420

 

Waktu menunjukan pukul  04.20 pagi. Lebih cepat sepuluh menit dari waktu alarm biasa berbunyi, tidak seperti biasanya, Anton sudah terbangun.  Menghadapkan tubuhnya ke arah meja tempat jam diletakkan dan memandangi  jarum detik berputar perlahan, ia merangkai kesadaran yang mulai menyatu kembali di dalam pikirannya. Hari ini akan menjadi hari yang sangat berarti untuknya. Hari di mana dia akan bertemu dewan direksi tempat ia bekerja, hari yang akan menentukan apakah ia layak dipromosikan sebagai head regional manager di sebuah perusahaan otomotif multinasional tempatnya bekerja. Bagi Anton, promosi di tingkat regional bukan saja sekadar tanggung jawab, posisi ini sudah menjadi impiannya sejak memutuskan resign dan melamar ke perusahaan tempat dia bekerja sekarang.  Promosi berarti peningkatan berbagai fasilitas, tunjangan, asuransi yang lebih baik, dan tentunya kenaikan upah yang ia idam-idamkan demi merawat Utami, ibunya yang sedang berjuang melawan kanker sejak didiagnosia beberapa tahun lalu.

Namun sepertinya bukan hal itu yang membuatnya terjaga lebih cepat, terdengar suara dari luar kamarnya yang menyusup masuk lewat celah kecil dari plastik bening yang biasa digunakan menutup lubang angin di atas pintu kamar saat pendingin ruangan dinyalakan. Dia tahu suara itu datang dari dapur dalam rumahnya. Rumah yang dibangun di atas tanah tidak lebih dari 350 meter persegi di pinggiran kota ke arah timur, tanah yang dibeli almarhum ayahnya setelah keluarga kakeknya membagi harta warisan.  Uang bagian ayahnya cukup untuk membeli tanah itu pun sisanya masih bisa untuk menyicil bangunan dengan 3 kamar tidur serta biaya mengontrak selama rumah itu dibangun. Sisanya ditabung ibunya untuk biaya sekolah anak-anaknya kelak dan sedikit menambah luas bangunan di kemudian hari.  Seandainya saja dulu ibunya tidak langsung memaksa ayahnya melakukan hal itu, dia tidak akan punya rumah yang sudah didiaminya lebih dari 20 tahun tersebut.

Anton mulai berpikir siapa yang sedang berada di luar sana, pasti orang dekat, bila orang asing maka Pippo anjing mereka sudah mengonggong dengan keras. Selain ibunya,  Anton juga tinggal bersama kakak kandungnya bernama Eva yang berbeda 3 tahun darinya.  Eva sudah mempunyai seorang anak berusia  18 tahun bernama Keisha yang dia dapatkan setelah berhubungan dengan teman satu sekolahnya. Dulu mereka sempat beberapa tahun tinggal bersama namun ibunya mengusir lelaki itu karena ketahuan bermain dengan perempuan lain. Lagipula, lelaki itu pun seperti tidak mengerti tentang hal apa yang sedang ia dihadapi dalam hidupnya.  Untungnya Keisha tidak mewarisi sifat ibunya, setelah lulus dari program akselerasi di sekolah, kini dia bisa kuliah di luar kota berkat beasiswa. Sedikit banyak Anton turut membantu keponakannya karena tidak mungkin hanya mengandalkan Eva yang sekedar memenuhi kebutuhannya sendiri pun sulit. Eva sendiri bekerja di perusahaan outsource dan diposisikan sebagai telemarketing manager salah satu bank ternama di ibu kota,  sebenarnya penghasilannya bisa mencukupi hidupnya sendiri  tapi dia tidak pernah bisa menentukan prioritas  dan selalu terjebak dalam hubungan dengan lelaki yang salah. Setahun terakhir sebelum pindah kembali bersama ibunya, dia tinggal mengontrak dengan pasangannya. Seperti hubungan-hubungan sebelumnya, Eva selalu saja dimanfaatkan, sebelum akhirnya mereka berdua bangkrut kehabisan harta dan berpisah—berakhir dengan kembalinya Eva ke rumah ibunya dan tidur di kamar bersama Keisha yang sejak kecil dirawat oleh Utami.

