Berjalan Lebih Jauh Bersama Debord, Lebih Dekat kepada Nicky Astria

 

Akumulasi kapital telah membawa kita menuju realitas di mana para subjeknya tak lebih dari sebuah citra, membaur menjadi satu dalam kenyataan di mana segala hal adalah salinan dari salinan lainnya. Sebuah representasionalisme negatif di mana bayang-bayang menjadi satu dengan dinding gua dan kita terus mengikutinya, terus menggali dan harus bersusah payah merangkak menuju gelap tanpa ujung. Mungkin seperti itulah gambaran sebuah masyarakat tontonan yang dipikirkan Debord. Akan tetapi, saat ini kita menghidupi realitas yang jauh lebih spektakuler; kita menghabiskan berjam-jam menatap layar lalu kembali pada rutin dan membiarkan layar-layar itu, apa saja yang ada di sana, apa yang kita pikir dan rasakan saat menyaksikannya, terus mengikuti kita sepanjang waktu, hingga lambat laun menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita.

 “But a critique that grasps the spectacle's essential character reveals it to be a visible negation of life — a negation that has taken on a visible form. The spectacle presents itself as a vast inaccessible reality that can never be questioned. Its sole message is: “What appears is good; what is good appears.”

Debord hidup di era koran dan televisi, sebuah era di mana media cetak dan elektronik masih bersifat monolitik. Menurut Debord, tontonan menghadirkan diri sebagai kenyataan absolut yang tak dapat dipertanyakan lagi, apalagi diubah. Masyarakat tontonan ditandai dengan kepatuhan pasif yang dipaksakan secara efektif oleh presentasi satu arah yang tak memberikan ruang pada respon apa pun.

Saat ini orang-orang hidup bersama laju data dan informasi. Berbagai macam informasi terus membanjiri kita dan hanya menyisakan sedikit kesempatan untuk merefleksikannya. Berbeda dengan Debord, saat ini kita menempati realitas yang berkebalikan dengan apa yang dialaminya. Bayang-bayang itu kini hidup dan kitalah yang mati suri dalam kepalsuan. Citra menjadi karikatur, menjadi meme, titik ekstrim di mana gambar yang tersimulasikan telah menjadi kekosongan. Diri kita kini menjadi data, gentayangan menghantui kehidupan yang dulu pernah kita tempati sebagai penonton. Teknologi, ilmu santet, sarana yang memfasilitasi proses imersif tersebut telah menjadi satu dengan diri kita, seperti apa yang diramalkan Debord.

 Kita hidup di tengah pencitraan dari citra-citra lainnya, kita tak lagi pasif, kita adalah informasi itu sendiri, dan lebih jauh lagi, makhluk informasi yang secara aktif mengejar ekstase lewat pencitraan informasi—tidak lagi sekedar sebagai konsumen, tetapi produsen. Mereka yang cukup beruntung, dengan akses pada informasi dan kemampuan mengolah informasi bisa naik menjadi kelas elit pekerja, meninggalkan para prekariat yang makin tersiksa dengan kedatangan teknologi—yang alih-alih memutus belenggu mereka, kini menghadirkan perbudakan baru, target baru yang makin tak masuk akal, dehumanisasi model terbaru, dan tentunya, meninggalkan siapa saja yang tak penting karena sudah bisa digantikan dengan mesin atau terlalu tolol untuk bisa patuh dan memenuhi apa pun yang menjadi permintaan konsumen dengan gaya hidup terbaru.

 “The society which rests on modern industry is not accidentally or superficially spectacular; it is fundamentally ‘spectaclist’. In the spectacle, which is the image of the ruling economy, the goal is nothing, development everything. The spectacle aims at nothing other than itself.”

