Sugesti

 

“Ada yang tahu cara meracuni binatang?” Baron bertanya sambil berjalan masuk ke warung Emak. Suaranya yang lantang dan sedikit cempreng memecah kesunyian ruangan tersebut sebelum lenyap tergantikan suara kesibukan pasar di belakangnya. Seisi warung hanya diam melihat kedatangannya.

Dia mengeluarkan sebungkus rokok kretek yang sudah terbuka dari saku kemeja merahnya, menggerakkan pergelangan tangannya naik turun secara cepat dan mengambil satu batang yang terdorong keluar. Ia meraih pemantik api yang tergantung di etalase kecil lalu menyalakan rokok yang sudah terselip di antara bibirnya yang tebal sambil membelakangi seisi ruangan. Tubuhnya yang tinggi semakin terlihat seperti raksasa di dalam ruangan beratap rendah itu. Di leher belakangnya terlihat garis ukiran tato yang sebagian besar tertutup kemeja. Hanya terlihat ujungnya yang lancip seperti cakar elang yang sedang meraih garis batas rambut belakangnya yang pendek.

Ini pertama kalinya ia berkunjung lagi ke warung Emak setelah hampir dua bulan bebas dari penjara. Asap menyembul keluar dari mulutnya, bergerak ke atas melewati kedua pipinya yang kembang kempis berusaha menyalakan rokok. Setelah itu, ia menoleh sambil menyeringai dengan rokok masih berada di antara bibirnya, “Kenapa diam… Gak kangen kalian sama aku?”

Baharudin Rony alias Baron, 28 tahun. Residivis kambuhan sejak putus Sekolah Menengah Umum. Memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya menuju ke kota besar hanya untuk tertangkap basah mendorong keluar sebuah motor milik seorang Ketua RT yang sebelumnya terkunci rapi dengan dua gembok di cakram depan dan rantai belakang. Ia hampir berhasil menyalakan motor itu kurang dari lima menit sejak pertama kali memasukan dua kombinasi batang besi di lubang kunci gembok pertama. Akan tetapi ia kurang beruntung, ibu ketua RT tiba lebih cepat dari acara pengajian di kelurahan dan memergokinya sedang melingkarkan kaki kirinya untuk duduk di jok motor yang baru dibeli sebulan sebelumnya. Seketika saja mereka bertukar pandang dengan raut muka sama-sama bingung lalu entah atas alasan apa Baron tiba-tiba menyahut, “Motornya bagus juga ya bu?!” Kontan Bu RT berteriak, bergegas berlari keluar dan dengan cepat membanting pintu garasi keras-keras lalu berteriak menarik perhatian orang-orang di sekitar.

Baron sempat turun dari motor untuk berusaha kabur, namun entah kenapa pintu besi yang menyatu dengan tiang tembok rumah itu tidak bisa dibuka. Tubuhnya yang besar bergerak kikuk penuh kebingungan. Baron mencoba membuka pintu sambil meraba-meraba permukaannya dari atas ke bawah mencari sesuatu untuk ditarik atau berharap pintu itu terbuka sendiri. Pintu gerbang satu lagi yang menyatu dengan tiang tembok yang sama masih terkunci sedangkan atap asbes garasi rumah tersebut tidak menyisakan celah untuk dipanjat keluar. Namun, akhirnya ia urungkan niatnya untuk membuka pintu karena sudah terdengar teriakan-teriakan warga dari luar rumah.

Jika saja Ibu RT tidak langsung menghubungi Polsek, Baron bisa saja berakhir setengah matang dibakar massa yang saat itu langsung menyiapkan bensin sambil menunggu di luar. Ia ditangkap dan beberapa bulan setelah itu diputus bersalah oleh hakim lalu mendekam sepuluh bulan di penjara anak-anak.

Sejak saat itu sampai dua bulan yang lalu, pengalaman hidupnya lebih mudah diceritakan dengan angka beserta lokasi yang berbeda-beda. 1 tahun lagi di LP anak-anak, 6 bulan berikutnya dipindahkan ke Subang, dua tahun di Cipinang, satu setengah tahun di Kuningan, dan ditambah lagi dua setengah tahun di Pandeglang. Seperti rekam jejak prestasi di kalangan residivis, hal ini menjadi semacam bintang kehormatan imajiner yang disematkan di dadanya tiap kali ia tertangkap dan diputus bersalah. Hal itu berpengaruh kepada posisinya sebagai salah satu pelaku kejahatan kelas teri yang patut diperhitungkan dalam kehidupan di balik teralis besi. Nampaknya juga, apa yang dia ketahui selama ini lebih banyak didapatkannya dari sana daripada di sekolah.