Anton sempat berpikir mungkin Eva yang berada di dapur tapi mana mungkin dia bangun sepagi ini. Dia baru akan bangun apabila sudah disediakan air panas oleh Bu Ratna untuk mandi pagi. Kalau pun benar, sedang apa dia di dapur? Dia tidak pandai memasak,  hampir tidak pernah menyiapkan sarapan pagi. Anton teringat Eva pernah beberapa kali membuat nasi goreng dari nasi sisa semalam yang selalu berakhir terlalu asin atau malah tidak ada rasanya sama sekali. Mencuci piring dan gelas kotor pun bisa dihitung dengan jari, sedari kecil ibunya memang tidak pernah mengajak atau membiasakan dirinya tentang itu. Segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak hingga berbenah diserahkan kepada Bu Ratna yang tinggal tak jauh dari daerah mereka, Bu Ratna sudah diperkerjakan Utami selama mereka tinggal di rumah tersebut. Maka dari itu, sudah barang tentu orang yang sedang di dapur bukanlah Eva. Tidak ada alasan bagi Eva berada di dapur sepagi ini kalau bukan hanya untuk mengambil air minum, lagi pula kalau sekedar mengambil air minum pasti tidak akan menimbulkan suara seperti orang yang sedang  sibuk berbenah peralatan dapur. Akan tetapi bukan Bu Ratna pula, masih terlalu pagi baginya untuk datang, biasanya Pippo juga menyalak sekali dua kali hanya untuk memberi tahu kedatangannya.

Masih setengah sadar, Anton menekan tempat tidur dengan tangan kirinya untuk mendudukkan badan dan menginjakkan kakinya ke lantai. Ia mulai mengira itu Utami sebelum dia pikir kembali apa mungkin ibunya mampu berjalan ke dapur tanpa bantuan orang lain? Mungkin dia sudah merasa tidak mual dan pusing lagi sehingga sanggup berjalan dibantu tongkatnya. Apa mungkin ibunya sudah merasa lebih enakan saat bernapas atau kondisinya jadi lebih baik setelah melakukan terapi terakhir? Pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan di kepala Anton, dia belum juga beranjak dari kamarnya.

Kenyataannya, Utami memang tidak dalam kondisi sehat. Sekitar dua tahun yang lalu, Utami mulai mengeluh agak sulit bernapas dan merasakan sakit seperti pusing di bagian belakang mata. Anton awalnya mengira itu hanya sakit kepala biasa atau kelelahan dan efek samping dari merokok saat usia muda. Akan tetapi setelah Utami beberapa kali mengeluarkan darah dari hidungnya, akhirnya hal itulah yang memaksa Anton untuk segera melarikannya ke rumah sakit. Dokter segera menyarankan untuk melakukan berbagai macam scan mulai dari CT, MRI, USG, serta PET scan. Dari hasil yang keluar, dokter mendiagnosa ada pertumbuhan jaringan tepatnya di rongga bagian atas tenggorokan di belakang hidung, tempat bertemunya saluran udara dari hidung dan saluran makanan serta minuman dari mulut. Kondisi inilah yang ternyata membuat Utami sulit bernapas dan merasa pusing. Setelah mengambil contoh jaringan akhirnya dokter menyarankan untuk segera melakukan kemoterapi dengan kombinasi radioterapi.

Sejak diagnosa pertama kali diberikan dokter, Anton sadar bahwa ibunya akan menjalani perawatan yang melelahkan dan memakan biaya mahal.  Seorang perempuan berumur 61 tahun, mantan pramugari yang hanya memiliki rumah peninggalan suaminya serta tabungan sisa warisan, seorang ibu yang tinggal bersama anak perempuannya yang tidak terampil mengurus dirinya sendiri. Perjuangan dari keharusan bolak balik rumah sakit untuk melakukan terapi yang menyakitkan itu terlihat jelas dari perubahan fisiknya yang makin rapuh, tak kuasa menerima pengobatan yang dilakukan hanya untuk menekan pertumbuhan jaringan tubuhnya sendiri yang tidak diinginkan untuk tumbuh.

