Teripang

 

Lelaki tua itu melepas celananya dan pergi ke tempat tidur dalam kegelapan. Dia menggulung celananya, menggunakannya sebagai bantal. Dia bergelung di dalam selimut dan tertidur di atas koran-koran lama yang menutupi pegas ranjang.

Malam hari itu hujan rintik, udara dingin menyelinap dari sela-sela pintu dan jendela. Suasana sepi sudah menjadi hal yang biasa bagi lelaki tua tersebut. Tak butuh waktu lama baginya untuk segera terlelap dan bermimpi. Sama seperti malam-malam sebelumnya, mimpi lelaki tua itu bisa dibilang sebagai satu-satunya hal yang berkesan dalam kehidupannya.

Mimpi lelaki tua tersebut selalu dimulai dengan dua hal: laut dan mangkuk. Pada malam kali ini, mangkuknya berfungsi sebagai singgasananya dan laut menjadi rokoknya. Mangkuk itu terbuat dari keramik putih mengilap berhiaskan sebuah ukiran berbentuk teripang bewarna emas di salah satu sisinya. Jika dilihat dengan teliti, ada retakan kecil di bibir mangkuk, menyerupai urat nadi di lengan manusia. Dalam posisi berdiri, lelaki tua tersebut mengisap langit dan menghembuskan ombak dari lubang hidungnya.

Suasana berlalu tenang di dalam mimpinya. Hanya memandang kosong ke atas sambil terus mengisap laut hingga bibirnya terasa asin. Hanya di mimpinya dia bisa menikmati waktu tanpa perlu takut tertinggal. Sesekali dia menatap dasar mangkuk tempatnya berpijak, tidak sempit namun tidak luas juga, tapi tetap terasa lebih besar ketimbang rumahnya. Memang rumahnya juga terbilang gubuk, hanya terdiri dari satu ruangan dengan luas empat meter persegi. Cat pada dinding rumahnya sudah mulai terkelupas, menampilkan berbagai motif noda. Lantainya dilapisi oleh coran semen yang mengeluarkan hawa dingin. Perabotan yang ia punya hanya sebuah tempat tidur serta meja makan dari kayu lengkap dengan kursinya, semuanya sudah usang. Keadaan kasurnya tidak lebih baik, sudah mengeras dan banyak pegas yang menonjol ke luar.

“Selamat pagi, selamat datang,” kata-kata tersebut keluar dari mulut teripang yang menghiasi mangkuk.

Lelaki tua tersebut hanya memandanginya dan segera menjatuhkan laut kemudian menginjaknya hingga mati.

†††

Sarapan pagi ini, dua tangkup roti tawar yang sudah dua hari melewati tanggal kadaluwarsa dan kopi dingin bekas semalam. Dimakan tanpa suara, ditelan tanpa usaha. Selesai sarapan, dia meraih cermin kecil di atas meja makan dan mulai berkaca. Mukanya menunjukan tanda penuaan. Wajar, umurnya sudah setengah abad lebih. Kerutan ada di setiap lekuk wajahnya, kumis dan jenggotnya juga sudah memutih. Rambutnya? Sudah hilang sejak umur sepuluh tahun, pengaruh genetik. Yang bisa dibanggakan mungkin hanya giginya, tetap utuh walaupun warnanya sudah berubah kekuningan akibat terlalu banyak merokok dan minum kopi.

Tiba-tiba dia terkejut mendengar ketukan datang dari pintu rumahnya. Lelaki tua itu bergegas mengambil celana dari atas tempat tidur dan memakainya. Tidak lama kemudian, dia membuka pintu rumahnya hanya untuk mendapati tidak ada siapa pun di luar. Kecewa, lelaki tersebut segera menutup pintu dan berjalan lunglai ke arah tempat tidurnya. Baru sejenak dia merebahkan tubuh, pintu tiba-tiba diketuk lagi, kali ini suaranya lebih kencang dari sebelumnya.

“Hei, pak tua! Bangun, kau pikir sudah jam berapa sekarang?” terdengar dari pintu, suara yang penuh dengan kekesalan dan rasa muak.

Sadar bahwa dirinya dalam masalah, lelaki tua tersebut segera bergegas membuka pintu. Di luar sudah menantinya, seorang pemuda dengan bekas luka di keningnya. Tidak ada sapaan, yang ada hanya makian demi makian datang dari mulut pemuda itu. Lelaki tua itu terdiam menerima semua cercaan, mengangguk perlahan, mengiyakan setiap kata, tenggelam dalam kebiasaan untuk selalu disalahkan.

Begitu cercaan yang dilontarkannya dirasa sudah cukup, ia langsung menyuruh lelaki tua itu untuk pergi ke pabrik dan mulai bekerja seperti biasa. Tidak perlu diperintah dua kali, lelaki tua itu langsung berjalan menuju pabrik.

