Pantry 01

 

"Pantry ini ada penunggunya." Sobur mencoba membuka sebuah orbrolan dengan Badrun yang kebetulan ada di pantry sore itu. "Ah, yang benar, Mang Sobur?" tukas Badrun tidak percaya.

Badrun, sebagai karyawan milenial yang melek teknologi memang cenderung skeptis terhadap hal-hal berbau mistis, pengalaman Sobur sebagai senior di kantor itu pun tak dihiraukannya. Sobur sudah bekerja sebagai OB selama hampir dua puluh delapan tahun di perusahaan itu, sebelum Badrun lahir, bahkan sebelum kedua orang tuanya bertemu.

"Ya boleh percaya boleh tidak, Drun. Dari berpuluh-puluh karyawan yang masuk dan resign selama saya bekerja di sini, setidaknya ada sembilan orang yang bercerita kepada saya bahwa mereka pernah bertemu dengan penunggu pantry ini. Uniknya, kesembilan orang tersebut tidak bekerja di periode yang sama. Penampakan-penampakan yang mereka ceritakan juga tidak ada yang sama. Sembilan orang, sembilan penunggu, sembilan rupa. Persamaannya hanya satu, sembilan orang itu bertemu dengan penunggu pantry ini saat mereka sedang lembur hingga lewat tengah malam." Jelas Sobur panjang lebar.

Badrun mendengus, menyeruput kopinya yang sudah tidak terlalu panas seraya menimpali, "Kalau begitu sih bukan bertemu penunggu namanya Mang Sobur. Mereka kelelahan karena lembur sampai akhirnya berhalusinasi yang tidak-tidak. Mang Sobur sendiri sudah sekian lama bekerja di sini tapi tidak pernah bertemu dengan penunggu pantry ini kan?"

Sobur terdiam cukup lama sampai akhirnya menimpali, "Ya saya mana pernah lembur sampai lewat tengah malam, Drun. Mentok-mentok juga jam setengah enam sore sudah pulang."

Badrun kembali mendengus, meneguk habis kopinya, "Paling-paling itu cuma cerita yang disebar Bos biar makin sedikit karyawan yang nongkrong di pantry. Sudah ya Mang Sobur. Saya pulang dulu, sudah jam lima teng nih!" Sebelum Sobur sempat menjawab, Badrun sudah keluar pantry. Badrun bergegas menuju pintu depan ruangan kantor tanpa kembali ke kubikelnya, meninggalkan pekerjaan yang diabaikannya sejak jam tiga sore tadi.

***

Badrun duduk dengan khusyuk di kubikelnya, jemarinya bergerak di atas keyboard tanpa henti sejak sore tadi. Pandangan matanya terus terpaku pada layar komputer. Meneliti baris demi baris, puluhan, ratusan, hingga ribuan angka di berkas spreadsheetnya.

"Tidak ada cerita, pokoknya besok pagi harus sudah selesai!" Demikian pesan bosnya yang sukses mencegat Badrun sebelum ia sempat kabur dari pantry sore tadi. Badrun hanya bisa menghela napas panjang, mustahil laporan tersebut bisa selesai besok pagi meskipun ia begadang semalam suntuk.

"Seharusnya tidak begini," pikir Badrun. Seharusnya jam segini ia sudah asyik di kamarnya, sendirian, menghabiskan waktu bersama koleksi berkas-berkas bajakan yang setiap hari senantiasa ia unduh sembunyi-sembunyi memanfaatkan fasilitas perusahaan. Film, musik ataupun cerita bergambar. Alih-alih ketiga hal favoritnya tadi, Badrun masih harus berkutat dengan laporan konsolidasi pemakaian bahan baku aktivitas produksi milik perusahaan yang diaudit oleh kantornya.

Waktu sudah menunjukkan tiga puluh empat menit lewat tengah malam dan ujung pekerjaannya masih belum juga tampak. Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Badrun berjalan gontai ke arah pantry untuk kembali mengisi gelas kopinya yang sudah kosong. Sudah setengah jalan, sontak ia teringat cerita Sobur dua hari yang lalu tentang penunggu pantry yang hanya akan menampakkan wujudnya pada mereka yang lembur hingga lewat tengah malam. Muncul sedikit perasaan tidak enak di hati Badrun, namun rasa haus, kantuk, dan keinginan akan kopinya jauh lebih kuat sehingga ia membulatkan tekad untuk masuk ke pantry. Pelan-pelan Badrun membuka pintu pantry, meraba-raba dinding mencari saklar untuk menyalakan lampu...

Tidak ada siapa-siapa.

Badrun menarik napas, setengah lega dan setengah pongah, "Betul kan, tidak ada apa-apa. Pantry ini tidak ada penunggunya," batinnya dalam hati.

Sambil bersiul-siul, Badrun menuang serbuk kopi instan dari sachetnya, menambahkan air panas dari dispenser lalu mengaduk-aduk kopinya dengan menggunakan bungkus sachetnya, satu kebiasaan yang tidak pernah bisa diubahnya semenjak ia kuliah. "Mungkin sebaiknya aku pulang saja. Mau dipaksa lembur sampai pagi pun tidak akan selesai, ujung-ujungnya pasti kena marah juga. Lebih baik tidur sekalian di rumah!" Pikir Badrun.

Tiba-tiba terdengar suara keras menggema entah dari mana datangnya, "KALAU PIKIRAN SEMUA KARYAWAN SEPERTI ITU, BAGAIMANA PERUSAHAAN INI BISA MAJU?"

