Keterbatasan dalam Kutukan Keberlebihan, atau Bagaimana Lil Strangelove Belajar Berhenti Mengkhawatirkan Kemusnahan Massal Keenam dan Mulai Mencintai Koleksi Funko Pop Miliknya

 

Sebaik-baiknya hidup adalah yang berguna, sungguh merugi mereka yang telah menghabiskan waktu dalam kesia-siaan; ungkapan semacam itu pasti biasa kita dengar sedari kecil sebagai sebuah nasihat yang baik. Mungkin nasihat tersebut memang ada benarnya, tetapi kita sama-sama tahu bahwa sentimen tersebut seringkali menjadi alat ukur abstrak yang tak proporsional untuk menilai orang per orang atau menjadi pembenaran atas usaha yang pada akhirnya lebih banyak membawa berbagai bentuk kerugian—alih-alih kemanfaatan yang didambakan oleh siapa pun yang pertama kali menciptakan meme tersebut. Untung dan rugi mungkin memang relatif, namun  kehidupan modern yang dengan segala dinamikanya telah membawa konsep utilitarian tersebut menuju level berikutnya—menjadi obsesi pada efisiensi. Dengan asumsi pada kemungkinan terburuk mengenai ketersediaan sumber daya serta teror ekologikal yang belakangan menjadi salah satu wacana terpopuler, mungkin kita perlu kembali merefleksikan sesuatu yang kita sebut sebagai untung dan rugi untuk mengenali situasi macam apa yang sedang terjadi saat ini dengan lebih jelas, entah untuk melakukan sesuatu yang konkrit atau setidaknya tak ikut terseret lebih jauh pada hal-hal mengerikan yang terus terjadi di luar sana.

Ide bahwa segala sesuatu harus berjalan dengan efisien berakar dari situasi yang berkebalikan dengannya; keterlambatan dan waktu yang terbuang, atau sisa bahan produksi yang lambat laun menjadi masalah bila dibiarkan. Inefisiensi adalah konsep yang mengawali efisiensi, setiap bentuk perekonomian termutakhir tumbuh dari usaha mengoptimalkan waktu, energi, bahan baku, dan sumber daya manusia dengan sesedikit mungkin hal yang terbuang percuma. Kita bisa saja menyederhanakan efisiensi dalam konteks kapitalisme sebagai kesempurnaan kualitas, pertumbuhan, serta optimalisasi segala sesuatu. Gagasan tentang efisiensi dan modernitas adalah dua hal yang tak terpisahkan; lewat kaca mata antroposentris, rasanya tidak berlebihan untuk melihatnya sebagai hasrat pada kendali penuh atas alam semesta—bagaimana seluruh proses yang ada di dalamnya bekerja. Lebih jauh lagi, kita bisa merunut wacana kapitalisme modern dan meme fordisme tersebut sebagai warisan langsung dari kekristenan.

Kembali lagi pada nasihat bahwa hidup kita seharusnya bisa bermanfaat, bahwa sebagai hamba kita harus mendewasakan diri lalu memperoleh vitalitas lahir dan batin untuk bisa melakukan tugas-tugas religius dengan kesempurnaan spiritual; mulai dari ritual ibadah, bertetangga, sampai dengan menjalankan bisnis dan bersedekah—kesemuanya harus dengan ikhlas semata demi mendapat pahala dan atau meneruskan berkat yang terus kita peroleh dari tuhan pada lingkungan kita tanpa motif duniawi yang berlebihan. Dalam wujud sekulernya, konsep perfeksionis tersebut hadir sebagai efisiensi yang berujung pada akumulasi kapital; keuntungan, surplus, dan ekses. Hal tersebut diterjemahkan sebagai teknis produksi, desain produk dan mesin produksi, serta segala bentuk aktivitas tekno-komersial yang pada era sekarang semakin condong pada efisiensi total lewat bisnis digital, otomasi, dan kecerdasan umum buatan.