Pabrik tempat lelaki tua itu bekerja tidak jauh, kira-kira berjarak 300 meter dari rumahnya. Dia sudah lama bekerja di pabrik itu, saking lamanya dia tidak ingat kapan memulainya. Pada awalnya lelaki tua itu bekerja untuk mengangkut barang-barang muatan dari truk pengangkut ke dalam pabrik, waktu berlalu dan pekerjaannya berubah. Kini dia hanya diperintahkan untuk diam mematung, memperhatikan barang-barang yang lalu lalang di depan matanya. Tidak ada yang protes dengan pekerjannya, lebih tepatnya semua orang di pabrik menganggap lelaki tua itu tidak ada.

Tepat pukul 6 petang terdengar suara lonceng sebanyak tiga kali, penanda bahwa pabrik akan tutup dan para pekerja bergegas untuk pulang. Lelaki tua itu sengaja diam lebih lama agar bisa pulang paling akhir. Begitu dia hendak pulang, pemuda dengan bekas luka di kening berteriak memanggilnya. Lelaki tua itu segera merubah arah berjalannya dan menghampiri pemuda itu.

Sama seperti tadi, pemuda itu mulai mengoceh dan lelaki tua itu mendengarkan semua ocehannya.

“Kau tidak akan pernah mengerti maksud ucapanku ini, kan? Pak Tua,” ujar pemuda itu pelan.

Lelaki itu mengangkat kepalanya dan mulai memikirkan kata-kata untuk pemuda tersebut. Akan tetapi belum sempat bibirnya bergerak, pemuda itu segera menyodorkan satu kantung roti tawar dan langsung pergi. Lelaki tua itu hanya terdiam sambil memegang kantung tersebut, diangkatnya perlahan kantung tersebut dan diperhatikan secara seksama.

“Tanggal kadaluwarsanya sebentar lagi.”

†††

Begitu sampai di rumah, ia langsung menaruh kantung roti tawar di atas meja dan mulai menarik kursi untuk duduk. Pikirannya melayang untuk beberapa saat, hingga akhirnya dia memutuskan untuk menyeduh kopi. Dia membungkuk untuk meraih panci yang ada di kolong meja, setelah didapatnya, ia keluar rumah menuju keran air yang ada di bagian belakang rumahnya. Begitu dirasa air dalam panci sudah cukup, dia mematikan keran tersebut dan mulai berjalan menjauh menuju tumpukan batu bata yang membentuk kompor kayu bakar.

Ditaruhnya panci tersebut tepat di atas lubang yang terbentuk dari susunan persegi batu bata. Dia berdiri dan mulai mengumpulkan ranting kering yang berserakan di sekitarnya. Dia menyusun dan memasukan ranting tersebut ditambah dengan bahan-bahan lain yang mudah terbakar dengan rapi ke dalam kompor batu batanya. Ketika sudah selesai menyusun, ia merogoh kantong celananya untuk mengambil korek untuk membakar ranting dan bahan lain yang telah disusunnya, api pun mulai membesar. Sembari menunggu airnya mendidih, lelaki tua itu berjongkok di dekat kompor sambil mendekatkan kedua telapak tangannya ke arah api agar tetap hangat. Lama-kelamaan buih air sudah terlihat banyak, lelaki tua tersebut segera mengangkat panci dan mematikan sisa api yang masih menyala. Sambil bersiul-siul kecil, lelaki tua itu berjalan ke dalam rumah dan menaruh panci berisi air panas itu di atas meja. Diraihnya wadah besi yang ukurannya tidak lebih besar dari kepalan tangannya, ia buka wadah tersebut, ternyata kopinya sudah habis. Menyerah dengan keadaan, lelaki tua itu menutup kembali wadah tersebut dan menaruhnya di tempat semula sambil mengambil gelas yang ada di sebelah wadah itu. Setelah duduk, dia menuangkan air panas dari panci ke dalam gelas dan mulai membuka kantung roti tawar.

Dimakannya roti tawar itu satu persatu, sambil diiringi dengan menenggak sedikit air panas untuk melancarkan roti yang ia telan. Tiga roti tawar dia habiskan malam itu, masih ada sisa tujuh lagi di dalam kantung untuk besok. Dirapikannya kembali panci, gelas dan kantung roti tawar ke tempat semula lalu dia segera berjalan ke arah tempat tidur.

Lelaki tua itu melepas celananya. Sebelum berbaring, dia menarik tali lampu yang ada tepat di depannya. Gelap gulita seketika. Dia menggulung celananya, menggunakannya sebagai bantal dan bergelung di dalam selimut sama seperti biasanya, sama seperti malam-malam sebelumnya.

