Kala itu, sehabis berbuka puasa dengan masakan buatan ibu, aku duduk melamun di teras rumah sambil mengisap rokok sementara yang lain membicarakan pengalaman masing-masing ketika melakukan perjalanan ke sebuah kota di sebelah barat Jakarta beberapa hari lalu. Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara yang keluar dari telepon genggamku.

Luna meneleponku tiba-tiba. Dia bilang ingin bertemu, lalu bertanya padaku apakah aku bisa datang ke tempatnya atau tidak. Rasanya senang sekali mendengar kabar seperti itu darinya karena aku pun memang menginginkan itu sejak lama. Tanpa pikir panjang, tentu saja aku iyakan. Apalagi jika mengingat apa yang terjadi di bulan September-Oktober tahun lalu, sepertinya bodoh jika aku melewatkan kesempatan yang sama untuk kedua kalinya.

Setelah menutup telepon darinya, sambil bersiap-siap, aku membuka Google Maps untuk menghafal rute dan mengetahui perkiraan waktu yang akan kutempuh untuk menuju kediamannya. Aku kurang percaya dengan navigasi yang Google berikan karena 4 tahun lalu aku sempat terjebak di gang buntu selebar 1,5 meter setelah mengikuti arahannya, alih-alih mengikuti arahan navigator Google, aku lebih memilih menghafal rutenya dan menggunakan titik-titik tertentu sebagai acuan. Kalau kata orang sini mah, meh teu poek teuing. Kitu ceunah. Beberapa menit berlalu, setelah semuanya siap, aku mengirim pesan singkat ke Luna, memberitahukan kalau aku akan segera menuju kediamannya setelah rokokku habis.

“Aku gugup, merokok dulu, abis rokok jalan ke situ,” kataku. Dia tertawa dan mengingatkanku agar hati-hati di perjalanan nanti.

Di sela merokok, aku mengirim pesan singkat di WAG rahasia untuk memberi tahu teman-temanku kalau malam itu aku akan bertemu dengan Luna sekaligus meminta saran untuk menghilangkan rasa gugup yang kurasakan sejak tadi. Respon yang kudapat bermacam-macam dan hampir tidak ada yang serius. Kebanyakan kocak juga aneh. Seorang teman menyarankanku untuk membawa bunga, ada juga yang menyarankanku mabuk kecubung terlebih dahulu agar rasa percaya diriku meningkat. Pertemuan pertama dengan kecubung dan bunga mawar, membayangkannya saja sudah aneh, pikirku. Hahaha. Tentu saja saran-saran itu tidak aku ikuti. Karena selain aku yang tidak mau mencoba mabuk kecubung, aku juga tidak mau kesadaranku hilang saat akan bertemu dengan Luna. Aku ingin bertemu dengan kesadaran penuh. Kalau untuk membawa bunga mawar, bukannya aku tak mau, hanya saja, aku merasa ini bukanlah saat yang tepat untuk itu—sayang juga kan kalau-kalau nanti bunganya berakhir di tempat sampah, mending rakit PC, kalau kata penjaga warnet di tahun 2012.

Setelah haha-hihi di WAG rahasia, melihat rokokku yang hampir habis, aku pun mematikan rokok yang sejak tadi kuisap lalu menginjaknya. Bergegas pergi menuju kediamannya menunggangi kuda besi dengan perasaan campur aduk antara senang, antusias, dan gugup. Aku tiba di kediamannya lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Google Maps karena hari itu jalanan tak seramai biasanya.

Mengetahui aku telah datang dari suara motor yang berhenti di depan kediamannya, Luna pun membuka pintu, tersenyum lalu mempersilahkanku untuk masuk.

“Feel at home aja, ya, A,” begitu katanya sambil berjalan hendak mengambil air minum.

Aku mengiyakan. Senang rasanya bisa melihatnya ada di hadapanku. Sementara Luna mengambil air minum, aku duduk santai sambil menghela nafas dan membuka jaket karena merasa kegerahan. Kala dihadapkan dengan situasi dan kondisi tertentu tubuhku memang sering merasa panas, sekalipun sedang berada di ruangan ber-AC. Tak lama kemudian, Luna datang dengan air minum yang baru saja ia ambil dan kami pun duduk bersebelahan, saling bercerita.

