Haruskah kita Kembali Mencoba?
What I relate is the history of the next two centuries. I describe what is coming, what can no longer come differently: the advent of nihilism. This history can be related even now; for necessity itself is at work here. This future speaks even now in a hundred signs, this destiny announces itself everywhere; for this music of the future all ears are cocked even now. For some time now, our whole European culture has been moving as toward a catastrophe, with a tortured tension that is growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a river that wants to reach the end, that no longer reflects, that is afraid to reflect. (Will to Power)
Bila kondisi kemanusiaan adalah penyakit, maka emansipasi bergantung kepada obat yang manjur, bukan pada pertologan atau ampunan. Nietzsche bukanlah seorang instruktur yoga, terapis mental, atau motivator. Ia adalah dokter yang memeriksa penyakit peradaban dan nihilisme adalah hasil diagnosanya. Obat yang ditawarkan Nietzsche adalah nihilisme pasif—membiarkan para nihilis yang lemah mati dengan sendirinya dalam pesta pora liar mereka bersama berakhirnya peradaban kapitalis; atau nihilisme aktif di mana para nihilis yang kuat mendorong segala macam penyakit kemanusiaan ke titik maksimalnya, menyisakan sesuatu yang lebih kuat dengan vitalitas super, atau dengan kata lain, sebuah peradaban baru di atas bangkai peradaban kita saat ini. Sebuah dunia baru milik seniman, penyair, penulis; sebuah peradaban cemerlang penuh kreativitas yang lahir dari derita.
Sentimen di atas tentu saja terkesan fasis dan sejarah kita telah mencatat begitu banyak tuduhan yang menyebut Nietzsche sebagai seorang reaksioner, mungkin hal tersebut kurang begitu tepat karena besar kemungkinan apa yang dipikirkan Nietzsche tidaklah sesederhana itu. Nietzsche berpikir jauh melampaui tradisi kemanusiaan dan agama, ia adalah sebuah kasus spesial di mana seseorang mendorong sebuah pemikiran yang berkebalikan dengan tradisi dan pemahaman saat itu menuju titik terjauh, mengeliminasi setiap makna yang dibangun dari konstruksi sosial, membedah kesemuanya dan tidak hanya menunjukkan apa yang terpendam di dalamnya namun sebuah diorama aktual yang masih tertutup lapisan-lapisan motif dan ekspektasi manusia. Zarathustra adalah peramal yang menunjukkan kengerian yang sedang dan akan terus melaju mendatangi kita dari kekosongan.
Nietzsche adalah salah seorang post-humanist pertama dan penggambarannya tentang manusia super bukanlah apa yang ia imani sepenuhnya namun karikatur dari masa depan yang ia ramalkan. Banyak pendapat yang memahami konsep ubermensch secara harfiah bukannya sebagai dongeng dan perumpamaan tentang sesuatu yang begitu sulit digambarkan dengan kata-kata, sesuatu yang melebihi bahasa dan figurasi yang kita kenali saat ini—nihilisme total tentunya ditandai dengan berakhirnya segala macam penanda mulai dari bahasa serta pengetahuan kita saat ini, sebuah pandangan baru pada hidup dan bukannya akhir dari segalanya.
Nietzsche adalah seorang antinomian, terus melawan dirinya sendiri, menciptakan kontradiksi-kontradiksi di setiap aspek dari pemikirannya. Siapa pun bisa merancang pemikiran-pemikiran mereka tentang segala sesuatu dan berhenti begitu saja tanpa perlu terlalu banyak melewati siklus evaluasi dan penafsiran ulang, Nietzsche tak sempat menyelesaikan proyek-proyeknya dan kita belum memperoleh versi final dari visi kejeniusannya. Saat ini kita hanya memiliki potongan-potongan pemikirannya, tersebar berserakan dalam kekacauan.
Pemikiran Nietzsche masih begitu penting di masa kita hidup sekarang, di masa kekacauan dan perubahan yang terjadi secara simultan sekaligus tak beraturan. Nietzsche kehilangan akal sehatnya, ia telah mengalami apa yang akan segera terjadi pada siapa pun yang cukup sial/beruntung untuk terus hidup selama beberapa tahun ke depan. Mungkin memang berlebihan menyebutnya sebagai peramal atau dukun, tetapi Nietzsche memiliki pandangan retroaktif seorang pengamat yang benar-benar telah memutus hubungan dengan peradaban, sebuah perspektif dari luar arena sirkus gila ini. Seperti Deleuze dan Guattari, ia memilih jalan berseberangan dari pemikir serta akademisi di masanya, menempuh perjalanan berat menuju titik terjauhnya, dan ia telah membayarnya dengan kesehatan serta kehidupannya.