Semenjak itu, prioritas Anton berubah. Dia tak sanggup membayangkan ibunya akan menjalani terapi sendirian bersama Eva yang kurang bisa diandalkan, apalagi jarak rumah ibunya yang di pinggiran kota dan rumah sakit yang berjauhan. Anton akhirnya memutuskan untuk pindah dari kostan mewah yang berdekatan dengan area perkantoran tempatnya bekerja untuk kembali ke rumah ibunya. Banyak yang harus Anton korbankan memang, mulai dari bangun lebih pagi untuk berangkat kerja dan tiba rumah lebih larut sampai menyewa supir dan perawat yang bertugas mengantar dan menemani Utami terapi, setidaknya itu adalah hal yang terbaik yang bisa ia lakukan.

Anton mengangkat kepalanya, menengok ke arah celah lubang angin. Cahaya lampu dari luar yang menyala, meyakinkannya memang ada seseorang di dapur. Anton sungguh berharap orang itu adalah ibunya, berharap ada kemajuan yang berarti dari terapinya selama ini.  Tepat setelah didiagnosa kanker, Utami harus dirawat di rumah sakit selama sebulan untuk perawatan intensif sebelum akhirnya diperbolehkan pulang dan rawat jalan, sejak itu hingga sekarang dia rutin melakukan kemoterapi dan radioterapi. Sejauh ini terapi dapat mencegah kanker meluas namun deteksi yang terlambat hampir saja menyebabkan kanker mengenai saraf mata serta mengganggu pendengarannya. Selain itu, tubuh Utami tidak cukup kuat menahan dampak dan efek samping terapi untuk pasien kanker. Makin hari rambutnya menipis dan semakin jarang, matanya hampir selalu berair dan berat badannya sudah dipastikan turun, nafsu makannya jauh berkurang karena rutin terpapar kemo dan radioterapi.

***

Tangan Anton menekan pinggiran tempat tidur untuk membantunya berdiri, kakinya menapak-napak mencari sendal yang biasa ia gunakan di dalam rumah. Sambil berjalan ke arah pintu dia menoleh kembali ke arah jam yang masih menunjukan pukul  04.20 pagi lalu menekan gagang pintu yang tak terkunci untuk membukanya. Pintu kamarnya menghadap langsung ke arah dapur yang dipisahkan oleh ruang makan. Lampu ruang makan dan area dapur sudah menyala walaupun agak sedikit redup dari biasanya. Dia terdiam sebentar, masih memegang gagang pintu yang terbuka ia memincingkan matanya untuk melihat sosok yang mebelakanginya di area dapur. Pemandangan yang tidak biasa, tapi benar itu Utami, itu Ibunya. Mengenakan daster piama ungu favoritnya dengan motif menyerupai mekar bunga berwarna putih dengan garis keemasan di tepinya. Utami bersandar ke meja keramik hijau tua yang menyatu dengan dinding dapur, kepalanya menunduk, gerakan tangannya seperti sedang mengupas sesuatu, lalu dia berbalik menoleh ke kanan dan berpindah arah ke bak cuci piring.

Anton membelakangi pintu kamar sambil menutupnya, dia memperhatikan ibunya, tangan kirinya memutar katup keran air sembari mengulurkan tangan kanannya yang memegang mangkuk kecil ke bawah lubang tempat air keluar. Dia tidak mengenakan penutup kepalanya pagi ini. Rambut ikalnya yang sebagian memutih masih lumayan lebat, sama seperti saat dia pertama kali menjalani perawatan insentif, terselip dibelakang telinganya yang dihiasai anting berlian mata satu pemberian ayahnya yang selalu digunakan ibunya saat ia masih aktif bekerja. Setelah mangkuk terisi setengahnya, tangannya dengan sigap memutar dan menutup katup keran lalu ia membelakangi anton, menghadap meja dapur dan kembali melanjutkan kesibukannya.

