Adakah sesuatu yang lebih konyol dan mubazir dibanding teori universal tentang segala sesuatu? Mustahil sekaligus tak terlalu menarik. Saat ini terdapat begitu banyak informasi yang harus diolah kembali, akumulasi ratusan tahun detail teknis serta saintifik berarti perlu ada spesifikasi dan spesialisasi yang jauh lebih spektakuler. Pandangan politik dan filosofis terus bermunculan, entah berapa banyak waktu dan energi yang masih harus dihabiskan manusia untuk mengartikulasikannya lebih lanjut, menyangkal, dan mempertahankan kesemuanya. Dalam konteks sosial dan kultural, kini tak ada satu pun hal yang boleh dihiraukan, meski pada akhirnya kini kita jauh lebih mudah terjerumus dalam kebebalan.
Era kita adalah era proliferasi. Abad kedua puluh melukiskan berbagai hal dengan kuas raksasa, menanamkan model demi profit serta kebergunaan atas akses kita pada segala macam hal dengan menyelidiki kondisi epistemik manakala manusia mengalami kontak dengan sesuatu dan berusaha memahaminya. Lain cerita di dua puluh satu, saat ini kita dituntut untuk bergulat langsung dengan segalanya, entah kesemuanya dapat diakses dalam kondisi epistemik yang ideal ataupun tidak. Lewat komodifikasi dan kapitalisasi, juga proses produksi yang kian erat terhubung saling bergantung sama lain, gagasan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu lewat sebuah teori komprehensif pun semakin sulit untuk dipercaya. Suatu teori yang mengusahakan pemahaman total kini tampak seperti sebuah bualan siang bolong, teori-teori semacam itu cenderung asimilatif, menyapu semuanya dan melewatkan berbagai macam hal dalam prosesnya.
Gejolak politik terus tereskalasi dalam kecepatan dan skala yang lebih besar. Pandemi global juga lusinan jenis virus lain yang menuggu waktu untuk bangkit dari tidur panjang mereka oleh pemanasan global dari dalam permafrost, yang terbawa menuju pusat peradaban oleh eksraksi serakah, serta yang terus bermutasi bersama ketidakbecusan manusia-manusia yang berusaha mempertahankan dominasi megalomaniak mereka di puncak rantai makanan. Pemanasan global dan bencana iklim yang kini tengah terjadi. Perkembangan teknologi yang membuka jalan pada kembalinya persekusi abad kegelapan serta lahirnya lusinan jenis prekariat baru dan tengkulak yang menggembalakan kesengsaraan mereka. Kesemuanya seolah hadir sebagai substraksi dari teori segala sesuatu, segala omong kosong Yuval Noah Harari dan bualan Steven Pinker, hadir sebagaimana burung hantu Minerva yang mulai mengepakkan sayapnya saat senja turun ke bumi.
Lalu apa yang tersisa kini? Apa lagi yang bisa kita lakukan? Untuk teori tentang segala sesuatu, setidaknya kita bisa mengusahakan satu gambar untuk beberapa hal, atau mungkin beberapa gambar berbeda untuk suatu hal, pada dasarnya hal yang biasa dilakukan hominid sejak mereka berjalan tegak dan berkesadaran, tentunya dengan terus membuka akses dan kesadaran menuju kondisi epistemik ideal bagi sebanyak mungkin orang.
Sebuah gambaran mengenai sesuatu—bisa saja sebuah teori, sebuah pemikiran filsafat, petunjuk yang menerangi jalan. Akan tetapi, kita perlu pelu menyadari bagaimana determinasi untuk menapaki jalan tersebut sering kali merupakan suatu proses terpisah yang sama sekali berlainan dengan teori-teori. Sebuah gambaran ideal sudah semestinya menunjukkan kesadaran ini, memberikan ruang bagi siapa pun untuk menyadarinya secara mandiri tanpa menutupi anomali-anomali ataupun memaksakan suatu jalan pintas untuk menabraknya secara membabi buta.
