Di Seberang

 

Sudah lumayan lama sejak gadis itu terakhir kali menyambangi pikiran Yahya. Sore itu seperti biasa ia melamun di teras apartemennya, meletakkan rokok di tepian asbak yang sudah kelewat penuh saat tiba-tiba wajah gadis berambut panjang yang tinggal bersama sepasang kakek nenek di seberang rumah orang tuanya muncul kembali dalam pikirannya. Gadis itu gadis yang aneh, pendiam dan selalu tampak murung. Sepertinya gadis itu adalah seorang anak yatim piatu, badannya jauh lebih tinggi dan besar di usianya yang hampir sebaya dengan Yahya. Yahya ingat betul bagaimana gadis berambut panjang itu selalu mengganggunya saat ia masih kanak-kanak. Dia selalu ada di sana hampir setiap hari, berdiri di seberang jalan, di depan rumahnya. Tak jarang, Yahya enggan keluar rumah atau sengaja pergi lewat pintu belakang karena ia takut menghadapi tatapan dingin gadis itu.

Orang tua Yahya masih tinggal di rumah itu, rumah yang ia tinggalkan sejak mulai merantau selepas lulus SMA dan mulai jarang ia kunjungi meski rutin mengirimkan uang untuk mencukupi biaya hidup kedua orang tuanya. Ia sempat mendengar kabar kalau pasangan kakek nenek yang tinggal di depan rumahnya itu meninggal dunia dalam waktu yang hampir bersamaan sekitar empat tahun yang lalu. Rasa penasaran memenuhi pikiran Yahya, sore itu ia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya yang sebenarnya tak begitu jauh dari kota tempatnya bekerja. Malamnya, tanpa membuang waktu Yahya menggunakan kesempatan di meja makan untuk bertanya tentang gadis berambut panjang dari masa kecilnya itu meski ayah dan ibunya belum puas melepas rindu serta terus menanyakan kabar dan kesehatannya.

Mereka berdua masih ingat pada Sri Hartono, seorang pensiunan pegawai negeri yang mendiami rumah di seberang jalan depan rumah mereka bersama istrinya, tetapi mereka tak pernah memiliki ingatan tentang gadis kecil yang tinggal bersama pasangan tua itu. Kedua orang tua Yahya memang kurang  akrab dengan pasangan Sri Hartono yang jarang bergaul dan berpartisipasi dalam kegiatan warga di lingkungan itu, meski begitu seharusnya  mereka ingat bila memang ada seorang gadis kecil yang tinggal dalam asuhan mereka.

Yahya masih bersikeras, menceritakan kejadian-kejadian yang satu per satu kembali datang dari dalam ingatannya. Seorang gadis kecil pendiam yang tinggal di seberang jalan bersama pasangan kakek nenek. Gadis  berambut panjang itu seusia Yahya tetapi tidak bersekolah bersamanya, sepertinya ada yang kurang beres dengan gadis itu, Yahya tak memiliki ingatan kalau gadis itu pernah mengatakan sesuatu. Kedua orang tua Yahya hanya bisa saling berpandangan sementara Yahya terus menerocos bercerita tentang ingatan buruknya mengenai gadis itu, tentang hal-hal jahat yang pernah ia lakukan padanya.

"Bagaimana mungkin Bapak & Ibu bisa lupa tentang ini?" Ucap Yahya setengah berteriak, beranjak dari tempat duduknya dan menunjukkan lehernya.

Tiba-tiba ingatan mengerikan itu muncul, seolah film pagi dari hari libur natal yang diputar kembali dalam pikiran Yahya. Gadis itu berdiri di sudut kebun belakang rumahnya, tanpa ia sadari pintu pagar besi sudah terbuka dari luar saat ia sedang bermain dengan mobil-mobilan miliknya di ujung tangga pintu masuk. Gadis itu mendekat, bau tai kucing menyengat penciuman Yahya. Tanpa mengatakan apa pun tiba-tiba gadis itu menubruknya hingga mereka berdua bergulung di atas tanah. Yahya bisa merasakan bulu-bulu halus dari lengan gadis itu menyentuh pipinya, Yahya mencoba membuka matanya yang pedih tertusuk rambut panjangnya yang terjuntai ke wajahnya. Kedua telapak tangan gadis itu mencengkeram leher Yahya erat. Yahya kembali teringat bagaimana tatapan dingin dari kedua bola mata hitam gadis itu membuatnya gemetar tak berdaya, bibir tipis miliknya, mulutnya yang terbuka lebar dan hangat hembusan napas yang ia rasakan saat gadis itu mendekatkan mulutnya ke leher Yahya. Hal terakhir yang muncul dari ingatannya adalah rasa perih dan lelehan dingin air liur di lehernya. Secepat kedatangannya, begitu cepat pula gadis itu pergi meninggalkannya sendirian meringkuk di tanah, menangis kesakitan.

