Siang Terlentang Tanpa Sehelai Benang

 

Sarah mengangkat kepalanya, terbaring tengkurap di atas tikar piknik bersama buku dan beberapa bungkus kue coklat yang ia bawa dari rumah saat menyadari keberadaan lelaki telanjang itu. Sarah tak bisa mempercayai apa yang baru saja ia lihat meski sudah mengamati pria itu beberapa menit. Seorang lelaki paruh baya, mungkin di awal lima puluhan, berdiri di luar pagar area bermain di pinggir taman kota. Perutnya buncit, rambut yang tersisa di kepalanya sudah memutih. Dari tempatnya berbaring, Sarah bisa melihat pandangan mata orang itu tertuju ke arah ayunan, sepertinya ia belum lama tiba di tempatnya berdiri sekarang.

Sarah pun beranjak dari tikarnya. Ia berjalan menuju deretan pedagang kaki lima, lalu para orang tua yang sibuk merumpi  di bangku taman, menunjuk ke arah lelaki telanjang itu, mencoba memperingatkan mereka. Sesampainya di area bermain, Sarah melihat lelaki itu masih diam berdiri di tempat semula, masih dengan ekspresi datar yang sama di wajah keriputnya. Langkahnya terhenti di tengah belasan anak-anak yang berlarian di sana.

Ada yang tak beres, ketelanjangannya memang tak lazim tapi Sarah merasa hal lain yang sangat mengganggu dari keberadaan lelaki itu. Selama dua puluh enam tahun hidup, ia belum pernah menyaksikan keanehan semacam ini, paling tidak yang segila ini. Ia mulai berpikir ini adalah hal yang mungkin dilakukan seorang bejat yang memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak saat berada di antara mereka, fokus menyaksikan mereka bermain dan terhanyut dalam fantasi liarnya. Lelaki telanjang itu berdiri di tepat di hadapannya, di luar pagar, benar-benar telanjang bulat dan berdiri diam di dekat area bermain anak-anak pada hari minggu pagi di taman kota.

Sarah akhirnya bisa melihat dengan jelas tatapan kosong lelaki keriput itu, yang ternyata tak menunjukkan ketertarikan pada anak-anak seperti yang dicurigainya, sama sekali tak tertarik pada apa pun di sekelilingnya.

Saat itulah ia melihat lelaki telanjang yang lainnya. Saat masih belum bisa sepenuhnya percaya dengan tatapan kosong milik lelaki telanjang pertama yang ia lihat, Sarah memperhatikan sekeliling dan menyaksikan sepasang kaki menggantung dari dahan pohon di atas bangku taman. Sarah mendongak ke atas, lelaki itu duduk malas tanpa sehelai baju pun dengan ekspresi datar yang sama persis dengan lelaki sebelumnya, seorang pemuda tanggung berbadan kurus dengan rambut acak-acakan. Sarah spontan berteriak dan menunjuk ke atas memperingatkan orang-orang yang duduk di bangku taman. Pemuda itu menatap jauh ke luar area taman kota, sama sekali tak menunjukkan ketertarikan pada anak-anak ataupun hal-hal lain yang ada di sana, akan tetapi Sarah merasa ia tetap perlu memperingatkan orang-orang tentang keberadaan orang itu.

Para pengunjung dan pedagang mengikuti arah telunjuk Sarah dan mulai meneriakkan kegelisahan mereka.

“Ya Tuhan, apa-apaan ini?” teriak seorang ibu yang menggandeng anak perempuan dengan rambut dikepang dua.

“Mikael!”  teriak seorang bapak memanggil anaknya, diikuti belasan panggilan pada nama-nama lain oleh para orang tua yang mulai panik berusaha mencari anak mereka masing-masing.

Sarah kembali berteriak dan menunjuk ke arah bapak tua telanjang yang masih berdiri diam di tempatnya semua, menambah ngeri yang menghinggapi benak orang-orang yang mengunjungi taman kota pagi itu, para orang tua berhamburan lari mencari anak mereka, penjual makanan yang terburu-buru membereskan gerobak dan dagangan mereka. Sarah kini sibuk mengacak-acak tas jinjing miliknya, mencari telepon genggam untuk memanggil bantuan polisi, percuma, ternyata ia melupakannya di atas tikar piknik bersama barang-barang lain miliknya yang ia tinggalkan begitu saja.