Baron termasuk spesialis pencuri kendaraan bermotor, tapi sering juga ia melakukan penjambretan serta perampokan. Kasusnya yang terakhir digolongkan dalam pasal pencurian dengan kekerasan. Ia secara reflek mengayunkan badik ke arah jari tangan korbannya hingga putus untuk mengambil cincin emas yang dipakai si korban. Sebelumnya, Baron sudah berhasil mengambil jam tangannya. Sialnya, beberapa hari kemudian ia menjual hasil curian itu ke salah satu toko emas yang ternyata dimiliki oleh keponakan korban yang mengenali barang tersebut. Tanpa banyak pikir, si empunya toko emas langsung menghubungi pihak yang berwajib dan tak lama setelah itu polisi datang membekuk Baron.

Si empunya toko sempat bertanya kepada Baron kenapa ia begitu kejam terhadap orang tua yang tak berdaya. Baron menjawab dengan kesal, “ Bapak tua itu mulai berteriak, meludah, dan menendang selangkanganku.” Polisi mendorong Baron untuk terus berjalan, lalu Ia berkata, “Andai dia tak melakukan itu, mungkin saat ini dia masih bisa berhitung sampai 10 dengan jari-jari keriputnya!” Raut muka si empunya toko memerah mendengar jawaban Baron lalu membalas “Semoga kamu membusuk di penjara!” Baron tersenyum lebar dengan tangan menyilang terbogol ke belakang. “Kita semua sedang membusuk!” tambahnya sambil terus berjalan, “Tapi aku membusuk dengan baik di dalam sana.”

Baron berjalan menuju salah satu sudut ruangan, kancing paling atas kemeja merahnya terbuka. Gumpalan asap keluar dari mulut dan hidungnya. Tangan kirinya mengacungkan jari telunjuk ke atas sambil melihat ke arah Emak memberi isyarat bahwa ia memesan segelas kopi pahit tanpa gula. Ia menarik celananya sedikit sambil mengangkangi kursi panjang yang berhadapan dengan meja dan kursi lain di belakangnya. Di sebelah kanannya duduk seorang laki-laki bertubuh kecil berambut lurus yang tengah sibuk dengan pensil dan buku teka-teki silangnya di atas meja. Orang itu tidak sedikitpun menaruh perhatian pada Baron, kaki kanannya dinaikan ke atas kursi, di sebelahnya terdapat segelas besar es teh yang sudah diminum setengah dan serangkaian kunci motor yang digabungkan dengan kunci pintu rumah dan kunci gembok.

Baron melihat ke arah televisi yang ditempatkan di atas sudut lain ruangan yang berdekatan dengan tempat Emak menyiapkan kopi. “Aku butuh bantuanmu,” sahut Baron diikuti dengan isapan yang dalam pada rokok kreteknya, sehingga urat-uratnya terlihat menegang seperti ingin pecah di dalam lehernya. Orang di sebelahnya masih diam, kepala orang itu menunduk ke arah buku di atas meja dan tangan kanannya mengetukan bagian belakang pensil ke arah meja berkali-kali. “Tolong dulu besarkan suara tv itu,” Baron berkata kepada pria lain di ujung meja satu lagi. Ia masih menunggu jawaban orang yang ada di sebelahnya sambil terus menatap ke arah televisi yang memberitakan pelantikan presiden yang sebelumnya sudah menjabat selama 1 periode jabatan.

Beberapa saat kemudian, Emak mengantar kopi pesanan Baron dan menaruhnya di atas meja. Dengan santai ia menarik alas gelas kopi tersebut ke depannya sambil mengangkat kaki kirinya masuk ke bawah meja dan berhadapan dengan orang yang tadi ada di sebelahnya. Ia kembali menghisap rokok kreteknya dengan kuat lalu mengarahkan semburan asapnya ke orang yang berada di depannya, “Kau masih berhutang padaku,” katanya. Laki-laki itu masih tetap duduk diam menatap ke arah buku teka-teki silangnya namun terlihat terganggu dengan pernyataan Baron dan mulai mengetukkan ujung pensil dengan tempo lebih cepat.

Baron menaikan dagunya seperti orang yang sombong. Bola matanya memutar ke bawah menatap tepat ke arah ubun-ubun laki-laki tersebut. Baron mengetahui kecemasan lelaki itu. Baron tahu bahwa orang yang ada di depannya tidak ingin terlibat dalam pembicaraan tersebut. Ia bahkan tidak mengharapkan kehadiran Baron di situ, “Kau tahu apa yang lebih buruk dari seorang penjahat?” tanya Baron. Ia diam sebentar sambil menarik asap rokok kreteknya dalam-dalam, lalu memiringkan kepalanya sedikit ke samping seperti berusaha mengintip pandangan lelaki di depannya sambil berkata, “Seorang pecundang yang tak mau menatap orang yang pernah menolongnya”. Kemudian Baron meniup sisa asap yang ada di mulutnya ke bawah pandangan lelaki itu dan menambahkan, “Seorang pemadat yang tak mampu memutuskan apa yang paling baik untuk dirinya”. Setelah itu Baron menegakan badannya, menghisap rokoknya kembali dan membuang asapnya dengan cepat sambil menoleh ke arah televisi, “Seorang pengecut!” katanya.

