Demikian Pula

 

Demikian pula, tidak adakah orang yang mencintai atau mengejar atau ingin mengalami penderitaan, bukan semata-mata karena penderitaan itu sendiri, tetapi karena sesekali terjadi keadaan di mana susah-payah dan penderitaan dapat memberikan kepadanya kesenangan yang besar. Sebagai contoh sederhana, siapakah di antara kita yang pernah melakukan pekerjaan fisik yang berat, selain untuk memperoleh manfaat daripadanya? Tetapi siapakah yang berhak untuk mencari kesalahan pada diri orang yang memilih untuk menikmati kesenangan yang tidak menimbulkan akibat-akibat yang mengganggu, atau orang yang menghindari penderitaan yang tidak menghasilkan kesenangan?

Gelap membenamkan labirin ke dalam jalanan kota di mana kesepianmu bersarang, mengungkap kembali saudaramu yang mati muda karena pencarian jati diri yang sia-sia. gado-gado kata-kata, sandi dan teka-teki yang terus membisikkan frasa-frasa menawan dalam kepalamu. 

Keberadaanmu mengelabui dirimu sendiri, sebuah kebun tak terawat berisi noda-noda yang menggingau sepanjang hari. Pertanyaan abadi tentang keseimbangan yang mustahil tercapai, mengunyah beling untuk mengisi dunia dengan cahaya, memenuhi kosong dengan tubuh-tubuh imajiner yang menyala dalam gelap.

Bunga bertanduk yang tumbuh dalam kesadaranmu menarik kedatangan mesin, memintal serat kain yang menggerakkan langkahmu, mengikuti benang-benangnya yang tergelincir dalam cahaya lalu menghilang. Cahaya di antara yang hidup dan yang sekarat mengemulasikan sebuah kaskade berkaki panjang dalam lenguhannya yang penuh nafsu. Hujan adalah sebuah kaset pita yang sudah lama rusak. Senjata api berpelurukan kalimat-kalimat ganjil yang tak lengkap, memprovokasi ketololonan yang diturunkan nenek moyangmu, untuk merancap di sepertiga terakhir malam, cahaya yang memisahkan tubuhmu dari kegelapannya sendiri.

Sumbunya tegak berdiri, berjajar sempurna, menjilati tubuhnya sendiri di antara kerbau dan sekawanan bebek. Begitu elegan sekaligus kacau bak kesetanan, dirimu bisa melihat kilat menembus kulitmu. Kesenangan menyimpang milik pengantin perempuan yang terperangkap dalam persamaan matematis pusat kota yang dijadikan bukti kemajuan zaman oleh bintang-bintang di langit.

Manekin berkepala kalajengking, bayang-bayangmu bersentuhan dengan alam liar. Genggaman kosong, lengan yang bergetar hebat dalam orgasme di tengah taman edan, kelopak mata yang memancarkan benih entropi dan ritus penghancuran.

Gravitasi terbujuk masuk ke dalam jimat panca warna berevolusi dalam sekuens gelap-terang yang membutakan mata, serupa bahasa isyarat suku barbar yang menggambarkan status sosialmu, kekayaan yang kau peroleh dengan usahamu sendiri, artefak kuno dari kepunahanmu sendiri. Wajahmu, atau ciri-ciri malam dalam demam tinggi arwah penasaran yang tak kunjung berhenti datang untuk mengisap cairan kehidupan dari tanganmu, sebuah bandul pendulum, film berdurasi empat jam yang sama sekali tidak membosankan.

Hanya ada anak perempuan Ikaros, tak ada cermin, bayang-bayang ketidakpastian yang mengepung tulang rusuk paradoks filosofis, hanya batu primitif yang memancarkan cahaya, yang kilaunya menetas dalam api, sumber utama dari pengetahuan yang mengamuk membabi buta, sandi rahasia yang memimpin fosil fajar dan cahaya milik semua makhluk ghaib yang kau beri makan setiap pagi, dengan darah yang menggenang di tengah impianmu. Terbang adalah tubuh yang terkoyak oleh cahaya, bertenagakan pikiran buruk dan prasangka. Sebuah koreografi pemenuhan nafsu syahwat yang tak akan pernah terpuaskan.

Selalu ada ngengat raksasa yang memasuki matamu di tengah hiruk-pikuk penyerahan diri tanpa syarat, membersihkan sudut gelap untuk tempat bersarang burung bulbul dan benda-benda antik berharga miliaran yang tak pernah kau butuhkan.

Di antara gangguan dan penemuan yang tak terduga, pendaratan darurat d tempat-tempat terpencil, matamu adalah sebuah resolusi terpenting yang bisa menyelamatkan segalanya.  Begitu elegan sekaligus kacau bak kesetanan, dirimu bisa melihat kilat menembus kulitmu—dan pembuluh darahmu kini dipenuhi debu.