Produksi tak dapat dipisahkan dari motif konsumtif yang mendasarinya, walau dalam konteks termutakhir kadang sulit untuk memilah mana yang muncul terlebih dahulu antara permintaan/kebutuhan dengan ketersediaan komoditas dan atau proses produksinya. Dengan demikian, sepertinya cukup aman untuk menyebut produksi dan konsumsi sebagai sebuah sistem kelola; sebuah proses ekstraksi sumber daya, proses untuk memperoleh komoditas ekonomis lewat eksploitasi material produktif serta energi yang berasal dari alam atau tenaga kerja disertai sisa-sisa yang tak dapat terserap seluruhnya dalam proses tersebut. Dari sini, kita bisa melihat bagaimana urgensi efisiensi berawal dari kemubaziran energi, material, serta waktu yang dihabiskan dalam proses produksi—dengan mengasumsikan bahwa teknologi yang tersedia masih belum mampu menyerap kesemuanya menjadi komoditas yang kemudian harus bisa dimanfaatkan oleh kemanusiaan secara optimal pula.

"...segala macam usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan kemanusiaan dengan mengambil keuntungan dari lingkungan non-manusiawi dikelompokkan sebagai aktivitas industri. Oleh para ekonom yang telah menguasai dan beradaptasi dengan tradisi kemanusiaan, kuasa manusia atas alam saat ini telah menjadi dalil produktivitas industri. Kuasa industrial atas alam tersebut mengimplikasikan kekuasaan manusia atas kehidupan binatang dan kekuatan unsur-unsur alam." (Thorstein Veblen, The Theory of the Leisure Class: An Economic Study of Institutions, 1899)

Menurut Veblen, kemubaziran dalam ekosistem industrial adalah hal yang bisa jadi tak terpisahkan dari konsumsi & eksploitasi dalam ukuran tertentu. Bagi Veblen, konsumsi yang berlebihan berujung pada pengeluaran modal yang berlebihan pula; atau dengan kata lain, pengeluaran modal yang mubazir. Veblen menjelaskan lebih lanjut bahwa istilah "conspicuous waste" (yang di sini kami terjemahkan sebagai kemubaziran) ia gunakan dalam konteks keterkaitan antara utilitas ekonomis dengan konsumsi dan pengeluaran modal produksi. Di sini kita bisa menyimak bagaimana perfeksionisme serupa tak hanya menghantui proses produksi, namun telah menjadi kerangka untuk menilai proses konsumsi dalam hubungannya dengan hasrat dan harkat hidup kemanusiaan serta keberadaan ekses yang merupakan efek langsung dari produksi dan akumulasi kapital.

Georges Bataille dalam The Notion of Expenditure (1933) membangun teori yang sedikit berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Veblen. Dalam tulisan Veblen, proses ekonomis produksi dan konsumsi dihadirkan dalam filsafat moral yang menunjukkan bagaimana utilitas ekonomis telah terjebak dalam sebuah sistem yang penuh dengan kemubaziran. Veblen kemudian mengembangkannya menjadi ide-ide yang lebih spesifik mengenai bisnis, industri, dan akumulasi kapital—bahwa memperhatikan fakta  mengenai keberadaan kemubaziran tersebut adalah hal yang sangat penting dilakukan untuk mengelola masyarakat dan sumber daya demi keberlangsungan kehidupan. Pada akhirnya, Veblen lebih banyak menggunakan trop moralitas dan menanggapi apa yang ia sebut kemubaziran tersebut sebagai hal lain yang perlu dikendalikan dalam ukuran tertentu demi hajat hidup kemanusiaan. Bataille memiliki pendapat yang berbeda lewat pendekatannya yang banyak terpengaruh oleh Nietzsche dan melihat kesemuanya sebagai sebuah energi destruktif dari sebuah siklus penciptaan. Ia juga mencoba untuk menciptakan kerangka sistematis tentang bagaimana ekses merupakan sebuah outlet energi sekaligus beban yang harus dihabiskan lewat berbagai macam cara oleh kemanusiaan. Bagi Bataille, ekses adalah sebuah sarana lain yang digunakan kemanusiaan, tak hanya untuk menggunakan sumber daya tetapi juga menghancurkan segala sesuatu—lebih dari sekedar produksi dan konsumsi, tetapi penghancuran sebagai sebuah gaya hidup. Ekses adalah sebuah keniscayaan hidup yang berlangsung di tengah surplus ledakan energi kosmis bumi dan matahari.

Bataille mengawali teorinya dengan konsep mengenai kerugian. Ia menyebut segala aktivitas yang perlu dilakukan demi keberlangsungan hidup serta struktur sosial dan ekonomi sebagai aktivitas produktif, sementara hal-hal lain yang tampak tak memiliki utilitas ekonomis (dalam pemahaman umum) sebagai "pengeluaran"; beban yang menurutnya harus dihabiskan lewat peperangan, seni, agama, kemewahan, monumen-monumen, dan lain sebagainya. Dari sini kita bisa melihat apa yang Bataille sebut sebagai sebuah kerugian adalah pengeluaran yang tak memiliki signifikansi ekonomis—yang menurutnya merupakan bagian dari konsep keseimbangan ekonomi secara lebih luas.