Laki-laki itu seketika menghentikan ketukan pensilnya, Baron masih mengarahkan kepalanya ke arah televisi. Lelaki itu berkata “Gue gak punya utang apa-apa sama lu!” lelaki itu menurunkan kaki kanannya, lalu sedikit menegaskan, “Gak usah lu intimidasi gue dengan ucapan kosong lu, gak berguna, ini bukan penjara!” Tangannya menekan meja sambil berdiri lalu membereskan buku dan pensilnya sambil meraih rangkaian kunci di sebelahnya. Lelaki itu bergeser keluar dari meja tersebut lalu melontarkan pertanyaan retoris itu kembali kepada Baron, “Lu tau apa yang lebih buruk dari seorang penjahat?”

Baron hanya tersenyum, kepalanya masih mengarah ke televisi. Lelaki itu mulai melangkah di belakang Baron, mengangkat jari tangannya ke arah Emak menandakan ia berhutang satu gelas es teh manis dan menjawab pertanyaannya sendiri, “Penjahat yang lebih sering tertangkap dalam aksi kejahatannya!”.

Baron masih menoleh ke arah televisi mengekspresikan raut muka bosan sambil menggerakkan mulutnya seperti menirukan jawaban lelaki itu. Ketika sedang berjalan mengarah ke pintu warung, lelaki itu mengatakan, “Gak usah libatin gue dalam rencana-rencana tolol lu!” sembari terus meninggalkan warung dengan langkah cepat.

Baron tetap asyik dengan rokoknya sambil memperhatikan televisi sewaktu Emak tiba-tiba menyahut “Memangnya kamu sendiri tahu apa yang terbaik buatmu, Ron?” Mendengar pertanyaan Emak, Baron langsung mengerutkan dahinya. Ia menghembuskan asap dari hidungnya lalu memiringkan salah satu pinggir bibirnya yang tertutup ke arah atas. Ia membuka tutup gelas yang diikuti kepulan uap yang naik, lalu perlahan mengangkat gelas dan mencicipi kopinya. Setelah itu ia bicara, “Yang terbaik buatku, Mak?! Ya sekarang ini. Saat ini!”

Matanya masih tertuju ke televisi, bibirnya mengecap-ngecap untuk melepaskan serbuk kopi yang menempel lalu berkata dengan santai, “Segelas kopi pahit tanpa gula dan sebatang rokok di dalam warung panas, lembab dan penuh asap sambil menjawab pertanyaan nenek-nenek yang ingin ikut campur urusan orang lain”.

Emak tidak membalas jawaban Baron. Ia sedikit mengeleng-gelengkan kepalanya, matanya menatap ke arah Baron yang menatap ke arah televisi. Tangannya tetap sibuk menyiapkan pesanan orang lain di tengah kesibukan pasar. Di kejauhan terlihat lelaki yang baru saja meninggalkan warung Emak masih berjalan cepat memotong salah satu lorong pasar yang di kiri kanannya dipenuhi sayur mayur dan barang-barang pedagang lalu menghilang seperti ditelan lantai pasar saat ia menuruni tangga di depan pintu besar yang berhadapan dengan pintu warung Emak di belakang.

†††

Sudah lewat dua hari setelah pertemuannya dengan Baron di pasar, Ganjar masih memikirkan di mana terakhir kali dia menyembunyikan barang itu. Dia berbaring di kamarnya. Siapa yang berani mengambil barang itu pikirnya. Kedua telapak tangannya tumpang tindih menahan belakang kepalanya di atas kasur beralaskan tikar yang terbuat dari kain tenun dengan paduan kayu-kayu kecil seperti triplek yang dipotong-potong dan diplitur. Salah satunya pergelangan kakinya bergerak-gerak seperti menjaga tempo kecemasannya saat berpikir. Tepat di sebelah kirinya, sejajar persis dengan kepala, sepanjang raihan tangannya, terdapat kabinet kecil serta meja yang lebih mirip meja menggambar untuk anak-anak. Kabinet kecil itu adalah tempat dia biasa menyimpan peralatan dan barang siap pakai kurang lebih sekitar satu setengah gram. Tetapi sejak 3 hari yang lalu, di dalam kabinet tersebut hanya tersisa alat pakainya saja. Bukan hanya itu, yang membuatnya lebih khawatir adalah dia juga kehilangan bungkusan lain yang bernilai jauh lebih besar. Bungkusan seberat 50 gram lebih yang disimpannya di tempat yang dia pikir tidak akan diketahui orang lain.

