Antrian

 

Semua orang akan mati, kita hanya sedang menunggu giliran.

Terima kasih pada Tuhan yang Maha Pengasih atas berkat terbesarNya, akhir dari segala derita. Tiada perasaan yang cocok untuk menggambarkan hidup selain memuakkan. Kehidupan, kekecewaan dan segala hal buruk yang tak pantas kita dapatkan. Kita semua; aku, engkau, seorang bapak baik hati di kereta komuter yang merelakan kursinya untukmu; kita semua patut binasa karena kita adalah makhluk mengerikan, monster.

Tadi malam aku bermimpi menyiksa ayah mertuaku hingga mati, menggunakan palu yang disimpannya di laci lemari peralatan. Di mimpi itu aku meremukkan setiap bagian tubuhnya, mematahkan satu demi satu jari di tangan dan kakinya, lalu menjebol rusuknya hingga ia muntah darah. Setelah hampir tiga puluh menit bermain bersamaku, berkali-kali ia berteriak tak karuan dan mohon ampun hingga aku tak tahan lagi untuk mengirimkan satu pukulan pamungkas menuju sisi kepalanya, melempar mayatnya ke luar dari jendela lantai dua. Aku menyaksikan mayatnya bergulung menggelinding menuruni atap hingga akhirnya tergolek meyedihkan di lantai paving depan rumahku, kubuka celana, kukencingi ia dari jendela.

Ibu mertuaku datang tergopoh-gopoh meniti tangga, “Apa yang kamu lakukan?”

“Hidup!” Jawabku.

Aku tak begitu membenci ibu mertuaku, mungkin karena hal itu, alam bawah sadarku tak mau repot-repot merekayasa skenario sadis untuknya. Di mimpi itu, aku menembak kepalanya dengan pistol yang entah kudapatkan dari mana, tepat di antara kedua matanya. Samar aku bisa melihat ruhnya melayang keluar dari mulut, sebelum jasadnya menghantam keramik yang seketika menjadi genangan merah segar.

~

Pagi harinya aku terbangun menemukan istriku bersandar di sisi ranjang memperhatikan aku lekat-lekat, ia tersenyum, jemarinya iseng menari-nari di atas dadaku. Entahlah, ia bertanya aku memimpikan apa. Tentu saja aku menjawab aku tak ingat sama sekali. Pagi itu, di meja sarapan ia mengatakan mimpi itu pasti sebuah mimpi yang menakjubkan karena aku nampak sangat bahagia dan tersenyum dalam tidurku.

Jelas sudah, aku adalah monster, sama halnya dengan kalian semua. Aku pantas mati, akan tetapi hanya untuk sebuah keadilan bagiku dan seluruh nyawa di dunia. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan dan hidup. Tiada satu pun dari kita yang meminta kehidupan.

Kami tidak pernah benar-benar saling mencintai satu sama lain, aku dan istriku. Aku sudah lupa kapan terakhir kali percaya pada hal yang disebut sebagai cinta, mustahil, cinta adalah mitos paling konyol. Manusia sebagai hewan berpikir bahkan kesulitan untuk memahami adanya bentuk kehidupan lain di luar spesiesnya yang memiliki kesadaran mereka masing-masing. Kemungkinan besar hal inilah yang menjadikan kita begitu mahir mengungkapkan hal-hal buruk tentang orang lain, karena pada bagian paling tersebunyi dalam pikiran kita, kita tak menganggap mereka sebagai orang. Kita manusia yang tak memanusiakan manusia, yang kita pedulikan hanyalah sebuah kenyataan sederhana bahwa ada banyak sekali obyek bernyawa yang menyerupai kita, mereka juga kentut dan tertawa.

Hal penting lain yang tertangkap pikiran picik kita adalah bahwa sebagian obyek-obyek itu membuat kita sedih atau gembira. Saat melihat orang lain, sulit bagi kita untuk membuktikan bahwa keberadaan mereka sama nyatanya dengan keberadaan kita. Otak kita melihat orang lain sebagai obyek yang bisa disetubuhi, dibunuh, dieksploitasi. Bagaimana mungkin kita bisa mencintai orang lain, untuk mencintai kita harus memahami mereka, sangat sulit bagi seseorang untuk bisa benar-benar mengerti seseorang yang lainnya.

