Lain

 

“Di gang sebelah mana?” tanya gadis itu, “sebuah toko?”

“Aku tak tahu,” jawab teman lelakinya malas, “di Jalan Yuan Hua.”

“Yuan Hua sangat membingungkan, aku beberapa kali tersesat di sana!”

“Kamu ingat sebuah toko obat yang kita datangi saat ibumu demam?”

“Ya, lalu?”

“Lurus saja dari situ ke arah hutan bambu, sampai kamu bertemu sebuah toko buku besar. Persis di sebelahnya ada sebuah gang kecil. Di ujung gang.”

Gadis itu mengangguk, mencoba mengingat petunjuk itu dalam kepalanya.

“Di sanalah aku menemuinya.” Jawab pemuda itu sambil berangsur pergi. Baru beberapa langkah, ia berhenti dan menengok ke belakang, “Ingat, kau harus ke sana sendirian saat langit memerah, sebelum malam datang.” Ucapnya cepat, sebelum berlari meninggalkan gadis itu sendirian di depan minimarket.

†††

Setiap beberapa menit sekali dia menengok jam dinding di atas papan tulis, masih satu jam sebelum istirahat makan siang. Dikibas-kibaskannya kerah bajunya, musim panas dan liburan sebentar lagi akan datang, pasti akan membosankan. Selepas istirahat nanti, setiap murid harus mengikuti konseling tentang rencana mereka setelah lulus, dirinya belum memutuskan apapun.

Dia teringat kembali saat ayahnya masih bekerja sebagai karyawan pabrik beberapa tahun lalu. Setiap liburan musim panas, keluarganya akan berkunjung ke rumah neneknya, ke kebun binatang, atau taman kota. Dulu ia selalu iri dengan teman-temannya yang bisa pergi liburan bersama anak-anak lain di kelasnya, mereka biasa liburan ke pantai hingga beberapa hari. Namun sekarang tidak lagi, jangankan piknik ke taman kota, liburan kali ini ia mungkin membantu ibunya di ladang. Ibunya harus membantu menambah penghasilan keluarga setelah ayahnya terkena pemutusan hubungan kerja dua tahun lalu dan beralih menjadi kuli serabutan.

Gadis itu kembali teringat konseling setelah jam istirahat nanti. Setelah lulus, ia tidak mungkin melanjutkan ke perguruan tinggi, lagi pula masih ada adik lelakinya yang memerlukan biaya sekolah. Gadis itu merasa mual. Ia harus bekerja.

“Li!”

“Li! Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan di papan tulis? Apakah kamu memperhatikan, Li?”

Li tersadar dari lamunannya, deru kipas angin di atas kepalanya bercampur dengan tawa seisi kelas. Mukanya merah padam. Sambil menunduk, Li melirik ke kiri dan kanannya, wajah-wajah sinis dan tawa lebar teman sekelasnya. Telinganya panas, “tak bisa begini terus, aku harus menemuinya demi masa depanku!” serunya dalam hati.

†††

Jalan itu dulu begitu ramai, toko-toko buka sampai larut malam, berbagai kios yang dipakai bergantian oleh para pedagang untuk menjajakan makanan dari waktu sarapan hingga saat orang-orang keluar mencari kudapan makan malam. Yuan Hua kini lengang, hanya ada beberapa papan neon yang menyala, satu-dua pejalan kaki berjalan malas menenteng belanjaan mereka. Ia sudah sampai di depan toko obat, Li mempercepat langkahnya.

Toko buku itu sudah tutup, sebuah papan ditempel di salah satu pintunya. Li mencoba membaca papan putih itu, toko disita oleh bank. Tak cuma ayahnya yang ketiban sial, krisis dan inflasi memaksa para pebisnis gulung tikar. Li menengok ke kiri, melongokkan kepalanya ke arah gang kecil itu, gelap.

Li melangkah pelan, di ujung gang itu terdapat sebuah lampu neon putih, ia bisa melihat serangga-serangga gelisah mengerumuni pendarnya yang muram. Di bawah lampu neon itu Li menemukan sebuah toko kecil, berbagai jajanan dan mimuman ringan tertata di bagian depan toko. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, sebuah papan kayu bertuliskan nama toko itu, Da Zhi.

Li berjalan masuk, menjinjitkan kaki mencoba melihat apakah ada orang. Di atas etalase terdapat sebuah bel meja. Li mengulurkan tangannya untuk menekan bel itu. Belum sampai ujung jarinya menyentuh bel, seorang nenek bangkit berdiri dari belakang etalase.

“Per..permisi Nek,” ucap Li kikuk.