Anton masih belum beranjak dari tempatnya, Ia berpikir bahwa ibunya tidak sadar kalau dia sudah bangun atau memang dia sudah tahu namun enggan menyapa orang yang baru saja bangun. Lagipula mungkin ibunya sudah tahu kalau ia masih sedikit mengantuk dan belum terlalu terjaga. Dia berjalan perlahan ke arah meja makan, membalikkan satu dari enam gelas yang ada di tempatnya lalu mengisinya dengan air dan meneguknya.

“Tumben, kenapa udah bangun sepagi ini, Mah?”

“Loh..ini kan harimu, Nak!”

Ibunya menjawab sambil tetap sibuk dengan bahan-bahan makanan yang ada di depannya. Jawaban yang tak diharapkan Anton, tapi menyenangkan hatinya. Ia tahu ibunya mengetahui perihal promosi ini, jawabannya itu berarti Ibunya sedang menyiapkan sesuatu untuknya, walaupun mungkin hanya sekedar sarapan atau bekal makan siang favorit tapi itu sudah menyenangkan hatinya. Satu hal yang biasa dilakukan Ibunya ketika ada momen-momen penting bagi Anton; ketika hari pertama sekolah, kuliah, hari pertama mulai bekerja, dan sekarang promosi ini. Anton masih ingat pula di pagi hari ketika Anton mewakili sekolahnya untuk perlombaan menggambar tingkat daerah, ibunya pun tak lupa. Bahkan dengan kondisi  yang sedang dialaminya sekarang, ibunya rela bangun lebih pagi dan menyiapkan segala sesuatu keperluan Anton yang mungkin bisa disiapkan oleh Bu Ratna. Baru kali ini Ibunya memasak kembali semenjak Anton kembali ke rumah, hanya untuk menunjukan dukungannya kepada anak laki-laki yang paling disayanginya.  Momen-momen yang paling membuat Anton semakin tenang menghadapi harinya.

“Sudah mandi sana! Malah bengong,  Nanti keburu dingin tuh!”

Ibunya menunjuk ke arah ketel ukuran sedang yang ada di atas kompor, sambil menegur Anton. Anton masih agak kebingungan bercampur bahagia. Sesaat kemudian, kebingungannya segera terjawab ketika dia berpikir mungkin ibunya mendengar obrolan dia dengan Eva semalam, mungkin Utami masih belum tidur. Semalam di ruang tengah bersama Eva,  Anton mengatakan bahwa ia rindu masa-masa ketika Utami menyiapkan segala keperluan mereka. Bahkan di saat-saat ibunya harus terbang dan melewati momen spesial mereka, setidaknya Utami akan meninggalkan sesuatu meski hanya sekedar tulisan seperti “Mommy always proud of you.” “Jangan nakal,” atau “Kamu pasti berhasil!” yang biasanya diselipkan di tas, tempat sarapan, atau ditempel di papan tulis putih yang biasa digunakan untuk menulis apa yang harus mereka lakukan di rumah saat ibunya pergi. Utami mungkin mendengar obrolan itu saat tertidur di kursi yang dibelikan Anton untuk Ibunya apabila ia ingin menonton bersama keluarganya di ruang tengah.

Anton menghindar dari teguran ibunya, dia berpikir kembali tentang kesehatan ibunya. Dia mengambil  kain lap kering untuk mengangkat ketel sekaligus bertanya.

“Lagi ngapain sih, Mah...pagi-pagi gini?”.

“Mamah bikinin sambel goreng ati aja ya? Kesukaan kamu, bisa kamu bawa juga buat lunch nih” .

“Gak usah repot-repot , Mah. Kan sudah pernah dibuatin Bu Ratna.”

“Kemarin Ratna juga cerita waktu nyiapkan makan siang buat mama, dia bilang kamu suka sambel ati buatannya. Mirip seperti buatan mama kamu bilang.”

“Iya..”

“Mamah kasih tau resep rahasianya”.

“Oh..”