Kita mungkin akan mendapatkan jauh lebih banyak manfaat bila membaca Nietzsche menggunakan perspektif yang sedekat mungkin dengan posisinya daripada mereduksinya sebagai seorang fasis atau nihilis dan sebutan politis lainnya. Mungkin kita bisa menemukan apa yang dia teliti, ancaman mengerikan apa yang akan timbul dari nihilisme. Untuk menempuh perjalan ini Nietzsche menawarkan dua jalan, eliminatif dan emansipatif. Mengeliminasi ekslusifisme kemanusiaan yang diwariskan tradisi liberal dan atau pengenalan secara emansipatif pada proses pelampauan diri untuk menuju masa depan pasca peradaban kemanusiaan.
Seperti yang telah digambarkan Nietzsche, nihilisme akan menjadi piranti bagi penguasa untuk lebih jauh memperbudak kemanusian dalam ketololan dan ketidakberdayaan, terikat dalam kepatuhan pasif yang dibangun dari pemahaman yang telah ditetapkan oleh siapa pun yang memegang kekuasaan. Sebuah penjara batin yang meliputi aspek ekonomi maupun spiritual untuk memperoleh sebanyak mungkin keuntungan dari hasrat para penghuninya. Kita telah menyaksikan hal ini terjadi dengan begitu jelas di depan mata kita, sebuah peradaban konsumeris di bawah kapitalisme global yang sedikit sekali memperhatikan demokrasi maupun kesejahteraan, sebuah kegilaan di mana kiri atau kanan tak lagi relevan, sebuah sistem di mana agama dan kemanusiaan tak lebih dari alat lain untuk mengeruk keuntungan.
Di abad 21 ini, penting untuk mendefinisikan apa yang kita sebut sebagai nihilisme (total). Pemutusan total antara politik dan ekonomi, privatisasi setiap aspek kehidupan, tak adanya lagi privasi di bawah negara ala Neo-China. Nihilisme total tak bisa dipisahkan dari paripurnanya sistem kapitalis, pengamanan atas kepentingan teknokapital yang tentunya memerlukan kontrol secara total atas kemanusiaan.
Karakter masyarakat kita saat ini begitu dekat dengan apa yang digambarkan oleh mendiang Paul Virilio, percepatan kultural dalam setiap aspek kehidupan, kompresi dan percepatan atas konsep waktu. Banyak pihak menyebut keuntungan dari jaringan kerja adalah aksesibilitas produktif, kerja yang lebih fleksibel sekaligus interaktif, jangkauan kerja yang lebih luas, serta ekosistem daring yang inklusif —memberi kesempatan luas pada refleksi dan pengembangan ide-ide baru. Akan tetapi, dalam pandangan Virilio hal tersebut tak terjadi sesuai ekspektasi, alih-alih berujung kepada lusisan masalah baru yang begitu mengerikan.
