Kehebohan Lain yang Harus Kamu Ketahui dan Komentari Sekarang

 

Bahwa Adam-Hawa diturunkan ke bumi dalam keadaan telanjang, bahwa kemanusiaan hadir di semesta kosong tanpa teknologi, kemurnian alamiah sebelum akhirnya segalanya semakin suram sekaligus menakjubkan sengan kehadiran penemuan-penemuan yang mewarnai peradaban, kesemuanya adalah mitos. Saat masih di Taman Firdaus pun, Adam dan Hawa digambarkan menggunakan dedaunan untuk menutupi ketelanjangan mereka. Dalam narasi evolusi, titik awal kemanusiaan mungkin ditandai dengan pemanfaatan teknologi; jangankan manusia, gorila pun konon menggunakan peralatan sederhana, mengorek tanah dengan ranting misalnya. Dari yang paling sederhana, kemanusiaan tak pernah terpisah dari teknologi; bohlam lampu, korek api, lukisan di dinding goa, kesemuanya teknologi, ekstensi dari kemanusiaan, mengubah pola pikir dan sikap mereka, mengubah gaya hidup dan lingkungan yang mereka huni.

Kalau kita tak pernah memiliki gambaran tentang kemurnian alamiah yang disebut di awal, setidaknya gambaran yang kita miliki selalu stabil sejak dahulu kala, bahwa sebenarnya teknologi adalah hal alamiah dari kemanusiaan. Lingkungan yang kita tempati saat ini juga dipenuhi teknologi, salah satunya adalah teknologi yang disebut McLuhan sebagai media: buku, koran, radio, siaran televisi, musik, ritual keagamaan, serta bahasa. Kita masih membutuhkan makan, sama seperti nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu, hanya saja, saat ini persepsi kita semakin kacau beriringan dengan semakin banyaknya teknologi di sekeliling kita—bahasa, tamsil, dan konteks—narasi yang semakin kompleks, yang sebagian besar datang dari orang lain dan tersiar kepada kita, yang biasanya disertai dengan tujuan dan maksud tertentu untuk mempengaruhi persepsi kita. Kita adalah binatang yang sangat mencintai narasi, kita lebih sering telanjang tanpa pakaian dibanding hidup tanpa narasi sama sekali.

Sama halnya dengan pakaian, kita juga lebih nyaman hidup dengan narasi tertentu dibandingkan hidup tanpanya (setidaknya saat keluar rumah). Kita begitu sulit memahami realitas secara gamblang dan apa adanya sehingga sering kali mengandalkan asumsi dan penyederhanaan. Narasi adalah sesuatu yang dahsyat, semua orang membutuhkannya, mereka yang mengendalikannya telah berhasil mengendalikan pikiran manusia, dengan ukuran dan tingkatan tertentu. Narasi juga begitu berbahaya; setiap pergerakan destruktif menggunakannya sebagai bahan bakar utama.

Untungnya, narasi mustahil dipertahankan secara individual. Terdapat prasyarat besar, dukungan teknokapital, setiap narasi besar memerlukan saluran distribusi. Apakah dirimu memiliki konglomerasi media atau ribuan follower di akun media sosial? Berikutnya, lingkungan hidup kita terlanjur dipenuhi informasi yang belum tentu pas dengan narasi yang akan dibangun. Tersiar kabar bahwa setiap kucing berwarna hitam, satu saja kucing yang kita temui dan berwarna putih, narasi tersebut gugur. Untung saja realitas kita tak selalu merespon narasi yang tersebar, atau lebih buruknya, bersekongkol dengannya.

Namun, bagaimana bila hal tersebut di atas terjadi? Bagaimana bila setiap surat kabar dan portal berita, jalanan yang kita lewati tiap pagi, para petugas di kendaraan umum yang kita tumpangi adalah bagian tak terpisahkan dari sistem distribusi narasi tersebut. Dalam skenario ini, setiap kucing yang kita temui, pada kenyataanya, berwarna hitam.

Kengerian tersebut adalah realitas yang saat ini kita tempati, media sosial dan sifat alamiahnya. Media sosial dan permasalahan berita palsu yang belakangan semakin gencar menghantui masyarakat. Kalau saja media sosial hanyalah portal berita, versi daring dari media cetak abad silam, permasalahannya mungkin tak akan sebesar sekarang, orang-orang akan segera melihatnya sebagai sumber tidak terpercaya dan meninggalkannya begitu saja. Hanya saja, media sosial adalah sebuah lingkungan tersendiri, sebuah lokasi di mana begitu banyak orang menghabiskan waktu mereka sehari-hari. Sebuah pasar swalayan sekaligus sebuah koran, stasiun radio, forum daring, serta hal lain, yang menjadi satu dan memiliki kombinasi kekuatan dari segala hal tadi. Perusahaan media sosial seperti Facebook dan Twitter tak pernah salah menggunakan fakta tersebut, menolak saat mereka disebut sebagai peruhasaan pers atau media. Hal ini makin buruk karena kita menghabiskan sebagian waktu kita di media sosial, hanya pada saat-saat tertentu kita bisa benar-benar terlepas darinya. Dengan menghadirkan sebuah paket lengkap yang bisa disediakan internet, media sosial telah mampu memastikan para penggunanya selalu kembali datang untuk hal-hal yang mereka inginkan lalu bertahan dengan omong kosong insidentil selama berjam-jam.