 “Ya udah, kamu mandi sana. Lalu siap-siap. Cepet kok ini mamah buatnya.”

Anton segera melipat lap kering bersih yang baru saja diambil dari tempatnya sambil terus memperhatikan ibunya. Di depannya ada talenan, mangkuk kecil berisi air dan beberapa bumbu. Di samping kirinya ada plastik berisi hati sapi yang kelihatannya belum terlalu lama dikeluarkan dari kulkas. Ibunya sedang mengupas kentang yang terlihat setengah matang, ada beberapa juga yang sudah terpotong di atas talenan. Tangan putiihnya dengan terampil menguliti kentang itu, gerakannya lembut tanpa tergesa-gesa. Sebentar ia memutar-mutar posisi kentang yang ada di telapak tangan kirinya sambil tangan kanannya membuka kulitnya yang masih tersisa. Di bawah sinar lampu yang datang dari belakang, tidak terlihat lagi bintik-bintik kehitaman di kulitnya karena efek samping  terapi. Rambut ikalnya pun sudah terlihat agak tebal.  Kerutan-kerutan di wajahnya tak mempengaruhi paras ayunya, kerutan-kerutan itu seolah hanya ingin menyiratkan beragam pengalaman hidup yang telah ia lewati dan membentuk sosoknya yang tegas dan penyayang, seorang yang aktif berkarya untuk dirinya namun tetap bisa menjaga rumah tangganya. Ibunya terlihat seperti tersenyum dari tempat Anton berdiri. Sambil terus mengambil sisa-sisa kulit kentang yang masih tertingal, ibunya berkata

“Kamu gak usah khawatir, fokus aja sama karirmu, Ton..sama hidupmu,” ibunya terdiam sejenak, “Sekarang mama udah sehat. ”

Anton terdiam tidak berusaha menjawab, ia hanya mendengarkan ibunya sambil menepuk-nepuk kain yang sudah dilipat menjadi seperempat dari ukurannya. Dia tahu persis karakter Utami yang sebisa mungkin tak akan mau membuat orang lain repot karena dirinya, Ibunya bahkan sempat melarang Anton untuk kembali ke rumah saat didiagnosa kanker. Utami beranggapan bahwa ia bisa menjalani kondisi yang dideritanya sendiri tanpa perlu perhatian khusus. Ibunya pernah mengatakan sediakan saja perawat, jangan sampai waktu anak laki-laki satu-satunya tersita hanya untuk memikirkannya kesehatanya. Lagipula masih ada Eva dan Keisha, atau Bu Ratna yang memang sejak ibunya sakit selalu setia menemani dan merawat ibunya saat yang lain belum tiba di rumah.

Akan tetapi Anton tahu Ibunya butuh lebih dari itu. Anton tahu kalau dibalik ketegasan dan kemandiriannya, ibunya cemas akan kondisi yang dideritanya. Kondisi yang akan menyita waktunya, kondisi yang akan merubah pola hidupnya. Kondisi yang akan memaksa dia untuk melakukan terapi melelahkan agar sesuatu yang ada dalam dirinya itu tidak memakan habis tubuhnya dari dalam. Dia tidak bisa membiarkan ibunya melewati ini semua tanpanya. Dia merasa harus hadir di rumah, setidaknya tiap malam ia bisa bergantian dengan Eva jika Ibunya memerlukan sesuatu.

Namun pagi ini, seperti hari-hari lain ketika Anton butuh dukungan dari orang terdekatnya, ibunya hadir di sini, sehat, di depannya, untuk menyiapkan sarapan dan bekalnya, layaknya menyiapkan upacara pelepasan prajurit yang akan pergi bertempur atau ritual kecil sebuah suku pedalaman sebelum salah satu anggotanya pergi keluar area hutan untuk mengadu nasib. Sejenak Ia melupakan kondisi yang diderita ibunya. Anton berpikir bahwa ini sebuah pertanda baik bagi Utami. Apa yang dikatakan dokter pada saat Ia menemani Ibunya terakhir kali mungkin benar. Dokter bilang kanker yang ada pada tubuh Utami memang tidak meluas tapi tidak bisa ditekan. Kita lihat hasilnya jika ibunya tahan dengan terapi ini. Karena terapi juga mempengaruhi organ tubuhnya yang lain sehingga bisa saja berakibat buruk, mungkin pula tubuh ibunya membangun sistem kekebalan sehingga bisa beradaptasi dan menjadikan terapi ini lebih efektif.

