan tangkas, hanya dalam hitungan detik ia sudah ada di depan garasi, menyenderkan gergajinya di dinding dan kembali mengisap rokoknya. Ia tampak begitu menikmati rokoknya, mengembuskan asap seolah kini ia sedang memahat udara. Ia berjongkok, mengamati batang dan dahan yang tergolek di tanah lalu mendongak ke arah puncak pohon seolah mengagumi mahakarya yang baru saja ia selesaikan. Ia kembali mengisap rokoknya, panjang, lalu melemparkan batang putih dengan bara merah itu ke tumpukan dedaunan. 

Kami terbang berhamburan, api berkobar menjilat kaki-kaki kami saat kami melesat ke langit berabu. Burung-burung kecil memperhatikan kesemuanya dengan seksama, mata mereka terbelalak lebar, mengepakkan sayap mereka liar, bulu-bulu berjatuhan.