Dia merusak tembok kamarnya untuk membuat ruang sebesar dua buah batu bata lalu menempelkan bingkai foto berukuran lebih besar. Bingkai tersebut sudah dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat tergantung di dinding kamar dan tidak bisa dipindah. Cara membukanya cukup menggeser bagian foto ke kiri, di dalamnya cukup menampung sampai 1 kg. Saat ini, dia berbaring sambil menatap lubang kosong yang terbuka tersebut, pergelangan kaki kirinya masih bergerak-gerak seperti sedang melambai ke arah dinding. Lubang sebesar dua buah batu bata itu dikelilingi bingkai coklat dengan foto yang sudah bergeser ke kiri, tertulis “Ganjar Ginanjar, SE” di foto itu.

Dia tak pernah suka nama itu. Teman-temannya dulu sering menyebar gosip perihal orang tuanya yang malas mencari ide untuk memberi nama sehingga memilih dua nama yang kurang lebih sama. Dia juga sempat mendapat nama panggilan yang hanya mengganti huruf vokal pada nama depannya saja menjadi “Genjer”. Itu lebih dikarenakan sifatnya yang tidak mau banyak bicara dan tidak mau menonjolkan diri walaupun selalu terlibat berbagai kegiatan. Teman-temannya sering mengatakan kepadanya agar lebih aktif atau setidaknya berusaha terlihat berguna. Pada saat berolahraga dia lebih memilih berteduh dari sinar matahari setelah beberapa saat melakukan pemanasan. Dalam kegiatan berdiskusi ia hanya mendengarkan lalu ketika ditanya pendapatnya hanya mengangguk-ngangguk. Akhirnya mereka menyamainya dengan salah satu jenis tumbuhan rawa karena ia lebih memilih bersikap tidak berguna tapi bisa saja diperlukan kalau benar-benar tidak ada pilihan lain.

Sekarang dia sama tidak terlalu peduli dengan panggilan itu. Terserah orang lain ingin memanggilnya dengan sebutan apa. Dia beranggapan dengan menambahkan koma dan dua huruf di belakang namanya pun tidak bisa merubah kenyataan bahwa dirinya adalah seorang penganguran. Seorang sarjana yang kalah dalam persaingan. Seorang pemadat yang masih tinggal menumpang ibunya yang hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Seorang yang memilih tetap berkubang di pasar gelap narkoba skala kecil hanya agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dia masih merasa seperti yang dulu dikatakan teman-temannya, tidak berguna. Tapi menurutnya lagi, dia juga tidak peduli jika ia tidak berguna, yang sekarang lebih dipedulikannya adalah bagaimana menemukan shabu seberat 50 gram lebih yang tiba-tiba hilang dari kamarnya. Sudah pasti ada yang masuk ke kamarnya dan sempat untuk memeriksa segala sesuatu sampai akhirnya menemukan tempat rahasia di belakang bingkai berisi replika ijazah tersebut. Walaupun tanpa ia sadari, bingkai foto tersebut sebenarnya menarik perhatian orang karena bingkai itu adalah satu-satunya hal yang tergantung di dinding putih dalam kamarnya yang bisa dikatakan tertata rapi. ”Tapi siapa orang yang berani masuk?” pikirnya.

Dia hanya tinggal dengan ibunya karena adik perempuannya sudah 2 tahun pindah setelah berkeluarga. Ibunya tidak pernah lagi mau masuk ke kamarnya. Sejak Ganjar pertama kali tertangkap, ibunya seperti tidak ingin mengetahui lagi apakah anaknya masih terlibat dalam dunia narkoba atau tidak. Ibunya seperti menghindari ketidaksengajaan yang akan membuatnya terkejut jika mengetahui kenyataan yang tidak diinginkannya. Fakta yang bisa membuatnya kecewa, seperti saat pertama kali mendapat kabar bahwa anaknya ditangkap aparat kepolisan. Bukan hanya itu, Ganjar diduga sudah lama terlibat salah satu jaringan besar. Walaupun sebenarnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan tim sepak takraw.