Lebih lanjut dalam tulisannya, Bataille nampak mencampuradukkan aktivitas ekonomis dan nonekonomis dalam kategori berkebalikan menurut konsep mengenai pengeluaran yang digambarkannya sebelumnya, misalnya tentang bagaimana peperangan juga merupakan proses produksi yang melibatkan penggunaan energi serta terciptanya ekses. Bagi Bataille, kaum kapitalis dan kelas borjuis begitu munafik karena akumulasi kapital terjadi lewat eksploitasi (pengeluaran) kelas di bawah mereka. Ia menggambarkan bagaimana proses reproduksi sosial dan pengamanan atas status quo lewat keterwakilan borjuasi sebagai sebuah tipu daya yang melandasi kehidupan kerja serta penderitaan mereka yang tak cukup berani untuk melawan masyarakat tengik ini dengan penghancuran revolusioner.

Menurut Bataille, masyarakat borjuis selalu mengunggulkan konsep keadilan, menghadirkan diri sebagai sebuah sistem di mana setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang serupa. Akan tetapi, penguasa dan kelas elit yang berlaku seolah mewakili ekspresi masyarakat tersebut tidak turut menanggung derita yang dialami oleh orang-orang yang mereka pekerjakan. Bagi pekerja, setiap aktivitas ekonomi mereka adalah proses produksi demi keberlangsungan hidup, sedangkan bagi para juragan hidup adalah adalah proses produksi untuk terus mengeksploitasi pekerja secara lebih jauh dibanding sebelumnya.

Dalam hal tersebut di atas, Bataille melihat konsep mengenai akumulasi sebagai eskalasi pengeluaran yang berlawanan dengan kepentingan orang banyak oleh segelintir orang yang mengeksploitasi mereka. Melalui proses inilah efek negatif untung dan rugi dapat hadir—dan sialnya terus berlangsung berkat dukungan dari mereka yang tereksploitasi. Sebuah proses di mana paradigma budak dan juragan tumbuh berkembang lalu menyisakan derita yang harus diisap dihabiskan oleh kebanyakan orang.

Kesemuanya mungkin terdengar janggal. Bagaimana bisa hasrat bisa menjadi keinginan pada segala macam represi atas dirinya sendiri? Bagaimana sebuah proses produksi berevolusi menjadi semakin rumit dalam kekangan sosial di mana sebagian besar hasilnya hanya menjadi akumulasi modal yang tak bisa dinikmati semua orang yang terlibat secara proporsional?

Dalam tulisannya, Bataille melihat kekuatan ekonomi secara holistik sebagai bagian dari aliran energi yang melandasi segala hal. Bataille melakukan analisis tentang kekuatan sosial, ekonomi, dan politik sebagai aktivitas yang melibatkan energi dan pengeluaran modal lewat konsep yang ia sebut sebagai keberlebihan (exuberance).

"Dalam sebuah situasi yang bergantung pada pergerakan energi di muka bumi, makhluk hidup pada umumnya memperoleh energi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang mereka butuhkan untuk keberlangsungan hidupnya; kelebihan energi tersebut dapat digunakan untuk mendukung perkembangan sebuah sistem; manakala sistem tersebut tak dapat lagi tumbuh, atau kelebihan energi tersebut tak dapat lagi terserap seluruhnya untuk pertumbuhannya, maka ekses tersebut harus hilang tanpa adanya keuntungan; ekses tersebut harus dihabiskan, mau atau tidak mau, dalam kemuliaan dan kemegahan atau lewat skenario mengerikan."  (Georges Bataille, The Notion of Expenditure, 1933)

Dalam skema Bataille, ekses akan bertransformasi baik dalam proses kreatif maupun destruktif dengan atau tanpa kesadaran kolektif kemanusiaan yang memegang kendali atasnya. Bataille memperluas konteks ekonomi tradisional menuju sebuah proses bagaimana energi dan kekuatan sumber daya manusia niscaya akan disalurkan serta digunakan baik secara produktif maupun tidak, tetapi selalu sebagai sebuah keberlebihan. Dengan perspektif tersebut, kita bisa melihat bagaimana kesenjangan sosial dan segala macam bentuk permasalahan sosial sebagai ekses—bahwa energi tak dapat terakumulasi sebagai energi dan oleh karenanya selalu terbuang di luar apa-apa yang menjadi kehendak kita.