Suatu gambaran yang bukan hanya terdiri dari kritik dan negasi, afirmasi total, maupun ideologi. Sebuah kumpulan non-total, kumpulan tanpa batas, dari berbagai macam gambar yang bisa diperoleh dari satu atau beberapa hal berbeda. Mengusahakan beberapa hal, tetapi tidak segalanya dan bukan demi apa pun. Kesemuanya hanyalah hasrat untuk berekspresi yang berawal dari keniscayaan ketidakcukupan yang mendasari eksistensi manusia, sesuatu yang selama ini kita kenali sebagi indikasi praktik berpikir, sebuah spekulasi.
✶✶✶
Sebuah bidang gelap pada lanskap kesadaran serta segala macam teror mengerikan yang menyertainya, kengerian itu sendiri.
Kengerian menghantui literatur dan media sebagai sesuatu yang tak lengkap dan tak utuh, sebagai sebuah misteri. Kengerian hadir bersama jarak di antara keberadaanya sendiri dan segala macam pemikiran mengenainya, jarak di antara representasi dan pengetahuan tentangnya. Akan tetapi, setiap usaha untuk membentuk pemahaman mengenainya hanya akan memperlebar ataupun membengkokkan dimensi jarak tersebut sebelum akhirnya menghancurkan bentuk-bentuk yang telah ada menjadi kepingan.
Sebagian besar genre horor mengandalkan bentuk-bentuk sederhana untuk menggambarkan kengerian; monster antropomorfik, rumah tua angker, arwah penasaran, serta variasi-variasi semacamnya untuk menghadirkan hal-hal yang sekiranya tak terpikirkan akal sehat manusia. Meski begitu, bentuk lain yang lebih kompleks dapat pula hadir sebagaimana yang diungkap Michel Houellebecq tentang narasi Howard Phillips Lovecraft, tentang bagaimana sang penulis menarasikan kengerian kosmis dalam The Call of Cthulhu pada tahun 1926 .
Visi itu mendatangiku begitu saja, bayang-bayang eon terkutuk yang membuatku bergidik ngeri setiap kali memikirkannya. Bayangan itu hadir sebagaimana memori atas kenyataan mengerikan lainnya terlahir menggerogoti kewarasan, muncul tanpa sengaja dari keeping-keping yang tersusun menjadi satu. Kali ini, surat kabar tua serta catatan-catatan milik seorang profesor yang sudah lama mati.
Catatan milik profesor dalam dalam kisah itu berisi racauan seniman sinting, laporan investigasi seorang polisi, beberapa kliping surat kabar yang memuat kasus bunuh diri dan kegilaan lainya, sebuah catatan kecil mengenai pertemuannya dengan sekte sesat Kaum Eskimo, serta catatan seorang pelaut Norwegia. Kenyataan mengerikan dalam kisah tersebut menjadi masuk akal karena tersusun dari berbagai petunjuk yang sekilas tampak tak berhubungan satu sama lain, kesemuanya terasa begitu wajar saat sang narator menemukannya tanpa sengaja dari sobekan surat kabar yang ia temukan di bawah sebuah artefak di lantai museum tua.
Narasi mengenai kengerian lazim hadir sebagai montase dari berbagai keping ingatan, menghantui kesadaran akan keberadaan kengerian kosmis yang bergentayangan dalam aspek kehidupan sehari-hari sebagaimana ia hadir dalam setiap usaha mengejar kebijaksanaan filosofis serta ilmu pengetahuan. Sains serta segala keterbatasannya, kengerian hadir menghantuinya lewat sobekan-sobekan surat kabar tua, Lovecraft menyaksikan bagaimana kengerian terakumulasi lewat sebuah dispersi, lewat usaha-usaha untuk menyatukannya menjadi sebuah citra ataupun narasi koheren yang dapat diterima akal manusia.
Sebagian besar eksposisi teoretis mengenai kengerian cenderung mengabaikan kesengkarutan kengerian, lebih memilih arsitektur megah alih-alih puing dan reruntuhan, melupakan bagaimana kengerian terakumulasi secara perlahan dalam letupan-letupan kecil yang sama sekali tak berujung pangkal dalam setiap benak yang dihantuinya.