Pada waktu itu salah satu tetangga menjemput ibunya yang sedang berada di tempat majikannya dengan motor karena ada beberapa polisi yang menanyakan keberadaan rumahnya. Sesampainya di rumah, Ibunya hanya bisa bingung terkesima sewaktu polisi mengeluarkan surat perintah penggeledahan terhadap rumahnya. Ternyata sudah selama 3 hari ini anaknya berada di sel tahanan karena diduga memiliki dan menjual narkoba jenis psikotropika. Ibunya tidak bisa melakukan bahkan tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia bahkan tidak mengetahui apa itu psikotropika. Polisi sampai berulang kali meminta ijin untuk masuk ke dalam rumahnya dan Ibunya hanya terdiam pucat. Pundaknya terasa lemas dan matanya terbelalak lebar diselimuti tatapan kosong. Mulutnya tertutup dan kepalanya tidak berhenti mengangguk-ngangguk kecil seperti mengiyakan sesuatu dalam kebingungan.

Ketika polisi mulai masuk lalu menggeledah kamar Ganjar, ibunya berpikir bagaimana anak seperti Ganjar bisa terlibat dalam dunia seperti ini. Anaknya bukan tipe orang yang akan terlibat ke dalam hal seperti ini. Anaknya adalah seorang sarjana, menyentuh rokok pun tidak. Ia juga kerap bergaul dengan tetangga dan ikut kegiatan sosial di lingkungan walaupun tidak terlalu banyak bicara. Ibunya tidak habis pikir, sampai ketika polisi meninggalkan rumah dengan hanya menemukan alat pakai pun, ia masih tidak percaya anaknya terlibat hal semacam ini. Hal yang tidak pernah dia harapkan terjadi pada keluarganya. Ganjar punya alasan sendiri kenapa ia melakukannya dan hal itu tidak pernah ia katakan, itu yang membuat ibunya terpukul. Anak yang disekolahkannya dengan upah seorang pembantu rumah tangga hanya berakhir di balik teralis besi. Belum lagi soal perkara menanggung malu di lingkungan sekitar dan kalangan saudara. Ibunya hanya bisa tertunduk pura-pura tidak tahu ketika ibu-ibu lingkungan sedang bergosip ketika ia berjalan pulang dari tempatnya bekerja. Maka dari itu, sekarang Ibunya lebih memilih tidak tahu dan tidak mau tahu, hal itu dimulai dengan tidak pernah masuk lagi ke dalam kamar anaknya. Bahkan tumpukan baju yang baru saja disetrika pun hanya diletakkan di atas kursi persis depan pintu kamar Ganjar.

Hal ini disadari oleh Ganjar dan dia pikir sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan tentang perasaan ibunya. Menurutnya, lebih penting untuk menemukan barang tersebut atau mengetahui siapa yang mengambilnya. Tetapi kenyataan bahwa ibunya tidak akan pernah masuk ke kamarnya semakin membuatnya bingung. Selain itu dia juga masih berhutang uang kepada orang lain untuk memiliki barang itu. Dia perlu sebuah solusi dan menurutnya solusi satu-satunya pada saat ini adalah mendapatkan shabu yang lain. Itu bisa membantunya berpikir lebih cepat, lebih baik, lebih taktis dengan mengeliminasi hal yang tidak perlu ia pikirkan. Satu gram lebih mungkin cukup untuk membuatnya terjaga selama dua hari dua malam sebelum akhirnya perlahan tenggelam dalam kekhawatiran yang berlebihan ketika efek barang itu mulai surut dari tubuhnya. Dalam dua hari itu dia yakin bisa menemukan solusi untuk mendapatkan barang yang lebih banyak atau mungkin mendapatkan sejumlah uang untuk menutupi hutangnya.

Berarti saat ini dia membutuhkan solusi untuk mendapatkan kira-kira satu setengah gram yang entah dari mana bisa ia dapatkan lagi hanya untuk membantunya mencari uang untuk menutupi hutang dan berharap menemukan barang yang hilang tersebut. Sebenarnya Ganjar tidak membutuhkan solusi tetapi dia membutuhkan barang itu. Dia menginginkannya sekarang. Dia sangat menginginkannya sampai ia membayangkan sedang meletakan bongkahan-bongkahan kecil kristal meth-amphetamine ke dalam mangkuk pipanya. Dia meletakannya secara perlahan dengan sendok yang terbuat dari sedotan yang dipotong melintang. Kedua jempol kanan dan jari tengahnya menahan sendok yang terisi penuh lalu perlahan ia jatuhkan isinya dengan mengetuk jari telunjuk kanannya berkali-kali. Ia membayangkan sedang memanaskan mangkuk pipanya dengan api bewarna biru yang keluar dari botol ampul berisi alkohol sembilan puluh persen sampai bongkahan itu perlahan melebur lalu menguap menjadi asap. Asap yang akan dihisapnya agar bisa mengalir lewat badan pipa berisi air lalu masuk ke dalam tubuhnya dan berkumpul di dalam rongga tenggorokannya sebelum ia keluarkan kembali dan mengulangi proses itu berkali-berkali.