“Mamah sudah kembali lagi,” pikir Anton sambil membalikan badan ke arah kompor yang bersandingan dengan bak cuci piring. Ibunya tiba-tiba menyahut,

“Hari ini sudah pasti berarti buat kamu, Ton,”

“Kamu juga sudah bisa memikirkan dirimu dan masa depanmu..Tapi jangan lupa kakak dan ponakanmu, mereka yang lebih butuh bantuanmu kalau menurut mama.”

Anton hanya mendengarkan tanpa menanggapi ibunya. Sambil menempelkan lap kering ke atas permukaan gagang ketel, ia mencengkramnya dengan tangan kanan lalu mengangkatnya dan meninggalkan ibunya menuju ke kamar mandi. Dia tidak terlalu memperdulikan kalimat berikutnya yang keluar dari mulut ibunya, baginya bisa melihat ibunya sehat saja sudah sangat berarti, tidak perlu hal lain lagi.

***

Anton berdiri di depan lemari kamarnya, menghadap ke arah cermin. Rambutnya tersisir ke belakang, sedikit basah, bagian pinggirnya terpotong tipis. Dia tidak mengingat kapan terakhir kali ia memangkas rambut tapi ia suka model rambutnya sekarang. Ia mendongakkan dagunya agak ke atas untuk mendapatkan pantulan lebih jelas setelah ia melingkarkan dasi warna merah dengan garis-garis perak tipis di kerah kemeja putihnya. Tepat di atas pertemuan tulang selangka,  jempol dan telunjuk tangan kanannya memegang simpul yang sudah dibuatnya, menggoyangkan sambil mengencangkannya. Dia merasa sudah siap untuk bertemu dan berbicara dengan dewan direksi. Keyakinannya makin kuat setelah melihat kondisi ibunya yang sehat, yang menyiapkan sambal goreng hati yang sudah disantapnya setelah ia mandi. Hampir saja ia lupa rasanya, tapi dia ingat itu enak sekali. Ia mendekatkan giginya sedikit ke arah cermin, memeriksa apakah ada sisa cabai atau makanan yang terselip daripada harus menanggung malu jika ada salah satu direksi memperhatikannya. Tapi ia merasa sudah membersihkan giginya kembali setelah makan tadi.

Ia menoleh sedikit ke arah kiri, di tempat gantungan pakaian di sebelah lemarinya ada jas berwarna hitam.  Bukan jas yang sering ia kenakan, mungkin ini milik almarhum ayahnya. Mungkin ibunya sengaja menyiapkannya saat ia mandi. Ia melepaskan jas itu dari gantungannya, mencoba di badannya lalu ia bergerak ke arah cermin. Jas itu pas di badannya dan warnanya cocok dengan dasinya. Perasaannya semakin senang, ia semakin yakin untuk mendapatkan posisi yang dia idamkan di tempat ia bekerja. Ia sempat berpikir bahwa apa yang dikatakan ibunya memang ada benarnya. Dengan kondisi Utami yang sehat, Anton bisa fokus dengan karir dan kehidupannya. Dari dulu juga ia sudah membantu Eva dan anaknya. Akan tetapi tidak ada salahnya juga jika ia ingin merayakannya, mungkin tetap bersama keluarga, seperti beberapa tahun lalu ketika ia bersama yang lain pergi keliling Asia. Mungkin kali ini Amerika? Namun dia ingat pembicaraan Utami dan Keisha tentang liburan berikutnya. Keisha selalu ingin ke Amerika Serikat tapi Utami selalu bilang tidak ada apa-apa di sana, datar. Utami menyarankan lebih baik mereka ke Eropa, setidaknya Keisha bisa belajar sedikit sejarah dari sana. Anton mengatakan kepada dirinya sendiri jika ia mendapatkan posisi ini, ia akan membawa keluarganya keliling Eropa.