Aku adalah monster, ya, kurasa kita semua sudah tahu. Bila kita sulit mencintai dengan tulus seseorang yang dekat dengan kita, kita begitu mudah membenci seseorang yang bahkan tidak kita kenal sama sekali. Kita begitu sering membenci seseorang hanya karena mereka membuat kita merasa tak nyaman atau kecewa, bahkan hanya karena membuat kita kecewa pada diri kita sendiri. Aku sulit mencintai istriku, tapi aku begitu membenci ayah mertuaku, meski bagiku si tua bangka itu tak lebih dari obyek lain yang kebetulan ada dalam kehidupanku. Fakta bahwa aku bisa memimpikan hal mengerikan itu pasti karena otakku tak memahami keberadaan mereka yang juga hidup dan berperasaan sama sepertiku.

Aku tak bisa mencintai siapa pun tetapi aku bisa, mampu, menyakiti dan membenci siapa pun; tidak terbatas hanya pada obyek-obyek yang membuatku merasa tak senang, seperti ayah mertuaku itu.

~

Sehari-harinya aku berkeliling kota, menjual obat-obatan rekreasional yang terbukti bisa mengubah mood dan perasaan manusia. Belakangan ini aku menjual barang terbaru yang sedang populer, bisa memberikan berjenis-jenis pengalaman mental spesifik, transdermal dalam bentuk koyo sehingga begitu praktis tanpa perlu repot menelan atau menyuntikkan apapun. Barang-barang itu, entah apapun tujuan semula dibuatnya, akan menghancurkan otak dan organ vital lain milik penggunanya. Para binatang itu, pelangganku, yang tertua berusia tujuh puluh dua sedangkan pembeli termuda yang pernah aku layani adalah seorang gadis berusia lima belas tahun.

Ya, aku menjual substansi berbahaya yang dapat menghancurkan hidup, tentu saja aku sangat berorientasi pada keuntungan, tak pernah memberikan diskon apalagi barang cuma-cuma. Aku selalu berpikir bahwa yang kulakukan hanya sekedar menjual obat pada obyek-obyek yang berjalan-jalan di sudut gelap keramaian kota sambil membawa segepok uang. Sayang, kengerian pekerjaanku tidak hanya berhenti sampai di situ, jangan salah sangka.

Sembari mengedarkan, aku juga mengintai mereka yang terlibat dalam bisnis jahat ini, khususnya yang menyasar pelajar dan pemuda. Aku akan menangkap dan melaporkan mereka, memastikan mereka mengikuti seluruh proses di pengadilan sebelum mendapat hukuman mati, sebuah keniscayaan bagi siapa pun dengan tindak kriminal serupa. Aku adalah seorang intel, terima kasih pada penyamaranku sebagai pengedar, aku bisa memperoleh tambahan keuntungan dari barang daganganku.

Semua yang kulakukan adalah legal, lucunya, hal ini bahkan sama sekali bukan keinginanku sendiri. Di organisasi tempat aku bekerja, di seluruh negeri ini, tampaknya tidak ada yang peduli dengan cara ini; bila mungkin saja para agen menyalahgunakan wewenang dan mematikan anak-anak itu perlan-pelan dengan zat yang akan membuat otak mereka membatu. Hal terpenting adalah kami bisa menangkap para penjahat yang melakukannya. Setiap kali komplotan pengedar tertangkap dan masuk berita maka orang-orang akan merasa hebat, menjadi bagian sebuah pergerakan besar atas nama kemajuan.

Setelah seharian bekerja menghancurkan masa depan orang-orang sebagai pengedar dan menegakkan keadilan sebagai perpanjangan tangan hukum, aku akan pulang ke rumah dan mencium kening istriku sembari mengatakan betapa aku mencintainya. Kami akan makan malam, menonton film atau membicarakan berita di televisi. Kami biasa bercinta apabila sedang ingin saja. Bercumbu dan bercinta, cara lain bagiku untuk menyebut bagimana menggunakan sebuah obyek yaitu istriku untuk kesenanganku, tentu saja dia juga menggunakan sebuah obyek lain yaitu suaminya untuk membantunya merasakan kenikmatan dunia. Sebelum tidur, aku tak pernah lupa untuk mengucapkan selamat istirahat dan menciumnya, kadang ia meneruskan membaca di sisi ranjang sedangkan aku akan meringkuk dan pura-pura terlelap.

Sekali lagi; kita adalah makhluk egois, dingin, monster tak berperasaan. Tak ada yang benar-benar peduli pada orang lain. Kehidupan begitu menyedihkan dan kita semua pantas mati untuk segala hal yang pernah kita lakukan. Fakta bahwa tidak seorang pun pernah meminta untuk terlahir dan hidup bahkan tidak relevan lagi untuk kita sertakan dalam bahasan ini.