Ia membayangkan telapak kakinya yang mulai dingin dan terasa kebas. Kepalanya mulai sedikit ringan, leher dan bahunya seperti tiba-tiba menegang hingga terasa sampai ke pinggangnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia membayangkan efek barang itu membuat dirinya tergerak untuk melakukan sesuatu. Ia membayangkan dirinya termotivasi keluar rumah dengan percaya diri. Ia membayangkan berbicara dengan orang-orang lain dengan penuh antusias. Ia membayangkan mendapatkan solusi dan uang lebih banyak. Ia membayangkan dirinya menjadi pribadi yang menyenangkan dan ceria, menjadi Ganjar yang mudah memulai pembicaraan. Ganjar yang dengan penuh semangat terlibat aktif dalam setiap hal. Ia membayangkan semua itu terjadi dan membuat harinya mudah. Ia membayangkan menjadi Ganjar yang lain.

“Braaaak!” terdengar suara pintu gerbang depan rumahnya dibuka. Ganjar seketika terbangun dan langsung menutup lubang di dinding kamarnya dengan satu gerakan tangan kirinya. Ia lalu menoleh dari pintunya kamarnya ke arah pintu depan. Kalau itu ibunya pasti sekarang dia sudah mendengar suara kunci dimasukan ke lubangnya di pintu depan. Tapi setelah itu yang terdengar tiga kali ketukan keras. Ia mulai berjalan ke arah depan lalu menoleh lewat gordin jendela. “Bangsat!” pikirnya. Di luar berdiri Baron yang sedang melihat ke arahnya. Baron tidak mengatakan apa-apa melainkan malah mengeluarkan bungkus plastik kecil dari kantong jaketnya. Mengangkatnya lalu menggoyangkan bungkusan itu di antara jepitan jari telunjuk dan jempolnya untuk memamerkannya kepada Ganjar. Hal itu berhasil untuk membuat Ganjar membukakan pintu. Setelah itu Baron langsung masuk tanpa dipersilakan. Ganjar keluar untuk memastikan tidak ada orang yang melihat lalu menutup pintu dan mengikuti Baron menuju kamar. Plastik kecil itu dilemparkan Baron ke atas tempat tidur lalu ia keluar kamar, duduk di kursi tengah dan menyalakan televisi.

Ganjar masuk ke kamar dan memperhatikan bungkusan plastik kecil yang tergeletak di atas kasurnya. Bungkusan itu berisi beberapa batu kristal sebesar permen cicak yang diterka ganjar sekitar kurang dari 5 gram dan tidak lebih. Hal yang sangat diinginkannya dan dibayang-bayangkannya beberapa saat yang lalu, sekarang tergeletak persis di tengah bekas cetakan badannya berbaring. Ia masih memperhatikan bungkusan itu dengan canggung. Baron pun hanya duduk di luar kamar menatap siaran di tv sambil mengeluarkan bungkus rokok. Ganjar mulai merasakan sensasi mual bercampur rasa geli di perutnya seperti ingin buang air besar hanya karena menginginkan barang itu. Sensasi yang sama yang dirasakan orang jika bertemu idolanya atau orang lain yang disukainya dan pada saat bersamaan tidak bisa melakukan apapun. Hanya keinginan untuk memilikinya terus menerus, selamanya. Itulah yang dirasakan pecandu atas candunya.

Memang benar Ganjar membutuhkannya sekarang, tapi yang ia sesalkan kenapa hal ini harus datang dari Baron. Sudah pasti barang ini diberikan oleh Baron tidak dengan cuma-cuma. Ganjar teringat pembicaraan dengan Baron di pasar beberapa hari lalu. Baron memerlukan bantuannya dan barang ini pasti bagian dari rencananya. Ganjar berpikir bahwa ia selalu terlibat tindakan kriminal jika Ia bersama Baron. Ia tidak mau terlibat lagi dalam hal apapun dengan Baron yang pertama kali dikenalnya di penjara. Terakhir kali Ganjar membantunya, Ia dan Baron bersama satu orang lagi berhasil menggasak warnet berisi 21 unit CPU beserta tetek bengeknya. Itu semua dilakukan ketika warnet tersebut sedang tutup karena libur hari besar. Gembok dan rantai yang disangkutkan di semua CPU dengan mudah dibuka Baron dengan kombinasi kunci dan beberapa ada yang dirusak dengan cairan ferric chloride. Ganjar dan satu orang lagi tinggal mengangkutnya satu persatu ke dalam mobil minibus yang bangku belakangnya sudah dilepas. Itu semua dilakukan di bawah waktu 30 menit setelah mereka turun dari mobil.