***

Terdengar suara dari luar kamar seperti memanggil. Mungkin itu ibunya, pikir Anton, ia pun bergegas mengambil tas jinjingnya dari atas kursi. Sempat ia menoleh ke arah jam tangannya. Masih terlalu pagi sebenarnya, tapi  Anton merasa tidak ada salahnya juga jika ia berangkat lebih cepat. Sesampainya di kantor pun, ia jadi punya lebih banyak waktu mempersiapkan presentasi untuk para dewan direksi. Dia membuka pintu kamar. Saat melewati meja makan, ia melihat tidak ada Ibunya di dapur atau halaman belakang. Bisa saja dia sudah di kamar dan melanjutkan tidur kembali. Anton pun berbelok ke arah pintu depan, di ambang pintu ibunya sudah berdiri. Hari ini terasa lebih gelap dari biasanya.  Ia terus berjalan ke arah ibunya yang berdiri tersenyum di depan pintu. Wajahnya sama sekali tak menampakan tanda-tanda seseorang yang baru saja berjuang melawan kanker. Ujung kedua matanya nampak turun karena menua hingga kelihatan seperti mengantuk. Ibunya berdiri tegap sambil tersenyum layaknya pramugari yang berdiri di depan pintu pesawat untuk mengucapkan selamat jalan kepada penumpang yang keluar beberapa saat setelah pesawat mendarat. Tiba-tiba ia berkata kepada Anton,

“Kamu sudah bisa serius dengan calon pendampingmu, Nak.”

“Tenang aja Mah, ngapain sih ngomongin hal itu pagi-pagi,” Anton menyahut sambil tersenyum melewati ibunya.

“Mamah udah tenang kok, cuma ngingetin aja... Ya udah sana berangkat, ini udah hampir waktunya.”

Anton merogoh kantung luar tas jinjingnya untuk mengambil kunci mobil, menekan salah satu tombol yang terkait dengan kunci mobil dan seketika lampu mobilnya menyala cepat dua kali, menandakan pintu-pintunya tidak terkunci. Gerbang sudah terbuka lebar, mungkin ibunya yang membukanya karena dari tadi Anton belum melihat Bu Ratna. Anton masuk ke mobil tanpa menutup pintu, meletakan tasnya di kursi sebelah pengemudi  dan satu kakinya masih menapak di lantai. Ia menyalakan mesin lalu bangun dari kursi pengemudi dan keluar untuk membuka jasnya. Membaringkan jasnya yang sudah dibuka di lengan kirinya dan tangan kanannya meraih gagang pintu belakang mobilnya. Dari atas kursi belakang ia mengambil hanger yang tidak terpakai, menyelipkan jasnya dan mengaitkan hanger di salah satu gagang yang biasa orang genggam ketika mobil bergerak dalam kecepatan tinggi atau bergoyang karena melewati jalan rusak.  Anton kembali ke kursi pengemudi dan menutup pintu. Ibunya masih berdiri di depan pintu ketika ia memeriksa kembali berkas-berkas yang ada di tas jinjingnya. Ia menggerakkan tungkai yang ada di sebelah paha kirinya ke depan, menginjak gas dan menekan klakson sekali sambil menoleh ke arah ibunya yang melambaikan tangan. Mobil bergerak perlahan keluar ke arah gerbang, Anton melihat ibunya masih melambai dari pantulan kaca spion tengah sebelum akhirnya menghilang ketika mobil berbelok keluar ke arah kiri.

***

Jalanan pagi ini diselimuti kabut tipis, sinar matahari seperti tidak diberi kesempatan oleh awan untuk memancarkan cahayanya dan menghangatkan pagi ini. Mobil bergerak 60 kilometer per jam ke arah barat, lalu lintas masih lenggang. Mungkin memang masih terlalu pagi pikirnya.