Bataille membahas lebih jauh mengenai sirkulasi energi dalam dinamika sosial kemanusiaan sebagai sebuah proses yang harus mengalir dan tersalurkan dengan baik atau akan maujud dalam proses destruktif. Bilamana saluran-salurannya mampet dan atau terakumulasi menjadi kesenjangan pendapatan atau ketidakmerataan pembangunan niscaya sistem tersebut akan terdorong menuju pengeluaran massif berupa peperangan atau kerusuhan. Manusia sebagai surplus sumber daya dapat saja terbuang bila tak dikelola secara layak, sebuah penghambur-hamburan energi hidup tanpa adanya hasil dan balasan. Bagi Bataille, pengorbanan nyawa manusia melalui peperangan dan segala macam bentuk kekejaman lain inilah yang ia sebut sebagai "accursed share" di mana para korban merupakan surplus yang diambil dari kekayaan berdaya guna untuk kemudian dihancurkan begitu saja. Kambing hitam yang harus disembelih sebagai tumbal bagi ketimpangan akumulasi dari penggunaan energi agar kesemuanya bisa terus berlangsung demi keuntungan segelintir orang.  Mungkin penggambaran Bataille ini terdengar berlebihan, mungkin pula pandangan tersebut cukup relevan dengan realitas sosial yang ada di sekeliling kita saat ini—bagaimana sebagian orang yang terlahir dalam waktu dan kesempatan yang kurang pas menjadi surplus atau sekedar ekses yang tak ada gunanya lagi sehingga mau tidak mau harus digusur, disingkirkan, atau dimatikan.

Dalam tiga seri The Accursed Share, Bataille juga menjelaskan gagasannya mengenai kedaulatan (ekonomi), bagaimana faktor penentu akan kedaulatan tersebut melibatkan mereka yang mampu mengkonsumsi kekayaan serta mereka yang tak cukup berdaulat sehingga harus terus memproduksi kekayaan tanpa turut menikmatinya. Saat manusia berkedaulatan bisa melakukan konsumsi tanpa harus banyak bekerja, mereka yang tak memilikinya harus membatasi konsumsi mereka sesuai kebutuhan dan atau keterbatasan kemampuan mereka saja. Dalam paradigma ekonomi makro, kebutuhan pokok terus diproduksi untuk menjaga keberlangsungan mesin ekonomi, tetapi pada saat bersamaan mereka yang cukup beruntung bisa memanjakan diri—tak hanya sekedar makan nasi sayur dan tempe goreng agar bisa memperoleh tenaga untuk kembali bekerja.

Dalam konsep kedaulatan ini, pandangan Bataille hampir mirip dengan apa yang digambarkan Veblen di mana kaum yang berdaulat mengkonsumsi surplus produksi dalam aktivitas yang tak produktif—sebagai sebuah gaya hidup yang digaris bawahi Bataille sebagai kehidupan yang melampaui utilitas ekonomis. Pada akhirnya segala macam bentuk  keberlebihan dan pengeluaran modal yang menghasilkan aneka kekayaan serta kemewahan tercipta berkat pemisahan kerja yang hirarkis di mana pengeksploitasi menempati posisi di atas mereka yang harus mengais penghidupan dengan kerja keras. Veblen pasti akan sepakat dengan Bataille bahwa kelas santai atau kelas berdaulat ini terdiri dari mereka yang menikmati kemewahan serta kemubaziran untuk menunjukkan status elit mereka, meninggalkan mereka yang tak mampu baik secara penghasilan maupun kemampuan untuk mengakumulasikan komoditas.

