Meski lelaki itu tak menghendakinya, lagi-lagi sebuah tanggal lahir dan segera menelan tubuh lelaki itu begitu subuh pecah di timur.

Tak adakah cara untuk membebaskan diri dari gelap-kelok-panjang usus waktu?

Setiap pagi, selimut menjadi teman paling tak berperasaan. Seperti pelacur yang buru-buru menyuruh pelanggan pergi setelah segala yang dijual lunas dibayar. Seolah apa yang terjadi semalam tidak berarti apa-apa.

Sejak tiga tahun yang lalu, lelaki itu menuliskan sesuatu di dahinya yang akan memenuhi cermin setiap kali ia berkaca: aku ingin jadi penulis.

Sejak tiga tahun yang lalu, setiap hari lelaki itu keluar rumah menyusuri jengkal demi jengkal hamparan bumi untuk mencari inspirasi. Meninggalkan orang tua, saudara, dan ranjang tercinta.

Pada hari ketiga ratus dua puluh delapan, perjalanan membawa lelaki itu pada sebuah lembah yang tampak hijau dari kejauhan. Ketika ia mendekat, pohonan inspirasi menjulang serupa hutan. Di ranting-rantingnya bergelayutan bunga-bunga ide yang kemudian dengan rakus ia masukkan ke dalam ranselnya untuk dibawa pulang.

Ia bergegas menuju rumah, tak sabar mengolah ide-ide yang ia kumpulkan menjadi lembar-lembar tulisan.

Segera ia buka ranselnya begitu sampai di kamar, tetapi yang ia temukan bukan lagi bunga-bunga ide melainkan bayi mungil yang merengek minta diberi makan. Susu, bubur dan biskuit tak pernah membuat bayi itu kenyang. Tangisannya baru berhenti ketika lelaki itu membacakannya sebuah cerita. Jika cerita lelaki itu membuat si bayi bahagia, ia akan tertawa lalu memuntahkan sebuah cerita baru. Si lekaki akan menadahinya ke dalam kertas kosong dari dalam laci kemudian memberinya judul dan menuliskan namanya sebagai penulis.

Ia kirim-kirimkan tulisan-tulisan hasil tadahannya itu ke berbagai media massa. Setiap kali tulisannya dimuat, dibelikannya baju-baju hangat untuk si bayi yang kini sudah jadi anak-anak. Memang begitu cepat perkembangannya hingga ia tak lagi puas diberi satu cerita.

Namun ketika tak ada tulisannya yang berhasil dimuat, lelaki itu akan membungkam mulutnya dan mogok bercerita. Rengekan anak kecil yang tanpa terasa telah menjadi remaja itu pun tak pernah digubrisnya. Ia hanya akan mengurung diri di kamar, menatap-natap kembali kliping berisi tulisan-tulisannya yang pernah dimuat. Persis seorang kekasih yang ngambek lalu memilih bernostalgia dengan kenangan bersama sang mantan.

Pada beberapa bulan yang lalu, lelaki itu dilanda gelisah parah. Persediaan uangnya semakin menipis dan remaja yang sekarang telah berubah jadi gadis belia itu tak juga memuntahkan tulisan. Setiap hari lelaki itu datang membawakan cerita-cerita tapi tak ada yang membuat gadis itu puas. Belum sampai sepuluh kalimat lelaki itu bercerita, si gadis langsung menutup telinga.

“Membacalah,” kata gadis itu.

Si lelaki yang di dahinya masih tertulis kata-kataaku ingin menjadi penulis hanya menggeleng dan  berlalu meninggalkan si gadis yang makin lama makin pucat seraya berkata, “Ah, tak ada waktu.”

Hingga akhirnya pada suatu hari di bulan lalu, lelaki itu tak bisa menemukan gadisnya di mana pun. Tidak di kamar, tidak di rumah, tidak di kota tempat tinggalnya, dan tidak di mana pun di muka bumi.

Ketika ia menyerah dan kembali ke rumah, tulisan itu telah terhapus dari keningnya. Sejak itu, waktu terasa seperti nganga paus raksasa yang menelannya ke dalam kegelapan.

Maka lelaki itu menanggalkan selimutnya, turun dari ranjang, mengambil sebuah buku di rak kemudian menghilang di balik sampulnya. Di halaman seratus dua puluh satu, ia menemukan kembali gadis kecilnya.



oleh Fadhil MR