Tangan kanannya memegang stir di posisi jam satu dan tangan kirinya meraih salah satu panel di tengah dashboard untuk menyalakan radio. Anton menjulurkan tangan kirinya ke arah kursi penumpang di sebelahnya untuk meraih sesuatu di kantong luar tas jinjingnya. Ia memasukkan tangannya dan mencari alat pemutar musik yang biasa ia sambungkan ke radio mobil. Tepat setelah ia merasakan mesin pemutar itu di jari telunjuknya, tiba-tiba terdengar decitan yang menyerupai suara ketika orang mencoba menggeser pintu gerbang dengan laher berkarat. Suara itu berasal dari luar. Ia menoleh ke arah depan dan terlihat satu mobil sedan dari arah berlawanan melaju tak terkendali dengan cepat lalu menabrak pembatas jalan setinggi lima belas sentimeter dan terbang  terlempar ke sisi jalan yang lain. Anton memperhatikan detik demi detik saat mobil itu menabrak pembatas, bagian belakangnya terangkat ke atas hingga terlempar ke sisi jalan yang berlawanan, persis seperti salah satu adegan film aksi yang ditontonnya tadi malam bersama Ibu dan Eva. Hanya saja, kali ini hal itu terjadi sekitar dua puluh meter di depannya, sekarang mobil itu berguling tak terkendali menuju ke arahnya. Anton tidak sempat berbuat apa-apa, tangan kanannya masih memegang setir mobil dan tangan kirinya masih ada di dalam kantong luar tas jinjingnya. Hanya satu pertanyaan yang sempat terlintas di pikirannya, “Kenapa harus hari ini?” Tepat setelah itu, atap mobil sedan yang berguling itu menghantam kaca depan mobilnya dengan keras, mengeluarkan bunyi seperti ribuan tulang diremukkan pada saat bersamaan. Semuanya gelap.

***

Anton merasa tubuhnya seketika bergoncang. Ia merasakan seseorang memegang dan mengguncang lengannya. Ia masih belum sadar, terdengar suara yang memanggil namanya dari kejauhan. Suara seorang perempuan, suara yang tidak asing. Ia masih merasakan badannya bergoyang-goyang dan terdengar suara itu memanggilnya lagi. Kali ini suara itu mendekat dan makin jelas, terus memanggil namanya berkali-kali. Dengan segala daya upaya ia mencoba membuka kedua kelopak matanya. Masih dengan pandangan samar-samar, matanya menangkap sesosok perempuan yang sedang memandanginya, terdenger suara lagi dan kali ini semakin jelas lagi. Sepertinya ia tahu itu suara siapa.

“Anton! Cepat bangun, Ton! Bangun, Anton!”

Sekarang ia bisa melihat dengan jelas sosok Eva. Berdiri di sebelah kanannya, hampir membungkuk dan memegangnya sambil menggerak-gerakan bahu Anton untuk membangunkannya. Ia melihat ke sekelilingnya, ia mengenali ruangan ini. Plafon putih, dinding putih ini, lemari tua disamping meja dan kursi ini hanya ada di kamarnya. Ya, ini kamarnya.

Suara Eva terdengar makin keras hingga menyadarkannya. Ia menoleh ke arah kakaknya. Rambut panjangnya terlihat  tergelung seadanya. Matanya sembap, terlihat ada bekas air mata membentuk jalur di pipinya, turun ke bawah melewati sisi-sisi luar bibir ke arah dagunya. Anton bertanya ada apa dan kenapa kakaknya menangis. Dengan cepat sambil terisak Eva menjelaskan bahwa baru saja ia terbangun untuk mengambil air minum lalu mendapati  ibunya sudah terbaring di lantai depan kamarnya, tergolek bersama dengan tongkat yang biasa digunakan. Darah keluar dari mulut dan hidungnya, Eva tidak merasakan denyut nadi ibunya. Seketika Anton tersentak, terbangun, ia menoleh ke arah meja tempat jam diletakkan. Waktu menunjukan pukul  04.20 pagi, lebih cepat 10 menit dari waktu alarm biasa berbunyi.

~

oleh @crustydod