Lebih jauh dalam The Accursed Share, Bataille mengembangkan konsep yang kemudian ia sebut sebagai solar economy  di mana ia mengambil contoh praktik-praktik sosial dari berbagai budaya peradaban untuk menggambarkan respon pada gelombang keberlebihan dan kesia-siaan kehidupan dan usaha manusia yang tak terjemahkan dalam nalar dan pengertian untung rugi. Mulai dari potlatch, pengorbanan manusia di Aztek, kespektakuleran kehidupan monastik Tibet, semangat jihad dan dakwah islam, obsesi kekristenan pada arsitektur dan kesenian, hingga refomurlasi protestan serta usaha ikonoklastik mereka untuk mengebiri impuls pada estetika—kesemuanya menggambarkan bagaimana teologi berkembang pesat lewat rasionalisasi religiusitas, mengukuhkan kemenangan ideologis kebaikan yang akhirnya mendorong kemanusiaan menuju kemakmuran serta kengerian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kembali pada konsep mengenai ekses yang sempat kami sebut di atas, di sini Bataille melihat kekayaan yang terakumulasi dan kemudian dihambur-hamburkan tersebut berlangsung tanpa motif tersembunyi selain keberlebihan itu sendiri serta proses penghancurannya yang spektakuler—sebuah kedaulatan penuh, sebuah finalitas eksistensial.

Dalam masyarakat konsumeris kita, segala macam kemubaziran tadi bukan lagi merupakan persembahan untuk menyenangkan berhala-berhala, tetapi sebuah siklus kontinu di mana produk usang yang kita konsumsi adalah revolusi permanen atas akumulasi budaya peradaban yang semakin hari kian tak relevan. Saat ini mungkin perekonomian tetap tumbuh dan ekses terus diserap sebagian, namun kita tak pernah lagi mengakumulasikan sesuatu selain tanda-tanda moneternya. Masih sama seperti dahulu, di mana segala hal akan dilarung kembali ke perut bumi—tak lagi dalam festival-festival epik, tetapi kini sebagai ribuan ton sampah. Tak lagi terikat pada siklus alamiah dan ritual klenik, kini kita hidup dalam alam logis di mana ekses sekuler dan kemewahan terus digiling dalam mesin tekno-komersial saat konsumen menjadi produsen kemubaziran sementara margin keuntungan terus terindeks bersama data yang terekam dari setiap aspek kehidupan. Segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari logika budaya hura-hura kita kini dibekukan, dicairkan, dibakar, direndam, digiling, diurai, diekstraksi lewat mesin-mesin produksi dan daur ulang dalam serangkaian sistem energi komersial yang terus bekerja nonstop.

“Bukankah seharusnya aktivitas produktif dapat dilihat secara menyeluruh dalam keterkaitannya dengan modifikasi yang diterimanya dari lingkungannya serta perubahan yang ia bawa menuju lingkungan tersebut? Dengan kata lain, bukankah perlu sebuah studi mengenai sistem produksi dan konsumsi dalam kerangka yang jauh lebih luas?” (Georges Bataille, The Accursed Share: An Essay on General Economy, 1946-1949)

Saat ini, ide serupa dengan apa yang digambarkan Veblen sebagai kemubaziran mungkin akan semakin populer mengingat besarnya godaan untuk menggunakan narasi kekirian sebagai filsafat moral saat ketidakberdayaan telah menjangkiti sebagian besar individu—menjadi bahan bakar dalam carok kultural dan tawuran identitas yang kian marak terjadi saat tak banyak alternatif lain untuk melepaskan diri atau sekedar bisa rileks dan tetap waras menghadapi himpitan sistem eksploitatif dan keterasingan teknokapitalis. Lantas bagaimanakah relevansi Bataille dalam konteks ini, haruskah kita kembali pada ritual pengorbanan manusia dan memenggal kepala seseorang di atas gedung DPR?

Banyak sekali kritik mengenai tulisan Bataille yang menyebutnya lebih cocok dilihat sebagai kekayaan literatur alih-alih kerangka berpikir yang relevan dalam pengembangan teori dan praktik ekonomi, ada pula tuduhan yang dilayangkan padanya atas konsepnya mengenai ekses sebagai pembenaran atas stalinisme meski Bataille sendiri tahu persis tentang kekejaman rezim Uni Soviet. Setidaknya, lewat tulisannya, Bataille telah memperkaya tendensi baru dalam teori ekonomi yang lebih luas dengan turut mempertimbangkan kompleksnya dimensi sosial dan politik yang menyertainya.