Kombinasi antara logika dan estetika, atau mungkin lebih tepatnya, kesenjangan antara kesadaran manusia dan kengerian, acap kali mengaburkan batas-batas yang seharusnya sama sekali tak dapat diubah di antara keduanya. Yang terjadi berikutnya adalah konstelasi kepingan-kepingan, citra serta pemikiran, yang mencoba menggambarkan setiap kemungkinan serta kontradiksi atasnya, juga batasan-batasan yang mungkin membedah konjungsi antara estetika kengerian serta spekulasi mengenainya. Atau bisa pula, batasan-batasan yang tersembunyi dalam formulasinya, dalam perwujudan kengerian spekulatif itu sendiri.
Dalam The Shadow Out of Time, protagonisnya dihadapkan langsung dengan realisme mengerikan, mimpi buruk serta kenyataan yang sama sekali asing, kengerian yang mendorongnya menuju ketakutan dan keputusasaan. Kengerian tersebut paling mudah dipahami sebagai sebuah epistemologi, sebuah celah menganga antara pemahaman akal sehat manusia dan kenyataan yang tak manusiawi. Kengerian spekulatif mendekam dalam setiap kemungkinan afektif, estetik, dan konseptual yang maujud dalam celah tersebut—sebagaimana ditunjukkan oleh teror kosmis milik Lovecraft, manekin mengerikan dalam Ligotti, maupun kengerian lain yang lebih badaniah seperti wabah penyakit dan petaka mayat hidup; dalam hal ini, kengerian tergambar sebagai sesuatu yang sama sekali tak manusiawi.
Menarik sekali bagaimana ketidakmanusiawian disebut sebagai inhuman dalam Bahasa Inggris, awalan in- di situ terbaca sebagai sesuatu yang bukan manusia, berseberangan, dan terkandung di dalamnya. Negativitas ketidakmanusiawian mungkin memang merupakan hubungan paling erat antara kengerian dan ketidakmanusiawian. Akan tetapi, kesemuanya bukan semata-mata mengenai epistemologi, negativitas ketidakmanusiawian dan segala negasi atas kemanusiaan selalu aktif menyerukan keberadaanya di tengah kemanusiaan. Segala yang tak manusiawi, setidaknya dalam kerangka terkutuk kengerian, selalu anti kemanusiaan.
Pengharapan dan pencerahan sekuler hadir sebagai sesuatu yang terlampau manusiawi; terlanjur bergantung pada visi akan kemajuan, penguasaan yang bersifat teknis, pengetahuan saintifik, serta agensi kemanusiaan. Memenuhi takdirnya sebagai peluruhan harapan, kengerian merangsek masuk menembus struktur sosial lewat tatapan kosong yang menafikan segala macam kategori yang diusahakan manusia kala menghadapi kekacauan, menghadirkan liyan sebagai kekejaman, permusuhan, dan membengkokkan perbedaan sebagai sesuatu yang sepenuhnya mengerikan.
Peluruhan tersebut juga mendorong kengerian menuju lanskap spekulatif di mana kengerian sering kali merupakan proyeksi konyol atas kemuraman hidup sehari-hari, hadir sebagai citra negatif pengetahuan, memungkinkan akses bagi dendam untuk maujud dalam aspek-aspek duniawi yang semestinya tak terlihat dan tak terucapkan. Kaleidoskop kengerian, tekstual maupun sinematik, mengutip Kant saat mengenakan topeng setan, bermutasi dari genre horor menjadi spekulasi filosofis dan propaganda politik.