~

Seperti biasa, setelah sarapan istriku akan memeriksa kalender dinding dengan teliti, menghitung hari menuju tanggal yang ia beri lingkaran besar dengan spidol warna merah. Sebuah ritual yang sudah ia lakukan sejak awal tahun ini, menghitung waktu menuju hari saat kami akhirnya bisa pergi bulan madu. Pagi ini, empat bulan menuju tanggal di mana gaji kami akan cukup untuk sebuah paket perjalanan panjang ke luar negeri berdua.

Sungguh konyol, dua minggu lagi aku akan meninggalkan daftar tunggu layanan eutanasia. Hal lucu ini tak mau pergi dari pikiranku, istriku tak pernah tahu aku mendaftar untuk mati sejak hampir tiga tahun lalu. Tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali diriku dan tentunya para pegawai negeri yang harus merekam progress pendaftaranku.

Tiga tahun masa tungggu untuk layanan suntik mati atau izin bunuh diri rumah maupun properti pribadi lainnya. Kebijakan yang merepotkan, seandainya saja aku berada satu tingkat di atas golongan pembayar pajakku sekarang maka aku tak harus menunggu selama ini. Sayang, aku tak mampu membayar pendaftaran untuk jalur VIP sekaligus setoran asuransi kesehatan juga kunjungan rutin ke dokter gigi. Sungguh brengsek, nasib para orang kaya sudah pasti jauh berbeda, mereka mungkin saja menyuap para petugas berperut gendut itu untuk mengakali antrian. Layanan yang diberikan untuk mereka juga pasti akan berbeda, aku membayangkan betapa nikmatnya mereka menghembuskan napas terakhir dipangkuan kemewahan. Suap-menyuap tentunya illegal, tentu saja, tapi apa yang bisa kita lakukan? Membunuh mereka?

~

Istriku tak pernah tahu rencanaku untuk mengakhiri hidup. Aku mendaftar hampir bersamaan dengan saat pertama kali berkencan dengannya. Bila tidak salah mengingat, aku setuju untuk menemuinya berkat saran dari seorang teman yang kebetulan juga mengenalnya. Saat aku pertama bertemu dengan perempuan yang kini menjadi istriku itu, aku tidak jatuh cinta, bukan karena aku jahat, tapi rasanya sungguh mustahil saja untuk bisa mencintai seseorang. Yang kuingat, saat itu aku menemukan sebuah obyek yang enak untuk dilihat, diajak berbincang, dan tentunya membuatku merasa senang. Dapat dipastikan, aku tak akan menuruti saran temanku untuk menemuinya bila sebelumnya aku tidak mendaftarkan diri untuk mati.

Aku merasa sejak aku mendaftar untuk program itu aku begitu mudah melakukan apapun yang biasa dilakukan orang-orang dan tanpa harus berpikir panjang. Sebelumnya, aku selalu merasa hidupku bukan benar-benar milikku, stagnan.

Singkat cerita, aku setuju menemui gadis ini, temanku memberitahukan bahwa namanya adalah Helen. Menurutku, kulit kecoklatan dan suaranya yang cempreng begitu menarik. Entah karena apa, aku merasa diriku pun bisa membuatnya nyaman, meski tentu saja aku adalah sekedar obyek lain dalam kehidupannya. Kami lumayan akrab, atau bagaimana seseorang biasanya akrab dengan sebuah obyek lainnya. Akrab mungkin adalah kata yang paling tepat, kami tak benar-benar saling mengenal dan memahami.

Setelah tiga bulan, kami mulai tinggal bersama di apartemenku, tahun lalu aku melamarnya. Tidak terlalu buruk, lagi pula aku tidak berencana untuk berlama-lama menghabiskan waktu di planet terkutuk ini. Aku selalu berpikiran bahwa kami tidak benar-benar saling mencintai. Aku sering membayangkan bagaimana saat itu akan tiba; pada tanggal namaku dicoret dari daftar tunggu itu, aku akan bangun, sarapan, berpamitan dan mencium keningnya serta mengatakan jika aku akan pulang malam. Aku akan naik kereta komuter menuju rumah sakit daerah, naik lift, dan mengucap selamat tinggal untuk selamanya pada alam fana.

Akan tetapi kami adalah sepasang obyek yang bisa menyenangkan satu sama lain. Sering kali, obyek yang aku anggap sebagai istriku ini membuatku merasa bahagia. Aku sering mengatakan bahwa aku begitu mencintainya, meski mustahil tentunya, dan dia akan mengatakan bagaimana dirinya juga mencintaiku. Kadang-kadang aku akan menceritakan sebuah lelucon, aku suka mendengar tawanya. Kadang kami bercinta sampai pagi, dan kadang kami juga menonton film.