Sebenarnya tindakan mereka tertangkap kamera pengawas, tapi mereka memakai atribut-atribut yang bisa menyamarkan wajah dan plat nomer mobil pun sudah dipalsukan. Rencana mereka memang terbilang rapi dan biasanya Baron berhasil menjalankan rencananya ketika ia bersama Ganjar. Entah kenapa ketika Baron melakukan aksi kriminal tanpa Ganjar pasti akan berakhir di dalam teralis besi.

“Dari mana lu dapet nih? Lumayan nih?” Ganjar secara spontan melontarkan pertanyaan. Dia tahu tidak terlalu penting dari mana Baron mendapatkan barang itu. Ganjar tahu bahwa setelah ini Ia akan terlibat dalam rencana yang sudah pasti bisa dikategorikan dalam tindak kriminal. Mungkin sebenarnya Ganjar sudah setuju dengan apa saja yang direncanakan Baron tepat setelah Ia melihat barang itu ada di tangan Baron. Ia tahu pada akhirnya ia akan menggunakan barang itu dan sekali lagi berhutang pada Baron. Ia hanya ingin memecah suasana kikuk ini dengan menunjukan sikap sungkan. Tidak ada salahnya berbasa-basi pikirnya.

Ganjar memutar lehernya agar pandangannya meraih Baron. Dilihatnya tangan Baron sedang meraba saku seperti sedang mencari korek api. Melihat itu, Ganjar langsung bergerak menuju lemari kecilnya di sebelah kasur untuk mengambil satu kotak korek api yang ada di situ. Ia keluar menghampiri Baron yang sedang duduk, lalu disampingnya Ganjar menunduk sambil kedua tangannya menyalakan korek api seperti seorang ajudan melayani tuannya.

Baron menyeringai memperhatikan sikap Ganjar. Baron membiarkannya melakukan itu. Baron tahu apa yang diinginkannya dan ia tahu apa yang diinginkan Ganjar. Mudah sekali pikirnya. Baron mengarahkan rokoknya ke arah api lalu menghisap rokoknya yang mulai menyala. Baron tetap diam sambil memandangi acara televisi ketika Ganjar bergegas kembali ke kamar. Ia kembali ke rak kecilnya dan mengambil peralatan yang biasa ia gunakan dan meletakannya di atas meja. Tiba tiba Baron menyahut dari luar, “Selesaikan urusanmu, setelah itu kau ikut aku. Ada yang ingin kutunjukan padamu”. Mendengar itu Ganjar hanya menoleh ke arah luar lalu dengan sekali gerakan ia duduk menyilangkan kakinya di depan meja kecil dan tangan kirinya dengan sekali gerakan meraih bungkusan kecil dari atas kasur.

†††

Hampir 45 menit berlalu dan Ganjar masih berada di dalam kamarnya. Ia terlihat dengan sigap melepas mangkuk dan pipa dari botol kaca seukuran genggaman tangan dan mulai membersihkannya. Setelah itu meletakannya dengan rapi di dalam salah satu kabinet bersebelahan dengan sisa barang yang baru saja digunakannya. Ia merasa lebih fit dan penuh antusiasme. Pupilnya membesar, irama jantungnya terasa lebih cepat, perasaanya lebih terjaga, tangannya terasa ringan seperti ingin terus digerakan. Tanpa ragu ia menata posisi barang-barang lain di atas meja yang sudah tertata rapi sebelumnya.

Terlintas di pikirannya kira-kira apa yang direncanakan Baron, tapi sekarang ia tidak terlalu khawatir. Ia sekarang beranggapan bisa saja Baron memberikannya jalan keluar. Ganjar meyakinkan dirinya bahwa jika hal ini adalah sesuatu yang besar, maka akan jadi tindakan kriminalnya yang terakhir. Ia berharap hasilnya bisa menutupi hutang barangnya yang hilang dan sekaligus menambah modalnya juga. Ganjar merasa semuanya akan baik-baik saja karena rekam jejaknya bersama Baron selalu berhasil. Ia juga merasa harus berterima kasih karena Baron telah memberikan solusi diinginkannya. Dia pikir memang Ia harus membantu Baron.