Konsensus korelasionis kini telah menjadi inti dari eksposisi kengerian spekulatif termutakhir. Korelasionisme pada dasarnya tumbuh dari tesis mengenai kesenjangan yang tak dapat direduksi antara pikiran dan keberadaan konkret segala sesuatu. Suatu hal dalam keberadaanya sendiri, keintiman ala Kant mengenai entitas berikut kualitas mustahil dan tak manusiawi yang jauh berada di luar kemampuan kognitif manusia, tetapi sampai saat ini kesemuanya sama sekali tak pernah dapat dipahami seutuhnya, seluruhnya selalu runtuh kembali menuju kedalam jurang antara kesadaran dan benda-benda di sekelilingnya. Dalam hal ini, spekulasi menawarkan pemikiran yang jauh lebih luas lewat pemutusan hubungan dengan korelasionisme, mengarahkan kembali kesadaran untuk lebih berani menghadapi kemungkinan dan kemustahilan yang berputar di luar batas kemanusiaan.
Gagasan spekulatif berubah menjadi kepala yang berputar dalam spiral tatapan kengerian, dengan banyak mata, memancarkan cahaya ketidakmanusiawian yang melewati refraksi ruang serta sudut pandang dalam jumlah yang tak terhitung jauh melampaui geometri dan matematika. Pertaruhan kengerian spekulatif tersebut berjalan melalui prisma ketidakberbatasan yang sepenuhnya terdistorsi di mana gambar konseptual ketidakmanusiwan terus bermunculan setiap detik dan menitnya. Kerataan satu dimensi dari objek fenomenologis di mana kemanusiaan hanyalah satu di antara tak berbatas, materialitas terbawah dari segala zat yang hina, kehampaan mistik ultra profan yang hanya dapat dilihat melalui apati yang sepenuhnya tak manusiawi, dorongan tak manusiawi dari segala yang hidup menuju mati, abstraksi, serta kematian kosmis.
Kemuraman epistemologis adalah penghubung utama antara kengerian dan gagasan spekulatif. Meski kesemuanya tak serta merta homogenis, tetapi realisme spekulatif dan materialisme eliminatif memiliki loyalitas serupa pada ketidakmanusiawian—pada realitas yang tak manusiawi. Loyalitas dalam hal ini sama sekali bukanlah sebuah hiperbola, ialah hal yang menyatukan berbagai elemen dalam gagasan spekulatif adalah hasrat abadi untuk mengonseptualisasikan pemahaman berbeda mengenai liyan dan kengerian.
Kepingan, berbagai hal yang tak utuh, menggelegak dalam apati absolut yang sering kali terlihat sebagai agaresi atas eksistensi manusia. Massa tak berbentuk yang berisi ontologi non-antroposentris mengenai objek-objek gaib yang tersembunyi dari kognisi dan pengetahuan manusia; ontologi berlendir yang penuh dengan penyakit, kengerian biologis kehidupan sosial yang berbenturan langsung dengan misitisisme negatif. Mungkin, inti dari ketidakberbentukan tersebut adalah energi gelap dari dorongan kematian yang diperhitungkan kesadaran sebagai semesta eliminatif.
Sebuah ketidakmanusiawian generik—gambaran konseptual tersebut hadir mengiringi kengerian spekulatif untuk mempertahankan ketidakberbentukannya, bukan untuk mengejar keteraturan relatif yang dibayangkan Kant maupun berlari dari kegilaan dan keputusasaan kengerian Lovecraft. Loyalitas ini ada sebagai kategori generik yang lebih menonjol dibanding bentuk-bentuk lain di mana kengeriannya maujud dimanifestasikan.
Kengerian sebagai sebuah sensibilitas estetis aktif bergerak dalam alam pikiran manusia, menjadi parasit menghinggapi tabir yang menutup realitas ketidakmanusiawian. Kengerian menjadi filter bagi ketidakmanusiawan, memilah dan memberinya jalan utuk maujud menjadi bayang-bayang. Kengerian sendiri jauh lebih kompleks dibanding celah epistemologis antara kesadaran dan eksistensi, memiliki lebih banyak sisi, lebih kompleks pula dibanding keanehan yang muncul mengiringi realitas spekulatif saat subjek dihadapkan dengan liyan dan keniscayaan keterasingan. Kengerian sejati adalah afek dan sensasi kemuraman, ketakutan dan teror yang sama sekali bertentangan dengan kemanusiaan.
