Aku belum tidur dari semalam. Aku beli Susu UHT dan Rokok Bintang Mas dari Warung Madura. Pagi ini aku antar ibu ke pasar. Pagi ini aku melihat semut pekerja membuat jalan.

Melihat semut bekerja seperti membaca lagi kutipan, "If we take an ants' nest, we not only see that every description of work—rearing of progeny, foraging, building, rearing of aphides, and so on—is performed according to the principles of voluntary mutual aid; we must also recognize, with Forel, that the chief, the fundamental feature of the life of many species of ants is the fact and the obligation for every ant of sharing its food, already swallowed and partly digested, with every member of the community which may apply for it."

"Prek, prek, prek!" Begitulah bunyi saat kuinjak semut pekerja dan mengubahnya menjadi semut geprek. Teori seperti itu tidak pernah bekerja di skena para pekerja berkesadaran kelas. Semut sendiri bekerja demi ratu dan keberlangsungan keturunannya. Ratu tidak peduli menahu soal gotong royong, tugasnya bertelur dan melahirkan semut baru lainnya.

Ah, di situ mungkin kesamaannya. Ibarat ratu dari koloni, begitu juga dengan para tetua, tokoh yang tidak mau diakui tokoh, dengan ocehan yang paling keras, berpengalaman, yang harus ditopang oleh anggota kolektif melalui sistem representatif yang tidak representatif juga. Begitu juga dengan pengambilan suara dengan dalih lingkar konsensus dimana suara diperhitungkan, tidak kalah lucunya kalau tetap mengambil suara terbanyak. Alih-alih mewujudkan nilai ideal, apa yang ideal itu menjadi kontradiksi melebihi batas konsep.

Sesuatu yang Egaliter hanya bisa dicapai pada taraf konsep. Implementasi akan jauh berbeda, tentu saja para anggota ingin membuat tujuan kolektif menjadi nyata, dengan berandai-andai tentunya. Kesejahteraan, keadilan, hal yang layak sampai mulutnya berbusa dengan menebar meme dengan maksud membuat kesadaran kelas lewat jalur shitposting.

Bicara panjang lebar mengenai spectacle atau dunia tontonan tidak kalah konyolnya dengan menyokong tulisan Guy Debord. Pada akhirnya siapa yang tahan untuk tidak menjadi rasis, fasis, misoginis, patriarkis, matriarkis, dan seterusnya dengan merencanakan membuat akun kedua untuk menjaga harga dirinya.

Bicara soal relasi kuasa tidak kalah lucunya. Ada suatu cerita satu anggota dipermasalahkan karena bapaknya yang melakukan kekerasan padanya sewaktu masih kecil dan baru bisa membalasnya dengan tarung satu lawan satu saat dia sudah besar, lucunya juga yang mempermasalahkan tidak sampai mendapatkan kekerasan sewaktu kecil dan minim konflik dalam keluarga.

"Prek, prek, prek." Aku injak lagi semut pekerja yang berusaha membantu kawannya.

Lagipula aku tahu batas. Aku tidak bermimpi untuk mengelola suatu aset kolektif bersama-sama untuk digarap dan menjadikan produknya sebagai komoditas jual dengan embel-embel hasil kolektif. Apa yang bisa dilakukan para pekerja yang mabuk setiap akhir Minggu dan setiap hari bangun kesiangan untuk bekerja?

Alih-alih menghapuskan kelas melanjutkan permasalahan silsilah dan latar belakang anggota yang mempunyai jejak dengan keturunan militer. Mari lihat siapa yang paling kolot walau sudah diceritakan memilih kakeknya yang TNI itu mati secepatnya dari dahulu. Sayang bunuh diri kelas tidak segarang yang dibayangkan kepada kawan yang sudah menjadi selebriti sosial media dengan latar belakang organ Islam yang jelas kaya lalu meramu diri dengan menjadi orang yang merangkul miskin kota.

Siapa yang tidak haus kekuatan? Kolektif yang berusaha memanfaatkan rekam jejak Anon Lama agar pengguna lain segan dan berfikir dua kali jika ingin membuat masalah di internet. Memanfaatkan isu anggota yang menggunakan kekerasan karena anggota mereka melakukan hal yang tidak pantas dimaafkan dan mencari kesalahan yang tidak mengaburkan siapa yang menyebarkan info yang tidak berbahaya padahal salah satu anggotanya meracau tentang kolektifnya sendiri di depan Anon Lama. Untuk merekrut Anon Lama, terjadilah pertukaran kepala antara anggota dan Anon Lama. Tentu dengan memanfaatkan pertemuan sebelumnya di dunia nyata dan informasi yang dibuka paksa oleh kawannya agar Anon Lama bisa direkrut menjadi kawan via telepon dengan basa-basi, membeberkan info calon yang direkrut, berasa lebih kuat karena memegang info, ingin menjemput di depan rumah, lalu curhat, lalu membeberkan info kolektif sendiri. Tentu sebagai tetua dia tidak salah membeberkan sendiri dan tidak mempermasalahkan. Dia adalah ratu, dia adalah Tuhan dalam kolektif.

Aku tertawa keras pagi ini, aku injak semut pekerja, lagi dan lagi. Dunia tidak akan berubah oleh kesadaran pekerja, apalagi impian tolol dari beberapa domba yang mengekor pada tetua kolektif pekerja yang menghabiskan waktu untuk berdiskusi sambil mabuk lalu bangun kerja telat lagi dan beberapa para orang munafik di dalamnya.



oleh Aleen Ibn Ni'qat