Aku begitu menyukai film, aku percaya jika film adalah hal terakhir di mana kita begitu jujur dalam melihat dan memperlakukan orang lain. Film-film di mana kita berhenti berpura-pura dan tak melihat orang lain sebagai obyek yang tidak sama signifikan dan nyata dibanding diri kita sendiri.

Satu-satunya hal yang kubenci dari entitas itu, obyek yang merupakan istriku, adalah saat aku harus menghadapi obyek-obyek lain dalam keluarganya yang tidak sama menyenangkan seperti dirinya. Jika saja aku tidak berencana untuk mati secepatnya, aku pasti tidak tahan dengan orang tuanya, sayang membunuh akan tetap ilegal sampai kapan pun.

~

Dua minggu menuju  saat yang aku nantikan.

“Hei! Apa yang kamu lakukan?”

Obyek itu, binatang yang baru saja membeli barang dariku, duduk bersila di sudut ruang tempat kami bertransaksi. Aku kebingungan, biasanya setelah jual beli, mereka akan segera pergi, entah membagi kesenangan dengan teman-teman mereka atau mencari tempat sepi untuk mengalami pengalaman yang mereka idamkan.

Binatang itu mendongak ke arahku, rambutnya panjang sebahu, gadis itu nampak masih sangat muda. Dia gulung lengan kanan bajunya, menampakkan lengan kurus dari tubuh mungilnya, bekas-bekas tempelan yang memucat di kulit putihnya. Masih bersila, dia buka telapak tangan kanannya, mengistirahatkannya di lutut dan tersenyum.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku sekali lagi saat jalang itu menempelkan koyo di lengannya dan membiarkan zat-zat kimia mengaliri seluruh pembuluh darahnya, menyerbu sistem saraf dan menyalakan otaknya bagai lampu neon minimarket. Kandungan zat pada koyo yang dipakainya itu, memiliki dosis tiga kali lipat dari apa yang bisa diterima tubuh mungilnya.

“Hidup!” jawabnya lantang saat matanya mulai terkatup. Aku terhenyak dan menyaksikan bagaimana reaksi kimia mengambil alih tubuhnya. Aku tetap terdiam saat menyaksikan napasnya terengah dan entah satu atau dua menit berikutnya ia terbaring di lantai. Kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak, kaku dan melemas dan kaku lagi, lebih menyerupai sebuah tarian daripada kejang menyakitkan.

Sekali lagi aku teringat bahwa hidup adalah koleksi besar kekecewaan menyedihkan. Aku tak bisa menyalahkan gadis itu, yang mungkin ingin mengakhiri nyawa miliknya. Meski mati bunuh diri karena overdosis adalah ilegal, tapi tidak ada yang salah dengan keinginan untuk mati. Tidak satu pun di antara kami berdua yang meminta dilahirkan dan hidup. Entah apa yang merasukiku sehingga aku melakukan hal paling konyol seumur hidupku.

Cepat, aku berjongkok dan meraih apa yang menempel di lengan kanannya. Seandainya saja aku membiarkan kimia bekerja, obyek itu, yang aku sama sekali tidak mengenalnya, akan segera berakhir kaku di lantai dingin. Aku akan menelepon kantor, tim forensik akan datang lima menit kemudian, memeriksa TKP dan membawa mayatnya lalu aku bisa kembali bekerja menyamar sebagai pengedar. Entah, hal serupa terjadi lusinan kali sebelumnya. Terkutuk! Seandainya saja aku tak melakukannya.

Tetapi sayang, tidak seperti apa yang aku bayangkan; aku merasakan kepuasan saat kejangnya perlahan melemah dan berhenti, saat napasnya mulai lancar. Kupandangi benda kecil di telapak tanganku, kotak persegi dan tipis hampir transparan. Kubaca sebuah label merah yang perlahan memudar meresap ke dalam kulitku saat kutempelkan di lengan kiriku.

MIMPI, adalah apa yang tertulis di situ.

Serangkaian sensasi aneh menjalari sekujur tubuhku, aku cepat menyadari bila dosisnya juga terlalu besar untukku, sama seperti gadis itu, yang masih ada di dalam ruangan bersamaku, di luar jangkauan pandanganku.

Aku akan mati sebelum jadwal yang telah ditentukan!