Kengerian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang membongkar batas-batas kemanusiaan sebagai subjek otonom rasional dengan karakteristik tertentu. Kengerian yang mendalam, afektif, dan badaniah dapat ditelusuri kembali lewat verba Bahasa Latin horrēre, berdirinya bulu kuduk di sekujur tubuh seseorang sebagai respon atas rasa jijik dan ketakutan. Rasionalitas disingkirkan dievakuasi dan otonomi digantikan otomatisme yang bergidik di hadapan kehidupan.
Horor membuka jalan bagi godaan sekaligus kesenangan dari sesuatu yang mungkin bisa kita sebut sebagai sublim yang negatif, sesuatu yang terformulasikan dari citra konseptual atas segala sesuatu yang tak manusiawi. Konsepsi mengenai sublim mungkin adalah salah satu klise terbesar dalam teori estetika, usang namun abadi, sebuah fantasmagoria yang begitu kompleks dan dinamis. Yang sublim, yang luhur sebagaimana yang diformulasikan Kant pada dasarnya adalah eksperesi ketidakmanusiawian; entah alam semesta, petaka, bentuk-bentuk matematis yang terus berlipat membesar dalam magnitudo tak terbayangkan, ataupun sesuatu yang begitu dinamis melampaui kewarasan akal sehat manusia. Dengan demikian, segala yang sublim selalu memiliki potensi pertentangan dengan kemanusiaan; seperti yang diungkap Kant, begitu banyak semesta tak terhitung jumlahnya, mengeliminasi dan memusnahkan keberadaanku sebagai mahkluk ataupun binatang. Kant mengalami horrēre, direduksi menjadi sesuatu yang kurang ataupun tak manusiawi lagi.
Cahaya mematikan, kengerian dan sudara kembarnya, ketidakmanusiawian, tumbuh besar bersama segala yang sublim.
Berkat terbesar di dunia ini adalah ketidakmampuan manusia untuk memahami kesemuanya secara utuh. Kita mendiami pulau ketidaktahuan yang tenang di tengah hamparan laut hitam tak berbatas dan kita pun tak diciptakan untuk bertualang jauh mengarunginya. Ilmu pengetahuan dengan setiap cabang yang berjuang menempuh visinya masing-masing mungkin tak terlalu membahayakan keberadaan kita, tetapi suatu saat nanti perangkaian keping-kepingnya akan membuka lanskap realitas yang begitu mengerikan, juga keberadaan mengenaskan kita di sana, akankah kehilangan kewarasan kala menghadapi penyingkapannya atau memilih lari dari cahaya mematikan menuju tenteram dan damai era kegelapan baru.
Paragraf pembuka The Call of Cthulhu seolah terbaca sebagai respon untuk Kant. Penuh dengan aspek negatif dari segala yang sublim, jawaban tersebut mewakili seluruh ketidakmanusiawian yang menyertainya. Kant dengan kehati-hatiannya yang khas, menekankan paranoia dan rasa takut yang beriringan dengan kemuliaan serta ketabahan kemanusiaan menghadapi kesemuanya, sebuah penghiburan bahwa kehendak bebas manusia jauh lebih kuat dan dinamis dibandang segala yang sublim. Di sisi lain, Lovecraft dengan nihilismenya mengenai aspek pertentangan dari ketidakmanusian yang sublim, sepertinya akan sepakat dengan sentimen Kant tersebut.
Sebuah substraksi transendental—dalam formulasi Kant, sublim merupakan sebuah kategori estetis yang melibatkan kesenangan sekaligus rasa takut. Sublim dalam kengerian spekulatif turut memiliki elemen tersebut, tetapi disertai dengan pengurangan maupun negasi atas kemanusiaan. Sama seperti yang sublim, hal ini turut melibatkan rasa takut sekaligus kesenangan. Negativitas kengerian sering kali terbangun melalui sublim yang transendental, montase acak Lovecraft yang perlahan menjelma mitos apokalips. Kengerian sepenuhnya menyiratkan ketidakmanusiawian yang sama sekali asing, keberadaan yang tak dapat dipahami lewat bahasa antroposentris. Tak mengherankan bila kengerian selalu menarik perhatian manusia sebagai makhluk berkesadaran.