Badrun kaget setengah mati, "S-siapa itu?" ucapnya terbata-bata. Belum sempat ia mendapat jawaban, dari gelas kopinya yang belum selesai teraduk rata muncul asap, perlahan membumbung tinggi membentuk sesosok tubuh. Asap memudar dan menampakkan sosok tubuh yang sempurna. Badrun nyaris terkencing-kencing. Sosok itu tinggi besar, kepalanya menyentuh langit-langit pantry, kakinya menekuk dengan lutut hampir menyentuh lantai dan tangan panjang menjuntai. Rambutnya panjang sepunggung. Hal yang membuat Badrun takut bercampur heran adalah wajah cantiknya yang menyerupai sosok idola Badrun, salah satu anggota grup band idola dari Jepang.

"K-kamu siapa?" Badrun masih sanggup memberanikan diri untuk bertanya meskipun lututnya gemetar tak karuan.

Sosok itu menyeringai, "KURASA KAMU TAHU SIAPA AKU." Jawabnya, masih dengan suara menggema memenuhi pantry.

Badrun menelan ludah. Jangan-jangan pikiran takaburnya telah membuat makhluk penunggu pantry ini maujud di hadapannya, akan mencabut nyawanya karena sudah lancang bersikap sombong di tempat kediaman makhluk itu.

Sebelum Badrun sempat membuka mulutnya lagi, makhluk itu terlebih dahulu memotong ucapannya sambil terbahak, "AKU TAK MAU NYAWAMU, AKU BUKAN MALAIKAT PENCABUT NYAWA, BUKAN ITU PEKERJAANKU."

"K-kalau begitu mau kamu apa?" Badrun bertanya lagi, kali ini sudah tidak setakut tadi.

"BUKAN APA YANG KUMAU, TAPI APA YANG KAMU MAU." Jawab makhluk tersebut.

Badrun kaget mendengar jawaban itu. Kekagetannya tidak bertahan lama, "Apakah ini kesempatan tidak terduga untuk memutarbalikkan nasib?" otaknya berpikir keras. Ia tidak ingin percaya begitu saja. Rasanya ini hal yang terlalu bagus untuk jadi kenyataan, terlebih hal yang terlalu bagus biasanya memiliki konsekuensi-konsekuensi, mungkin tumbal atau semacamnya.

"Apa syaratnya? Hal semacam ini pasti punya syarat dan ketentuan khusus." Kali ini suara Badrun lebih mantap, tidak ada lagi tersirat rasa takut di nada bicaranya.

Sosok makhluk tersebut kembali terbahak, "TIDAK ADA SYARAT APA-APA! AKU SUDAH MELIHAT LOYALITASMU KEPADA PERUSAHAAN INI. LEMBUR HINGGA LEWAT TENGAH MALAM SAMPAI BISA MEMBUATKU MUNCUL BEGINI, BAGIKU SUDAH LEBIH DARI CUKUP ."

Mata Badrun berbinar mendengar jawaban tersebut, "Kalau begitu, yang saya inginkan adalah uang dan kekuasaan!" Sebutnya mantap.

Dua detik kemudian, Badrun menyesali perkataannya. Makhluk itu dalam sekejap berubah wujud, dari wajah cantik salah satu anggota grup band Jepang idola Badrun menjadi sosok angker dengan mata putih berpupil hitam kecil. Taring runcing mencuat dari bibir bawahnya, di keningnya ada dua buah tanduk melengkung menyerupai tanduk domba. Makhluk itu membungkuk, mendekatkan wajah seramnya, satu senti di depan wajah Badrun yang takut bukan main.

"APA-APAAN! PERMINTAAN EGOIS MACAM APA ITU? BUKANKAH KAMU KARYAWAN YANG LOYAL PADA PERUSAHAAN INI? SEHARUSNYA PERMINTAANMU ITU BERUPA HAL YANG BISA MENDATANGKAN PROFIT BAGI PERUSAHAAN HINGGA JANGKA WAKTU JAUH KE DEPAN."

Badrun serasa mau pingsan diteriaki sedimikian rupa oleh makhluk angker itu, "M-maafkan saya, k-kalau begitu apa yang sebaiknya saya minta?" tanyanya terbata-bata.

Makhluk tersebut menegakkan lagi kepalanya. "INGAT-INGATLAH KEMBALI ALASANMU MASIH ADA DI KANTOR INI HINGGA LARUT MALAM BEGINI. INGAT-INGATLAH KEMBALI APA YANG KAMU PIKIRKAN KETIKA MASUK PANTRY TADI. INGAT-INGATLAH APA YANG MEMBUATMU BEGITU MENCEMASKAN ESOK HARI!"

Dengan hati-hati Badrun berucap, "Laporan konsolidasi?" tiba-tiba wajah makhluk tersebut berubah kembali menjadi gadis anggota grup band Jepang idola Badrun.

Seraya tersenyum, makhluk tersebut berkata lembut, "INGATLAH BADRUN, MASA DEPAN TIDAK AKAN SEBURUK ITU." Mata makhluk tersebut tiba-tiba bersinar terang menyilaukan, Badrun pun pingsan.

***

Esok paginya, Badrun ditemukan tidak sadarkan diri di dalam pantry. Laporan konsolidasinya secara ajaib telah selesai dengan baik sampai-sampai bosnya tidak bisa menemukan celah untuk mencelanya. Banyak yang bertanya kepada Badrun bagaimana ia bisa menyelesaikan laporan tersebut hanya dalam satu malam atau mengapa ia bisa pingsan di pantry, akan tetapi, Badrun tidak pernah mau menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Tiga hari setelah kejadian itu, Badrun mengajukan surat pengunduran dirinya dari perusahaan.

~

oleh Badrun Darmono / @mono3412