Sarah bergegas memutari pagar area bermain, ia melihat lelaki telanjang yang ketiga, berdiri malas di area parkir, lalu yang keempat, yang sepertinya baru saja terjatuh dari sebuah pohon di lapangan rumput tengah taman kota. Sarah menunduk dan berjalan lebih cepat, ragu-ragu dengan apa yang baru saja ia lihat dan tak mau memastikannya kembali.
Sarah hampir sampai di tempatnya menggelar tikar, menatap ke depan dan menemukan lelaki telanjang lain yang terlentang santai di atas tikar piknik miliknya; menindih buku, kue-kue, dan telepon genggam miliknya. Sekelebat pandangan mata mereka sempat beradu, Sarah kembali melihat tatapan kosong dari wajah dengan ekspresi datar tanpa arti itu sebelum akhirnya tak bisa lagi menaklukkan ketakutannya. Sarah berlari sekencang yang ia bisa menuju pintu masuk taman kota.

Ada seorang lelaki telanjang lain yang bersandar di gapura taman saat ia melewatinya dan berbelok ke kiri tanpa pikir panjang, mengikuti ide untuk menuju rumah tunangannya yang terlintas dalam kepalanya. Rumah sewaan tempat Damar tinggal sehari-hari hanya terletak beberapa ratus meter dari taman kota. Sarah bukan seorang yang rutin berolah raga, dan ia mulai bisa merasakan bagimana asma yang ia derita mulai memutus napasnya. Sarah terus memaksa berlari, berhenti adalah kesalahan besar, pikirnya.

Ternyata kehadiran para lelaki telanjang itu tak hanya di terjadi di sekitar taman kota. Sarah melewati satu lelaki telanjang lain yang bersandar di sebuah mobil yang terparkir di depan toko jam, lalu ada satu lagi yang duduk bersila di atas atap halte bus, masih ada pula yang tengkurap dekat semak-semak taman di depan gedung kantor pos. Umur mereka bervariasi, mereka tampak tak peduli dengan satu sama lain, mereka sama sekali tak peduli dengan segala macal hal yang ada di sekitar mereka. Tak ada satu pun di antara lelaki telanjang itu yang bergerak atau mencoba mengubah posisi mereka meski sebenarnya tak nyaman bagi orang-orang pada umumnya. Mereka diam di tempat mereka berada, menatap kosong, lunglai dan malas.

Langkah Sarah mulai melambat, selain lelah, kini ia harus menerobos kerumunan pejalan kaki dan masih terus dikagetkan dengan keberadaan laki-laki telanjang lain yang jumlahnya terasa makin banyak semakin ia berlari menjauh dari taman kota. Banyak sekali lelaki-lelaki telanjang, dari berbagai macam suku bangsa dan usia, dengan posisi-posisi yang makin nyleneh menghiasi lanskap padat tengah kota. Sarah belum putus asa. Setelah hampir dua puluh menit berlari akhirnya cat hijau pupus rumah Damar dan beberapa bunga bugenvil di halamannya mulai terlihat.

Pagar teralis biasanya tidak dikunci, Sarah tergesa-gesa membukanya, berhasil, ia mendongakkan kepalanya, ada sepasang lelaki telanjang duduk santai dengan kaki terjulur di pagar beranda lantai dua.

Ia berlari menghampiri pintu depan, memencet bel berkali-kali. Terdengar suara nyaring kaleng beradu, salah seorang dari lelaki telanjang dari lantai dua terjatuh menimpa tempat sampah yang ada di dekat Sarah. Ia kembali memencet bel berulang kali, dengan ketidaksabaran dua kali lipat dari sebelumnya. Di mana Damar? Ia melirik jam tangannya, masih jam setengah sepuluh, seharusnya Damar ada di rumah.

Sarah mencoba mengendalikan panik yang mengacak-acak isi perutnya, napasnya tersengal-sengal, ia membalikkan badan, memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Satu pria telanjang masih duduk di pagar beranda lantai dua, satu lagi telungkup di dekat tempat sampah yang kini terguling menumpahkan buntalan-buntalan sampah dalam plastik. Di luar pagar rumah Damar, di seluruh penjuru kota, Sarah bisa melihat ratusan lelaki telanjang; duduk, berdiri, terbaring, diam di antara orang-orang dan kendaraan lalu lalang dalam kepanikan.  Sejauh mata memandang, keberadaan mereka bagai liyan yang tersesat di tengah rutin kehidupan kota kecil itu.

Sarah mencoba lagi bel itu. Tak ada rencana kedua yang sempat terpikir olehnya. Ia sudah hampir putus asa saat akhirnya pintu di hadapannya terbuka. Damar tergopoh-gopoh berjalan ke samping memberi jalan masuk pada tunangannya, masih berlilit handuk, rambutnya basah kuyup, ia baru keluar dari kamar mandi.

Sarah membanting pintu di belakangnya, tertuduk lemas di lantai. Ia senderkan punggung lelahnya di pintu, ia dan Damar sama-sama tak mengucap apa pun. Sarah masih menutup matanya, masih mencoba mengendalikan ketakutannya, belum sempat melihat apa yang ada di dalam ruang tamu rumah tunangannya.