Because it was from that time onwards that real time superseded real space! Today, almost all-current technologies put the speed of light to work. And, as you know, here we are not only talking about information at a distance but also operation at a distance, or, the possibility to act instantaneously, from afar. For example, the RMA begins with the application of the speed of light. This means that history is now rushing headlong into the wall of time. As I have said many times before, the speed of light does not merely transform the world. It becomes the world. Globalisation is the speed of light. And it is nothing else! Globalisation cannot take shape without the speed of light. In this way, history now inscribes itself in real time, in the ‘live’, in the realm of interactivity. Consequently, history no longer resides in the extension of territory. Look at the US, look at Russia. Both of these countries are immense geographical territories. But, nowadays, immense territories amount to nothing! Today, everything is about speed and real time. We are no longer concerned with real space. Hence not only the crisis of geopolitics and geostrategy but also the shift towards the emergence and dominance of chronostrategy. As I have been arguing for a long time now, there is a real need not simply for a political economy of wealth but also for a political economy of speed. (Paul Virilio)
Virilio beranggapan bahwa sejarah telah menunjukkan bagaimana kecepatan selalu menjadi sumber kekuatan besar, mulai dari: kuda, angkatan laut, kereta, penerbangan, dan yang kita miliki saat ini, yang tercepat dari yang lain: teknologi informasi. Percepatan dalam perspektif tersebut adalah sisi lain dari kekayaan dan akumulasi kapital, atau lebih tepatnya lagi, kapitalisasi. Generasi hari ini telah terbiasa menerima informasi secara massif dan cepat, mereka gemar melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu bersamaan, mereka lebih menyenangi format grafis dibanding tulisan, kini mereka bekerja dengan optimal bila tergabung dalam sebuah jaringan. Generasi saat ini konon begitu menyenangi gratifikasi instan dalam frekuensi sesering mungkin, mereka lebih menyenangi “game” dari pada pekerjaan yang “serius”. Dengan teknologi informasi, sistem kapitalis telah berhasil mengkapitalisasi kelas pekerja secara begitu efisien; memaksa mereka untuk beradaptasi pada kecepatan, membanjiri mereka dengan informasi dan barang konsumsi secara cepat pula, sebuah kombinasi absurd yang lucunya begitu cocok dengan semboyan abad ini “work hard, play harder”
Gamifikasi ekosistem profesional tentunya akan membawa keuntungan besar pada bisnis, yang ironisnya hanya memberi sedikit sekali kesejahteraan pada pekerja, seperti ungkapan yang banyak muncul di media yang menyebut generasi millenials sebagai generasi yang paling miskin. Nietzsche sempat menggunakan kondisi serupa untuk mengejek kelas menengah dan akademisi di masa ia hidup yang menurut pandangannya tak lagi serius pada pekerjaan dan kehidupan mereka. Masyarakat pasca revolusi industri begitu serius memandang kehidupan, perang dan kebencian, segalanya kacau balau, bergerak dengan begitu cepat. Serius, tetapi tidak juga, saat ini segala hal diperhitungkan dengan begitu rumit mulai dari rencana mengisi liburan hingga mempersiapkan pesta pernikaan meski sebenarnya tak ada tradisi atau aturan yang mengekang atas hal-hal tersebut.
Perlawanan besar, tak hanya kekuatan fisik, namun kekuatan kreatifitas dan artistik sangatlah dibutuhkan untuk menghadapi masa-masa yang akan datang. Kapitalisme yang semakin canggih, bencana iklim dan konsekuensinya, mungkin efeknya akan begitu buruk dan salah satu harapan yang tersisa adalah mencari mekanisme koping untuk bisa menelan semuanya; menerima kondisi terburuk dan tak menyerah begitu saja saat harus menghadapinya. Era saat ini dikuasai oleh para nihilis pasif yang mengangkakangi segala macam aspek kehidupan, sebentar lagi mereka akan menyeret kita, entah sadar atau tidak, menuju kapitalisme total yang jauh lebih mengerikan dibanding Cina di bawah Xi Jinping. Seni dan filsafat, musik dan kasusastran, yang grafis maupun interaktif; meski kapitalisme lazim menjual lagi konsep perlawanan pada teknokapital secara wah dengan gemerlap CGI dan kemasan spektakuler lainnya untuk memastikan agar kita bisa tetap menikmati siksa dari Senin sampai Minggu untuk selamanya, namun hal tersebut bukan berarti ruang untuk sesuatu yang organik dan autentik telah tertutup sepenuhnya.
Tulisan ini mungkin mengada-ada, berlebihan, dan tak akan banyak membawa dampak pada segala hal yang terjadi di luar sana. Ini bukan pula sesuatu yang sama sekali baru, tetapi mengulang dan merangkum untuk beradaptasi dengan kecepatan. Akan tetapi, saat ini kita lebih membutuhkan sesuatu yang figuratif dibanding literal, yang personal bukannya bergerombol di bawah pahlawan yang hanya akan menjadi juragan baru. Di masa-masa di mana segalanya serba berlebihan, puisi akan menjadi jembatan yang indah antara singularitas monolitik yang menandai kehidupan saat ini dengan komunikasi interpersonal menuju tindakan yang langsung berdampak meski sekecil apa pun, sesuatu yang telah diimpi-impikan sejak entah kapan lamanya, setidaknya menurut kami sendiri, menyimpulkan apa yang telah diungkapkan Nietzsche bahwa seni pada dasarnya adalah afirmasi, berkat, dan deifikasi yang akan memberikan arti atas eksistensi kemanusiaan.
Lebih Jauh
2. Ctheory Interview With Paul Virilio: The Kosovo War Took Place In Orbital Space