“Selamat datang, ayo masuk saja,” jawab nenek itu sembari tersenyum dan menunjuk ke arah sebuah pintu di dalam toko.

Li ragu-ragu. Sambil mengangguk-ngangguk ramah, Li berjalan masuk ke arah pintu itu, melewati berbagai dagangan toko yang tergantung dan tertata rapi di rak-rak yang memenuhi sisi kiri dan kanan toko. Li mencoba menengok ke belakang, nenek itu masih tersenyum dan terus memperhatikannya berjalan ke arah pintu kayu bercat merah itu. Dengan cepat, Li tengokkan lagi kepalanya ke depan, mempercepat langkahnya.

Li masih ragu, dengan begitu pelan dia ulurkan tangan kanannya meraih gagang pintu itu. Dingin, Li melepas kembali genggamannya. Ia menarik kembali tangan kanannya, menghela napas panjang. Dia genggam kembali gagang pintunya, dia tarik hingga pintu terbuka. Sebuah lorong.

Lorong itu tak begitu panjang, diterangi dua buah lampu kuning temaram. Li menelusuri lorong itu, ada dua buah pintu di sisi kiri dan kanannya. Kedua tangannya meraba dinding plaster mulus tanpa cat, dingin namun begitu bersih tanpa debu. Li merasakan hembusan angin menerpa wajahnya, ujung lorong itu terbuka tanpa pintu. Samar-samar, Li bisa melihat warna hijau, sebuah kebun.

Li mendongakkan kepalanya, langit cerah masih menyisakan kuning dan jingga di ufuk barat. Di balik kebun bunga itu, Li bisa melihat lembah dan hutan bambu. Dia menengok ke kiri, lalu ke kanan, sebuah cermin besar dengan bingkai kayu. Cermin setinggi orang dewasa itu di letakkan di tanah, bersandar pada dinding belakang rumah. Ukiran sederhana menghiasi sisi kiri dan kanan bingkainya, sebuah kepala naga menghiasi bagian atas cermin, Li merasa seolah  terpanggil olehnya.

Li berjalan mendekat, ia bisa melihat pantulan langit senja dan dedaunan di cermin itu. Setelah sampai di depannya, ia bisa melihat sosoknya di dalam cermin. Ia buka ikatan rambutnya dan membiarkannya terurai, ia kembali menghela napas panjang, sampai terdengar suara. Suaranya sendiri.

“Li?” bayangan dirinya dalam cermin itu berbicara.

“Ya, aku Li.” Jawabnya, kali ini dengan tenang tanpa ada keraguan dan rasa takut lagi.

“Bagus, tatap kedua mataku.”

Li memandang sepasang mata di dalam cermin itu, hitam gelap, berbinar. Li merasakan dingin di ujung jarinya, kedua tangannya terangkat. Sosok dalam cermin itu menggenggam jemari tangan Li.

“Aku adalah dirimu,” ucap sosok dalam cermin, “sisi lain darimu. Bila engkau terang, aku adalah gelapmu. Kita berdua ada untuk saling melengkapi, kita berdua diciptakan untuk mengacaukan satu sama lain. Aku dan kamu adalah keseimbangan.”

Mulut Li rapat, tak mengatakan apapun. Ia merasakan udara di sekelilingnya bergetar, kedua telinganya mulai berdengung.  Li kini bisa melihat dedaunan dan bunga-bunga berpendar dengan cahaya keperakan. Li merasakan sensasi aneh menjalari tubuhnya, ia mulai limbung, bulu kuduknya berdiri. Li merasa seolah dialah pantulan dalam cermin itu, melihat ke arah sosok dirinya yang lain di kebun bunga.

Li panik, ia kembali menengok ke sekelilingnya. Li melihat kebun bunga seisinya bergerak masuk ke dalam dalam cermin, menembus sosok yang ada dalam cermin, seolah ia yang mengisapnya. Sejenak sosok itu meredup, lalu kembali terpantul jelas dari permukaan cermin.

“Aku Li,” kata sosok dalam cermin.

Li tidak menjawab.

“Aku adalah Li,” ucap sosok itu lagi.

Li tetap diam.

Sosok itu lalu berbalik dan berjalan meninggalkan Li.

Li bisa melihat sosoknya berjalan menjauh ke arah kiri menyusuri pinggiran kebun bunga. Saat sosok itu berbelok masuk ke dalam lorong, Li tak lagi bisa melihat apapun. Di sekelilingnya hanya ada kegelapan saat langkah kaki dari sosok itu terdengar kian samar, disusul dengan suara pintu yang dibuka dan ditutup kembali.