Pembicaraan kami bermula dari pertanyaan singkat mengenai kabar, berkembang menjadi pembicaraan mengenai pekerjaan, dan hal-hal yang terjadi selama kami tak saling mengabari satu sama lain. Malam itu aku lebih banyak mendengarkan, bukan karena aku tak mau berbicara banyak, aku hanya merasa kesulitan ketika akan menyampaikannya. Rasanya seperti tertahan di kerongkongan. Merepotkan memang, memiliki kemampuan berkomunikasi di bawah rata-rata, tapi aku menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Mungkin ini yang orang-orang maksud dihadapkan dengan situasi yang sama-sama canggung. Mungkin juga hal semacam itu lumrah terjadi pada sepasang muda-mudi. Entahlah. Mungkin hanya perlu sedikit adaptasi dan pembiasaan diri, pikirku saat itu.

Setiap kali dihadapkan dengan situasi hening, ingin sekali aku mengatakan bahwa aku mencintainya, dan ini sungguhlah sederhana, hanya saja, aku tidak mengerti bagaimana cara meyakinkan diri untuk itu. Alih-alih membicarakannya, aku malah bertanya kepada Luna mengenai seekor anjing peliharaan yang muncul di acara TV.

“Anjingnya kok dikasih nama sapi, ya?” Tanyaku tiba-tiba.

“Kayanya karena warna bulunya kaya sapi?” Jawab Luna

“Tapi masa iya gara-gara bulunya mirip sapi jadi dikasih nama sapi, sapi itu kan bahasa indonesia, emang di korea namanya sapi juga ya?” Tanyaku sambil sedikit tertawa dan Luna pun ikut tertawa.

“Udahlah, ga usah dipikirin hahaha. Kamu belum melakukan rutinitas malam harimu kan, yok lakukan, aku temenin, biasanya kan aku temenin lewat telepon, nah, sekarang aku pengen temenin secara langsung.” Kataku sambil sedikit tertawa.

Setelah mengiyakan permintaanku, ia lalu mengambil perlengkapan untuk menjalani rutinitas malam harinya. Sambil menemaninya menjalani rutinitas, kami berdua terlibat pembicaraan sampai penghujung malam. Saat itu tatapanku terfokus kepadanya. Memperhatikan ia berbicara sambil sesekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan kecil untuknya. Hingga tiba waktunya untuk tidur, kami mengakhiri pembicaraan dan bergegas untuk tidur karena nanti sebelum jam 4 subuh kami harus bangun untuk melaksanakan sahur. Sebelum menuju kamar masing-masing, kuucapkan selamat malam dan selamat tidur untuk Luna.

Sesampainya di kamar, aku berpikir mengenai kejadian yang kualami saat hening tadi malam. Lalu aku iseng mencoba untuk memasukkan kalimat “gugup saat akan mengungkapkan cinta” di pencarian google, aku mendapatkan banyak artikel yang menyajikan puluhan kutipan-kutipan idiot serta tips-tips tolol. Menyedihkan. Melakukan hal tersebut membuatku merasa seperti orang tolol, kataku sambil tertawa-tawa. Setelah melakukan hal tolol tersebut aku bermain catur untuk mengisi waktu

Sambil menunggu waktu sahur. Tadinya aku berniat untuk tidak tidur karena aku khawatir bangun kesiangan, tapi karena aku mulai bosan main catur dan tak tahu harus melakukan apa lagi, aku memutuskan untuk mencoba tidur sambil memutar lagu-lagu favorit. Sebelumnya aku mengaktifkan 3 alarm sekaligus dalam rentang 30 menit sebelum waktu sahur. Sengaja kulakukan karena aku tahu waktu tidurku tak pernah kurang dari 7 jam, maka jika aku tidur lewat tengah malam, bisa dipastikan aku akan bangun tidur setelah matahari terbit. Beruntung kekhawatiranku tak terjadi. Aku bangun lebih awal dari alarm yang telah kuaktifkan. Akibatnya, saat bangun tidur aku merasa bingung. Lalu aku duduk sejenak kemudian merapikan tempat tidur dan cuci muka agar terlihat sedikit lebih segar. Ketika hendak cuci muka terdengar suara dari arah dapur. Aku menoleh ke bawah untuk memeriksa ternyata suara itu Luna yang sedang memasak. Aku pun lekas berjalan menghampirinya untuk mengetahui apa masakannya sekaligus mengambil air minum. Menyadari kedatanganku, ia menyuruhku untuk duduk dan menunggu masakan siap.