Debord cukup akurat meramalkan kehidupan di mana pencitraan citra menjadi satu-satunya realitas—maka saat itu tak akan ada lagi yang akan tersisa dari para subjeknya. Saat ini orang-orang tak lebih dari sekumpulan data. Kita hanyalah sekerat daging di tengah kerumunan karnivora, komoditas lain bagi masyarakat tontonan. Di realitas 4.0, yang diperjualbelikan bukan hanya tenaga, waktu, dan pikiran; tetapi seluruh aspek kehidupan kita, mulai dari sampo mana yang kita gunakan sampai dengan lelaki dan perempuan mana saja yang pernah tidur bersama kita.

Bukan sekedar konsumen, saat ini kita adalah apa yang kita konsumsi. Segala hubungan dengan setiap aspek hidup kini menjadi data yang siap diolah dan dieksploitasi oleh ratusan mesin ekonomi, sebuah bagian kecil dari program pemetaan dan pengawasan dalam masyarakat tontonan. Lebih hebatnya lagi, mesin-mesin itu akan menjual kembali apa yang mereka produksi sebagai barang konsumsi untuk kita, menggunakannya untuk memasarkannya pada kita secara efektif dan efisien, kembali mengonsumsi kita yang begitu tolol dan tak memiliki banyak pilihan lainnya dalam sebuah siklus abadi, menakjubkan sekali.

 “When the real world is transformed into mere images, mere images become real beings - dynamic figments that provide the direct motivations for a hypnotic behavior. Since the spectacle's job is to use various specialized mediations in order to show us a world that can no longer be directly grasped, it naturally elevates the sense of sight to the special preeminence once occupied by touch: the most abstract and easily deceived sense is the most readily adaptable to the generalized abstraction of present-day society. But the spectacle is not merely a matter of images, nor even of images plus sounds. It is whatever escapes people's activity, whatever eludes their practical reconsideration and correction. It is the opposite of dialogue. Wherever representation becomes independent, the spectacle regenerates itself.”

Manusia termutakhir sebagai produk dari mesin masyarakat tontonan, siluman setengah citra-setengah data, kita adalah apa yang kita citrakan dan atau sebaliknya. Kita adalah sebuah paket data yang sudah terkopi menjadi ratusan salinan dan dibiarkan berkembang biak secara liar di ekosistem data global. Akun tinder dengan nama-nama generik menggunakan foto dari linimasa seorang perempuan cantik di instagram. Dirimu sebagai citra, gambar yang tak lagi ada dalam kuasamu dan bahkan memiliki kehidupan yang bisa jadi lebih menarik dari keseharianmu. Segala macam tipu daya yang dikembangkan ribuan tahun peradaban kini bisa mengeksploitasi seluruh aspek kehidupanmu, tak ada lagi keamanan atau privasi. Bila Debord menyebut tontonan sebagai mimpi buruk yang membelenggu masyarakat modern sekaligus pengasuh yang menjaganya agar terus tertidur, kini siapa pun yang memperoleh cukup informasi dapat dipastikan takkan bisa tidur dengan tenang, panik dalam kecemasan dari Senin sampai Minggu dan seterusnya.

Debord mungkin beruntung tak harus menyaksikan apa yang ia sebut sebagai “mediasi realitas oleh entitas birokratik” telah berevolusi menjadi model yang lebih jauh efektif dan efisien; kita tak lagi butuh administrator menyeramkan yang menyalurkan dan merepresentasikan kekuatan teknokapital dalam pemahaman yang diterima umum, semua telah terinternalisasi secara halus melebihi tipu daya yang sering orang tuduhkan pada para pemuka agama dan pengikut bigot mereka. Keterasingan dalam masyarakat modern, yang merupakan efek langsung dari pembagian kerja, adalah alat sekaligus ekspresi dari kesenjangan dan perpecahan dalam masyarakat itu sendiri. Debord tak sempat menyaksikan kuasa kapital kini tersebar secara luas di tengah masyarakat era informatika, membentuk hasrat dan ekspektasi kita dengan cara-cara baru yang begitu spektakuler, membentuk perspektif kita dalam menghadapi realitas dan menelan setiap konsekuensi baik maupun buruk dari kengerian yang terjadi di hadapan mata kita. Total sekaligus tak terlihat, berlangsung dua arah, membentuk diri kita dan mendorong kita untuk menyempurnakan bentuknya.