Apa yang dibayangkan Eugene Thacker sebagai dunia tanpa manusia adalah substraksi kemanusiaan dari alam semesta. Sebuah planet lain yang dapat diabstraksikan melalui kengerian, sebuah visi konseptual atas liyan yang dipenuhi bentuk transendental dari sublim yang negatif. Gambaran konseptual realitas tersebut tak melulu mengenai kehancuran kemanusiaan juga ketidakpedulian kosmis akan eksistensi manusia. Meski kesemuanya ada benarnya juga, tetapi sangat riskan bila kita memproyeksikan kengerian yang riil dan terjadi saat ini sepenuhnya sebagai sebuah petaka alih-alih mempelajari kesemuanya sebagai sebuah tendensi ataupun potensi yang bisa dipelajari untuk sebuah model adaptasi.
Reproduksi kengerian sebagai sebuah gambaran konseptual dapat terjadi melalui pengulangan-pengulangan ketidakmanusiawian yang seolah hadir sebagai tolak bala atas petaka, melalui sukacita yang disodorkan oleh sublim yang negatif. Yang tak manusiawi diberhalakan dan sublim yang negatif pun bercokol sebagai batas pemahaman atas bermacam aspek ketidakmanusiawian sebagaimana penuhanan dan ideologi.
Bila salah satu aspek dominan dalam konsepsi kemanusiaan adalah kebermaknaan ataupun kebergunaan, bagaimanakah dengan negasinya? Bagaimanakah kesia-siaan? Bisakah kita mempelajarinya sebagai sebuah gambaran konspetual atas kengerian—atas jurang pemisah antara kesadaran dan keberadaan kita sebagai manusia? Sejarah mencatat bagaimana konsepsi mengenai kebergunaan telah membagi manusia dalam hirarki dan kelas-kelas, entah itu meritrokrasi ataupun diskriminasi vulgar. Di sisi lain, kebergunaan mana lagi yang harus kita usahakan sekarang? Saat peradaban seolah kehilangan kendali tak mampu menghentikan laju produksi, membusuk diam tak bergerak dalam kemubaziran timpang, impoten menghadapi ketololannya sendiri yang terus membisul dan membengkak.
Kesia-siaan terus menjadi momok manusia meski konsepsi kebergunaan kapitalis jelas-jelas merupakan bukti besar kemunafikan manusia, apa lagi yang lebih mengerikan selain dianggap tak berguna dan sia-sia oleh sesamamu? Momok kesia-siaan hadir dalam pikiran kita, beroperasi sebagai citra-citra suram dan menjerat potensi katarsis kengerian dalam ancaman ketidakmanusiawian, menjadi lingkar terkutuk dalam pesona romantisasi esoterisnya sendiri dan tak bisa lepas dari kemunafikan kemanusiaan.
Perubuhan suatu rasionalitas hanya dapat terjadi lewat amputasi dan sayangnya tubuh manusia lebih cocok disebut sebagai gudang penimbun rasa sakit alih-alih kuil kesucian. Kesemuanya adalah fenomena paralel dengan kengerian kosmis yang dihadapi protagonis Lovecraft, sebuah penyingkapan insignifikansi umat manusia, betapa angkuh pemikiran bahwa kita adalah pusat dari segala sesuatu yang meneriakkan apati di seluruh penjuru semesta, ada manusia atau tidak, tak jadi masalah bagi ketidakpedulian kosmis ini.
Kesadaran manusia bukan sekedar kehatian-hatian logika, abstraksi, serta putaran umpan balik akal budi. Meski gambaran konseptual merupakan kewajaran kesadaran, kengerian, sekali lagi, bukan hanya keniscayaan jarak/kesenjangan antara kesadaran dan keberadaan, ada gambaran konseptual lain dalam kengerian serta ribuan kesenjangan lain di seluruh dunia.