Menyimak ungkapan Bataille yang kami kutip di atas, yang sayangnya masih belum terjawab dengan baik baik olehnya sendiri, serta mungkin para pakar dan praktisi yang masih hidup saat ini—mengingatkan kami pada banyaknya ramalan dan spekulasi bahwa desentralisasi akan hadir sebagai reaksi logis atas kapitalisme; mulai dari meme tentang post-politics, exit, hingga konsep patchworks; tetapi kapan dan bagaimana? Sebisa mungkin tanpa tergoda untuk menyerukan meme berapi-api tentang perlawanan atau mimpi basah akan kehancuran revolusioner, tentu saja pola pikir dan praktik kelokalan yang sehat hanya akan tumbuh bila seseorang atau sekelompok orang memulainya sendiri. Syukurnya, saat ini kita bisa dengan cukup mudah menemukan beberapa yang tumbuh sporadis dan tampak indah menyenangkan, eksklusivitas yang elegan tanpa meninggalkan berbagai macam kemungkinan serta keterbukaan—masalah dampak dan keberlangsungannya adalah urusan lain yang bisa kita serahkan saja pada wacana saudara-saudara kita di kampus-kampus juga berbagai kajian serta jurnal ilmiah yang bisa kita akses dengan mudah sekarang.

Pada saat bersamaan, kita bisa mengamati pula bagaimana teknologi serta sentralisasi kian menggurita saat ini, bagaimana obsesi pada efisiensi dan pertumbuhan yang sayangnya masih belum bisa membebaskan kemanusiaan dari derita namun turut membawa serta keruwetan dan eksploitasi eksesif model baru. Mungkin pernyataan berikut terdengar ironis karena saat ini mengekspresikan rasa takut dan kecemasan lewat media sosial adalah salah satu piranti koping yang paling mudah diakses seseorang; kala media modern terus menyiarkan kabar-kabar mengerikan, ada baiknya sesekali kita berusaha berpikir jernih melihat ke dalam keruwetan yang mungkin saja suatu saat nanti akan menyeret kita terlalu jauh menuju realitas suram berisi pembusukan, amplifikasi entropi, serta fantasi onanistik mengenai distopia dan kehancuran.

Walau tentu saja klise, usaha kecil dan lokal, yang berawal dari motif apa pun tanpa keblinger melihatnya sebagai praksis ideologi tertentu, adalah pilihan paling menarik, setidaknya untuk meminimalisir dampak dari proses destruktif teknokapitalisme. Melihat kembali akumulasi ribuan tahun budaya peradaban, baik material maupun kultural, menerjemahkan bermacam ekses yang bisa kita akses menjadi jawaban atas berbagai macam keterbatasan yang ada saat ini. Terakhir, setidaknya pada level personal, seseorang bisa saja melihat kompleksitas yang menyertai kesehariannya dengan lebih jernih dan tenang; tetap memberi ruang pada diri sendiri serta lingkungannya pada apa yang disebut Bataille sebagai kedaulatan ekonomi, tentu sesuai konteks dan urgensi kekinian, karena pada akhirnya apa lagi yang akan kita cari selain sedih dan gembira, akumulasi pengalaman yang berharga dan mengesankan, terutama bila sebentar lagi kesemuanya mungkin akan semakin semakin suram dan mengerikan.

“Fasisme membenci liyan, pekerja migran, gelandangan, segala macam orang tanpa asal-usul dan identitas yang jelas, segala yang dapat menggugah kegembiraan dan ketidakpastian, perempuan, seniman, orang-orang gila, libido liar, ketidakmurnian, dan pengabaian” (Nick Land, A Thirst for Annihilation, 1992)

Sebagai penutup, rasanya tak lengkap bila tak menyertakan sebuah peringatan mengenai musuh kita bersama, kenapa tidak, toh saat ini budaya kita dibangun atas kebencian pada musuh yang sama alih-alih kecintaan pada hal serupa atau saling pengertian atas segala macam perbedaan yang ada. Adalah fasisme, dalam berbagai macam bentuknya, tak terbatas pada Hitler, Stalin, Soeharto, atau FPI. Sebuah narasi tentang fasisme yang sepertinya paling pas bila dihadirkan langsung dari individu yang saat ini umum dikenal sebagai bagian darinya; seorang penghamba teknokapital yang ia pertuhankan sebagai kekuatan asing dari masa depan yang secara gaib telah menggerakkan segala macam kengerian, eksploitasi, pembunuhan, kekacauan sejak zaman primitif sampai dengan apa yang ia sebut sebagai yaumil meltdown kelak—bagaimana kemanusiaan pada akhirnya hanya akan terjebak dalam ilusi rigid perfeksionisme, terjerat dalam libido yang hanya mendambakan satu hal: kemusnahannya sendiri lewat pembusukan dan kehancuran total.

 

Pertama kali ditayangkan di Remorse 02