~

Aku terbangun di dunia yang sama sekali lain, dunia yang lebih menyenangkan. Aku berdiri di kegelapan, kutengok ke belakang, hanya ada ketiadaan, telaga hitam terbentang sejauh mata memandang. Di hadapanku, segalanya nampak begitu nyata, lebih nyata dari tempat di mana aku sebelumnya berada. Tempat ini juga lebih nyata dari mimpi-mimpiku sebelumnya. Samar, aku bisa melihat orang-orang di kejauhan. Aku dapat merasakan bagaimana perasaan mereka mendorong, menyentuh dengan halus perasaanku. Aku dapat mendengarkan pikiran mereka, gumaman-gumaman harmonis, musik paling indah yang pernah kudengarkan. Beberapa wajah kukenali, sebagian lainnya tidak.

Aku bisa menyaksikan wajah istriku di antara kerumunan, dan dia bukan lagi sebuah obyek yang kukenal selama ini. Di sini, di dalam pikiranku, dia begitu nyata sama sepertiku, dia adalah kenyataanku. Aku merasakan sensasi terjatuh dari ketinggian, respon alami sistem sarafku yang kelebihan muatan, aku akan mati. Inilah momen terakhirku, pemahaman tertinggiku pada seorang manusia yang telah kujanjikan untuk menghabiskan sisa hidup bersamaku. Aku sadar, aku bisa mencintainya, aku bisa mencintai semua.

Seutas tali turun dari langit, muncul dari kekosongan. Jerat yang akan aku gunakan untuk menggantung leherku, hal terindah yang pernah kusaksikan. Aku menaiki panggung meski tak bergerak selangkah pun, berdiri di hadapan kerumunan. Keluargaku mendongak menatapku, sama seperti saat berpisah selepas hari pernikahanku. Teman-teman sekantor, para guru dan kakak kelas bengal yang suka menjahiliku, wajah-wajah suram milik mereka yang membeli obat dariku. Istriku dan kedua mertuaku, aku tak sedikit pun merasa ingin membunuh mereka berdua. Di sini, di mana semua orang begitu nyata, adalah mustahil untuk bisa membenci siapa pun.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya mereka, saat aku mulai memasukkan kepalaku dalam jerat, simpul pelarian yang akan menyelamatkanku dari apa yang tidak pernah aku harapkan, dari sesuatu yang semua orang ketahui sebagai kekecewaan menyedihkan.

“Hidup!” aku mulai menangis, aku sedih sekaligus gembira.

“Hidup untuk mati.”

~

“Hidup mungkin adalah sebuah kekecewaan, tapi kekecewaan itu milik kita bersama”

Ungkapan pertama yang kudengar saat terbangun di ruangan yang kukenali sebagai kamar rumah sakit, bukan oleh dokter atau istriku. Bukan pula dari atasanku atau korban-korbanku. Orang itu adalah petugas asuransi kesehatan. Ungkapan itu terulang-ulang bergema di pikiranku saat dia menjelaskan bagaimana biaya perawatan kesehatan karena overdosis tidak akan ditanggung dan bagaimana berusaha mati sebelum jadwal yang dilegalkan untukku adalah sebuah kejahatan serius. Petugas itu berulang-ulang mengatakan padaku bagaimana usahaku untuk mati adalah hal yang menyelamatkan hidupku.

Berikutnya, petugas itu menjelaskan lebih lanjut tentangbpremi yang harus aku bayar. Aku coba menanyakan apakah namaku masih ada dalam daftar tunggu itu, dia menjelaskan bahwa meski aku masih ada dalam antrian namun dikenakan penalti atas tindakan yang baru saja aku lakukan. Sekitar tujuh ribu hari sebelum hukum mengijinkanku untuk mengakhiri hidup, ilegal bagiku untuk mati selama dua puluh tahun mendatang.

Dia menanyakan apakah ada yang kurang jelas atau hal lain yang ingin kutanyakan, aku bertanya apa yang terjadi dengan gadis yang bersamaku saat itu.

~

Siang itu, saat istriku datang, aku sungguh bahagia. Dia mengatakan dia sering menyaksikanku saat tertidur lalu menanyakan apakah aku bermimpi. Aku mengatakan iya. Dia mengatakan mimpi itu pasti sebuah mimpi yang menakjubkan karena aku nampak sangat bahagia dan tersenyum dalam tidurku.

“Apa yang telah kamu lakukan?” ketakutan menghinggapi pikiranku, mungkin saja apa yang ia maksud adalah tentang insiden itu. “Di dalam mimpimu?”

“Bukan apa-apa,” jawabku.

Aku mengatakan jika aku begitu mencintainya, sambil tertawa dia mengatakan dirinya juga sangat mencintaiku.

Terima kasih Tuhan. Kami berdua pasti akan mati, kami tidak pernah meminta untuk terlahir dan hidup, tapi bukan untuk alasan paling tolol yang pernah aku ketahui itu.