Paul Virilio dan Anti-City

 

Kita telah berjalan menembus cermin dan menjadi bayang-bayang. Globalisasi kini bergerak semakin cepat, instan, menyeluruh, dan total. Kita tak yakin lagi mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi, kita tak lagi memahami kenyataan—kenyataanlah yang mengetahui seluruh rahasia kita, apa yang ada dalam lubuk hati kita. Sistem yang kini menyatu dengan seluruh aspek kehidupan kita telah membentuk kita menjadi sebuah keteraturan simbolis yang didasari sebuah tontonan spektakuler mengenai kehilangan dan kehancuran—sebuah tontonan nonstop, tontonan yang hadir secara instan, dalam kecepatan yang menjaga semua tetap berada pada tempatnya. Seperti sebuah film yang diputar dengan cepat, kita hanyut tenggelam dalam sejarah sinematik tanpa pernah mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Mekanisme yang telah menelan kita dalam semesta kengerian tersebut kini telah membatasi perasaan dan nalar kita, yang tak mampu lagi keluar dari gerak bingkai sinematiknya, pada akhirnya kitalah pita kaset video film itu sendiri, yang diputar dengan cepat di luar kuasa kita. Pejamkan kedua matamu, niscaya dirimu akan bisa mendengarkan mesin pemutar film yang terus mendorong kehidupan sinematikmu—bergesekan kencang dengan stabilisator yang bergetar gamang.

Kekuatan terbesar kapitalisme adalah standarisasinya—bukan dari komoditas, tetapi komodifikasinya atas segala sesuatu, termasuk realitas. Globalisasi adalah sebuah stasis, film yang terdiri dari ribuan frame serupa yang diputar dengan cepat. Sebuah stasis di mana segalanya tampak bergerak dengan begitu cepat kecuali kita sendiri, stasis di mana kecepatan adalah entropi, stasis di mana kita menari-nari sebagai bayang-bayang di realitas terkorporasi, stasis di mana apa pun yang kita lakukan seolah tak berarti.

Menurut Paul Virilio dalam Pure War (1983), dunia lama berdiri atas kekuatan, hukum, atau hubungan timbal balik: orang kaya, orang miskin, pedagang, pembeli, dan seterusnya—komunitas dengan ketertarikan atau tujuan serupa serta kelas-kelas sosial. Kini kita telah menjadi komunitas emosional. Emosi kini bisa dipengaruhi secara global, pada dasarnya, saat ini kita tengah berurusan dengan sebuah agama baru. Seperti agama-agama lama, segala yang gaib kini bersemayam dalam jejaring infrastruktur komunikasi yang telah menghubungkan kita semua. Dalam bukunya Virilio mempertanyakan apakah hal ini adalah sebuah komunisme afektif yang tengah bekerja mengendalikan kehidupan kita sekarang? Realitas telah menjadi sebuah MMORPG di mana kita memainkan sekuensi program yang sebenarnya tak ada namun bekerja secara mengerikan lewat algoritma yang tertanam dalam benak kita.

Bersama globalisasi, waktu seolah menjadi salah satu hal yang akan segera menghilang. Menghilangnya waktu adalah sebuah efek langsung dari kecepatan dan bukan sebaliknya. Kota sebelumnya merupakan media untuk memetakan ruang politik yang telah ada. Kini kecepatan dan totalitas menyeluruh telah melenyapkan kota—atau lebih tepatnya menggantikannya, menggantikannya dengan waktu. Kini kita semua adalah penjelajah waktu, kota sebagai sebuah organisme spasial—sebagai sebuah komunitas, sebagai sebuah populasi, telah memberikan jalan bagi vertikalitas menuju mobilitas super cepat dan ringan, efektif dan efisien. Kota-kota masa depan akan dibangun dengan data, dengan informasi, bukan dengan beton dan besi. Tentu saja masih akan ada bangungan-bangunan menjulang tinggi, tetapi yang esensial bukanlah materialnya melainkan data yang ada di sana. Kita pun demikian, akan larut dalam laju informasi, berevolusi menjadi organisme informasi yang terkurung dalam lautan berpendar terang yang akan segera menjadi ekosistem tempat kita hidup sehari-hari.

Memepatnya alam semesta dalam globalisasi yang sering diperbincangkan orang-orang adalah keadaan dimana mobilitas fisik tak lagi diperlukan. Hal ini telah terjadi lewat kecepatan penyebaran media, audio dan visual, telekonferensi dan televisi, media sosial dan siaran langsung yang kini bisa dilakukan semua orang, kita telah berada di tengah situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya di mana faktor geografis bukan lagi batas signifikan untuk dilampaui dalam laju informasi.

Keseluruhan konsep di atas adalah sekelumit gambaran dari apa yang digambarkan Virilio sebagai “anti-city”. Sebuah ramalan di mana keputusan-keputusan trans-politik takkan lagi didasari konsepsi kota sebagai sebuah lokasi atau ibukota negara, bukan lagi sebagi New York, Paris, Moscow, Beijing, atau Dubai, tetapi perpotongan arus waktu, atau kepraktisan kecepatan, metropolis masa depan adalah kota-kota yango berada di ujung waktu.

Kesemuanya tentu terdengar menakjubkan, atau mungkin mengerikan, hal tersebut sangatlah relatif. Lalu bagaimana relevansinya dengan kehidupan kita, di bagian selatan dunia—yang sejauh ini menjadi hanya menjadi area galian, ladang, sekaligus tempat sampah dari peradaban global. Optimisme tentu saja penting, kalau ada hal yang sangat kita butuhkan saat ini maka hal tersebut adalah optimisme. Akan tetapi, adalah gila bila seseorang yang di berada di selatan dan memiliki akses pada informasi bisa merasa optimis pada kemajuan dan pertumbuhan, pada sentralisasi dan risiko besar kolaps sistemik yang niscaya akan mematikan sebagian besar orang.

Kami bukan anarkis karena kami tidak pernah percaya apa pun soal negara dan kekuasaan—negara adalah fiksi, yang nyata adalah kota dan kerusakan. Bukan lagi menyoal kosmopolitanisme global dan merosotnya moral atau menghilangnya jati diri yang ditinggalkan bapakmu, tetapi sampai sejauh mana pengorbanan—khususnya nyawa dan harkat hidup orang-orang yang akan kita tukar untuk pertumbuhan. Kota memang menakjubkan, kota serba bersih dan rapi, kota akan segera menjadi versi gilanya seperti yang diramalkan Virilio; setiap penggusuran dan darah yang tumpah untuk realisasinya akan segera dibalas dengan mimpi buruk nihilistik dan gangguan mental yang niscaya akan menjangkiti anak-anak kemajuan zaman dan pertumbuhan ekonomi.