Bisakah kengerian spekulatif menghadirkan kebenaran konfliktual atas ketidakmanusiawian di tengah kesenjangan antara pengetahuan dan eksistensi kita? Keniscayaan ketidakmanusian sama-sama imanen sebagimana kapitalisme. Secara umum, suatu pengetahuan akan menghadirkan gambaran yang menjadi basis atas pemahaman bahwa dunia ada untuk kita, sebagaimana sebagian besar produk peradaban dibangun di atas konsep kemanusiaan alih-alih kenyataan faktual hingga akhirnya abstraksi yang tak manusiawi pun hadir di antara kita sebagai urgensi maupun komoditas—termasuk diri kita sendiri, kebergunaan kita dalam relasi sosial kapitalis. Dalam konteks ini, ketidakmanusiawian dalam kisah-kisah horror mungkin saja merupakan sebuah simtom kenyataan faktual yang menembus masuk ke dalam kesadaran dan menghadirkan konflik serta kontradiksi yang tak pernah diketahui pengetahuan, sebuah kenyataan ataupun realisme kapitalis.
Bentuk-bentuk estetis tertentu dari kengerian-kengerian sering kali muncul ke permukaan realitas pada waktu-waktu tertentu pula, trauma historis banyak muncul kembali menjadi bentuk-bentuk aneh dalam proyeksinya sebagai kengerian spekulatif. Sama halnya dengan trauma termutakhir kita, kapitalisme, yang hadir lewat kebanalan konsumerisme ataupun kesenjangan sosial. Akar ketidakmanusiawian, abstraksi maupun petaka hidup dan mati, selalu bermula dari hal ini.
Retakan-retakan dalam citra realitas faktual dapat ditelusuri melalui kengerian. Realitas pun bisa memecah gambaran konseptualnya menjadi potongan-potongan baru yang sama sekali berbeda. Sama halnya zaman dan kebergunaan, kesia-siaan terus membayangi keduanya, yang natural maupun tak natural, lalu meninggalkan bayang-bayang ketidakseimbangan.
Manusia dapat digambarkan secara sederhana sebagaimana mayat, berada di antara ketelanjangan serta rasio ekonomis dalam bentuk nilai yang dibayangkan Marx, juga idealisme lain baik relijus maupun sekuler. Pembedahan dan otopsi bisa dilakukan lebih lanjut dengan melibatkan dorongan alam bawah sadar maupun kebetulan-kebetulan dalam proses evolusi. Kesemuanya adalah penggantian definitif atas keberadaan manusia otonom dan rasional yang menjadi pusat segala macam eksistensi, penggantian yang terus berjalan sepanjang waktu, semi-sukarela dan terjadi atas sepengetahuan kita, mungkin saja apa yang kita pahami sebagai manusia sudah tak ada lagi saat ini.
Ketidakmanusiawian sama sekali bukanlah hal spesial, ada di sekeliling kita dan terus menyertai hidup sehari-hari, kengerian hanyalah latar bagi semarak panggung sandiwara kehidupan, sampai akhirnya muncul terlibat langsung dengan panji-panji kelas, ras, gender, kengerian konfliktual atas liyan.
Cerpen The Town Manager milik Thomas Ligotti merupakan salah satu kisah di mana kapitalisme hadir kembali dalam alegori mengerikan. Si Manajer hidup di sebuah gubuk reyot dan berkomunikasi menggunakan tulisan-tulisan penuh kejanggalan pengejaan pada sobekan-sobekan kertas, kusut terlipat-lipat seperti bacot sampah media sosial maujud dalam detritus material yang mengerikan. Keberadaannya adalah kewajaran sekaligus kengerian hubungan sosial kita. Entitas abstrak tak manusiawi yang terus berkeliaran menyusuri kota konyol di mana penghuninya hidup disodori bermacam kesia-siaan seperti labirin toilet umum dan koleksi mainan plastik, kota yang pada akhirnya kolaps akibat abstraksi paling banal yang pernah ada, uang.