Duduk aja dulu, katanya. Aku mengiyakan, duduk sambil memperhatikan Luna memasak. Tak berselang lama, Luna menghampiri meja makan dengan dua piring surga yang ia ciptakan di muka bumi dan mempersilakanku untuk menyantapnya.

“Met sahur, Lun”, kataku.

Kami makan sahur bersama sambil sesekali membicarakan hal-hal kecil yang dibangun oleh keadaan saat itu. Ketika aku selesai makan, aku melihat ke arahnya, spontan aku bergumam dalam hati,“Ya tuhan, jadi gini ya rasanya dimasakin sekaligus ditemani santap sahur sama orang terkasih. Enak banget, nikmat Ramadhan.”

Mungkin ini hal biasa, tapi bagiku adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai. Sepertinya Ramadhan selalu memberi kesan yang baik untuk hubungan kami berdua. Bagaimana tidak, sejak aku mengenalnya, banyak sekali momen-momen yang telah terjadi di bulan Ramadhan. Awal kedekatan kami juga terjadi di bulan Ramadhan. Luna mengetahui aku mencintainya di Bulan Ramadhan, dan yang terpenting dan membahagiakan, di Ramadhan kali ini aku bisa bertemu dan menikmati momen-momen berdua bersamanya.

Setelah menyelesaikan makan sahur dan ngobrol haha-hihi, Luna bertanya padaku. “Kamu mau ke kamar atau mau nonton TV dulu?”

Aku balik bertanya, ”Kenapa emang, kamu mau tidur lagi?”

“Iya, nanti bangun lagi pas mau sholat subuh,” jawabnya.

Aku iyakan saja, toh nanti pagi juga dia harus pergi bekerja, “Ya udah sok tidur aja, aku di sini dulu, mau main catur.”

Tak lama setelah Luna meninggalkan meja makan untuk melanjutkan tidur, kira-kira sepuluh menitan, aku menyusul memasuki kamar sekadar untuk rebahan sampai nanti pagi sambil membaca ulasan-ulasan mengenai pertandingan leg kedua antara Liverpool melawan Real Madrid di ajang Liga Champions. Dari jendela terlihat langit tak lagi gelap, berganti dengan langit putih. Aku keluar dari kamar, menuruni tangga dan melihat Luna sedang menonton TV dengan wajah yang masih mengantuk. Kuhampiri dia untuk duduk di sebelahnya lalu kami berbicara sampai waktunya aku pulang. Sebenarnya aku ingin sekali mengabadikan waktu bersama Luna atau jika perlu aku ingin tak usah ada waktu sama sekali ketika aku bersamanya. Sepertinya berdua bersama Luna sepanjang waktu akan sangat menyenangkan, tetapi mungkin juga akan sangat melelahkan. Meski begitu, aku yakin akan banyak kenangan yang tercipta ketika kami bersama dan semuanya akan menjadi kenangan yang mengagumkan. Aku akan selalu mengingatnya, hari pertama kami bertemu, dan segala hal yang terjadi di dalamnya karena Luna adalah sosok yang aku harapkan dan aku inginkan.

Tiba waktunya untuk berpisah. Aku berpamitan pulang. Dalam hati kuhaturkan syukur pada semesta yang telah memberikan kegembiraan. Luna, aku mencintaimu, semesta adalah aku dan kamu. Semoga segera tiba waktu untuk bisa bertemu lagi. Apabila tidak, ijinkan aku untuk mengajakmu berkelana dalam khayalku.




oleh Arnitjetta