Media sosial merupakan sebuah ekosistem tersendiri dalam berbagai konteks, kecuali konteks fisik, sehingga hubungannya dengan narasi benar dan salah lebih kompleks dan kuat dibanding persepsi spesifik kita tentang media. Kita menghabiskan waktu di sana, sepanjang hari, bahkan tertidur dengannya. Membandingkannya dengan lingkungan kantor, sekolah, atau tempat nongkrong adalah mengecilkannya; karena media sosial lebih "publik" dari ruang publik yang biasa kita tempati sehari-hari; setidaknya dalam konteks kerahasiaan serta persebaran informasi misalnya. Sialnya, perusahaan media sosial menawarkan solusi pada hoax dengan fasilitas untuk mengamplifikasi segala hal yang cocok dengan selera kita, yang satu frekuensi dengan sisi emosional kita. Sebagai binatang naratif, tentu saja kita senang saja menerima kemudahan untuk menemukan segala sesuatu yang cocok dengan insting primitif kita. Komentar dulu, bagi dulu, cek kebenarannya bisa nanti. Mudah saja melihat bagaimana akhirnya bola salju naratif tersebut berdampak pada kehidupan sosial kita secara konkret, kerugian material akibat carut marut pemilu dan segala narasi yang menyertainya kemarin contohnya.

Permasalahan fundamental dari media sosial adalah narasi jauh lebih mudah dibangun di lanskap digital. Menyatunya konten media dan lingkungannya sebagai sebuah fase yang disebut McLuhan sebagai re-tribalisasi kemanusiaan, dan kita telah melihat lebih banyak konotasi negatif dari ungkapan tersebut dibanding yang positif dan bermanfaat.

Sejak beberapa tahun lalu banyak yang merekomendasikan solusi pada hoax dengan merubah kebijakan internal perusahaan media sosial atau peraturan yang mengikat bagi pengguna. Bukan tidak mungkin solusi tersebut hanya akan menjerat kita dalam lapisan-lapisan mediasi baru, algoritma tak sempurna untuk menyelesaikan masalah yang timbul akibat algoritma lemah hari ini. Ada ungkapan bahwa seni adalah membuat sesuatu dan lepas dari segala konsekuensinya, media yang memfasilitasi pengguna untuk membuat dan membagi konten mereka sendiri tentu akan begitu kaya dengan segala macam hal, entah baik atau buruk, lalu bebas melenggang begitu saja. Hoax, berita palsu, tipu-tipu, bukanlah anomali dari media sosial, tetapi lebih menyerupai bagian alamiah yang tak terpisahkan dari media sosial. UU ITE? Terbukti buruk pula, sebagai ruang kolektif tentu perlu kebersamaan dari lapisan mana pun yang terlibat di sana, yang sejauh ini rasanya mustahil tercapai.

Kita sama-sama tahu (mungkin), salah satu kesalahan terbesar kita adalah sebagian besar dari kita terlalu banyak mengakses dan menggungah sesuatu ke media sosial. Kita menggunggah segalanya ke Twitter, Facebook, Instagram, Snapchat, ke mana pun, karena kita bosan, karena kita baru saja melakukan suatu hal menakjubkan dan semua orang harus tahu, karena ingin ikut dalam sebuah kehebohan terbaru, karena ingin melepas emosi, karena tidak bisa tidur–yang jelas—karena kita tak pernah berpisah dari gawai yang membuat kita begitu mudah mengakses dan mengunggah sesuatu ke media sosial. Hal yang sama dengan saat ada mobil dan jalanan lebar lalu kita memilih untuk berkendara ke mana pun akan pergi, atau bahkan berkendara tanpa tujuan apa pun. Konteks teknologi dan sosial yang saat ini kita huni saat ini telah terkondisikan sedemikian rupa agar kita terus mengakses dan mengunggah konten ke media sosial, dan itulah yang kita lakukan sepanjang waktu.

Tak perlu dibayangkan lagi bagaimana besarnya volume teks dan audio visual yang terunggah ke media sosial setiap detik dan menitnya, tetapi bagaimana kesadaran dan kehendak yang timbul saat fasilitas tersebut tersedia bagi kita, apakah agensi tersebut benar-benar nyata atau hanya ilusi, atau apakah kita telah kehilangan sesuatu untuk mendapatkan serta menggunakan fasilitas tersebut. Bagi palu, setiap hal adalah paku, sepertinya kita terlalu bersemangat dengan mitos bahwa akhirnya kita bisa menguasai alam semesta saat kita semakin banyak memalu sesuatu. Menggunggah sesuatu, mengomentari segala sesuatu, memperkeruh segalanya. "The medium is the message," kalau kata McLuhan, mungkin satu-satunya cara untuk menghadapi media sosial serta kebingungan yang timbul saat membedakan narasi yang beredar di sana adalah dengan membatasi secara aktif pengaruh media tersebut dalam kehidupan personal dan sosial kita. Caranya bagaimana? Sejauh ini sepertinya tak ada yang tahu pasti kecuali dirimu sendiri.