Baron masih duduk bersandar di kursi ruang tengah menonton siaran kuis yang melibatkan ibu-ibu arisan RT dari salah satu kanal di televisi. Pergelangan kaki kanannya ditumpangkan di atas paha kirinya. Ia menarik rokoknya dalam-dalam lalu menoleh ke arah kamar sambil berkata, “Di mana kunci motormu? Ada yang mau kutunjukan padamu di dekat sini. Ayo cepat!” Mendengar itu Ganjar langsung memberitahukan posisi kunci motornya yang berada di samping televisi. Ia juga menanyakan ke mana tujuan mereka tapi Baron tetap diam sambil mengambil kunci lalu berjalan keluar untuk menyalakan motor. Tak lama setelah itu, mereka berdua sudah berada di luar pagar dan Baron dengan badan lebih besar memutuskan untuk membonceng Ganjar. Motor bergerak menyusuri gang kecil depan rumah Ganjar sampai bertemu persimpangan jalan yang lebih besar lalu mereka berbelok ke kanan.

Hampir sepanjang perjalanan Ganjar sibuk mengoceh tentang berbagai kemungkinan yang akan dilakukannya bersama Baron. Ia masih penasaran menanyakan rencana Baron. Setelah itu, ia meyakinkan Baron agar tidak melibatkan orang lain. Ia menjelaskan kalau bukan karena tertimpa kesialan maka tidak mungkin ia mau terlibat. Setelah itu, ia bersumpah bahwa ini akan jadi aksinya yang terakhir. Ia berbicara seperti tidak ada waktu lagi untuk berbicara. Tangannya sesekali bergerak-gerak sewaktu ada penekanan pada suaranya seperti tangan seorang dirijen yang sedang mengikuti tempo dua per empat. Baron hanya mengangguk-ngangguk sambil sesekali mengiyakan Ganjar yang berlaku seperti boneka kelinci dalam salah satu iklan baterai, tapi kelinci yang ini dipasangkan knalpot racing di mulutnya. Manusia sekecil ini bisa mengganggu sekali pikirnya.

Setelah beberapa saat, akhirnya mereka berkendara menuju deretan kavling yang agak besar. Baron membelokan motor ke kiri untuk masuk ke jalan kedua. Mereka melewati rumah-rumah yang di antaranya berpagar tinggi dan berhalaman lumayan luas. Masing-masing rumah terdapat mobil dan atau garasi. Di pinggiran pagar-pagarnya dipenuhi berbagai tanaman hias. Ada beberapa rumah yang bertingkat. Ketika motor hampir menuju ujung jalan kira-kira 5 deret rumah sebelum berbelok, Baron sedikit mengurangi kecepatannya.

Motor bergerak perlahan saat melewati rumah berpagar hitam yang tidak terlalu tinggi dengan garasi mobil dalam keadaan kosong. Di sebelah jalur mobil terdapat halaman dengan rumput tertata rapi dengan serta beberapa pot kecil di pinggirnya yang membatasi area teras rumah. Saat itu juga di teras terdapat seorang wanita agak tua berkulit putih dengan dengan semacam kain yang terliihat seperti dililitkan untuk menutupi kepalanya. Wanita tua itu sedang duduk di atas kursi beralaskan bahan yang lebih empuk di dalamnya. Terdapat tongkat yang disenderkan di sisi kursi sebelah kirinya. Di sebelah kanannya, berbaring seekor anjing berwarna putih dengan kuping dan moncong berwarna hitam.

Sebelum motor melewati rumah itu tiba-tiba Baron menyahut sambil kepalanya digerakkan ke arah rumah tersebut, “Ini target kita”. Ganjar seketika terdiam dari ocehannya. Perutnya seperti berusaha menarik seluruh udara dari luar dan ingin mengeluarkannya secara bersamaan. Di kuping Baron hanya terdengar suara tarikan dan hembusan nafas Ganjar yang berat. Terdengar seperti nafas kuda yang baru saja berlari ratusan meter. Ganjar terkejut dan tidak mengira itu serius. Ia tidak menyangka Baron menunjuk rumah itu dari belasan rumah yang ada di sepanjang jalan tersebut. Kenapa harus rumah itu pikirnya. Rumah itu tidak asing bagi Ganjar. Dia sangat mengenal rumah itu karena di situlah tempat ibunya bekerja. “Bangsat!” pikirnya.

Terlintas di dalam kepalanya bahwa Baron pasti sudah merencanakan hal ini sejak lama. Baron pasti sudah mengetahui bahwa wanita tua itu memang dikenal mempunyai banyak harta. Baron pasti sudah memikirkan agar Ganjar menggandakan kunci yang dipegang ibunya. Tapi saat bersamaan Ganjar juga berpikir bagaimana jika semua ini tidak berhasil, bagaimana kalau tidak berjalan sesuai rencana? Bagaimana dengan nasib ibunya jika Ia tertangkap? Apa kata orang nanti? Tepat ketika Baron mengendus keraguan Ganjar, saat itu juga motor berbelok ke kanan melewati ujung gang dan Baron pun berkata, “Kau tahu cara meracuni binatang?”

~

oleh @crustydod