Tidak lama, lelaki tua itu masuk ke dalam rutinitas mimpinya. Namun  ada yang berbeda pada mimpinya kali ini, tidak ada mangkuk dan laut, yang ada hanyalah sosok teripang emas yang biasa menghiasi mangkuknya. Teripang emas itu tiba-tiba menyeruak keluar dari dalam mangkuk, berdiri dan berjalan pelan menghampiri lelaki tua yang kebingungan itu.

“Selamat datang Pak Tua. Kali ini ada yang ingin kubicarakan denganmu. Maka dari itu, mangkuk dan laut yang biasa kau temui aku tiadakan dulu hari ini,” ucap teripang emas itu.

Lelaki tua tersebut masih terdiam, namun dia sadar akan satu hal, suara teripang emas itu sangat merdu. Teripang emas itu bersiul dan seketika keadaan langsung berubah. Semua bewarna putih tanpa ada noda dan lelaki tua itu tiba-tiba sudah memakai satu setel jas lengkap dengan celana, sepatu, jam, dan topi yang semuanya bewarna hitam.

“Kau terlihat lebih baik dari sebelumnya. Mari duduk dan kita mulai berbincang. Teh atau kopi?”

Lelaki tua itu masih kebingungan, bagaimana dia bisa duduk ketika tidak ada kursi di dekatnya.

“Astaga, bagaimana aku bisa lupa,” ucap teripang itu sembari tersenyum kecil dan mulai bersiul kembali.

Tiba-tiba kursi yang terbuat dari kaca muncul dari bawah, lelaki tua itu tanpa pikir panjang langsung menduduki kursi tersebut.

“Nah, sekarang kau sudah duduk.. Oh, iya, kuulangi lagi, teh atau kopi?”

“Kopi,” ucap lelaki tua itu pelan.

Teripang tersebut kembali bersiul dan munculah meja yang juga terbuat dari kaca, meja itu berada tepat di tengah mereka. Teripang itu kembali bersiul dan lagi-lagi muncul dua cangkir, yang satu terisi kopi hitam dan satu lagi kosong.

Mereka pun mulai berbincang. Awalnya lelaki tua itu canggung karena harus berbicara dengan teripang, tapi dia akhirnya menyerah dan mulai percaya bahwa semua ini mimpi. Bagaimana bisa teripang bewarna emas dengan lendir di sekujur tubuhnya dan cukup menjijikan dapat berbicara kalau bukan di dalam mimpi? Perbincangan mereka berkutat di seputar keadaan saat ini, tentang masa yang pernah lelaki tua itu lewati, berbagai hal yang mudah terlewat tapi selalu teringat.

Mereka terus berbincang hingga akhirnya lelaki tua itu sudah tidak tahu harus membicarakan apa lagi.

“Sepertinya perbincangan kali ini cukup sampai di sini, Pak Tua. Senang bisa mengenalmu,” ucap teripang tersebut sambil menatap cangkirnya yang sedari awal hingga sekarang tetap kosong.

“Ah iya, sebelum aku lupa, ada satu hal yang harus kusampaikan kepadamu, Pak Tua,” lelaki tua tersebut segera memfokuskan pandangan ke arahnya.

“Kau baru saja meninggal,” sambung teripang emas.

Begitu dia selesai berbicara, seketika ruangan gelap gulita. Lelaki tua tersebut mendadak lemas dan terjatuh, kedua lututnya menghantam lantai. Dia berusaha untuk bangun, bangun dari mimpinya. Namun sekeras apapun dia berusaha, tidak ada satu pun cara yang berhasil. Akhirnya dia menyerah, lagi pula menyerah adalah salah satu keahliannya.

Masih dalam posisi yang sama ketika terjatuh, dia mulai membayangkan hal-hal yang baru saja dia bicarakan dengan teripang emas. Makin lama, kenangan itu makin nyata. Hingga akhirnya dia bangkit dari posisinya dan mulai menarik nafas yang dalam.

“Ternyata aku lebih menikmati mimpi-mimpi ini dibandingkan kehidupanku sehari-hari,” ucapnya pelan sambil menatap ke atas.

Setelah terdiam cukup lama, mangkuk kesayangnnya muncul dari bawah kakinya, namun berbeda dari sebelumnya, mangkuk ini tidak memiliki hiasan teripang bewarna emas. Begitu mangkuk sudah muncul sepenuhnya dan lelaki tua itu tepat berada di dalamnya, laut mulai mengisi ruangan hitam yang tadinya kosong itu. Lelaki tua itu pun akhirnya berlayar dengan dua hal yang selalu muncul dalam mimpinya, mangkuk dan laut.

“Seandainya ada rokok dan kopi, mungkin perjalanan ini akan lebih baik, iya kan?”

~

oleh Sigit Lincah