Sebelum ini Yahya tak pernah mengingat asal-usul bekas luka yang ada di lehernya itu, entah bagaimana hal itu bisa lewat dari ingatannya hingga akhirnya kembali muncul beberapa menit yang lalu. Kedua orang tuanya pun kaget, keduanya masih terus saling pandang,  tak bisa percaya pada apa yang baru saja mereka lihat dan dengarkan sebelum akhirnya beranjak mendekat dan memeriksa leher Yahya dengan seksama. Tampak jelas bahwa bekas luka itu adalah bekas sebuah luka gigitan, setengah lingkaran dengan beberapa lekukan menyerupai hujaman gigi-gigi kecil.

"Kemungkinan besar kami akan teringat pada peristiwa yang menyebabkan luka seperti itu, Le." ucap ayahnya lirih sementara ibunya masih memeriksa leher anak semata wayang mereka itu.

Yahya kini kembali teringat bagaimana kehidupannya hancur berantakan semenjak insiden itu. Ia tumbuh besar menjadi remaja ugal-ugalan, kabar kenakalannya tersebar di tempat ia tinggal dan menjadi riwayat suram yang terus mengikutinya hingga ia tumbuh dewasa. Saat itu kedua orang tuanya abai pada nasibnya dan selalu menyalahkan himpitan ekonomi serta berbagai masalah lain yang menghinggapi rumah tangga mereka. Kehidupan mereka baru perlahan membaik setelah ada seorang kerabat jauh yang memberikan pekerjaan pada Yahya di kota.

Menolak tawaran kedua orang tuanya untuk bermalam, Yahya bersiap pergi dalam keadaan lebih frustasi daripada saat ia datang. Di matanya, ayah ibunya yang sejak dulu cuek sekarang telah menjadi jompo yang bahkan tak bisa mengingat hal besar dari masa kecilnya.

Saat ia menutup pintu depan, Yahya melihat seorang gadis kecil berambut panjang di seberang jalan. Kemungkinan besar ia dalah anak dari keluarga yang sekarang mendiami rumah itu, pikiran Yahya yang sedang kacaulah yang membuat gadis itu terasa begitu familiar.

Paginya Yahya terbangun dalam kondisi lelah, sekujur badannya pegal-pegal, ia terbangun dari mimpi buruk yang tak bisa lagi ia ingat. Bekas luka di lehernya terasa gatal. Masih dengan segelas kopi yang ia beli dari minimarket, ia bergegas menyetir mobilnya dan mengingat kembali agenda apa yang harus ia kerjakan hari ini, mencoba melupakan kenangan buruk yang tak kunjung pergi dari pikirannya sejak semalam.

Di perempatan terakhir menjelang kompleks perkantoran tempatnya bekerja, ia melihat seorang gadis kecil berambut panjang berdiri di seberang jalan. Sepertinya gadis itu adalah gadis yang sama dengan gadis yang ia lihat di rumah orang tuanya semalam. Yahya teringat kalau ada sebuah sekolah tak jauh dari tempatnya bekerja, mungkin ia bersekolah di sana dan berangkat bersama ayahnya yang bekerja tak jauh dari daerah ini. Semuanya hanyalah kebetulan, sama seperti yang terjadi semalam.

Lampu merah terasa lebih lama dari biasanya, gadis itu masih berdiri di sana dan tak kunjung menyeberang, menatap ke arah Yahya. Yahya bergegas menyalakan lampu sign ke kiri, memutuskan untuk membolos kerja dan kembali melaju ke arah apartemennya.

Yahya terus menggaruk bekas luka di lehernya, darah mulai meleleh dari luka yang kembali terbuka. Ia menginjak pedal gas lebih dalam saat kembali melihat gadis kecil berambut panjang yang sama, duduk di depan sebuah minimarket, beberapa blok sebelum kompleks apartemen miliknya.

Mobilnya tiba-tiba dipenuhi bau busuk, bau yang familiar, bau tai kucing. Yahya hampir melompat dari kursi kemudi saat ia melirik kaca spion dan melihat gadis itu duduk di kursi belakang. Ia mencoba berteriak namun suaranya tercekat, bersamaan dengan cengkeraman sepasang tangan mungil di lehernya. Bulu-bulu halus dari kedua lengannya, rambut panjangnya terurai. Gadis berambut panjang itu kini ada di sampingnya, Gadis berambut panjang itu sekarang ada di sekujur tubuhnya, di bawah kuku-kuku jari tangannya, ada di dalam mulutnya, Yahya bisa merasakan gadis berambut panjang di lidahnya. Yahya terbatuk, berusaha memuntahkan gadis itu dari dalam mulutnya, tetapi ia tetap ada di sana, memenuhi kerongkongannya.

~

oleh buttercup