Jarak antara pekerja dengan barang dan jasa yang mereka produksi mungkin memang menghilangkan ruang komunikasi antar anggota kelas pekerja serta pemahaman komprehensif pada apa yang mereka lakukan. Akan tetapi, saat ini telah terjadi penyatuan antara pekerja dan produk mereka, bahkan tanpa perlu campur tangan para juragan, sayang sekali, tak ada kebebasan dari hal tersebut selain untuk terus melakukan hal serupa. YouTubers, pekerja kreatif, eksekutif muda dengan mindfulness mereka, usahawan muda dengan tips-tips dari akun Strategi Bisnis, orang-orang pada umumnya yang mengonsumsi barang dan jasa sebagai wujud kontribusi mereka pada teknokapital yang maha kuasa—seperti ungkapan yang sering kita dengar: hiburan, kenyamanan, waktu bersantai, cita-cita, renjana, kesemuanya adalah hal yang telah dicuri dan kemudian dijual kembali pada kita. Lebih jauh lagi, untuk memenuhi hasrat kita pada kengerian dan teror, seperti yang digambarkan dalam salah satu serial sinetron di kanal televisi kabel: kesemuanya bahkan takkan berhenti sesudah kita mati, data mungkin tidak akan pernah hilang, tetapi hanya akan terdegradasi, teknokapital akan mengabadikan seluruh aspek kehidupan kita sebagai satu titik kecil dalam kapitalisme global yang spektakuler.

Para pemikir lawas dan orang-orang gila di internet menggambarkan kengerian yang sudah dan akan terjadi dengan gado-gado kata-kata yang sulit dipahami orang waras, singularitas, di mana suatu hal dan hal yang lainnya tak bisa lagi dibedakan, sebuah abstraksi seperti yang diramalkan Debord, masyarakat tontonan adalah proses reduktif yang memungkinkan sebuah ide atau abstraksi menggantikan realitas aktual. Di masa ia hidup televisi mungkin menjadi sarana utama untuk propaganda politik, tetapi kini internet hadir di setiap kesempatan dari mulai bangun pagi hingga berubah menjadi gelisah yang terus menghantui malam-malam tergelap kita.

Segalanya akan menjadi tidak jelas, abstrak, kengerian, dari lahir sampai mati kita akan hidup dalam mesin yang begitu besar namun tak kasat mata—mesin jahat super canggih yang mampu beradaptasi dengan segala medan, setiap usaha dan perlawanan kita padanya hanya akan mengajarkannya cara-cara baru untuk menyedot darah, air mani, dan mata kita. Beli kopi di waralaba jahat untuk membantu orang miskin, bunuh untuk menghidupkan yang lain.

Tentu saja beberapa paragraf di atas hanyalah ungkapan yang dilebih-lebihkan. Hanya saja, wujud paripurna dari sistem kapitalis telah dirintis dengan diluncurkannya algoritma yang mendukung imanensinya, baik secara daring maupun di alam darah dan daging. Mungkin masih ada sedikit waktu dan kesempatan untuk membatasi kerusakan yang akan ditimbulkannya. Kita sudah naik ke atas panggung sandiwara dan menjadi pemerannya, kita semuanya palsu dan  tanda-tanda kepalsuannya begitu nyata, namun tubuh kita—kesehatan lahir dan batin kitalah yang membawa tanda-tanda itu. Tubuh kita dan miliaran yang lain yang masih merasakan lelah dan sakit. Debord telah mengajak kita berjalan, sekarang ia telah beristirahat agar kita juga bisa memiliki waktu untuk beristirahat, apakah kita akan meneruskan perjalanan atau tidak kini menjadi pertanyaan yang harus kita jawab sendiri.

 

Pertama kali ditayangkan di Remorse 00