Menelanjangi Diri di Hadapan Tatapan Mesum Media Sosial

 

Untuk siapakah usaha-usaha kita, yang disadari maupun yang tidak, pada saat kita berusaha menampilkan sesuatu di media sosial? Diri kita sendiri? Untuk warganet? Bagaimana agar bisa menampilkan yang terbaik di media sosial, atau bagaimanakah karakter dan selera para audiens yang coba kita rebut perhatiannya? Apakah penampilan kita di media sosial, ekspektasi, serta bagaimana cara kita menyikapinya berdampak pada kondisi psikologis kita sebagai makhluk berkesadaran? Sejauh manakah usaha kita untuk menampilkan yang terbaik, merealisasikan diri, terkooptasi oleh dinamika media sosial? 

Sudah begitu lama sejak media sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari dan pertanyaan-pertanyaan di atas masih saja relevan serta sering menghantui siapa saja yang menghabiskan waktu berjam-jam menggulir layar gawai mereka. Sudah begitu banyak stereotip yang berkembang mengenai betapa buruknya pengaruh media sosial bagi pribadi seseorang maupun kelompok masyarakat, walau tidak bisa dipungkiri pula ada banyak hal bermanfaat bagi kebaikan yang timbul dari sana. Ada satu pertanyaan menarik yang bisa kita ulas untuk melihat hal ini: kenapa "ketus" atau "sinis" atau istilah lebih populernya "ngegas" menjadi nada universal hampir dalam  setiap pertukaran di media sosial. Bisa jadi hal ersebut mewakili kecurigaan dan ketidakmampuan kita memahami segala hal yang tersaji di permukaan layar, nada yang umum keluar dari situasi yang kurang mengenakkan, asumsi natural dari keterusterangan yang tulus saat diadu dengan situasi retoris termediasi oleh berlapis-lapis dinding pembatas—bagaimana sebuah penemuan dengan kekuatan besar tersebut cenderung destruktif alih-alih bisa bermanfaat bagi kemanusiaan.

Kita tak bisa melupakan bagaimana kepalsuan adalah hal yang tak terpisahkan dari media sosial, lapisan-lapisan yang timbul dalam proses mediasi maujud dalam dinamika sosial yang melipatgandakan asumsi secara otomatis sekaligus rentan manipulasi, bukan tak mungkin hal tersebutlah yang mendorong orang-orang terkesan semakin sensitif di media sosial. Pasti kita pernah menemui situasi di mana ada seseorang yang mengungkapkan hal baik terkesan terkesan hanya ingin pamer, atau orang menyebalkan yang sekonyong-konyong muncul merespon suatu hal baik dengan komentar tak mengenakkan; konon esensi kebaikan adalah melepaskan ke-aku-an dan kita bisa melihat bagimana dinamika struktural media sosial sama sekali tidak mendukung hal tersebut. Media sosial hadir sebagai sebuah panggung di hadapan kerumunan penonton dan kita tak memiliki pilihan selain menjadi seorang aktor yang memainkan peran yang kita rasa sesuai dengan apa yang diinginkan orang-orang. Ada juga ungkapan lain bahwa seseorang adalah cermin, lalu apakah media sosial memepatkan ruang dan waktu dengan menempatkan ratusan-ribuan cermin dalam satu dimensi sekaligus? Agaknya jenaka sekali bila kita memperhatikan bagaimana media sosial mendukung multi-media, tetapi situasinya tak jauh berbeda dengan komunikasi lisan dari mulut-mulut.

Seperti yang sudah kita singgung di atas, ketebalan dimensi digital tersebut hadir saat kita dikelilingi oleh aktor-aktor lain di atas panggung yang turut memainkan peran mereka masing-masing. Kebanyakan di antara kita cenderung lalai pada fakta tersebut dan terjerumus pada asumsi bahwa penampilan mereka adalah representasi autentik dari kondisi aktual mereka, sementara kita sendiri selalu dibayangi kepalsuan yang seolah-olah tak terpisahkan dari segala hal yang coba kita tampilkan di media sosial. Dengan kata lain, tanpa kita sadari, besar kemungkinan kalau selama ini kita telah memainkan sebuah peran berdasar salah kaprah dan asumsi. Intersubyektifitas alam daring mengurung semua yang secara suka rela masuk ke sana, menciptakan sebuah situasi ironis dimana setiap usaha mencapai orisinalitas akan gagal secara otomatis, setiap langkah hanya akan membuat kita terjerumus makin jauh dalam kepalsuan. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Dalam pasar perebutan perhatian, diam adalah kekuatan; sayangnya, karena segala hal di atas, hal ini lambat laun makin mustahil untuk dilakukan tanpa keteguhan hati untuk menipu diri sendiri—dan ironi adalah seburuk-buruknya benteng yang bisa saja kita pilih untuk bersembunyi dari senyap tak wajar yang seolah mempertegas segala macam bunyi selirih apa pun itu.

Sederhananya, kita semua tak bisa lepas dari pengaruh "pandangan" alam daring, bagaimana kita semakin kesulitan membedakan citra dengan siapa diri kita sebenarnya; bayangan-bayangannya terinternalisasi menjadi sebuah templat bagaimana untuk bersikap selama selama menghabiskan waktu di sana. Tentu saja sangat berlebihan untuk mengasumsikan bahwa hal yang baru saja kita bahas tersebut hanya terjadi secara ekslusif di media sosial, namun tak bisa kita pungkiri pula bahwa selama ini media sosial telah memperkuat fenomena primitif ini seiring dengan berkembangnya zaman dan proses pengasingan individu yang menyertainya. Sekali lagi, apa yang bisa kita lakukan? Keterusterangan dan ketulusan tentunya adalah kekuatan besar, kepercayaan bahwa hal baik pada dasarnya adalah baik, tetapi wajar pula untuk bersikap hati-hati di tengah proses amerikanisasi-jakartanisasi yang semakin jahat. Ruang-ruang yang lebih kecil dan intim, sisi cerah dari tradisi kolektif, atau alternatif lain yang bisa kita manfaatkan tanpa romantisasi berlebihan. Selalu ada pula pilihan terakhir untuk mengamplifikasikan kesemuanya: bermain dengan identitas, yang tak lagi ada harganya sekaligus menjadi sumber permasalahan pelik, dan mengirimkan sinyal yang mungkin saja bisa mengganggu kesemuanya; pilihan yang mungkin hanya cocok untuk mereka yang sudah hampir putus asa.