Namanya Vivi. Aku mengenalnya karena kami berada di kelas yang sama dalam semua mata kuliah yang kuambil saat itu. Tak hanya itu, kami juga bergabung dalam organisasi kemahasiswaan yang sama. Kami sering bertemu dan mengobrol. Seiring berjalannya waktu kami pun menjadi akrab.

Semakin kami akrab semakin banyak hal yang kuketahui tentang Vivi. Bahwa tingginya kurang 1 cm untuk bisa lolos seleksi kuliah kedinasan. Bahwa ia selalu menutup mulutnya saat tertawa meski lesung pipinya masih bisa kulihat saat ia sedang tersenyum. Bahwa ibunya telah meninggal sejak ia SMP. Tiap kali membicarakan ibunya tampak sinar matanya meredup. Lebih redup dari lampu 5 watt yang kupasang di samping rumah.

“Lihat aku pakai seragam SMA aja ibuku belum sempat.”

Vivi suka melihat bulan dan bintang pada malam hari. Dari lantai dua kosnya yang sekaligus tempat menjemur pakaian ia sering melihat langit malam. Kami pernah berencana untuk pergi ke suatu tempat yang biasa digunakan untuk melihat pemandangan langit penuh bintang tanpa dikotori oleh polusi cahaya yang banyak di perkotaan.

Vivi biasa berangkat ke kampus menggunakan sepeda gunung miliknya. Sesampainya di kampus ia akan memarkirkan sepedanya di parkiran sebelah gedung perpustakaan. Dari kejauhan aku bisa melihatnya berjalan menuju gedung perkuliahan. Ia mengenakan jilbab, celana jeans dan kemeja lengan panjang.

Suatu hari vivi datang tanpa mengendarai sepeda gunungnya. Tak hanya itu, ia juga merubah gaya berpakaiannya. Celana jeans berganti rok dan jilbabnya berganti dengan jilbab yang lebih panjang. Saat itu aku cukup terkejut.

“Aku mau hijrah.”

“Terus sepedamu?”

“Udah kujual.”

Itu adalah awal perubahan Vivi dalam perjalanan hijrahnya.

Tahun selanjutnya aku lari dan meninggalkan semuanya. Aku tak tahu kapan pastinya rasa sukaku pada Vivi muncul, namun aku tahu perasaan itu ada. Kuputuskan untuk menyatakan perasaanku kepada Vivi sebelum pergi. Aku merasa bahwa jika aku tak menyatakannya saat itu juga aku tak akan punya kesempatan lain. Meski aku sudah bisa memperkirakan seperti apa reaksi Vivi aku tetap bertekad melakukannya. Saat itu aku berpikir lebih baik menyesal karena melakukannya daripada tidak sama sekali.

 Sehari sebelum pergi aku mencoba menghubunginya. Namun hingga malam tiba aku tak tahu dimana ia berada. Telepon tak iangkat, pesan tak dibalas. Baru pada tengah malam hari ia membalas pesanku. Ia sedang berada di rumah kakeknya. Ia beralasan ponselnya sedang rusak dan baru berfungsi pada malam hari.

“Aku menyukaimu”, pesan yang kukirimkan tanpa basa basi.

Ia tertawa dan bilang bahwa ia juga menyukaiku, meski hanya sebagai teman. Semuanya sesuai dengan perkiraanku. Sedikit kecewa, tapi tak berlangsung lama karena setidaknya perasaanku kepadanya sudah tersampaikan dan tak perlu ada yang ditahan-tahan lagi. Setelahnya kami tetap menjalin perteman baik seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya. 

 Vivi hampir tak pernah pulang ke kampung halamannya. Ia selalu pergi mengunjungi kakek dan neneknya di Galang. Setiap pulang saat liburan aku selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi Vivi. Aku berangkat pagi-pagi sekali waktu agar waktuku yang akan kuhabiskan bersama Vivi menjadi lebih banyak.

Maka seperti vega dan altair kami bertemu. Di ruang tamu dengan cat warna biru. Aku selalu duduk di kursi menghadap jam dan poto-poto yang menempel di dinding. Saat aku sampai Vivi akan menyambutku, menghidangkan kue-kue dalam toples dan sirup kurnia warna merah.

Kami akan berbincang-bincang tentang banyak hal. Tentang hal-hal yang ia alami dan terjadi di kampus. Aku juga menceritakan pengalaman selama pelarianku. Tak hanya berbincang dengan Vivi, terkadang kakek dan neneknya juga mengobrol bersamaku. Tak terasa hari telah sore. Sebelum malam tiba aku pamit untuk pulang. Maka lesap sudah rinduku untuk saat itu.

Aku terakhir kali ke rumah itu saat Vivi telah menyelesaikan studinya dan menunggu wisuda. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan saat kukatakan bahwa aku tak bisa datang ke wisudanya. Tentu saja aku ingin sekali menghadiri wisudanya, tapi saat itu aku sudah harus kembali karena perkuliahan telah dimulai.

 Ketika akan pulang kami pergi bersama karena Vivi harus pergi ke suatu tempat . Saat terakhirku melihatnya adalah di sebuah perempatan ketika hujan mulai turun dan mengaburkan pandanganku. Di situlah kami berpisah. Ia berbelok ke kiri dan aku berjalan lurus melanjutkan perjalananku. Dari kaca spion kulihat Vivi yang perlahan menghilang dari pandangan. Aku tak yakin bisa bertemu dengannya lagi setelah hari itu.

Suatu pagi saat sedang mengerjakan laporan magang ponselku berbunyi. Ketika kuperiksa ada pesan masuk dari Vivi. Ia mengundangku untuk datang ke acara pernikahannya yang akan dilangsungkan dua bulan lagi setelah sebelumnya telah melalui proses taaruf. Sesaat pikiranku kosong. Lantas kususun kalimat ucapan selamat atas pernikahannya dan kukatakan akan kuusahakan untuk bisa datang nantinya. Setelah membalas pesan Vivi aku kembali menatap layar laptopku. Terlintas di kepalaku tentang keinginan kami untuk melihat bintang bersama.

Malam itu aku bermimpi. Aku bertemu Vivi di tempat yang ingin kami kunjungi. Hanya ada kami berdua di tempat itu. Kami duduk beralaskan tikar sambil menikmati langit penuh bintang. Kami membicarakan banyak hal. Tentang aku yang salah mengira nama orang lain sebagai namanya saat pertama kali kami berkenalan, kakeknya yang budek, sisa gorengan di ruang dosen yang tak pernah ketahuan siapa pelakunya, dan segala hal yang telah berlalu. Kami tertawa. Lantas kukatakan kepadanya bahwa kenangan kami dan segala hal terjadi di ruang tamu itu tak akan pernah kuhapus dari ingatanku. Vivi menatapku dalam-dalam, kemuian bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapanku. Ia tersenyum. Senyum paling indah darinya yang pernah kulihat. Lesung pipinya terlihat sangat jelas. Vivi kemudian mengatakan sesuatu, namun aku tak bisa mendengarnya. Yang kulihat hanya bibir Vivi yang bergerak tanpa diikuti oleh suara. Lantas Vivi menjelma menjadi bintang dan naik ke atas langit bergabung dengan bintang-bintang lainnya meninggalkanku sendirian di tempat itu.

Menyaksikan hal itu aku tersenyum, kemudian kembali menatap langit penuh bintang. Di atas sana Vivi ikut bersinar bersama bintang-bintang lainnya, menerangi malam yang tiada habisnya.

Ditulis sambil mendengarkan Vivi - Kenshi Yonezu.



oleh Awanama