Sinema

 

Setiap tiga bulan sekali, pada hari sabtu di akhir pekan ketiga, Pemerintah Kota mengadakan sebuah kompetisi seni di sebuah villa di kaki gunung pinggiran kota. Seluruh meja dan kursi, termasuk dari teras panjang yang menghadap ke perkebunan teh ditata masuk di ruang utama bersama perabot dan hiasan lain yang sudah ada di dalam ruangan.

Kursi-kursi dan meja bulat ditata rapi menghadap ke sisi kiri aula memunggungi sebuah bar dan deretan buffet berisi bermacam makanan, di sisi kiri Aula telah disiapkan satu podium kecil dan sebuah layar lebar untuk menampilkan seluruh karya seni dalam kompetisi ini. Pada hari H, tempat ini selalu ramai dan dipenuhi gumaman-gumaman serta tawa. Lilin-lilin hias dalam gelas warna-warni diletakkan di meja-meja, melengkapi tata cahaya minimal khusus untuk perhelatan ini, menciptakan festival bayang-bayang memabukkan di dinding dan langit-langit. Sarah tengah memandangi siluet-siluet itu saat ditanya oleh Ibu Koes untuk ketiga kalinya apakah ia ingin minum atau ke toilet. Sarah hanya diam dan menggeleng pelan sebelum menundukkan kepala. Ibu Koes melirik ke arah suaminya dan keduanya kembali memperhatikan ke arah layar, mereka sudah terbiasa dengan hal ini.

Sarah kini kelas 3 SMP,  sudah sejak tiga tahun lalu pasangan Bapak dan Ibu Koes seringkali mengajaknya bepergian jalan-jalan,  termasuk ke acara semacam ini. Pasangan berusia enam puluhan itu tidak dikaruniai anak dan kenal dekat dengan kedua orang tua Sarah, begitu dekat sudah seperti keluarga.

Bagi Sarah, kedua orang tuanya seolah hanya hidup untuk bekerja lalu pulang malam. Pada akhir pekan, keluarga mereka hanya diam di rumah. Sarah biasanya di kamar saja, tidur siang atau mendengarkan musik. Begitu pula kakaknya, Abi, dia selalu bermain game di kamar dan hanya akan ke luar untuk makan siang. Ibunya di ruang tengah menyaksikan apapun yang ditayangkan televisi sedangkan ayahnya biasa duduk di ruang depan entah merokok atau menyaksikan berita di televisi.

Setiap dua minggu, Bapak dan Ibu Koes akan mengajak Sarah ke berbagai tempat. Mereka akan mengajaknya ke café, ke toko buku, ke tempat-tempat wisata, sesekali mereka juga ke pusat kota untuk menonton film di bioskop. Mereka paling sering memperbincangkan soal buku-buku, musik, film, atau seni pada umumnya; Sarah biasanya hanya duduk diam bersama mereka, memperhatikan dan mengingat apapun yang menarik menurutnya. Sarah sangat menyukai kedua orang tua itu, mereka senang mengobrol, bercerita dan berdebat tentang hal-hal yang baru ia ketahui, keduanya nampak begitu bahagia serta saling mencintai. Pasangan Koes juga sangat perhatian, kedua orang tuanya begitu pasif soal apapun.

Kompetisi seni ini adalah salah satu acara yang tidak pernah mereka lewatkan. Kompetisi ini mewajibkan peserta mengirimkan karya dalam bentuk digital lewat email pada penyelenggaranya. Pada hari pelaksanaan, seluruh karya akan ditampilkan di layar dengan sebuah proyektor untuk disaksikan para hadirin dan dinilai oleh dewan juri. Seluruh karya ditampilkan tanpa nama pengirimnya, hal ini ditujukan untuk menarik lebih banyak pengirim dan tentunya menjaga penilaian dewan juri agar tetap adil.

Sarah duduk di antara Bapak dan Ibu Koes, mereka membicarakan sebuah lukisan dari kompetisi tahun lalu. Sarah berpikir, apakah kedua orang tua ini mengirimkan sesuatu untuk kompetisi ini, mereka selalu membicarakan seni namun tidak pernah membahas soal membuat atau mengikuti kompetisi seni.