Ligotti tentu bukan seorang anti-kapitalis dalam pengertian yang umum kita kenal, semua jelas bertolak belakang dengan misantropi dan obsesi antinatalis yang ia imani—bahwa hidup adalah penderitaan yang begitu berat tak terperi hingga tak ada lagi yang didambakannya selain kematian. Akan tetapi, dalam cerpen tersebut dan tulisan-tulisan lain miliknya, ia menghadirkan bentuk lain kengerian spekulatif yang berakar pada ketidakmanusiawian sementara merujuk pada fenomena-fenoma keseharian pada kehidupan kapitalis kita.
Kengerian terbesar yang bisa dibayangkan Ligotti adalah bagimana segala sesuatu tercipta bukan untuk kita, bahwa manusia sama sekali tidak memiliki tempat di dunia, bahwa manusialah satu-satunya kejanggalan di alam semesta. Hal in mengekspresikan jarak yang ada di antara kemanusiaan dan reproduksi realitas atas nama kapitalisme. Kengerian atas reproduksi segala sesuatu tersebut berhubungan langsung dengan petaka kesia-siaan maupun terhentinya seluruh proses produksi, kolaps dalam level personal maupun tatanan sosial ekonomi. Sebuah konjungsi disjungtif di mana produksi dari suatu komoditas dapat menjadi ancaman atas reproduksi lainnya, menjadikannya tak layak diteruskan, sia-sia, ataupun tergantikan sepenuhnya sebagaimana kota dalam cerpen Liggotti tadi menghancurkan seluruh penghuni yang menempatinya.
Kengerian spekulatif selalu menghadirkan siklus teror tersebut, keterlibatan antagonistik antara reproduksi dan negasinya sebagaimana zombie dan vampir dapat menyimbolkan penyatuan antara reproduksi dan antonimnya. Apa yang lebih mengerikan dibandingkan spekulasi gotik Marx yang menggambarkan bagaimana kapital adalah kerja mati yang hidup dengan mengisap kehidupan kelas pekerja?
Kengerian selalu dipenuhi dengan keberlebihan kehancuran, kematian massal, darah yang tumpah percuma, terorisme, perang nuklir, gelak tawa histeris, mayat busuk, okultisme kuno, parasit, wabah penyakit, ritual satanik, materialitas mematikan yang memberontak membangkang melawan kebergunaan produktif dalam cara-cara paling absurd dan tak terbayangkan. Apa yang disebut Bataille sebagai heterogenitas kematian dan kultus pemujaan mayat sama sekali tak bisa disamakan dengan homogenitas produksi dan filsafat sistematik, kebangkitan ketidakbergunaan dan kemubaziran yang menjijikkan selalu merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas kita. Keberbedaan hanya heterogen dalam suatu sistem tertentu, sampah terus terbentuk dalam realitas yang sama sekali tak tercipta untuk kita.
Kesia-siaan terus mengikuti langkah kita, berbentuk juga gaib, abstrak sekaligus solid bertumpukan, kematian perlahan dalam realitas yang terus membusuk. Alih-alih sebuah penyakit ataupun kutukan, keniscayaannya yang mengerikan adalah tamsil atas kejanggalan eksistensi kita. Sebagaimana kapital, kesia-siaan terus berkeliaran di tengah kehidupan kita sehari-hari, maujud mendaging menjadi apa pun yang bisa dikuasainya, menorehkan kutuk atas ketidakberlanjutan dan keniscayaan kematian. Bentuk kosong kemanusian, penanda kehidupan kematian ataupun kematian yang hidup, sebuah gambaran konseptual atas kemunafikan kemanusiaan, juga sebuah cermin retak di mana kita bisa melihat bentuk-bentuk berbeda dan juga liyan. Apakah kita harus takut? Ataukah selama ini kita belum cukup paranoid? Kengeriannya mungkin adalah pengingat bahwa semua yang kita lakukan hanyalah kesia-siaan lain bagi setiap kesia-sian di seluruh dunia.
Pustaka