Ibu Koes kembali menanyakan apakah Sarah haus, kali ini ia mengangguk dan mengatakan ingin segelas jus jeruk, Ibu Koes beranjak dan Sarah menggulung lengan kaus pendeknya sembari menunggu minumannya datang. Pak Koes bertanya apakah Sarah merasa gerah, ia mendongak lalu mengangguk perlahan, merasakan bulir keringat bergerak menuruni leher di bawah rambut panjang sebahu milikknya yang dibiarkan terurai.

Dia ingin beranjak pergi dan merasakan sejuknya udara, berlari turun menuju setapak di antara deretan pohon teh menuju entah apa, di mana dia bisa sendirian seolah menjadi satu-satunya orang yang ada di dunia.

Tadi malam ia memikirkan Amira. Malam sebelumnya dia memimpikan Amira lagi. Di dalam mimpinya, keduanya ada di rumah lama mereka yang kosong tanpa perabotan apapun, dipenuhi debu juga sarang laba-laba. Sarah berdiri di ambang pintu ruang tamu sementara Amira terpaku di tengah ruangan memandang ke sudut ruangan tempat sebuah televisi semula berada, Sarah berjalan pelan hendak memeluk punggung Amira. Sebelum Sarah selesai mengumpulkan keberanian untuk mengulurkan tangan, Amira berbalik badan dan menunjukkan kedua tangannya yang berlumuran darah.

Amira menempelkan tangannya ke perut Sarah, menanyakan apakah Sarah ingin tahu bagaimana rasanya mati. Dia mengatakan bahwa mati tidak menyakitkan sama sekali. Amira meneruskan ceritanya, awalnya ia hanya merasa lelah, begitu lelah dan ingin merebahkan diri, tak sanggup lagi berdiri, lalu dia terbaring di lantai dan tertidur pulas. Amira mengatakan itulah yang bisa ia ingat.

Kedua gadis itu saling berbalas senyum kecil, sekejap kembali ke posisi mereka semula sebelum akhirnya Sarah terbangun dalam gelap.

Sarah terdiam terpaku, memanatap nanar ke kegelapan kamarnya hingga perlahan cahaya fajar menerobos masuk sampai terdengar alarm dari telepon genggam keluarganya dan suara-suara mereka yang terbangun dari tidur. Sarah ke luar kamar dan menuruni tangga, duduk di kursi meja makan. Dia tak mengatakan apapun tentang mimpinya semalam, kedua orang tuanya tidak akan mau membicarakan apapun tentang Amira lagi.

Sarah masih melamun memikirkan mimpi itu saat Ibu Koes kembali dengan segelas jus jeruk dingin. Dia menyedot sedotan di gelas itu dengan rakus. Pasangan itu kembali mengobrol lagi dan Sarah duduk tenang, merasa agak mendingan sekarang.

Satu persatu lampu dimatikan, menyisakan lilin-lilin redup saat sang kurator untuk kompetisi kali ini berjalan menuju podium, ruangan mendadak hening. Pak Koes bersender di kursinya, menggoyang-goyang botol birnya dan istrinya membungkuk ke arah meja untuk kembali menyisip cangkir kopinya.

Sang kurator memberikan sambutan singkat dan memperkenalkan karya pertama yang akan ditampilkan sebelum memberi kode ke arah petugas di sudut ruangan yang menghadap sebuah laptop. Layar menampilkan sebuah sketsa lanskap pinggiran kota, disambut tepuk tangan sopan dan gumaman-gumaman pelan di antara para hadirin. Setelah beberapa saat, karya berikutnya diperkenalkan dan ditampilkan lalu menerima respon serupa dari para hadirin.

Pola ini berulang belasan kali hingga sang kurator mengatakan bahwa karya berikutnya yang akan ditampilkan adalah sebuah film pendek hitam putih. Sarah sedikit lega,  akhirnya bisa melihat hal lain bukan lagi sekedar gambar-gambar diam.

Film diawali dengan pemandangan area perairan luas dengan deretan gunung-gunung di belakangnya, pinggiran air penuh sampah dan ikan-ikan mati. Sarah bisa mengenali tempat ini dan menyimpulkan jika film ini diambil di sebuah danau buatan dekat kota tempat tinggalnya. Gambaran pemandangan ini tampil beberapa saat sebelum pelan-pelan kamera beralih pelan menunjukkan sebuah perahu kecil yang di dayung seorang anak lelaki dengan tiga penumpang lain bersamanya.

Gambar sekejap berganti mengikuti sampan itu, agak jauh dari belakang menampakkan punggung seorang anak lelaki yang mendayung, di bagian tengah perahu terdapat seorang bapak-bapak paruh baya dan ibu-ibu duduk mengapit seorang anak lelaki lain, kepalanya tertunduk terkulai dan kedua tangannya ada di belakang punggungnya. Apakah tangannya diikat? Sarah tak bisa memastikannya.

Sang anak lelaki berhenti mendayung, bapak itu membungkukkan badan meraih sesuatu dan menggerak-gerakkannya ke muka anak lelaki di sampingnya. Sarah kebingungan, apa yang sedang terjadi?

Kamera bergerak mendekat dan kini sampan itu hampir memenuhi layar, ternyata sebuah kuaslah yang digunakan pada muka anak lelaki yang nampak tak sadarkan diri itu. Sebagian wajahnya terolesi cairan hitam pekat seperti aspal, Bapak itu bergerak menjauh dari tubuh anak lelaki dan Sarah bisa melihat dengan jelas wajahnya, orang itu adalah ayahnya dan yang perempuan adalah ibunya. Sarah hanya bisa melihat anak lelaki pendayung sampan dari belakang namun Sarah yakin jika dia adalah Abi. Sarah mendongak menatap ke arah Ibu Koes yang membalas tatapannya dengan kebingungan. Ibu Koes membungkuk mendekat dan menanyakan apakah ada sesuatu, Sarah menunjukkan muka cemberut sebelum kembali menatap ke arah layar. Apakah mungkin Ibu Koes tidak mengenali orang-orang itu?

Ayahnya kembali menarikan kuas menyapu kepala sang anak lelaki sementara ibunya memegangi tubuh dan lehernya agar tetap tegak. Apa-apaan ini? Kesemuanya nampak begitu nyata, bukan sedang diperagakan, ibu dan ayahnya bertindak seolah tidak sadar ada kamera yang merekam keduanya.

Jantung Sarah berdetak makin kencang, siapa anak lelaki ini dan kenapa mereka melakukan hal itu kepadanya? Pandangan matanya bergerak cepat memandangi seisi ruangan, mencoba melihat apakah ada seseorang yang memperhatikan dirinya. Semua orang fokus memperhatikan film itu. Sarah mendengar lirih pertanyaan Ibu Koes apakah dia ingin pulang. Sarah kembali menyaksikan film itu, kini sekujur kepala dan dada anak itu tertutup warna hitam dan ayahnya perlahan berdiri. Ayahnya mengangkat anak itu dan menjatuhkannya ke sisi perahu. Tubuh anak itu terapung tertelungkup dan Abi mulai mendayung sampan menjauh hingga menghilang dari layar. Kamera kini terfokus pada tubuh kecil yang terapung-apung itu, ombak-ombak kecil bergerak menyapu punggungnya sebelum akhirnya film mendadak berakhir.

Ruangan kembali dipenuhi dengan tepukan tangan, kali ini para hadirin lebih bersemangat dari sebelumnya. Sarah bisa merasakan lengannya ditarik dan dia diajak pergi meninggalkan ruang aula. Lewat sebuah obrolan singkat, Sarah bisa memastikan jika Bapak dan Ibu Koes sama sekali tak tahu apa yang dipikirkannya atau kenapa dia ingin pulang, Sarah pun sama sekali tak ingin menceritakannya.

Seluruh film itu nampak seperti rekaman dari CCTV, kesemuanya terasa begitu nyata.

Bapak dan Ibu Koes kembali menanyakan apakah Sarah ingin pulang dan Sarah menjawab dengan anggukan kecil. Sesaat sebelum mereka meninggalkan teras villa, Sarah melihat masuk lewat jendela besar dan menyaksikan gambar lain di layar. Dua buah persegi putih digambar sejajar di atas latar keunguan menyerupai sebuah jendela, di masing-masing persegi terdapat desain abstrak di sisi-sisi dalamnya. Sarah masih mendengar tepukan tangan sebelum akhirnya mereka bertiga masuk mobil dan melaju melewati jalan aspal sepi menuju kegelapan malam.